Maka makin tambah pentingnya arti pertanian di dalam kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin naiklah derajat perempuan, makin naiklah kekuasaannya. Makin naiklah “bintangnya”, - naik, buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan. Sebab dialah yang kini menjadi produsen yang terpenting di dalam masyarakat, dari padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya masyarakat. Cara hidup yang berpindah-pindah tempat itu berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu tempat, manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindahpindah, berganti sifat menjadi manusia yang “berdiam”. Dan di tempat kediaman itu perempuanlah yang menjadi pusatnya! Tidak lagi ia kini dianggap seperti “benda yang orang terpaksa bawa juga” seperti di zamannya kelompok, tidak lagi ia kini dianggap seperti “noodzakelijk kwaad”, tetapi menjadilah ia makhluk yang sangat berharga. Ia menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, tunggak masyarakat!
Maka perubahan di dalam cara hidup ini membawa pula
perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu perlakiisterian itu secara anjing serigala saja, dulu adalah “Zeit-Ehe”
ataupun “Promiskuiteit”. Tapi kini perlaki-isterian ini mulai
diatur sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki
dan perempuan, dan diatur pula hal-hal yang mengenai
keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan laki-laki
dan perempuan itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah
kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian
dan keturunan itu. Memang urusan keturunan inilah pokokpangkal semua hukum perlaki-isterian, asal-mula segala
hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat
keturunan, adalah mudah-, tetapi memelihara keturunan itu
tidaklah mudah. Memelihara keturunan itu hajat kepada
kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing
kepala. Dulu di dalam kelompok perempuan saja yang
mendapat bagian pusing kepala ini. Laki-laki tinggal
bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih jauh apakah
akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau
si anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak
memusingkan kepala lagi dengan pemeliharaannya, tetapi
sebaliknya menguntungkan kepada yang mempunyainya,
maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia
45