― 10 ―
pun sudah membuktikan ke-istimewaannja. Adanja keinginan untuk memakai urut-urutan lain, atau menambah, barangkali untuk mengubah dalam arti memperbaiki atau menjempurnakan, itu semua tidak mendjadi so'al, dan kelak kiranja mungkin djuga kedjadian. Kalau zamannja atau alam-keadaannja menuntut, barang tentu Pantja-sila akan dapat berubah djuga. Jang dalam hal ini harus kita insjali, jaitu sesuainja bentuk dan isi Pantja-sila itu dengan zamannja dan alamnja Pantja-sila itu dilahirkan. Jaitu pada saat rakjat kita berhasjrat memusnakan alam-djadjahan.
„Ke-Tuhanan” . . . . bukankah ini berarti, bahwa negara kita (jang pada waktu itu masih akan lahir) djanganlah hendaknja mengoper sifat djadjahan Belanda, jang hampir semata² bersifat „materialistis”, jaitu mengagungkan hidup „kebendaan” serta merendahkan hidup kebathinan, misalnja menggunakan agama untuk keperluan kolonial dan kapitalisme ?
„Kemanusiaan” . . . . . . bukankah ini dasar jang paling luas, jang mendjamin perikeadaban dalam arti seluas-luasnja, hingga dapat membatalkan segala angkara murka?
„Kebangsaan” . . . . . . bukankah ini, jang dapat menghantjurkan „kolonialisme” dan „imperialisme”, jg meradjalela diseluruh Indonesia?
„Kedaulatan Rakjat” . . . . bukankah ini jang berkewadjiban menghantjurkan isme - isme, jang selalu menekan hidup-tumbuhnja rakjat, baik dlm arti politik dan ekonomi maupun kemasjarakatan dan kebudajaan?
„Keadilan Sosial”. . . . . bukankah ini tjita² jang positif dan concreet, jang harus mendjadi tudjuan segala usaha, untuk memberi keselamatan dan kesedjahteraan kepada rakjat setjara merata?
III. Isi atau Adjaran Pantja - Sila.
Sesudah kita mengetahui akan „sifat” atau hakikatnja Pantja-sila, jaitu keluhuran dan kehalusan budi manusia, pula mengetahui akan „bentuk”, ja'ni susunan Pantja-sila sebagai djiwa Undang-undang Dasar Republik Indonesia, maka datang-lah kini waktunja saja memberi pendjelasan tentang isi - nja