Halaman:Narsisisme dan Romantisisme Dalam Novel Negara Kelima Karya Es Ito.pdf/23

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

yang mengandung percintaan. Sesudah abad pertengahan, makna romantisisme mengalami pasang surut sesuai dengan tanggapan masyarakatnya.

Pada Zaman Pencerahan, misalnya, ketika masyarakat sangat mengutamakan akal sehat, romantisisme diartikan sebagai paham yang absurd, berlebihan, bahkan dianggap tidak masuk akal, Perkembangan terakhir, khususnya akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, romantisisme diartikan sebagai karya seni yang memperjuangkan perasaan dan khayalan, karya seni yang didominasi oleh subjektivitas dan orisinalitas, 'aku' selalu merupakan pusat segala sesuatu.

Masih menurut Ratna (2005: 48—49), ciri-ciri romantisisme seperti itu tampak dalam karya penyair Pujangga Baru, yaitu J. E. Tatengkeng, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane. Meskipun demikian, menurut Teeuw (dalam Ratna, 2005), romantisisme tetap berpengaruh hingga Sutardji Calzoum Bachri, bahkan mungkin juga sesudahnya. Menariknya juga, romantisisme tidak hanya berpengaruh sebagai paham dalam karya sastra, tetapi juga dalam kritik. Pembicaraan mengenai seorang penyair, misalnya, dikaitkan dengan 'aku' sebagai penyair. Konsekuensi yang ditimbulkan kemudian adalah kritik. Dan, itu pun bersifat subjektif. Selain perasaan, obsesi romantisisme adalah menemukan dunia secara alamiah, dengan cara kembali ke alam sebagaimana disarankan oleh pelapornya Jean-Jacgues Rousseau.

Menurut Shipley (dalam Ratna, 2005:47), romantik merupakan aliran utama, baik dalam filsafat maupun sastra. Pada umumnya, aliran romantisisme dianggap

sebagai memiliki sejarah perkembangan paling panjang,

11