Lompat ke isi

Halaman:Mortéka dâri Madhurâ Antologi Cerita Rakyat Madura (Edisi Kabupaten Bangkalan).pdf/113

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

pertama ditanya, ibunya menghindar menjawab hingga pacta suatu saat ketika Lesap telah dianggap sudah cukup dewasa untuk menerima kenyataan, ibunya bercerita. Ia bercerita bahwa ayahnya adalah seorang raja, dan bahwa sebenamya, Lesap punya hak untuk dapat menduduki tahta Madura Barat.

Hati Lesap berbunga-bunga mendengar hal ini. Ia ingin cepatcepat bertemu dengan ayahandanya, dan karenanya, ketika keinginannya sudah tidak terbendung lagi, ia mohon izin untuk mengunjungi kota Madura Barat lbunya melarang. tapi karena Lesap terus merengek, dikabulkannya juga keinginannya.

Lesap dengan ditemani kakeknya berangkat ke Kotaraja. Sampai di gerbang keraton, mereka diterima oleh pengawal istana yang meminta mereka menunggu. Saat itu, Pangeran Cakraningrat V sedang menerima tamu opsir-opsir dari Kompeni Belanda. Lama menunggu, akhimya pertemuan Cakraningrat V selesai. Lesap berpapasan dengan opsir-opsir tersebut dan ia merasa takjub serta heran akan perbedaan kulit dan baju yang mereka kenakan. Keheranan Lesap sima setelah kakeknya menarik tangannya untuk masuk ke dalam pendapa keraton.

Lesap dan Kakeknya bertemu dan bertatap muka dengan Pangeran Cakraningrat V. Pangeran Cakraningrat V masih ingat dengan wajah ayah mertuanya. Tapi ia sama sekali tidak punya ide untuk menebak siapa pemuda belia yang dibawa ayah mertuanya tersebut Kakek Lesap memperkenalkan Lesap sebagai anak dari Pangeran Cakraningrat V dan Nyai Pocong. Seketika itu juga berubah wajah dari Pangeran Cakraningrat V.

Pangeran Cakraningrat V sebenarnya merasa malu akan pertemuan ini. Ia malu karena memiliki ayah mertua yang petani biasa. Ia malu memiliki istri yang berasal dari rakyat jelata. Ia malu memiliki anak yang didapatnya dari pemikahan diam-diam. Pangeran

Cakraningrat V rupanya memiliki gengsi yang tinggi, dan gengsinya ini telah mengalahkan sifat baiknya yang ia miliki selama ini. Di depan ayah mertuanya, ia tidak berkata apapun. Ia juga tidak menolak Lesap namun tidak pula menyambutnya dengan pelukan seorang ayah. Gengsinya terlalu tinggi untuk bersikap ramah pada

97