dasar pertimbangan inilah, mereka kemudian menentukan peran mereka selama peperangan.
Ketika perang berakhir, dua bersaudara ini pulang kembali ke tempatnya masing-masing. Saat Bhuju Makkung pulang, ia menjumpai bahwa kemarau telah membuat warga desanya sengsara. Musim kemarau yang berkepanjangan membuat tanaman-tanaman warga mati, dan kolla (sumur air) menjadi kering. Matinya tanaman sebenarnya tidak membuat Bhuju Makkung resah. Yang membuatnya resah adalah kekeringan telah menyebkan sumur tempat berwudu warga yang ada di musala ikut menjadi kering. Ia gelisah karena merasa tanpa air, ia tidak dapat beribadah dengan benar.
Bhuju Makkung sekali lagi datang pada kakaknya mengajaknya untuk membantu masyarakat dengan cara mencari bantuan pada kerajaan terdekat. Berjalan kakilah ia ke tempat kakaknya berada. Tempat itu lumayan jauh, sekitar tiga puluh menit perjalanan. Setelah sampai di desa kakaknya, ia pun segera menjumpai bahwa kakaknya sedang bertirakat.
Ia sebenarnya sungkan untuk mengganggu waktu ibadah kakaknya, tapi ketika ingat kekeringan yang terjadi di tempatnya, tidak bisa tidak, ia harus menepis perasaan sungkannya itu. Di hadapan kakaknya, Bhuju Makkung memberi salam dan menunduk tanda penghormatan pada kakaknya. Dengan penuh hormat ia menyampaikan maksud dari kedatangannya.
Setelah berbicara cukup jelas, kakaknya lantas merespon dengan mengatakan kenapa harus jauh-jauh ke Kotaraja meminta bantuan manusia, jika dengan berdoa pada Rajanya Manusia yaitu Allah, apa saja yang kita minta dapat tercapai. Bhuju Makkung belum paham atas apa yang dimaksud dari kakaknya itu.
Mengetahui adiknya bingung, Bhuju Ahmad meminta Bhuju Makkung mengangkat tangan dan berdoa pada Allah apa yang ia mau. Bhuju Makkung pun mengikuti perintah kakaknya untuk berdoa. Selesai berdoa, Bhuju Ahmad lantas memberikan tongkatnya dan meminta adiknya menancapkan tongkat itu beberapa puluh meter dari tempat Bhuju Ahmad bertirakat. Bhuju Makkung pun makin tambah heran, namun sebagai adik yang baik, ia tetap melaksanakan
91