Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/50

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Mungkin dizaman sekarang mulai pula ada usaha-usaha memisahkan Adat Minangkabau dengari Agama Islam, supaja Minangkabau ini bisa menerima Agama Keristen sebagai sebahagian dari Adat. Dan mungkin timbul djuga usaha membawa Adat Minangkabau kembali kepada zaman Djahilijahnja, kezaman Adityawarman atau semasa Lasjkar Singosari datang ke Minangkabau, lalu terdjadi mengadu kerbau. atau terdjadi "Padang Sibusuk" dan "Kiliran Djao". Tetapi barang jang terang ialah bahwa Adat Mnangkabau itu adalah "Tali Berpilin Tiga", diantara Adat, Sjarak dan Undang, Tersunting dalam pepatah Minang sendiri: "Adat bersendi sjarak, sjarak bersendi Kitabullah". "Sjarak mengata, Adat memakai". "Sjarak bertelandjang, Adat bersesanping". "Adat menurun, Sjarak mendaki". Dan sjarak ini tidak ada sjarak lain, melainkan Sjarak dari Sjari'at Islam dan Sjari'nja (Pentjipta Hukum) ialah Allah dan Rasul.

Perpaduan Sjarak, Adat dan Undang inilah jang telah membuat jorak tersendiri orang Minangkabau dalam rangka kesatuan bangsa Indonesia. Terbajang pada Balairungnja jang seruang, Mesdjidnja jang sebuah. Kemudian setelah berkembang perkumpulan-perkumpulan Agama bertambah satu lagi: "Satu Sekolah Agama".

Tertjermin dari pada sarung jang tak terlepas dari badan. Walaupun sekarang sudah memakai pantalon. Pada tahun 1918 bertengkar perkara sesamping. Tertjermin pada selendang kaum perempuan jang walaupun sudah terlepas dari kepala, namun dia masih tersandang dibahu, tertjermin lagi kepada pakaian perempuan dengan memakai tekutuk sehingga pakaian setjara Adat di Batipuh dan Pajakumbuh, sjah dibawa sembahjang. sebab aurat tertutup.

V

Segi Kelemahan Harta Tua.

Harta Pusaka Tinggi, ladang nan babintalak, sawah nan bapamatung, adalah pasak kungkung Alam Minang. Kekuatannja ialah bahwa orang Minang belum kehabisan harta. Dan jang memegang harta itu adalah ibu. Bunda Kandung (Matriarchat.) Inilah jang mengistimewakan kita dari daerah lain. Sehingga kalau harta dengan garis djalur keibuan tidak ada lagi, berobahlah Minang. Apakah berobah kepada jang buruk atau kepada jang baik, belumlah kita persoalkan sekarang.

Dan disinilah pula terletak kelemahan Pusaka Tinggi itu, jaitu laki-laki tidak mempunjai hak. Laki-laki ħanja "Kabau pahangkuik abu. Gadjah peladjang bukik". Mana jang dapat bawalah pulang, serahkan kepada ibumu. Sedjak masih ketjil sudah tidur disurau atau mengobrol dilepau. Kalau sudah bosan dikampung lekaslah berangkat, dengan Jcbih dahulu meminta izin kepada ibu :

36