Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/33

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sebagian ketjil bilangan sebelah timur sungai Tjode, terdiri dari kampung Notokusuman, jaitu kampung kediaman Sri Pakualam I selagi masih mendjadi Pangeran Midji. Kampung itu kemudian diberi berpagar keliling (ringmuur), hingga merupakan benteng djuga. (1).

Sebagai djuga gapura-gapura jang masuk kedalam Benteng Keraton, pada djaman jang lampau, batas jang masuk ke Pura Pakualaman, demikian nama Istananja, djuga dilengkapi dengan gapura besar bertempat didekat gedung bioscope „Luxor” (sekarang). Belakangan karena dipandang tidak membawa manfaat, malahan sebaliknja, dapat menimbulkan perpisahan, maka gapura itu dihilangkan. Tidak itu sadja, tetapi lambat laun beberapa Djawatan antara Pemerintahan Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, digabungkan djadi satu.

Dan, untuk menghapuskan segala bekas-bekas dan benih-benih jang dahulu disebar oleh V.O.C. terutama didjamannja Raffles, maka dengan keichlasannja Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, segala jang bersifat pemisahan itu dihapuskan sama sekali. Lebih tegas, kedua Pemerintahan itu kini mendjadi satu lagi, demikian djuga dengan pemisahan daerah dan Ibukotanja.

Kalau kita memperhatikan kemadjuan-kemadjuan Ibukota ini dari babak lahirnja sampai batas angkat k#akinja kekuasaan asing dari sini, dengan tidak usah mengingati akan perkembangan-perkembangan koloniale politick jang sedikit demi sedikit mengrikit kekuatan kaki Negara Ngajogjakarta-Adiningrat untuk berdiri sendiri, memang kita dapat merasa megah djuga. Sebab, meskipun Ibukota ini letaknja tidak berbandar, tetapi dengan tjepat sekali mengedjar lain-lain kawannja jang bukan sadja lebih tua umurnja, tetapi djuga letaknja ada ditepi laut dan berbandar.

Kemadjuan sesuatu tempat merupakan mata rantai, jang satu mempunjai hubungan dengan jang lain, tetapi pada pokoknja adalah tergantung kepada djumlah penduduk jang mempunjai mata pentjaharian tjukup, hingga mempunjai kekuatan membajar.

Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat bukan sadja hawa-udaranja tjukupan, tanahnja baik, tetapi dengan setjara kebetulan, letaknja ada disatu tempat jang merupakan pintu dari 3 djurusan jang menghubungkan kota-kota bandar besar di Djawa, Semarang, Surabaja dan Djakarta. Selain itu, djuga merupakan djembatan jang menghubungkan antara Djawa-Timur dan Djawa-Barat, karena dimasa itu hubungan itu harus ditempuh dalam waktu 2 hari, Ibukota kita ini adalah satu-satunja tempat jang mendjadi penghubungnja. Djusteru karena itu, maka kongsi kercta api, termasuk djuga milik Gubermen Belanda (S.S.), terpaksa membuka kantor-kantornja dan menempatkan orang-orangnja disini. Karena Ibukota kita ini mendjadi tempat penghubung, sendirinja mendorong orang-orang untuk mendirikan hotel-hotel. Bukan hotel-hotel kelas satu sadja, tetapi djuga hotel-hotel ketjil banjak didirikan orang.

Djumlah penduduk dari kalangan kelas-berada ini, memperpengaruhi besar kedalam segala lapangan, karena mereka sebagai penghuni tetap atau tidak, sama membutuhkan segala matjam kebutuhan hidupnja, „permintaan” ini menarik djuga kemadjuannja lapangan perdagangan, hingga tidak sadja meramaikan pasar, tetapi djuga sebagai andjuran lahirnja toko-toko disepandjang djalan jang ramai.

_________

(1). Bekas-bekas dari pagar kikis (ringmuur) jang merupakan benteng itu, sampai sekarang masih dapat kita lihat, jaitu ditepi djalan sebelah Utara, muka gedung perguruan Bobkri, Bintaran-Kulon, dan ditepi djalan sebelah Timur, pada djalan simpangan ke-Utara, dekat sungai Tjode.

25