Dari Penjusun, |
Matsum Lubis. |
Penutup
Sedjarah hidup dan perdjuangan Panglima Besar Let.-Djenderal Soedirman telah berachir pada tanggal 29 Djanuari 1950 jang lalu. Akan tetapi, itu tidaklah berarti tammat dan selesainja tjita-tjita beliau, baik sebagai Bapak Tentara maupun sebagai Putera Indonesia. Karena beliau sebagai Bapak Tentara dalam tjita-tjitanja untuk menjusun dan mewudjudkan:
barulah berada dalam tingkat pelaksanaannja. Tegasnja, belum menjatakan gambaran jang positif bagi kandungan djiwa-besar pahlawan itu. Sebagai putera Indonesia, tjinta dan kasih beliau pada bangsa dan tanah-air barulah dapat dirasakan oleh seluruh bangsa dalam tingkat perdjuangan selama 4 tahun ini jang dalam duka dan suka bersama-sama dengan para-perwira tanah-air dan bangsa mempertahankan tapak demi tapak bumi Ibu Pertiwi dari terkaman musuh bangsa dan negara. Tiap-tiap orang jang mengaku dirinja putera Indonesia sudah pasti akan mengakui, bahwa pertanggungan-djawab beliau terhadap runtuh dan bangunnja negara dan bangsa telah beliau tunaikan dengan mengorbankan kesehatan, kesenangan dan djiwa-raga beliau sehingga menerbitkan perasaan hormat dan terharu akan djiwa-besar jang dimiliki beliau itu. Memang, bila diturut kehendak seluruh rakjat Indonesia, djanganlah hendaknja dulu beliau meninggalkan kita dalam saat sebagai dewasa ini,
|
dimana tenaga, fikiran dan djiwa-besar beliau itu sedang dibutuhkan sangat oleh tentara, negara dan bangsa. Akan tetapi jang demikian itu kiranja tidak diizinkan oleh Tuhan Jang Maha Kuasa, karena kodrat-Nja telah berlaku pada beliau untuk membebaskannja dari derita penjakitnja jang selama 2 tahun ini beliau idam. Beliau kembali, kembali kehaderat Allah s.w.t., akan tetapi djiwa-besar beliau dan tjita-tjitanja tetap hidup dan kekal dalam tiap-tiap djiwa putera Indonesia umumnja, djiwa peradjurit chususnja. Hidup penaka lambang dan pedoman pada waktu kita menjusun, membangun dan menegakkan tiang-tiang kemerdekaan bangsa, negara dan tanah-air. Djiwa-besar jang telah memberkahi persada Ibu Pertiwi itu, adalah djiwa-besar jang sewaktu-waktu dapat memberikan petundjuk, teladan dan pedoman untuk kemuliaan, kebahagiaan dan kegemilangan semarak tanah-air dari masa-kemasa, sehingga beliau pada lahirnja sadja „mati”, akan tetapi bathinnja, ― djiwanja tetap hidup dan berjuang. Mengembangkan, mempeladjari dan memperdjuangkan tjita-tjita beliau itu bagi tiap-tiap peradjurit dan bangsa, itu berarti kita meneruskan tjita-tjita dan gelora djiwa-besar beliau itu. Sebaliknja, bila tjita-tjita dan gelora djiwa-besar beliau itu kita „matikan” dalam djiwa kita, maka itu berarti, bahwa kita mengchianatinja. Oleh karena itu, marilah bersama-sama kita tjamkan dan amalkan semua itu supaja semoga tjita-tjita, djiwa-besar dan perdjuangan beliau itu dapat diwudjudkan. Djakarta-Raya, 30 Djanuari 1950. |
Pak Dirman dan Bu Dirman beserta seorang puteranja jang paling bungsu. Gambar ini adalah gambar jang paling terachir semasa almarhum masih hidup. |
26