Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/93

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

"Ya, itu artinya uang ini dihargai sebanyak dua puluh ribu."

"Kamu..., mungkin untuk kamu ini enteng, tapi buat orang lain? Apa kamu penah memikirkannya? Uang ini sangat berarti, Tika..."

Bagiku, lama kelamaan sahabatku ini terlihat makin materialistis. Selalu saja uang atau materi lain yang jadi perdebatan kami. Sepenting apa, sih, uang untuk dia? Dian, setahuku berasal dari keluarga berada. Dia sama sekali tidak kekurangan apa pun dan aku sama sekali tidak bisa menemukan sebuah alasan tepat, mengapa dia bisa jadi manusia materialis seperti ini.

Dian, kian hari kian dingin padaku. Dia hanya bicara jika perlu dan sudah lama sekali kami tidak bersama-sama. Entah kenapa, aku merasa dia berusaha untuk menjauhiku dan aku sama sekali tidak menyukai hal itu. Dengan berbagai cara aku mengajaknya berkelakar, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bicara kepadanya.

"Dian, kamu kenapa, sih?" tanyaku padanya.

"Apa kamu tidak merasa kalau aku berusaha untuk menjauhi kamu?" katanya.

Hebat sekali! Tanpa basa-basi apa pun dia langsung ke topik. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa bisa saja aku tersinggung.

"Kenapa?" tanyaku masih berusaha untuk tenang.

"Aku takut terpengaruh."

"Apa?"

"Iya, aku takut kamu pengaruhi."

"Kamu sebaiknya berpikir dulu sebelum bicara!"

"Aku sudah berpikir."

"Kamu sadar apa yang baru kamu katakan?"

"Tika, kamu itu bisa menjadi dampak buruk suatu saat nanti bagiku."

Meyebalkan sekali, Dian. Seenaknya menceramahiku. Padahal dia tidak tahu apa-apa. Dia sama denganku, kami Sama-sama pelajar SMU. Itu artinya, dia memang tidak lebih dewasa daripada aku. Seenaknya saja dia bicara.

"Kamu itu sangat tidak bersyukur. Kamu tidak pernah

81