“Kalau Kau mau, semua itu bisa saja. Ayah bisa bergerak. Ya, jika kau gerakkan,” jawab suaminya cepat.
“Apa Kau tahu? Ayah senang sekali. Akhimya dapat bertemu denganku. !a bilang, rumah kita bagus. Dan, ia sangat menyukaimu dan putri kita. la bilang, ia ingin sekali pergi jalan-jalan bersarna kita.”
“Hah? Jalan-jalan?” terkejut sekali laki-laki itu.
Tak pernah terbayangkan olehnya. Memberitahu semua orang bahwaia, istrinya, juga putrinya, semua gila.
“ttu tidak mungkin,” jawabnya pelan.
Ingin rasanya mengatakan semua yang ingin ia katakan. Berpikir ulang pula ia. Jika terkatakan, mungkin istrinya akan menyangkalnya, marah, lalu melanjutkan apa yang ia lakukan kini. 1a tahu betul, istrinya keras hati. Jika tak dikatakan, kegilaan ini akan berlanjut, terus belanjut, entah sampai bita.
“Maaf, aku sibuk. Tak mungkin kita pergi jalan-jalan,” akhirnya la menjawab.
“Ya sudah, kita cari waktu. Ketika kau tak sibuk, begitu pun denganku,” senyumnya mengembang lagi.
“Aku ingin Kau juga merasakan kebahagiaanku sekarang,” lanjut istrinya sambil beranjak dari tempat itu.
Sepeninggal istrinya, ia memacu pikirannya. Apa yang
hendak ia lakukan untuk menyelamatkan semuanya?
Dibuka-bukanya laci-laci lemari yang ada di kamar itu.
Sebuah buku, buku, buku telepon. Laci pertama, tak
ditemukannya. Laci tengah, ia masih harus mencari lagi.
14 pun kemudian membongkar-bongkar laci paling bawah
hingga mendapati buku telepon lama yang sudah tak utuh
lagi. Disapunya debu buku telepon yang bagian ujungnya
sudah dimakan tikus itu dengan telapak tangannya.
Perlahan dibukanya, helai demi helai. Hingga entah helai
ke berapa, ditemukannya sebuah nama yang awainya
tertulis huruf d dan r kecil. Diraihnya handphone yang7