— 1927 —
lang ijang Graaf bisa tahan melarat dari sebab akoe, sedang akoe maoe melepasken djiwakoe boewat Graaf.“
Graaf berpikir sebentaran.
„Ach apa djoega ijang djadi nasibkoe, biar tjilaka atau tida, soedah akoe toeroet sebagimana djalan peroentoengan kita. Ajo Haijdee marilah!“
Abis Graaf pelok pinggangnja Haijdee, dia kasi tabe sama Valentine dan laloe Graaf berdjalan kaloewar.
Ada kira-kira satoe djam soedah liwat, Valentine dengan sengal-sengal memandang sadja moekanja Maximiliaan. Lama-lama, maka Valentine merasa hatinja bergerak dan mesemnja ijang ampir tida kentara oleh kerna boekaän moeloetnja. Ja merasa ijang badannja Maximiliaan seperti gemeteran, ija itoe tanda, ijang dateng poela djiwanja.
Dia boeka matanja, tetapi tida bertjahaja dan mendelik, lama-kelamaan dia moelai bisa liat, dia moelai kenalin apa-apa, dia moelai merasa dan moelai poela ia mendjadi sedih.
„Ach!“ katanja seperti orang ijang ilang pengharepan, „akoe masih idoep, Graaf bohongin sadja akoe, maka dia londjorin tangannja maoe ambil itoe piso ijang ada di atas medja.“
„Ja Maximiliaan, ingatlah, tjobalah pandang sama akoe, berkata Valentine, bangoen ijang betoel.“
Maximiliaan terkedjoet bediri seperti toenggak tida bisa mengarti apa di liatnja, barang dia kenalin betoel sama Valentine baroe dia berkoewi, bersoedjoet seperti orang bersoedjoet di hadepan dewa ijang maha moelia . . . . . . . .
Besokan paginja, matahari baroe mengirim tjahijanja ka dalem gowa itoe, maka Maximiliaan sama Valentine