— 1911 —
toeroen ka dalem sekotji, tetapi boekannja dia doedoek, hanja dia bediri dengen menolak pinggang.
Toekang dajoeng itoe bersedia dengen dajoeng terangkat, seperti boeroeng ijang memboeka kadoewa sajapnja aken djemoer badannja.
„Dajoenglah,“ berkata toewan penoempang, maka delapan dajoeng bergerak dan sekotjinja moelai berdjalan, semingkin lama semingkin ladjoe. Tida lama dia orang sampe di moeloet kali ketjil dan sekotji itoe di kasi naik di pasir poetih.
„Kandjeng toewan Besar!“ berkata djoeroemoedi itoe, ijang bersedia aken kasih naik di poendaknja doewa orang anak perahoe, aken toewannja di bawa kadarat.
Toewan moeda itoe bikin tanda, aken sahoetin hormatnja djoeroemoedi, maka ia angkat kakinja melangkain pinggir sekotji dan laloe toeroen kadalem aer sampe hinggang pinggang.
„O! kandjeng toewan besar!“ berkata djoeroemoedi: „tida baik toewan bikin begitoe, nanti toewan bikin ktia orang di marahin oleh kita poenja toewan.“ Samantara itoe, maka toewan itoe berdjalan teroes dengan di doeloei oleh doewa matros, ijang oendjoek djalan. Kira-kira tiga poeloeh tindak. maka ia sampelah di darat. Toewan itoe bediri berdiam memandang kakanan-kakiri mentjari djalan, sebab soedah moelai magrib. Adapoen koetika ia berpaling ka blakang, maka adalah tangan ijang memegang poendaknja, seraija kadengaran soewara, ijang membikin hatinja tergerak, kata soewara itoe:
„Selamet dateng Maximiliaan, kaoe pegang djandji ijang tegoeh sekali tida kaliatan barang sedikit, trima kasi Maximilaan.“