berkontemplasi. Bahkan atas dorongan rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam Dirinya sebagai Kepala, sudah berada di dunia, sebagai “Terang sejati, yang menyinari setiap orang” (Yoh 1:9)[1].
Memang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu menyelami hakekat kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi fenomenisme dan agnostitisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu itu, disalah-artkan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran. Bahkan ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur.
Akan tetapi konsekuensi-konsekuensi yang malang itu tidak dengan sendirinya t imbul dari kebudayaan zaman sekarang; tidak boleh pula menjerumuskan kita ke dalam godaan, untuk tidak mengakui nilai-nilai positifnya. Di antaranya yang dapat disebutkan: usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan- rekan dalam kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat kemiskinan budaya. Itu semua dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia.
58. (Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia)
Ada bermacam-macam hubungan antara Warta Keselamatan dan kebudayaan. Sebab Allah, yang mewahyukan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.
Begitu pula Gereja, yang di sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka budaya, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam.
Tetapi sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari segala zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tak terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup yang khas mana pun, kepada adat istiadat entah yang lama entah yang baru. Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya.
Kabar baik tentang Kristus tiada hentinya membaharui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh berdosa, dan melawan serta memberantas kesesatan-kesesatan dan kemalangan, yang bersumber pada bujukan doa yang tak kunjung henti merupakan ancaman. Warta itu terus-menerus menjernihkan dan mengangkat adat-istiadat para bangsa. Warta itu bagaikan dari dalam menyuburkan harta semarak jiwa serta bakat- pembawaan setiap bangsa dan setiap masa dengan kekayaan adikodrati, meneguhkannya, melengkapinya, dan membaharuinya dalam Kristus[2]. Begitulah Gereja, dengan menunaikan tugasnya sendiri [3], sudah dengan sendirinya menjalankan
- ↑ Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III,11,8: SAGNARD, Sources chr., hlm. 200; bdk. Di situ juga, 16,6: hlm. 290-292; 21,10-22: hlm. 370-372; 22,3: hlm 378, dan lain -lain.
- ↑ Lih. Ef 1:10.
- ↑ Bdk. Amanat PIUS XI kepada RP..M. D. Roland-Gosselin: Semaines sociales de France (“Pekan-pekan sosial di Perancis”), Versailes, 1936, hlm. 461-462.