menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Para pahlawan yang telah gugur seolah-olah tetap hidup menyaksikan para generasi muda meneruskan cita-cita perjuangan mereka demi tanah air tercinta. Mereka yakin betapa besar nilai pengorbanan yang diberikan, yang hanya dapat dirasakan dan dinilai oleh mereka yang masih hidup, seperti terbaca dalam sajak Chairil Anwar berikut ini.
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdekap hati
...
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4—5
ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan(Kerikil Tajam, 1959)
Kegairahan bangsa Indonesia pada semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan "ketidakbebasan" juga tercermin dalam puisi-puisi periode 1940—1960, terutama dalam puisi-puisi 45. Salah satu sajak yang memperlihatkan kegairahan perjuangan itu adalah "Untuk Saudaraku".
UNTUK SAUDARAKU
Setelah saudara bersusun madah
Tiada di hemat sanjungan puja
Merdu didengar buai nyanyian
Asia Raya jadi junjungan
Sudikah saudara periksa kembali
Biarpun bengis dibongkar hati
58
Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960