Dalam sajak Chairil Anwar yang lain, "Deral-Derai Cemara" bahkan dikatakan bahwa 'hidup hanya menunda kekalahan/ ..../sebelum pada akhirnya kita menyerah' (Anwar, dkk., 1958: 17). Dengan demikian, di sini terdapat citra manusia yang tragis, yang mau tak mau harus menyerah pada nasib.
Nasib manusia yang tragis adalah sebagian dari kehidupan yang penuh misteri. Pada dasarnya kehidupan itu adalah rahasia yang tak terpahamkan seperti diungkapkan Asrul Sani dalam sajaknya "Orang dalam Perahu". Dalam sajak itu manusia dikiaskan sebagai penumpang perahu yang berada di tengah laut, sedangkan laut itu sendiri adalah lambang kehidupan yang demikian luas dan penuh rahasia. Si aku lirik dalam sajak Asrul Sani ini hanya bisa pasrah, menyerahkan diri kepada angin yang entah akan membawanya ke mana.
ORANG DALAM PERAHU
Hendak ke mana angin
buritan ini membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu.
Ada perempuan di sisiku
sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!"
Cahaya bersama aku.
Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu.
Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas.
Hendak ke mana angin
buritan membawa daku.
- (Mantera, 1975)
Bila dalam menghadapi kehidupan manusia kadang-kadang hanya bisa pasrah, dalam menanti kematian pun manusia tidak kuasa menentukan usianya.
Manusia dan Diri Sendiri
141