Halaman:Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960.pdf/129

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Tapi waktu penawar yang sakti
Dapat menutup luka jiwaku
Dan di atas luka yang dulu
Tumbuh indah mawar cintaku.

   (Pujangga Baru, V/1, Juli 1937)

Melalui larik-larik sajak Asmara Hadi tadi terungkap citra manusia yang pasrah. Dalam kepasrahan itu, perjalanan waktu ternyata menggelindingkan ke nasib yang lebih baik. Nasib pahit yang pernah dialaminya telah menyingkir dari sisinya.

Bila dalam sajak Asmara Hadi, "Kusangka Dulu", rahmat dan kebahagiaan yang dialami si aku lirik seolah-olah pemberian sang waktu, dalam sajak Mozasa, "Hujan", terbaca keinginan si aku lirik untuk mencapai keabadian dan sekaligus berguna untuk sesamanya. Dengan demikian, pada diri si aku lirik terungkap citra manusia yang berdaya upaya, yang memiliki keinginan dan cita-cita, tidak pasrah begitu saja, seperti dikemukakan larik-larik ini.

Bagai kapas resikan angin,
ringan-ringan hasrat melayang;
terkadang ada rasa kepingin,
agar sukma tinggi mengawang.

 Bersatu dengan gabak di hulu,
 segar dingin menyiram bumi,
 hinggap melata di rumput hina,
 dibancur matari, naik lagi.

Biar sukma hidup abadi,
bebas lepas meningkah alam
tidak mengikat, tidak mengekang

 Nampak-nampak tani terlalai,
 memuji rahmat semesta alam,
 berlinang-linang air mata riang.

   (Pujangga Baru III/2, Agustus 1935)

Citra manusia yang ingin mencapai keabadian, ketinggian sukma, yang dengan itu jiwanya menjadi terbebaskan, muncul juga dalam sajak J.E. Tatengkeng, "Sukma Pujangga". Dalam sajak Tatengkeng, si aku lirik yang

120

Citra Manusia dalam Puisi Modern Indonesia 1920-1960