Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/73

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Pokoknya, besok aku dan teman-temanku mau belajar. Aku indak mau ujianku kali ini gagal. Jadi, sepanjang sore Qahar harus di kamar. "Kau dengar itu, Qahar?" Ultimatum itu terlempar begitu saja. Tak kupedulikan ekspresi sedih dan tangis adik bungsuku yang polos itu. Ah, aku capek mesti sabar terus.

***

Syndrome Brown. Istilah kasarnya, idiot. Orang Padang bilang gadang bodoh. Qahar menyandang cacat itu sejak lahir. Awalnya kami semua tak bisa menerima kenyataan itu, terutama Bunda. Akibatnya, beliau terlalu memanjakan Qahar. Begini jadinya. Padahal, seorang anak lelaki di Minang sangat penting harakatnya, penjaga marwah keluarga. Pengganti ninik mamak nantinya.


"Hei, lagi mikirin tes anatomi tadi, ya?” Andi menepukbahuku saat kami bergelantungan di atas bus kota yang melaju kencang. "Sudahlah, lupain, aja. Dokter Bahroelym itu, kan, sudah terkenal sadis. Kalau tidak dapat nilai D, pasti kamu dikasih nilai E, alias angka tiga ngakak!" kujitak kepala anak itu, luput.


"Bener, Wi, indak usah dipikirin. Yang penting, ujian praktikum Mikrobiologi besok berhasil. Makanya, ntar diskusinya yang serius," timbrung Margono.

"Oke, deh, kamu tenang aja..."

"Yang penting servisnya harus memuaskan, Wi. Snack-nya harus banyakan. Tamu, kan raja," celetuk Andi lagi.

"Antum ini nggak sopan begitu. Justru, karena kita tamu seharusnya kita yang lebih sopan," protes Aminuddin. Dia ini satu-satunya anak SKI temanku. Dari dialah aku tahu banyak tentang tarbiyah. Bahkan, sudah sebulan ini aku ikut liqo' yang diadakan forum studi tersebut, meski sering bolos juga.

"Oke deh, Ustaz...," jawab Andi menirukan sebuah iklan makanan di TV. "Lho. Ini kan sudah masuk Jalan Patimura, Wi?"tanya Andi kemudian.

Aku tersentak, "Eh, iya, stop... stop!" kami menggedor atap bus kota kuat-kuat, Uuuh... udah kelewatan. Terpaksa jalan kaki lagi.

61