Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/84

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

rerumputan hijau yang tinggi. Tak ayal, tubuh abah terpelanting tepat di bibir jurang yang tidak terlihat oleh ilalang yang menutupi. Hanya teriakan abah yang terdengar oleh Wak Ramlan yang berada dua puluh meter di belakang abah. Suasana di perburuan berubah mencekam. Keringat dingin mengalir deras, seirama degup jantung yang begitu kencang. Bulu roma ikut menegang. Beberapa orang mulai mencoba turun ke dalam jurang. Kondisi jurang yang dalam membuat orang-orang kesulitan. Ditambah lagi belukar yang merambahi sekeliling jurang.

Langit temaram. Berubah mendung. Kemudian berubah rintik-rintik air. Suara gemuruh dan halilintar berpadu loncatan alam. Semakin malam hujan turun semakin tidak karuan saja. Guruh tidak henti berkelakar menggeluti kecemasan.

***

Semburat sinar fajar menyibak kegelapan yang menyergap alam semalaman. Wajah Wak Ramlan yang bercerita semakin menegang. Amak bersandar lesu di dekat dinding kayu. Dua tetes bening sudah acap kali ia tepis dengan kerudung putihnya. Akupun hanya mampu membisu sambil memeluk kedua lutut. Mengatur napas yang tidak lagi stabil.

Tak lama seorang pria kurus berlari dengan tubuh kotor. la berdiri di depan pintu. Ia bungkukkan tubuh sambil memegangi kedua lututnya. Ia mengatakan bahwa jasad abah tidak ditemukan tepat dimana ia jatuh. Kemungkinan terbesar yang terjadi, tubuh abah telah diterkam binatang buas, dan diseret entah kemana. Suasana dingin itu berubah erangan panjang dari amak. Begitu menyayat.

Amak pingsan selama dua hari. Namun satu hal yang tidak bisa kulupakan, kejadian itu tepat disaat usiaku menginjak 17 tahun. Sebuah kado terburuk yang

72