Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/75

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Padang ke Kota Solok. Saat itu, Harris sudah duduk di kelas IV SD, sedangkan perang belum berhenti. Pada tahun 1961 barulah perang berhenti dan masa kanak-kanak yang indah dilalui Harris di Kota Solok, sebuah kota kecil yang damai.


Masa-masa di Solok benar-benar dilakoni Harris sebagai anak laki-laki remaja Minangkabau pada umumnya. Tidak ada kamar di rumah untuk anak laki-laki. Rumah bagi anak laki-laki hanya untuk ganti pakaian dan makan, selebihnya dilakukan di luar. Tidur di surau bersama teman-teman sebaya, mandi di sungai lebar yang membelah kampung dengan batu-batu dan airnya yang jernih, bahkan pekerjaan rumah diselesaikan di surau sehabis salat isa. Di sungai di atas batu-batu besar adalah tempat yang terfavorit bagi anak laki-laki di kampung untuk berkumpul, terutama menjelang mandi sore. Harris hampir selali hadir sebagai tukang kaba, tukang cerita.


Cerita yang paling diminati teman-teman Harris adalah cerita berbau seks bercampur humor. Ada-ada saja ide Harris untuk membelokkan cerita-cerita rakyat yang sudah menjadi milik masyarakat, seperti cerita Si Malanca yang mirip dengan tokoh cerita rakyat Jawa Barat Si Kabayan. Di mana ada gerombolan pemuda tanggung di kampung itu, di sanalah ada Harris. Di tengah-tengah mereka, bahkan orang dewasa pun suka menguping ceritanya. Oleh sebab itu, nama panggilan Harris di kampung bermacam-macam, sesuau dengan tokoh cerita yang berkesan oleh audiensnya. Ada tiga panggilan nama Harris yang populer di kampung, yaitu Si Malanca, 'Ngku Haji, Inyak (kakek). Ketiga nama itu adalah nama tokoh cerita lisan Harris yang selalu berganti episode, alias cerita berseri. Ide cerita timbul begitu saja ketika ia sudah memulai. Harris merasa tersanjung apabila teman-teman terkekeh-kekeh kegirangan karena lucu atau bersorak apabila terpancing cerita sensual.


Semasa kecil, Harris telah mengenal berbagai macam bacaan yang dikoleksi ayahnya. Ayahnya seorang pembaca, tiada hari tanpa membaca, begitulah yang ia saksikan setiap hari di waktu ia kecil. Dahulu ayahnya seorang mubalig. Setiap Jumat ia memberi khutbah Jumat dan pada hari-hari tertentu ia memberi wirid agama di masjid-masjid di sekitar kota, bahkan di se-Kabupaten Solok. Kebiasaan ayahnya mengekspresikan kemampuan berbicara di depan umum itu dibarengi olrh kebiasaannya membaca. Malah, dalam keadaan sulit pun ayahnya selalu berlangganan koran, baik koran yang diterbitkan di Padang ataupun mejalah Gema Islam yang terbit di Jakarta.

63