Ny. Suleiman. Temuan-temuan ini sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat bahwa daerah "Upper Jambi" dan Kerinci memang kaya akan flakes dan microlith-microlith obsidian (lih. Von Heine Geldern dalam science and Scientists..... hal. 131 beserta A. Tobler, J. Zwierzychi).
Kira-kira pk. 10 kami menyeberang dan satu jam kemudian kami tiba di Pamenang, di mana kami menemui Pasirah untuk memberitahukan maksud kami ke Karang Brahi besok pagi dan minta disediakan perahu.
Pk. 12.15 kami tiba di Sarolangun (80 km. dari Bangko). Kami menuju ke kantor Kawedanan, tetapi Wedananya tidak ada. Maka kami lalu mencari tambahan tenaga di sebuah warung nasi.
Pk. 13.20 kami melanjutkan perjalanan. Jarak 56 km ke Mandiangin kami tempuh dalam waktu satu jam lebih. Kendaraan kami tinggalkan di suatu tempat dan kami menyeberang dengan tiga sampan ke Mandiangin, di mana kami tiba hampir pk. 3 siang. Di rumah Pasirah kami dijamu sekedarnya, dan diberi cerita bahwa rakyat Mandiangin adalah keturunan orang-orang Sriwijaya yang mengundurkan diri kepedalaman setelah kerajaannya runtuh. Memang suatu keganjilan ialah bahwa, sebagaimana diperlihatkan dan diterangkan kepada kami, tulisan mereka adalah tulisan rencong yang mirip sekali kepada tulisan rencong daerah Palembang Ulu. Tulisan ini masih dijunjung tinggi. Pun tari-tarian kuno yang masih dipelihara di situ berasal dari Sriwijaya.
Di rumah Pasirah kami tidak lama. Segera kami menuju ke rumah mentua Pak Patih Laman, di mana pusaka-pusaka dengan khidmat di keluarkan. Triculanya tidak memberi bahan penting, sedangkan buku kunonya yang bertulisan rencong kami tak dapat membacanya (orang Mandiangin sendiri hanya dapat mengenal sebagian dari huruf- hurufnya). Adapun kepingan-kepingan logamnya ternyata terbuat dari perak, jumlahnya 7 buah, hal mana tidak cocok dengan kepercayaan orang bahwa jumlahnya semula ada 9,sedangkan yang satu telah hilang. Pinggiran kepingan-kepingan itu menunjukkan tanda-tanda patah. Sampai lama sekali sambil mandi keringat karena panas (jadi tidak mandi angin) kami meneliti dan mencoba baca kepingan-kepingan logam itu. Akhirnya dapat kami tentukan, bahwa aslinya ialah 1 keping piagam yang bertulisan huruf Jawa lama. Piagam ini disimpan baik-baik dan dilipat menjadi delapan. Lama kelamaan patah menurutkan lipatan-lipatan itu. Huruf-hurufnya di sana-sini kurang jelas dan tulisannya kurang rapih, sehingga untuk kami yang belum biasa akan huruf-huruf itu, sukar sekali dibaca. Dengan susah payah dapat kami baca, bahwa kepingan perak itu adalah "Layang piyagem" dari Sultan Ratu. Berbagai perkataan seperti: candu, maling, hutang-piutang, dan sebagainya, memberi kesan bahwa piagam itu mengenai soal keprajaan. Waktu tak mengizinkan untuk mencoba membaca seluruhnya, sedangkan memotret tidak ada kepastian akan jadi dan membuat "rubbing" tak mungkin karena huruf-hurufnya sangat dangkal, maka kami bekerja keras untuk menurun tulisannya seluruhnya.
Pk. 5.40 kami minta diri, diantarkan orang banyak sampai ke tepi sungai, di mana kami menyeberang untuk kemudian pulang ke Bangko. Di Pauh hujan turun lebat sekali dan di beberapa tempat jalanan sedikit terendam air sehingga berlumpur. Tetapi hal ini tidak menjadi rintangan.
19