tajam terhadap arus umum yang menyatakan bahwa puisi adalah pantulan riwayat penyairnya. Bagi saya kini, Chairil adalah kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus; pada suatu ketika kita harus “membunuh” si penyair, karena riwayat penyair hanya memiskinkan tindak pemaknaan kita. Memelihara mitos tentang si binatang jalang hanya menjerumuskan sastra kita ke dalam nostalgia dan kelisanan. Melalui Chairil, puisi kita kini telah bercabang ke sejumlah arah, di mana si aku atau si ia dalam puisi bukan lagi sosok penyair; atau, melalui puisi, penyair hendak membunuh dirinya yang sehari-hari, supaya bahasa leluasa menampilkan keajaibannya. Seperti Chairil, setiap penyair mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi sastra yang ada sebelum ia: ia tak menghamburkan keseorangannya, tapi menjalinkan diri dengan para pendahulu yang diciptakannya dari tanah airnya sendiri maupun aneka belahan bumi. Dengan tradisi yang dikembangkannya, puisi Chairil Anwar adalah puisi hari ini kapan saja kita membacanya.
Jakarta, akhir Maret 2011
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]
xxv