Halaman:Aku Ini Binatang Jalang.pdf/21

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

di Pelabuhan Kecil” dan “Derai-derai Cemara”. Model yang dibangkitkan Chairil bagi para penyair setelahnya pernah saya lukiskan sebagai berikut:

 ...Chairil Anwar memelihara hubungan antara kalimat-kalimat sumbang—ya, sumbang, jika diukur dengan cara prosa—dengan bentuk persajakan yang tertib, yaitu kuatrin. Seakan-akan bentuk yang sudah mantap dalam sejarah perpuisian dunia itulah—jangan lupa, Chairil juga menggunakan bentuk sonet—fragmen-fragmen kehidupan modern memunculkan diri kembali, kali ini secara lebih ajaib. Karena kata-kata memang belum selesai memancarkan keajaibannya, yaitu bahwa arti mereka yang dikandung oleh kamus barulah setahap kemungkinan arti belaka, dan ini hanya dimungkinkan jika si kata duduk dalam frase yang mengambang, bahkan seakan mengelak dari frase-frase sebelum dan sesudahnya. Namun sekali lagi, frase-frase ini tak bisa terlalu berlepasan, bagaimanapun mereka harus diikat oleh bentuk persajakan yang teratur, dengan rima yang terjaga. Atau, jika dikatakan dengan cara lain: bentuk-bentuk teratur-konvensional yang dipakai Chairil memang tidak pernah genap, selalu mengandung selisih: memang ada rima, tetapi larik-lariknya seakan mengerut di satu bagian dan merentang di bagian lain. Dan selalu ada derau di sana, yang mengganggu keindahan, ya, paling tidak mengusik tata bunyi dan tata rupa yang dicita-citakan kaum pujangga, keindahan yang mengandung “rasa yang dalam” dan “budi yang tinggi”. Derau itu muncul dalam wujud, misalnya, gabungan kata yang tak wajar, sepotong ide yang muncul tiba-tiba, atau kalimat yang berakhir sebelum waktunya. Kadang-kadang, bila kalimat-kalimat Chairil tampak lebih teratur, dan larik-lariknya terasa lebih genap... maka ternyatalah betapa licin sajak itu mengadopsi, sekaligus menyelewengkan, bentuk persajakan tradisional, yaitu pantun...dan betapa “isi”-nya yang semu-falsafi hanya topeng belaka bagi bentuknya.[1]

 Penyair menghadapi tradisi yang ada di belakangnya; dan jika tradisi itu terlalu besar dan membebani, maka ia memilih sejumlah



  1. Esai saya, “Titik Tengah”, berbicara tentang sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, termasuk hubungannya dengan puisi Chairil Anwar dan avantgardisme Indonesia. Termuat dalam bungarampai Membaca Sapardi, susunan dan Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (Jakarta: Pustaka Obor & HISKI, 2010).

xxii