Tak diketahui Tenggang bahwa ada sebuah perahu besar sedang berlabuh jauh di tengah laut. Beberapa perahu kecil-kecil diturunkan dari perahu besar itu dan berkayuh menuju ke tepi. Setiap perahu berisi beberapa orang laki-laki. Tenggang baru sadar ketika beberapa perahu itu sudah mengepungnya. Ia mencoba berkayuh sekuat-kuatnya akan melarikan diri. Tetapi terlambat sudah!
Beberapa buah perahu itu sudah mengepungnya dari segenap penjuru. Dengan sebuah galah berkait perahu lading si Tenggang diseretnya ke sebuah perahu itu. Tenggang gemetar ketakutan. Dalam perahu itu dilihatnya beberapa orang laki-laki. Mereka pakai cambang dan wajahnya seram seram. Dalam setiap perahu kelihatan beberapa buah guci besar.
’’Jangan takut, Bung!” seru seorang dari antaranya. ’’Perahu kami kehabisan air minum. Dapatkah engkau menunjukkan kepada kami mata air di pantai sana?”
Tenggang mengerti maksudnya. Tetapi ia masih ketakutan. ”Tak usah khawatir,” kata orang itu lagi. ’’Kami bukan perampok lanun. Kami hanya kehabisan air minum. Tolonglah tunjukkan tempat mengambil air minum kepada kami!”
Tenggang memang tahu benar sumber air minum di tempat itu. Dekat kampungnya ada sebuah mata air yang jemih aimya. Dari sanalah penduduk kampung mengambil air minum.
’’Kalau Tuan berjanji tidak akan membunuh saya, akan saya tunjukkan kepada Tuan sebuah perigi yang amat jernih aimya,” jawab Tenggang yang sudah mulai hilang ketakutannya.
”Tidak sahabat, ... kami tidak akan membunuh,” jawab seseorang. ’’Kalau begitu marilah!”
Anak perahu melepaskan kaitannya dan Tenggang berkayuh menuju ke pantai diiringkan oleh perahu-perahu itu. Banyak sekali orang dalam perahu itu. Semuanya membawa tempayan yang besar-besar.
Dari jauh terdengar suara azmat dalam kampung si Tenggang. Bunyi-bunyian yang dipalu dengan hiruk pikuk. Seisi kampung sedang berpesta pora. Karena anak Batin Hitam sedang menjadi
10