Semua Hwee sio mendekap hidungnja, dan ada beberapa jang lari kedalam untuk lapor pada Tiangloo.
Kali ini Tiangloo itu amat marah, ia bertindak keluar dan menjaksikan apa jang telah terdjadi, dengan bergemetar Tiangloo itu berkata ;
Lo Tie Djim, kali ini tidak ada ampun lagi untukmu. Dahulu kau kuterima karena aku bersabat baik dengan Tio Wan Gwan, kini aku akan mengundang Tio Wan Gwan untuk menjelesaikan hal ini. Siauw Hian panggil Tio Wan Gwan lekas! Dan hajo kalian ambil air siram bersih semua kotoran ini !
Lo Tie Djim mendengar suara Tiangloo itu masih mengenal siapa dia, ia menerangkan dan bermohon :
„Suhu teetju minta belas kasihan mu, djangan usir saja. . . .
aku tak ada tempat untuk tinggal. . . . . beri saja waktu“
Sedang Lo Tie Djim dan para Hwee sio itu sibuk tak karuan, datanglah Tio Wan Gwan.
Tiangloo dengan menggelah napas berkata :
„Telah kutjoba untuk mendidik Lo Tie Djim, tetapi tidak berdaja dia memang bukan djodohku. Wan Gwan biarlah Tie Djim pindah dari kuil Buntju ini, sebab perbuatannja talah membuat para teetju tidak senang hati.“
Tio Wan Gwan dengan sedih menjahut ; „Baik, baik, aku sebenarnja ingin menolong, tetapi ditempatku banjak sekali dikundjungi oleh alat² pemerintah, sehingga tidak berani untuk ia tinggal dirumahku. Suhu, apa jang dirusakkan biarlah aku jang mengganti, nanti aku beli kaju dan panggil tukang untuk memperbaikinja. Dan tolonglah supaja Tie Djim bisa ada tempat untuk bersembunji dengan aman,“
Tiangloo itu berpikir sedjenak, kemudian berkata dengan sungguh²;
58