kesukaran jang kami derita, sehingga jang berada dirumah hanjalah anakku perempuan Tjhiang Hiang ini. Hari itu anakkulah jang menemui The Wan Gwee.
Menurut tjerita anakku hari itu The Wangwe tidak marah² seperti hari² biasa kalau ia menagih, ia bersikap lunak dan banjak senjum, tetapi Tjiangkun senjumnja adalah senjum iblis !“
Lo Tie Djim menggeram; „Hem,. . . . . . Teruskan ! aku akan mendengarkan sampai djelas, bila kutahu akan perbuatan The Wan Gwee jang se-wenang² terhadap rakjat miskin, hem aku Lo Tie Djim bila tidak dapat menjingkirkannja dari muka bumi, aku tidak mau hidup lebih lama lagi.“
Orang tua itu dengan sengit dan bernafsu melandjutkan kisahnja, „Ja, Tjiangkun jang mulia, bedebah itu telah meraju anak gadisku ini, ia akan melunaskan hutangnja, bila sadja aku merelakan anakku ini untuk didjadikan istri mudanja. . . . . .. akan tetapi bila kami menolak, antjamnja kami pasti akan mengalami hal jang mengerikan..
Oleh hal inilah anakku menangis terus, . . . . .kami tidak berdaja, dan hanja tangis sadjalah untuk melonggarkan sesak napas dan mentjurahkan rasa kekesalan hati. . . .. .“ Orang tua itu dengan lesu lalu meneteskan air mata tuanja.
Lo Tie Djim dengan kepalnja menghantam medja sekuat tenaga, suara brak jang sangat keras disusul dengan petjahnja piring mangkok jang riuh, membuat semua pengundJung restoran itu terperandjat semua.
Lo Tie Djim berdiri dan berkata dengan njaring:
„Lo Djin Kee hari ini aku Lo Tie Djim akan membereskan persoalan jang tidak adil ini, dimana rumah The Wan Gwee itu ?
Orang tua itu dengan tubuh bergemeter menundjuk
28