Hak milik merupakan induk hak keperdataan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Hakekat hak milik sebagai lembaga yang paling tua, eksistensi kewenangan yang empunya hak milik, bak sebuah balon karet mainan anak yang bulat dan utuh, sehingga keberadaannya nyaris sempurna tanpa ada cekungan. Tetapi sesuai harkatnya yang sering disebut sebagai induk dari hak-hak yang lain, maka ada saatnya kewenangan berbentuk bulat itu pada sebagian sisinya menjadi cekung akibat perbuatan hukum yang dilakukan. oleh yang empunya hak milik, demi kepentingan pihak Di atas cekungan itulah sebenarnya hinggap sebuah hak yang dipunyai oleh pihak lain dan mengakibatkan pemilik tak lagi bebas melakukan perbuatan hukum terhadap benda kepunyaannya. Cekungan tempat mengeramnya sesuatu hak yang dipunyai pihak lain, menjadikan keleluasaan wewenang sebagai pemangku hak milik untuk menikmati ataupun melakukan perbuatan hukum menjadi terkurangi karenanya. Umumnya cekungan yang mengakibatkan bundaran kewenangan pemangku hak milik tak lagi utuh, ada durasi pembatasnya yang dibuat atas dasar sepakat. Kalau batas waktu yang disepakati usai, hak yang mengeram pada cekungan berakhir, maka kewenangan yang melekat pada hak milik menjadi bulat seutuhnya lagi dan pemilik mendapatkan kebebasannya kembali untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sesuai kehendaknya.

Bersumber pada suatu hak milik, dalam hal ini menyangkut benda tidak bergerak misalnya, sesuai sistem BW, dari rahimnya bisa saja lahir hak guna bangunan setelah ada perjanjian kebendaan antara yang empunya hak milik dengan pihak kedua, semisal disepakati dengan durasi duapuluh (20) tahun. Meskipun sudah lahir hak guna bangunan, hak milik pihak yang empunya benda tidak menjadi tergusur dan masih tetap ada. Hanya saja dalam durasi duapuluh (20) tahun yang bersangkutan tidak dapat menikmati tanah tersebut untuk melakukan perbuatan hukum membangun sesuatu di atas tanah yang bersangkutan. Gatra inilah yang dipaparkan di atas, bahwa kewenangan yang empunya hak milik atas tanah tersebut tak lagi bulat dan utuh, tetapi di atasnya ada cekungan akibat ditindih oleh hak guna bangunan pihak lain.

Setelah duapuluh (20) tahun lewat dimana hak guna bangunan berakhir, berarti tak ada lagi cekungan, kewenangan yang melekat pada hak milik kembali menemukan bentuk asalnya yakni bulat dan utuh.

Hak milik dan hak guna bangunan yang terlahir seperti dipaparkan di atas, dan kedua-duanya tergolong sebagai hak kebendaan, masing-masing pemangku hak kebendaan tersebut mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa sertifikat yang diterbitkan oleh penguasa. Pihak pertama yang empunya hak milik atas tanah, memegang sertifikat hak milik, demikian juga yang empunya hak guna bangunan juga mengantongi sertifikat hak guna bangunan atas namanya. Jadi di atas lahan yang sama ada dua macam hak kebendaan dengan pemilik yang berlainan dengan memegang masing-masing sertifikat tanda bukti kepemilikan. Bahkan kalau pengandaian ini dilanjutkan, dapat saja yang empunya hak guna bangunan karena butuh dana untuk mendirikan rumah toko (ruko) lalu pinjam kepada bank dengan menyodorkan hak guna bangunan kepunyaannya sebagai agunan. Kalau pihak bank menyetujui, sesuai proses yang harus dilaksanakan, maka bank selaku kreditor akan mempunyai hak kebendaan di atas tanah tersebut berupa hak hipotek (sekarang hak tanggungan), dengan memegang tanda bukti kepemilikan hak jaminan yang pada masa lalu berupa grosse akta hipotek yang kemudian berkembang menjadi sertifikat hipotek, dan terakhir kali sekarang berujud sertifikat hak tanggungan. Uraian tersebut memberikan ilustrasi bahwa di atas benda tanah yang sama, sesuai contoh, ada tiga (3) macam hak kebendaan yang berbeda dengan masing-masing tanda bukti kepemilikannya sendiri-sendiri berupa sertifikat yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang. Ketiga jenis hak yang dipunyai oleh pihak-pihak berbeda, pada dasarnya memiliki persamaan yakni bahwa semua itu tergolong sebagai hak kebendaan. Namun meski ada kesamaan sebagai hak kebendaan, masing-masing hak tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda pula.

Sangat dimungkinkan bahwa seorang pemangku hak milik atas suatu benda, bila seandainya suatu saat butuh uang tunai, sebenarnya kebutuhan itu dapat ditutup dengan mudah lewat cara menjual benda miliknya yang bersangkutan. Tetapi umumnya saran ini bagi pemilik benda dirasakan tidak nyaman, mengingat benda miliknya itu masih sangat dibutuhkan untuk menopang hidupnya, sehingga sangat keberatan kalau sampai kehilangan hak milik atas benda itu akibat dijual, hanya demi mendapatkan uang tunai yang sekarang dibutuhkan. Sesuai keinginannya, kalau bisa uang tunai yang diharapakan terpenuhi tanpa kehilangan hak milik atas benda-benda yang dipunyainya. Untuk mengatasi keinginan tersebut, hukum menawarkan alternatif lain, yakni dapat memperoleh uang tunai yang dibutuhkan tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda yang dipunyainya, yakni lewat cara meminjam dana kepada pihak lain, misalnya lembaga perbankan. Namun umumnya pihak bank baru bersedia memberikan pinjaman, kalau pihak yang butuh dana tersebut mau menyerahkan salah satu benda miliknya untuk dijadikan agunan. Bila ini disetujui oleh yang bersangkutan, maka benda yang disodorkan selaku agunan, hak milik benda tersebut masih tetap ada pada dirinya, sedang uang tunai yang diinginkan terealisasi setelah pihak bank selaku kreditor mengucurkan dana pinjaman.

Berarti debitor memperoleh uang tunai sesuai keinginannya tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda yang sekarang diikat sebagai agunan. Inilah salah satu keunggulan hak milik atas suatu benda yang ternyata dapat didayagunakan untuk mendapatkan dana pinjaman tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda kepunyaannya. Selama benda diikat sebagai agunan bank, debitor tidak kehilangan hak milik atas benda tersebut. Dari pola ini pula lalu muncul adagium dalam hukum, bahwa yang wenang menjaminkan sebuah benda adalah pemilik. "Usually, the debtor will also be the owner of the collateral. Hal senada juga dikemukakan oleh Henry J. Bailey III dan Richard B. Hagedorn dalam salah satu bukunya dengan pernyataan: "Debtor means the person who owes payment or other performance of the obligation secured, whether or not he owns or has rights in the collateral,...""Seseorang yang berposisi sebagai debitor, bisa mendapatkan pinjaman dana dari bank dengan menyerahkan salah satu benda kepunyaannya sebagai agunan tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda yang bersangkutan. Inilah salah satu keuntungan mempunyai hak milik atas suatu benda, terbukti dapat untuk memenuhi kebutuhan uang tunai tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda kepunyaannya. Berarti ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ciri hak milik.

Tidak sebatas pada paparan di atas keunggulan hak milik sebagai induk dari hak kebendaan lainnya, tetapi dapat pula hak milik itu melahirkan hak-hak lain yang berasal dari ranah Buku III BW akibat dibuatnya sebuah kontrak oleh yang empunya hak milik benda dengan pihak kedua. Misalnya yang empunya hak milik berdasarkan perjanjian sewa dengan pihak kedua, maka dari rahim hubungan hukum tersebut lahirlah hak sewa tanpa menggusur keberadaan hak milik. Di atas benda yang sama akhirnya melekat dua jenis hak keperdataan, yaitu berupa hak milik yang dipangku pihak yang empunya benda, dan hak sewa yang dipunyai oleh pihak yang menyewa. Kedua jenis hak tersebut, hak milik dan hak sewa, memang mempunyai kadar yang berlainan, dimana hak milik tergolong sebagai hak kebendaan sedang hak sewa tergolong selaku hak pribadi atau hak perorangan. Meski hak sewa hanya tergolong sebagai hak pribadi, sesuai karakter yang disematkan oleh pembentuk undang-undang ternyata juga cukup tangguh, semisal saat benda sewa itu dijual oleh pemiliknya kepada pihak ketiga, penyewa tetap diberi perlindungan hukum seperti yang tertera dalam Pasal 1576 BW yang intinya menegaskan bahwa jual beli tidak menggugurkan sewa. Kehadiran Pasal 1576 BW ini merupakan upaya pemerintah untuk menghindari terjadinya kedholiman yang sangat potensial dapat dilakukan oleh pemilik benda yang beritikad buruk. Pada sisi lain Pasal 1576 BW menunjukkan adanya peningkatan karakter khusus dari sebuah hak pribadi, dimana hak itu tak hanya bersifat relatif semata, tetapi mulai punya sifat mutlak karena dapat ditegakkan terhadap siapapun dan tak sebatas pada rekan sekontrak saja. Intinya hak sewa itu tidak hanya dapat ditujukan pada rekan sekontrak yaitu pihak yang menyewakan saja, tetapi juga dapat ditodongkan pada pihak pembeli benda sewa yang merupakan pihak ketiga, dan pemegang sewa dimenangkan. Tambahan lagi, dari perumpamaan tersebut saat pembeli yang sudah memangku hak milik sebagai hak kebendaan, dalam sengketa dikalahkan berdasar Pasal 1576 BW, berarti hak sewa selaku hak pribadi tetap berdiri tegak saat dibentur hak milik yang berposisi sebagai hak kebendaan. Kendati hak sewa sekedar hak pribadi ternyata akibat hadirnya Pasal 1576 BW menjadi menguat dan kokoh, karena tidak roboh waktu dilabrak oleh hak milik yang merupakan hak kebendaan.

Tidak berhenti pada titik itu saja pembentuk undang- undang memberikan perlindungan hukum kepada pihak penyewa, sebab hak sewa yang muncul dari kontrak dan hanya melahirkan hak pribadi, namun sedikit diberi kelebihan keunggulan oleh penguasa berupa senjata yang tertera pada Pasal 1556 BW yang bernarasi bahwa penyewa dapat menegakkan hak sewanya kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang sifatnya mengurangi kenikmatan sewa. Betapa pedulinya pihak penguasa itu kepada penyewa, sehingga hak pribadi berupa hak sewa yang dimiliki, diberi suntikan daya agar bisa mengahadapi sendiri pihak-pihak lain yang melakukan setiap perbuatan yang sifatnya mengganggu kenikmatan sewa.

Jadi kalau ada hak sewa yang lahir dari rahim hak milik, terbukti pembentuk undang-undang memberikan beberapa keistimewaan sebagai kepedulian penguasa dalam rangka memberikan perlindungan hukum eksternal, agar penyewa tidak dijadikan bulan-bulanan baik dari pemilik benda ataupun pihak ketiga yang tidak beritikad baik. Inilah suatu kelebihan lain dari sosok hak milik sebagai suatu jenis hak kebendaan yang mengandung ketangguhan yang kokoh.

Berdasar seluruh paparan di atas memberikan bukti bahwasanya hak milik itu merupakan suatu jenis hak kebendaan yang secara berkelanjutan memungkinkan lahirnya berbagai macam hak keperdataan lain, baik yang berujud hak kebendaan maupun hak pribadi, tanpa menggusur eksistensi hak milik. Rentetan panjang fakta-fakta hukum yang berinduk pada hak milik memang bisa beraneka ragam, sehingga tidak menjadi mustahil bila untuk memberi definisi benda pada Pasal 499 BW, penguasa bertolak dari titik hak yang paling istimewa yakni hak milik dan bukan jenis hak-hak lainnya.