Gerimis Bulan Penuh
I.
Langit bening bulan kuning
Jernih air mata udarapun bening
Kulontar langkah di atas jalan berbengkah-bengkah
Sekedar pelipu lara, trlalu kalut di rumah
Seperti tak bertujuan, aku bersiul tak kupikiri
Apakah ada yang mendengar: karena lemah sekali
Dan lagunyapun tak dapat-dapat menyesuaikan diri
II.
Jalan yang kulalui terlalulah panjang
Karena itu aku surut ke belakang
Malampun dingan
Dada kudakap dengantangan bersilang
Adakah orang tahu, bahwa di jalan ini
Ada seorang yang berputar-putar
Lalu menuju jalan kembali
Membawa pulang rusuhnya sendiri
III.
(Kubuka pintu akupun masuk)
Terdengarlah ia
Aba tidur terompet jauh menjerit
Di malam-malam begini, hanyalah ia
Melerai hati dan damai
IV.
Di manakah itu, hatiku bertanya
Entahpun di mana, tapi pastilah ia
Di asrama polisi atau tentara
(Terdengar lonceng sepuluh kali
Di beberapa tempat sahutannya berdapat-dapat)
V.
Ia yang menjerit mati
Jadilah tenang damai seperti tadi
Sobeklah malam tiada cacat
Apapun yang terjadi di pagi, tak akan kuingat
VI.
Aku lupa mengapa pisau ini terletak di atas meja
Tercerai pula dari sarungnya
(Seolah akan dipergunakan)
Kupikir seorang ibu biasa memakainya di dapur
Seorang anak akan mempermainkannya lalu lukalah ia
Seorang putus asa akan membenamkannya
Ke dasar jantungnya
Alangkah banyaknya kegunaan sebuah benda
Buat apa ia oleh penemunya
Seperti pisau ini
Kutenyang ketajaman matanya
Dengan kelembutan mataku
VII.
(Angin malam mengantar gerimis)
Janganlah mengetuk-ngetuk juga
Tolakkan saja -
Masih tersedia tempat bagimu
Janganlah menjenguk-jenguk juga
Kalaupun begini duniaku
Tapi disini ada sebilah belati!
VIII.
(Di jauhan angin menderu)
Janganlah mengembara-ngembara juga
Memanglah memerhangat pelukan pengantin baru
Tapi betapa menggigil yang tidur tidak berbaju
IX.
Janganlah mengetuk-ngetuk juga
Menjenguk ke dalam asingnya duniaku
Kalaulah karena belati ini
Biarlah ia kusarungkan kembali!
X.
Betapa tarikan dunia
Olehnya kuhampiri jendela
Dari jendela malam kutinjau
Semoga lengah hati yang risau
Gerimis membasah daun menengadah
Berlinang atasnya bulan purnma
XI.
Ada orang jalan sendirian
Di malama-malam sangsai, di hujan-hujan renyai
Membenam dendam di kalbu kelabu
Walau di wajah tulus setuju
(Terhadap soal yang tak tersesalkan selalu
Karena ada yang sudah mendahulu)
Bulan yang duka. Ia duka. Akupun duka
Dan duka memang beserba
Betapun pusang, betapa nyaman
Ia jalan sendirian
XII.
Ke balai aku telungkup, seluruh lamunan kututup
Dan dari jiwa yang kutekan pecah teriakan:
Ya Rasul, ya Tuhan!
XIII
Keluh kesah terbawa diri yang rebah
Bagai angin malam di luar masih gelisah
Dan ini jiwa dari tubuh yang resah
Kalut kemelut tak menemu arah
XIV.
Tiada lagi terdengar langkah
Tinggal jejak di tanah basah.....
1958.