Gerakan Wanita di Dunia/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
5. TUMBUH SEBAGAI KAJU-ARAS

Dalam sebuah rapat-komisi U.N. di Beirut, guna menetapkan status kaum wanita, dr Sieu-ling Zung, seorang utusan Tiongkok telah berkata: "Ketika radja Salomo mengambil kaju-aras di Libanon untuk mendirikan tjandi-sakti di Jeruzalem, mungkin sekali tidak terpikir olehnja bahwa ia sanggup mengerdjakan ini, karena berabad-abad jang lalu sekumpulan manusia dengan bersusah-pajah telah menanam kaju-aras itu. Kaum wanita telah berabad-abad diperlakukan sebagai warga-negara deradjat kedua dan kalau kita akan menjangka, bahwa segala kekurangan wanita pada hari ini akan berachir besok, tentu ini tak masuk pada akal kita. Akan tetapi sebagaimana pohon aras itu, kaum wanita pertjaja, bahwa, biarpun bertahun-tahun lamanja, sekali akan tumbuh djuga pohon aras jang bagus, jang dinanti-nantikan mereka. Sebab itu saja tidak berani mengatakan, bahwa kita telah mentjapai barang-sesuatu, kalau kita telah menerima sebuah statut tentang hak kaum wanita. Jang penting sekarang ialah mejakinkan semua wanita, supaja mereka semuanja sendiri berdjuang untuk mentjapai persamaan hak dan tidak menjerahkan perdjuangan ini pada orang lain. Dengan djalan demikian mereka akan mentjapai persamaan-hak jang sedjati."

Membatja perkataan utusan negeri Tiongkok jang penuh kiasan itu, njatalah pada kita, bahwa dinegeri Tiongkok masih ada perbedaan antara deradjat kaum wanita menurut undang-undang dan deradjat kaum wanita dalam praktek. Dalam Republik Tiongkok, menurut undang-undang, kaum wanita mempunjai hak sama dengan laki-laki; tetapi dalam praktek masih banjak perbedaanja.

Siapa jang pernah membatja buku-buku Pearl Buck tentu tahu, bagaimana wanita Tiongkok menghormati suami dan anak laki-laki. Bila ia sendiri telah melahirkan anak laki-laki, ia akan dihormati orang; kalau tidak demikian, ia tidak akan masuk hitungan. Akan tetapi ibu-wanita jang dihormati itupun, dalam kebanjakan hal, harus bekerdja keras dan iapun harus menjesuaikan dirinja dengan kehendak suaminja. Dari buku-buku jang dikarang oleh pengarang wanita Amerika ini njata djuga, bagaimana kaum wanita muda, djuga jang diam didesa, giat berusaha, supaja mendjadi "teman" bagi suami mereka. Mereka mau bersama-sama bersusah pajah dengan suaminja, akan tetapi mereka tidak mau diperlakukan sebagai kuda-pedati sadja. Mereka hendak diperlakukan sederadjat dan sama dengan suami mereka.

Penduduk desa Tiongkok jang tidak tahu membatja atau menulis, sampai sekarang masih amat banjak, sekalipun James Yen telah mentjapai hasil jang bagus dengan tjaranja, supaja semua orang jang telah beladjar menulis dan membatja dari dia, meneruskan pengetahuannja itu kepada orang lain.

Kemadjuan industri di Tiongkok menjebabkan semakin lama semakin banjak wanita bekerdja di paberik. Kira-kira tahun 1930 — tjatatan-tjatatan tahun kemudian belum terdapat — 58,7% dari buruh paberik terdiri dari kaum wanita; pada pemintalan benang sutera di Wusih bekerdja 90% kaum wanita; dalam industri kain-kain di Tientsin bekerdja hanja seorang wanita bersama dengan tiap-tiap 4 orang laki-laki. Pada waktu kemudian ini di Shanghai misalnja diadakan peraturan supaja bagi wanita Tiongkok jang bersuami diberi kesempatan, bekerdja di paberik hanja sebahagian dari satu hari.

Bagaimana keadaan dalam tahun 1949, tiada seorang jang tahu. Hanja dapat dikatakan, bahwa peperangansaudara, jang mengikuti peperangan melawan Djepang, amat membawa kesengsaraan, sehingga hampir tiap-tiap wanita Tiongkok – wanita buruh paberik, wanita buruh tani, isteri orang kaja atau orang berpangkat dan wanita jang terpeladjar – setjara bagaimana djuga harus membantu mentjari nafkah untuk keluarganja.

Suatu kedjadian waktu peperangan-saudara tersebut diatas menggambarkan kedudukan wanita dinegeri Tiongkok. Kedjadian ini berlangsung disekitar kota Peking, ketika kota tersebut masih mendjadi ibu kota Tiongkok nasionalis. Njonja Lo, seorang wanita Tiongkok jang ketjil dan gemuk badannja dan berumur enam puluh tahun, isteri dari seorang professor, sendiri mentjeritakan kedjadian itu demikian:

"Pada suatu hari, waktu kaum komunis mengepung kota Peking dan teleh menembaki kota Tientsin tak dapat lagi saja menahan hati saja. Peking tidak boleh mendjadi medan pertempuran; kota ini harus dilindungi. Memperoleh persetudjuan komandan Militer kota itu amat sukar tapi kesudahannja diterimanja baik usul untuk mengirimkan utusan keluar kota ke markas-besar kaum komunis dengan bebas.

Kami harus menunggu sampai tentara kedua belah pihak mengetahui benar maksud ini. Hari mulai gelap, mendjadi tengah malam. Barulah kami dapat berangkat dari rumah. Halaman rumah kami, djalan-djalan besar dan ketjil disekitarnja penuh manusia .... ratus-ratus manusia.

Semuanja rakjatku, rakjat jang menjebut aku ibu. sebab selang beberapa tahun semendjak Djepang masuk, akulah jang memelihara orang miskin, orang-orang buta dan tuli. Untuk orang-orang jang malang ini telah saja dirikan dekat rumah kami, beberapa sekolah dan tempat-tempat bekerdja. Sekarang mereka semuanja datang hendak mengutjapkan selamat djalan pada saja, waktu akan berangkat kemarkas musuh. Kami sampai didaerah kaum komunis; mereka mengerti benar, bahwa utusan kaum nasionalis datang pada mereka, akan tetapi apakah maksudnja ada seorang wanita jang ikut? Seorang wanita, jang bukan komunis dan jang bukan anggauta Kwomintang (partai Tsjang Kai Sjek)! Siapa jang saja wakili? "Saja ialah nenek kota Peking, saja ibu dari segala rakjat jang hina dina, dan saja tidak mempunjai perhatian terhadap kekuasaan muiter atau terhadap sesuatu pemerintah, hanja saja hendak melindungi kota Peking dengan penduduknja dari penderitaan kelaparan dan pertempuran. Bila tuan anak dari rakjat ini dan berdjuang untuk rakjat ini, hendaklah tuan membantu saja melindungi rakjat jang sengsara ini." Komandan komunis itu terperandjat sebentar mendengarkan perkataan perempuan tua itu; ia teringat akan ibunja; tetapi maksud kami tertjapai. Dengan segara dikirimnja surat-kawat, supaja ketiga laskar jang mengepung kota Peking menghentikan antjamannja. Penjerahan kota akan dilangsungkan dengan perundingan. Inipun terdjadilah. Dan dengan ini saja telah mendjalankan kewadjiban saja. Pemerintah kota jang baru itu berusaha, supaja dengan segera dibawa makan kedalam kota, supaja penerangan dan saluran air diperbaiki kembali dan segala kotoran jang bertumpuk-tumpuk didalam kota selekas mungkin dibuang. Ketika saja menghadap komandan kota jang baru dan bermohon padanja dengan sangat, supaja segala majat-majat selekas mungkin dikuburkan dalam-dalam diluar kota, sebelum musim panas mulai, ia berkata dengan kurang sabar: "Itu perkara ketjil." Tetapi waktu saja katakan:" Perkara ketjil, kalau penjakit pes dan kolera bertjabul didalam kota?", maka dengan segara diperintahkannja menguburkan majat-majat itu."

Tjerita ini menggambarkan seorang wanita Tiongkok jang sempurna. Ia masih menjimpan adat jang mendjundjung tinggi kedudukan kaum ibu, akan tetapi ia menjesuaikan dirinja dengan tjara hidup moderen, jang mengehendaki bertindak dengan tjepat dan tepat.

Sebelum terdjadi peperangan-saudara dinegeri Tiongkok, perkumpulan- perkumpulan wanita amat giat bekerdja, lebih-lebih diluar kota, dimana mereka mendirikan kursus-kursus untuk mengadjar kaum wanita membatja dan menulis; djuga dipeladjari bagaimana mereka harus memelihara anak baji. Mereka memberi petundjuk terhadap segala keadaan jang buruk. Kerap kali pekerdjaan mereka pada usaha pertanian melampaui batas beratnja. Keadaan serupa inilah misalnja jang mereka tjoba hilangkan. Kaum wanita itupun berusaha memberantas penghisapan-tjandu. Mereka membantu keluarga orang-orang jang menghisap tjandu dan berichtiar, supaja jang menghisap tjandu tidak djadi hamba nafsunja lagi.

Baru-baru ini seorang diplomat Tiongkok mengaku: "Dengan tidak melebih-lebihi, boleh kita katakan, bahwa kaum wanita Tionghoa telah membaharui kehidupan tanah-air mereka dalam segala lapangan."

Sebagai djuga dimana-mana di Timur, kedudukan wanita di Djepang amat lama ditentukan oleh kekuasaan sistim-keluarga. Wanita hanja merupakan sebahagian dari keluarga jang besar itu dengan tidak mempunjai kekuasaan apa-apa dan sebagai perseorangan ia tak berarti sama sekali. Lama-kelamaan keadaan ini dinegeri Djepang pun berubah. Ditanah Djepang pun orang mulai insjaf, bahwa tiap-tiap manusia, djadi tiap-tiap wanita, berhak diperlakukan sebagai perseorangan. Akan tetapi, lebih-lebih dalam lapangan ekonomi, kekuasaan keluarga itu sampai pada penghabisan perang dunia kedua amat beratnja. Dalam tahun 1930 ada 19 juta kaum laki-laki dan 10 juta kaum wanita jang bekerdja guna mendapat nafkahnja. Bilangan pekerdja-wanita itu, kalau dibandingkan dengan negeri-negeri lain, masuk jang terbesar dalam dunia. Dari jang sepuluh juta itu lebih dari enam juta bekerdja sebagai tani, terlebih pada perusahaan memelihara ulat sutera. Menggulung sutera semata-mata dikerdjakan oleh kaum wanita. Dan ada lagi tiga juta wanita jang bekerdja di-paberik dan dikantor-kantor.

Kehidupan gadis-gadis jang bekerdja dipaberik amat menjedihkan. Dipusat-pusat perindustrian sendiri tak mungkin lagi mendapat anak perempuan untuk bekerdja; mereka harus dibudjuk-budjuk dari desa-desa, dari keluarga tani jang masih tjukup punja tenaga-pekerdja. Untuk maksud itu selaskar dari 30.000 orang perempuan dan laki-laki terus-menerus bepergian keluar kota mentjari anak-anak perempuan jang suka bekerdja. Mereka menjuruh anak-anak perempuan itu menanda-tangani sebuah kontrak (perdjandjian) untuk setahun atau dua tahun; sesudah itu anak-anak itu dibawa ketempat mereka masing-masing akan bekerdja. Mereka tidak sadja bekerdja sepuluh atau sebelas djam sehari dipaberik, tetapi merekapun makan dan tidur dipaberik itu. Tak sedjampun siang-malam jang dapat mereka pergunakan untuk keperluan sendiri. Terus menerus mereka didjaga oleh seorang pengawas paberik. Setelah kontrak berachir kebanjakan diantara mereka pulang kerumahnja kembali, kerap kali sakit dan telah rusak untuk selama hidupnja.

Diantara mereka banjak tidak pulang lagi, karena meninggal dipaberik. Tetapi oleh karena budjukan dan djandji-djandji jang menarik-hati dari pembudjuk-pembudjuk itu, masih ada sadja wanita jang mau bekerdja dipaberik-paberik dan bagi jang empunja paberik buruh-wanita amat murah, sehingga mereka dengan segala senang hati membajar ongkos pembudjukpembudjuk itu. Upah buruh-wanita dalam tahun 1936 tidak sampai sepertiga dari upah buruh laki-laki. Lama-kelamaan keadaan ini bertambah baik sedikit; sekalipun tiap-tiap tahun masih ada sepertiga wanita dan anak-anak perempuan meninggalkan paberik dan tidak kembali lagi, tetapi pembudjuk-pembudjuk terus sadja berkeliling mentjari gantinja.

Berubahnja pengertian bangsa Djepang tentang kedudukan kaum wanita ialah karena pengaruh kebudajaan Barat dan lebih-lebih karena pengaruh "Zending" dan "Missie". "Zending" dan "Missie" mengadjarkan pada kaum wanita, bahwa berbuat djasa pada suami itu benar suatu pernjataan tjinta jang amat mulia, akan tetapi berbuat djasa ini tidak usah berarti dan djanganlah sampai mendjadi memperhambakan diri pada kemauan suami atau mertua-perempuan. Segala-galanja hendaklah berlaku dengan sukarela. Kaum wanita Djepang memperoleh kemerdekaan mereka bukanlah dengan tiada berdjuang. Orang mentjeriterakan, bagaimana seorang gadis turunan bangsa Samurai pada permulaan abad ini pergi mentjari pekerdjaan dikota supaja dapat membantu orang-tuanja jang serba kekurangan. Ia menganggap ini sebagai suatu kewadjiban. Tetapi pada saat itu djuga kaum-keluarga tunangannja menganggap perlu pula memutuskan pertunangan anak mereka dengan gadis itu, sebab seorang wanita jang sampai sedemikian rasa kemerdekaannja tidak akan mendjadi isteri jang baik bagi anak mereka.

Masa sekarang dinegeri Djepang sudah berjuta-juta kaum wanita jang tidak sadja sebagai buruh-paberik atau buruh tani mentjari nafkahnja; sekarang sudah ada tabib-perempuan, guru-perempuan, hakim dsb. Wanita-wanita ini telah membebaskan dirinja dari ikatan-keluarga dan telah mendjadi "teman-hidup" bagi suami mereka.

Tentulah keadaan serupa itu belum lagi terdapat dimana-mana; keluarga jang kaja-kaja masih mempertahankan adat-kebiasaan memperhamba kaum wanita. Didesa-desa pun pengertian baru itu sedikit demi sedikit masuknja. Sungguhpun demikian sudah ada djuga jang tertjapai, misalnja tentang undang-undang perkawinan. Dalam tahun 1939 ditetapkan, bahwa seorang laki-laki jang mentjeraikan isterinja, wadjib terus memelihara isterinja jang lama dan anak-anaknja.

Dinegeri Djepang semasa sebelum perang perkumpulan-perkumpulan wanita, seperti dinegeri Djerman semasa Hitler, dipergunakan untuk propaganda politik-sukaperang. Anggota-anggota perkumpulan kaum ibu itu, semuanja berpakaian sama (uniform) dan organisasi-organisasi disusun setjara militer. Tiap-tiap tjabangnja – tjabang-tjabang ini terdapat ditiap-tiap kota dan desa jang agak berarti – harus membangunkan perhatian rakjat terhadap pekerdjaan angkatan laut dan darat. Tjalon-tjalon militer jang akan berangkat diantarkan dengan musik dan bekas peradjurit jang pulang disambut dengan upatjara selamat-datang.

Waktu Djepang menjerah-kalah dengan sendirinja segala organisasi-wanita jang militaristis itu hilang. Bagaimana tjorak kehidupan-persatuan wanita di Djepang-Baru, belum dapat dikatakan. Sesudah perang kaum wanita Djepang memperoleh hak-pilih dan mereka mengutuskan 39 orang wanita keparlemen jang beranggauta 466 orang.