Gerakan Wanita di Dunia/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
3. MULANJA DI AMERIKA

Penduduk Amerika-Utara jang pertama-tama ialah orang-orang jang keras hati. Mereka telah memberanikandiri meninggalkan benua Eropah, karena dianiaja dan dikedjar-kedjar dalam menganut agama mereka; mereka memulai penghidupan baru dekat muara sungai Hudson. Pun orang-orang jang datang kemudian, lelaki maupun perempuan, bukanlah orang-orang, jang lemah kemauannja. Untuk pergi djauh dari jang dinamakan waktu itu „dunia jang beradab", haruslah orang mempunjai kekerasan hati.

Maklumlah kita, bahwa orang-orang ini lambat-laun memberontak menentang keadaan, bahwa mereka diperlakukan oleh Inggeris sebagai penduduk negeri djadjahan. Tanggal 4 Juli 1776 penduduk Amerika memproklamirkan kemerdekaannja. Waktu itu mereka menjatakan dengan tegas, bahwa semua manusia ditjiptakan Tuhan sama, dan Tuhan telah memberi mereka hak-hak jang kekal, antaranja hak hidup, hak kemerdekaan dan hak mentjari kebahagiaan didunia.

Sebelum mereka dapat memahamkan isi pengakuan itu, bangsa Amerika harus lebih dahulu memperdjuangkan kemerdekaannja, karena Inggeris tak mau melepaskan tanah djadjahannja begitu sadja. Setelah lima tahun kemudian mendapat kemenangan, baru mereka dapat memikirkan arti proklamasi kemerdekaan itu.

Semua manusia ditjiptakan Tuhan sama. Ini berarti, bahwa segala manusia itu sekali-kali tidak boleh dibeda-bedakan, meskipun warna kulitnja bermatjam-matjam. Selandjutnja perempuan dan lelaki pun tidak boleh dibeda-bedakan. Oleh sebab itulah, maka pada permulaannja perdjuangan untuk menghapuskan perbudakan bangsa Negro

19

dan pergerakan untuk membebaskan kaum wanita, sedjadjar djalannja. Dalam pergerakan untuk menghilangkan perbudakan bangsa Negro ini, kaum wanita mengambil bahagian jang penting.

Sampai pada waktu itu kedudukan kaum wanita di Amerika hampir dalam segala hal sama sadja dengan kedudukan kaum wanita di Eropah. Bedanja hanjalah: dinegeri baru itu kaum wanita boleh dikatakan sedikit djumlahnja, sehingga mereka lebih dihargai dari kaum wanita dibenua Eropah. Menurut undang-undang, perempuan takluk pada suaminja. Akan tetapi dalam kehidupan orang orang kolonis di Amerika itu, mereka lebih memperhatikan praktek kehidupan dari pada memikirkan undang-undang. Dan dalam praktek kehidupan, perempuan ialah tenaga bekerdja jang berharga dan dibutuhkan. Dan dibawah pemerintah kolonial, hak laki-laki jang berdasarkan undang-undang sesungguhnja tidak seberapa!

Sesudah perang kemerdekaan datanglah perubahan. Laki-laki dan perempuan telah mendjadi warga-negara betul-betul, sedangkan keadaan perekonomian berubah pula.

Industri semakin berkembang dan karena itu kaum wanita semakin merasa, bahwa mereka dibawah perintah kaum laki-laki.

Akan tetapi.... menurut undang-undang semua warga-negara sama kedudukannja. Sebab itu kaum wanita memperlihatkan, bahwa mereka mengerti undang-undang itu. Pada tahun 1776 isteri seorang anggota Congress (parlemen sementara) menulis pada suaminja demikian: „Kami telah sepakat bahwa apabila hal kami tidak didjaga betul-betul, kami akan memulai suatu pemberontakan. Kami akan menganggap diri kami tidak terikat pada undang-undang apapun, bilamana kami tidak ikut menjusunnja."

Surat ini amat djaja bunjinja, akan tetapi tidak diperhatikan orang. Undang-undang dasar Amerika Serikat jang disahkan pada tahun 1789 membolehkan segala daerah-daerah bagiannja menjusun undang-undang pilihnja masing-masing. Hanja daerah New Jersey sadja jang memberi hak kepada kaum wanita untuk memilih. Tetapi pada tahun 1807 hak ini ditjabut kembali oleh daerah itu, karena menurut beberapa pemimpin politik, kaum wanita tidak memberi suara pada tjalon-tjalon jang „semestinja".

Demikianlah kembali lagi keadaan jang lama: kaum wanita tidak mempunjai hak-suara, merekapun tidak mempunjai hak-hak kewargaan-negara. Bagi wanita jang bersuami berlaku azas jang menetapkan, bahwa suami dan isteri satu adanja: ini berarti ada laki-laki tetapi isteri tidak masuk hitungan. Segala hak milik sang isteri dengan sendirinja mendjadi milik suaminja, kalau tidak dengan djelas dalam surat kawin ditambah perdjandjian jang menjimpang dari peraturan jang biasa. Menurut undang-undang, seorang wanita jang bersuami tak dapat berbuat apa-apa terhadap anak-anaknja. Ia tidak boleh bertindak sedikitpun, dengan tidak seizin suaminja. Suami itu biasanja memberi isterinja hak hanja „untuk memerintah segala orang budjangnja dan mendjaga segala barang-barang jang termasuk perkakas dapur, dan rumah tangga dan jang termasuk kekuasaan njonja-rumah". Wanita jang belum bersuami djuga sedikit benar hak kewargaan-negaranja.

Akan tetapi wanita jang sama sekali tidak mempunjai hak apa-apa sanggup mendjalankan kerdja lain: berichtiar membantu sesama manusia, sebagai senantiasa mereka lakukan. Dan orang-orang jang amat membutuhkan bantuan ini, ialah kaum budak. Jang berpikiran serupa itu bukanlah kaum wanita sadja, kaum laki-laki pun banjak. Banjak perkumpulan-perkumpulan untuk memberantas perbudakan didirikan orang.

Mula-mulanja, kira-kira tahun 1830, dari segala pihak timbul protes, ketika dalam rapat-rapat propaganda kaum wanita hendak bitjara bersama-sama dengan kaum laki-laki. Ini amat bertentangan dengan segala sifat kewanitaan, kata orang. Dalam hal ini kaum wanita harus mentjapai kemenangan dan mereka kerap kali terpaksa berkeras hati, agar dapat menagak tjelaan umum. Tetapi kaum wanita bertindak terus dan lama-kelamaan unum memandang biasa, kalau seorang wanita bitjara dimuka urnurn. Pada tahun 1840 dikota London diadakan permusjawaratan sedunia untuk menentang perbudakan. Kekonperensi tersebut penduduk Amerika djuga mengutuskan beberapa kaum wanita, diantaranja Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton. Njonja Stanton pernah membuktikan, bahwa ia seorang jang penuh perasaan kemerdekaan; kepertjajaan agama Kristen jang kolot, jang mendjadi didikannja dahulu, dibuangnja dan tidak dengan seizin ajahnja, ia telah nikah dengan seorang jang amat giat bekerdja untuk menghapuskan perbudakan, jaitu Henry Stanton. Pergi kebenua Eropah, mengarungi samudra jang berbahaja, bagi Njonja Stanton tidaklah suatu pengalaman jang berarti kalau dibandingkan dengan taufan jang harus ditentangnja, waktu ia menentang kemauan ajahnja. Akan tetapi di London ia mengalami suatu hal jang amat melukai perasaannja. Wakil-wakil resmi Inggeris amat terperandjat ketika melihat, bahwa Amerika mengutuskan kaum wanita kekonperensi tersebut. Bermusjawarat dengan mereka tentu tak mungkin! Perdebatan sungguh hebat, akan tetapi kesudahannja Njonja Mott dan Njonja Stanton dibolehkan duduk dipanggung-tamu, dibelakang sekali dan tidak diizinkan mengambil tempat bersama-sama dengan utusan-utusan lain. Tentu pulalah mereka tidak boleh mentjampuri pembitjaraan konperensi. Pada waktu itu kedua wanita jang amat merasa dihinakan itu berdjandji, akan mengadakan permusjawaratan kelak bila mereka kembali ke Amerika. Sekali ini bukan untuk memerdekaan kaum Negro, tetapi dengan maksud memerdekakan kaum wanita!

Delapan tahun kemudian barulah konperensi dapat diadakan. Disini kita lihat satu faktor jang senantiasa berpengaruh atas segala usaha kaum wanita. Njonja Stanton amat sibuk dengan urusan rumah tangga, berhubung dengan berkembang-biaknja keluarganja sehingga tak berkesempatan bekerdja diluar rumah. Dan Njonja Mott pun, karena kesibukan rumah tangga serta bekerdja guna pemberantasan perbudakan jang tak mau ia lepaskan, tak ada kesempatan untuk mengerdjakan sesuatu pekerdjaan lain.

Pada tahun 1848 berlangsunglah konperensi itu. Kaum wanita Amerika diundang mengundjungi konperensi jang akan diadakan di Seneca Falls. Dalam konperensi ini akan dibitjarakan „keadaan-keadaan sosial, segala hal jang mengenai kerakjatan dan agama dan djuga hak-hak kaum wanita."

Elizabeth Stanton insjaf benar, bahwa persiapan untuk mengadakan konperensi itu haruslah sesempurna-sempurnanja dan bahwa harus ada beberapa resolusi jang didjadikan dasar pembitjaraan dalam konperensi. Bermingguminggu ia berusaha menjusun resolusi itu. Suaminja, seorang ahli hukum, jang berpendirian modern pula, membantu isterinja. Ia mengerti, bahwa isterinja akan menemui banjak pertentangan dari kaum kolot. Akan tetapi resolusi jang kesembilan baginja pun melampaui batas! Dalam resolusi itu Njonja Stanton ingin menetapkan, „bahwa wadjib bagi seluruh kaum wanita berusaha untuk mentjapai hak-pilih". Lucretia Mott menganggap resolusi itu sebagai keberanian jang mungkin membahajakan. „Betty", katanja, „kalau kamu teruskan resolusi itu, tentu segala pembitjaraan nanti akan gagal. Hendaklah kamu berhati-hati." Akan tetapi Elizabeth berkeras kepala dan meneruskan resolusi itu.

Pada tanggal 19 Juli tahun 1848 James Mott membuka rapat itu, jang dikundjungi oleh banjak wanita dan laki-laki. Tuan Mottlah jang harus memimpin rapat itu, sebab sedangkan Njonja Stanton sendiri mengakui, bahwa tak mungkin sebuah rapat bertjampur itu dapat dipimpin oleh seorang perempuan! (Tepat satu abad kemudian Njonja Roosevelt akan berturut-turut memimpin rapat U.N. jang sukar-sukar, dalam rapat mana hebat dibitjarakan rentjana tentang hak-hak manusia). Sesudah rapat dibuka Njonja Stanton memberi suatu pendjelasan atas „pernjataan perasaan" dan „keterangan azas", jang berisi 18 buah tjelaan dalam undang-undang terhadap kaum wanita, jang menanda-tangani proklamasi kemerdekaan. Kebanjakan fasal diterima oleh rapat; hanja resolusi jang kesembilan itu menimbulkan perdebatan jang hebat. Kesudahannja resolusi itu diterima djuga dengan kelebihan suara sedikit sadja. Resolusi inilah jang telah mendjadi satu tjap bagi pergerakan wanita di Amerika, begitupun ditanah Inggeris. Barang siapa menjebut „pergerakan wanita", ia akan menjebut „perdjuangan untuk mentjapai hak-pilih" dan kerap kali orang lupa, bahwa masih banjak lagi soal-soal jang mengenai nasib kaum wanita.

Semendjak itu pergerakan kaum wanita di Amerika dan di Inggeris terbatas hanja sampai pada perdjuangan untuk merebut hak-pilih. Kaum wanita menjangka, bahwa hak-pilih ini satu obat jang akan menjembuhkan segala penjakit masjarakat. Pergerakan menuntut hak-pilih berdjalan dengan pesat; tiap tahun diadakan konperensi nasional; ditiap tempat banjak diadakan rapat.

Demikianlah terus-menerus sampai tahun 1861. Waktu itu petjah perang saudara, jang akan mendjadi tingkatan jang terachir dari perdjuangan menentang perbudakan. Kaum wanita bekerdja keras. Mereka merawat orang jang luka-luka dan menduduki tempat-tempat jang terpaksa ditinggalkan oleh kaum laki-laki. Dan sebagaimana biasa, dalam waktu-waktu kesukaran, kaum politici mendjandjikan, bahwa kelak kaum wanita akan diperlakukan dengan „adil". Akan tetapi sesudah kemenangan dalam peperangan saudara tertjapai, maka pada kaum wanita jang dinamai „suffragettes" itu diberi-tahukan: „Inilah saat untuk bangsa Negro, saat untuk kaum wanita kelak akan tiba!"

Kaum wanita memang amat tahan. Banjak orang, bila kerap kali mengalami keketjewaan demikian, akan putus asa. Tidaklah demikian halnja dengan kaum wanita. Mereka berdjuang terus dengan kekerasan hati.

Tapi mereka harus bertahan sampai penghabisan perang jang kemudian datang, jakni perang-dunia jang pertama, dari tahun 1914 sampai tahun 1918. Waktu itu kaum wanita amat berdjasa dalam segala lapangan dan ketika itu Pemerintah tidak dapat lebih lama menolak hak-kewargaan-negara bagi mereka. Pada tanggal 26 Agustus 1920 undang-undang-dasar negara ditambah dengan sebuah fasal, jakni: „Amerika Serikat ataupun sebuah diantara negara-negara-bahagiannja tidak akan menolak atau mengurangi hak seorang warganegara untuk memilih, atas dasar djenis-kelaminnja."

Sementara itu persamaan deradjat kaum wanita dalam masjarakat dengan kaum laki-laki di Amerika Serikat sudah lama suatu kenjataan, seperti djuga dilain-lain negeri. Sekarang bukan sadja wanita jang telah bersuami, akan tetapi wanita jang tidak bersuamipun mempunjai hak-warganegara sepenuhnja. Mereka boleh mendjadi wali anak-anaknja, mereka boleh membuat perdjandjian, mereka boleh mendjabat segala pangkat pegawai Negeri dan mereka boleh diangkat mendjadi apa sadja!

Kira-kira seabad jang lalu di Amerika boleh dikatakan tidak ada kesempatan bagi anak perempuan untuk dididik. Sekarang dianggap orang biasa sadja, kalau seorang anak perempuan, seperti anak laki-laki beladjar. Untuk mentjapai keadaan ini kaum wanita harus djuga berdjuang. Mula-mula kaum laki-laki amat berkeberatan untuk menerima kaum wanita mengikuti peladjaran untuk mendjadi tabib, sebab mereka tentvakan berpengaruh buruk atas mahasiswa lain-lain. Demikianlah didirikan orang beberapa sekolah tabib tinggi jang istimewa untuk kaum wanita sadja. Pula didirikan rumah sakit istimewa tempat tabib-tabib wanita mendjalankan praktek serta menambah pengalaman mereka. Keadaan ini tidaklah lama. Kebanjakan sekolah-sekolah tinggi lekas mengalami, bahwa bukan sadja anak laki-laki, tetapi anak perempuanpun dapat beladjar berazas ilmu pengetahuan sedjati dan dalam hal ini mereka keduaduanja bekerdja tidak dipengaruhi oleh kewanitaannja.

Djuga dalam lapangan produksi kaum wanita mengambil tempat. Mula-mula karena orang-orang jang empunja pabrik dapat memberi upah jang lebih rendah pada pekerdja wanita dari pada pekerdja laki-laki. Kemudian karena mereka amat dibutuhkan. Keadaan kaum buruh waktu itu amat buruk, karena waktu kerdja jang amat pandjang dan upah jang serendah-rendahnja! Oleh karena pergerakan kaum sekerdja, maka keadaan ini makin lama bertambah baik. Akan tetapi dalam tahun 1930 upah buruh jang bekerdja pada delapan tjabang industri jang terpenting, jang banjak memakai tenaga buruh wanita (tekstil, konfeksi, sepatu, menatu dst.) djauh lebih rendah dari upah buruh laki-laki. Dan sekarangpun kaum wanita Amerika masih terus berdjuang untuk mentjapai „upah jang sama untuk pekerdjaan jang sama," sekalipun boleh dikatakan, bahwa banjak buruh dinegeri lain jang akan merasa bahagia, bila menerima upah sebanjak upah buruh wanita Amerika, dan bila boleh bekerdja menurut peraturan jang berlaku atas buruh wanita Amerika!

Dalam tahun 1880, 12% dari kaum wanita Amerika bekerdja menerima upah diluar rumah; waktu perangdunia pertama lebih dari 17%. Tetapi sesudah itu bilangan itu turun kembali, kerena kebanjakan kaum wanita rindu kembali akan rumah-tangganja dan bekerdja dipaberik. Pada masa perang-dunia jang kedua angka itu naik lagi sampai mendekati 24% dan sekarang, sesudah Djerman dan Djepang menjerah, bilangan itu tetap. Dalam bulan Desember 1948 banjaknja kaum wanita jang bekerdja diluar keluarganja di Amerika Serikat 17.816.000.

Ini berarti, bahwa masih lebih banjak wanita jang hanja tinggal di rumah (meskipun boleh djadi mereka sekali-sekali membantu suaminja diluar rumah-tangga) daripada kaum wanita jang mempunjai pekerdjaan diluar keluarganja. Njonja Smith misalnja jang tinggal disebuah kota ketjil di Amerika, memulai kewadjibannja sehari-hari dengan menjediakan makan-pagi untuk suaminja dan anak-anaknja. Sesudah itu diantarkannja anaknja kesekolah dan suaminja ketempat pekerdjaanja. Segala ini dapat dilakukannja, karena sehari-hariannja ia dapat memakai mobil. Mungkin sesampai dirumah, ia harus merawat anak bajinja, harus membersihkan kamar-kamar dan dapur. Ia pergi berbelandja kekota dan djam satu ia makan sendiri, sebab suami tinggal terus ditempat pekerdjaannja dan anak-anaknja tak pulang tengah hari. Lepas tengah hari ia menisik kaos atau ia melantjong dengan bajinja. Tetapi sekurang-kurangnja sekali seminggu ia pergi ke „club" (perkumpulan), sebab tidak seorang wanita Amerika jang tidak mendjadi anggota salah sebuah perkumpulan-wanita! Pemerintah amat menjegani persatuan-persatuan wanita ini dan kerap kali pemerintah membutuhkan nasehat misalnja dari Perserikatan Wanita Desa dan „club" kaum wanita tersebut diatas. Pada masa ini, bila pemerintah di Amerika, hendak memetjahkan sebuah soal kemasjarakatan, jang penting, selalu lebih dahulu mendengar pendapat perserikatan-perserikatan kaum wanita. Persatuan-persatuan wanita setempat-setempat membitjarakan soal itu dalam beberapa pertemuan. Laporan mereka kirimkan kepada Pimpinan Umum. Pimpinan ini, sesudah menjelidiki segala laporan tadi, membuat sebuah usul jang mereka hadapkan pada Pemerintah.

Bila Pemerintah mengeluarkan undang-undang baru, tahulah Njonja Smith, bahwa sebelum undang-undang baru itu disahkan, pendapatnja sudah djuga dipertimbangkan. Sekalipun ini bukan berarti, bahwa hukum itu tepat disusun menurut kehendaknja, sebab mungkin pendapatnja itu berlainan dengan pendapat kebanjakan kaum wanita.

Bila terbukti, bahwa Njonja Smith mempunjai ketjerdasan luar biasa, tentu ia akan terpilih mendjadi anggota Madjelis Kota atau anggota Congress. Mungkin djuga ia akan beroleh suatu djabatan dalam sebuah komisi U.N., seperti njonja Roosevelt.

Oleh karena Njonja Roosevelt mendjadi tjontoh jang djelas, bahwa wanita Amerika sanggup mentjapai kedudukan jang begitu tinggi, maka bab ini akan kami tutup dengan sedjarah ringkas kehidupan wanita ini, jang bukan sadja isteri seorang jang termasjhur.

Eleanor Roosevelt — inilah nama ketjilnja — ialah seorang anak perempuan jang pemalu, jang tak tahu, bagaimana ia akan menghadapkan sikapnja. Karena orang tuanja kaja, maka Eleanor mendapat didikan jang baik. Mengikut keramaian anak-anak perempuan lam ia tidak berani. Tetapi, waktu berumur empat belas tahun dan ada di Inggeris, ia telah berani menentang Inggeris, jang mentjoba menaklukkan bangsa Afrika dengan kekerasan! Waktu ia berumur 19 tahun ia kawin dengan saudara kedua pupunja, Franklin. Berturut-turut ia beroleh enam orang anak, sehingga Njonja Roosevelt beberapa tahun lamanja harus menjelenggarakan keluarganja. Tetapi sesudah itu dimulainja kembali pekerdjaan sosialnja. Ia mendjadi anggota dari sebuah koperasi, mendirikan sebuah paberik perkakas rumah, jang diusahakan guna memahirkan pertukangan asli, ia memberi peladjaran sedjarah dan kesusasteraan dan ia ikut serta dalam pawai pemogokan, keadaan mana menggemparkan kenalan-kenalannja, karena mereka berpendapat, bahwa seorang wanita kaja, seperti Njonja Roosevelt, tidak patut berbuat demikian! Kemudian, ketika suaminja ditimpa penjakit lumpuh-kanak-kanak dan tidak dapat bergerak dengan leluasa lagi, diperluasnja minatnja: ia mempeladjari perumahan-rakjat dan banjak tegurannja tentang hal ini; soal-soal mengenai kaum desa dan perburuhan diselidiki; pergerakan pemuda ditundjangnja, seberapa dapat.

Ketika Franklin Roosevelt diangkat mendjadi Presiden, orang menjangka, bahwa Njonja Roosevelt sekarang hanja akan mendjadi Njonja penerima-tamu sadja di Gedung Putih itu dan setinggi-tingginja hanja akan membantu badan-amal. Akan tetapi hal ini tidaklah mendjadi perhatiannja. Dengan ini ia mendjadi tjontoh bagi semua kaum wanita modern di Amerika! Kewadjibannja sebagai „first lady" (wanita terutama) akan didjalankannja terus dengan ketabahan hati, sedangkan pekerdjaannja sehari-hari pun terus dikerdjakannja. Selama dua belas tahun suaminja mendjabat pangkat Presiden, kerap kali ia memberi tahukan dengan terus-terang, bahwa beberapa peraturan pemerintah suaminja tidak betul.

Tidak berapa lama sebelum perang-dunia kedua berachir, Roosevelt meninggal; kematiannja menjebabkan Njonja Roosevelt terhenti sebentar dalam melangsungkan kewadjibannja, sebagaimana terputusnja pekerdjaan tiaptiap orang jang kehilangan seorang jang dikasihinja. Akan tetapi sesudah itu ia mulai bekerdja lagi. Boleh djadi Presiden Truman bermaksud menghormati marhum Presiden Roosevelt, waktu ia mengangkat djandanja mendjadi anggota delegasi kerapat umum U.N. jang pertama, akan tetapi sebaliknja Njonja Roosevelt tidak akan terpilih mendjadi Ketua dari Komisi jang penting, jaitu Komisi untuk hak-hak manusia, kalau ia bukan seorang jang besar!

Pada hakekatnja Njonja Roosevelt masih tetap „the first lady" dari Amerika Serikat. Tidak semua orang dapat mengikut djedjaknja, sebagaimana djuga tidak setiap orang laki-laki dapat mengikut djedjak Franklin Roosevelt, akan tetapi sikap hidupnja boleh mendjadi sikap hidup setjara ketjil-ketjil bagi tiap-tiap wanita.