Lompat ke isi

GERPOLEK/Syarat Perang yang Tetap

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
GERPOLEK  (1948)  oleh Tan Malaka
Syarat Perang yang Tetap

Sudah dijelaskan pada Bab VI tadi, bahwa empat anasir, ialah:

  1. kebumian.
  2. teknik persenjataan.
  3. banyaknya prajurit serta.
  4. soal tempo

sangat mempengaruhi dan malah bisa merubah-merombak siasat perang, yakni siasat membela dan siasat menyerang. Demikianlah dengan berubah bertukarnya ke-empat anasir itu dari zaman biadab ke zaman Julius Caesar, dari zaman Julius Caesar itu ke zaman Napoleon dan dari zaman Napoleon ke masa perang dunia ke-I dan ke-II, maka berubah bertukarlah pula siasat membela dan menyerang itu. Seperti sudah diuraikan lebih dahulu, maka perubahan keempat anasir itu pada perang Dunia pertama mengakibatkan perang Gerak-Cepat (Mobile warfare) TERPAKU kepada perang STELLING (Trench Warfare). Tetapi ada yang tinggal tetap ditengah-tengah perubahan besar-kecil selama ribuan tahun itu: yakni TETAP menurut pengertian kita manusia biasa! YANG TETAP itu ialah beberapa syarat untuk memperoleh kemenangan.

 Syarat Perang YANG TETAP selama ribuan tahun itu, yang  terutama sekali diantaranya, ialah:
  1. KETINGGIAN NILAINYA SIASAT-MENYERANG.
  2. PENYERANGAN SEBAGAI PUKULAN BAGI KEMENANGAN TERAKHIR.
  3. SELUK-BELUK PEMBELAAN DAN PENYERANGAN.
  4. CARA MEMUSATKAN TENTARA.
  5. CARA MENENTUKAN PUSAT YANG BAIK ITU.
  6. MEMPERBEDAKAN SIASAT PERANG DENGAN POLITIK.
  7. TEKAD MAU MENANG.

Sekedang keterangan bagi satu persatunya 7 syarat tersebut:

1. KETINGGIAN NILAINYA SIASAT MENYERANG.

Seperti sudah dijelaskan di atas, maka tidak saja menurut Siasat-Menyerang, tetapi juga menurut Siasat-Pembelaan, penyerangan itu harus dilakukan sampai kemenangan itu tercapai. Alasan yang tepat buat sikap menyerang itu, ialah:

1. Si-penyerang itu berada dalam gerakan jasmani ataupun rohani. Keadaan ini memberi kepuasan kepada watak yang aktif, yang suka beritndak, seperti seharusnya watak seseorang prajurit. Sebaliknya Si-Pembela berada dalam keadaan berhenti, menunggu, dalam keadaan pasif. Berhenti menunggu lebih mengganggu urat syarat dari pada bergerak berbuat. Apabila pula buat seorang prajurit yang berwatak bertindak, maka berhenti menunggu itu adalah satu siksaan hidup.

2. Si-penyerang tahu lebih dahulu dimana tempat yang akan diserangnya. Apabila kalau para penyelidik sudah memastikan lebih dahulu, bahwa tempat yang akan diserang itu adalah tempat barisan musuh, yang lalai-lemah, maka Si-penyerang tak akan mengenal lelah atau takut. Yang dalam pikiran dan perhatiannya cuma kemenangan yang sempurna dan yang harus diperoleh dengan cepat. Sebaliknya Si-pembela, yang berhenti menunggu di-belakang parit tiada tahu dari penjuru mana musuh itu akan datang, bila musuh itu akan datang. Beberapa banyaknya musuh yang akan datang itu dan apakah pula senjatanya musuh itu. Semuanya itu mendebar-debarkan jantung dan melemahkan urat syarat mereka, yang tiada berwatak sabar-tenang.

2. PENYERANGAN SEBAGAI PUKULAN BAGI KEMENANGAN TERAKHIR

Maksud yang penghabisan dari semua peperangan ialah memperoleh kemenangan terakhir. Dalam perang yang bersifat GERAK CEPAT, maka kemenangan terakhir itu bisa langsung diperoleh dengan memecah-belah mengepung menawan atau memusnahkan musuh. Dalam perang yang bersifat maju-mundur-pun musuh belum lagi akan pulang kembali ke negerinya atau menyerah kalah sebelum merasakan pukulan yang hebat dari pihak si-pembela. Seperti sudah disebutkan di atas, maka pembelaan itu harus dilaksanakan dengan penyerangan. Jadi bagaimanapun juga siasat yang dilakukan, maka penyerangan jugalah yang akan memberi-putusan terakhir kepada sembarang macam peperangan itu.

3. SELUK BELUK PEMBELAAN DAN PENYERANGAN.

    1. Jika musuh mempertahankan diri dengan kekuatan yang besar, maka haruslah si-penyerang mempersiapkan tentara yang seimbang besarnya.
    2. Apabila musuh mengadakan pertahanan yang barlapis-lapis yang semakin ke belakang semakin kuat barisannya maka haruslah si-penyerang mengadakan serangan dengan tentara berlapis-lapis pula. Dasar bagi beberapa lapisan penyerang itu ialah lapisan yang paling belakang menyerang haruslah yang paling kuat pula. Dengan begitu maka serangan yang menghadapi lapisan pertahanan musuh yang kian dalam kian kuat itu bisa dilakukan dengan beberapa lapisan pasukan yang kuat pula. Penyerang bisa berlaku cepat demi cepat pula sehingga musuh terperajat, kacau-balau dan akhirnya menyerah atau binasa.
    3. Persiapan musuh yang dilaporkan oleh barisan patroli tak bolah dibiarkan begitu saja. Persiapan itu harus dikacau-balaukan dengan penyerangan terus-menerus. Dengan demikian maka persiapan musuh itu tak bisa kuat selesai.

4. CARA MEMUSATKAN TENTARA.

Pemusatan itu dilakukan dengan terpisah dan bergelombangan. Kita masih ingat bagaimana tentara Jepang menyerbu Indonesia pada tahun 1942. Penyerbuan itu dilakukan oleh 3 pasukan yang berpisahan:

    1. Pasukan yang berangkat dari Jepang melalui Malaya, terus ke Sumatera;
    2. Pasukan yang langsung dari Jepang menuju pulau Jawa
    3. Pasukan yang berangkat dari Jepang melalui Kalimantan dan menuju Sunda kecil dll.

Tiap-tiap pasukan itu maju berlapis-lapis dan bergelombangan. Pasukan (2) yang ditujukan ke pulau Jawa itu dipecah pula menjadi beberapa barisan, yang mendarat di empat tempat di pulau Jawa. Tiap-tiap barisan itu dipecah pula menjadi beberapa lapisan yang maju bergelombangan.

5. CARA MENENTUKAN PUSAT YANG BAIK ITU.

Pusat yang baik buat dituju, ialah sesuatu GELANG dalam rantai pertahan musuh. GELANG ITU harus dipecahkan. Dengan pecahnya gelang itu, maka terpotonglah rantai pertahanan musuh itu. Ahli siasat Jepang menganggap Bandung-lah salah satu gelang yang penting buat pertahanan pulau Jawa ini. Berhubungan dengan itu, maka dari Bantam (Banjarnegara) dan dari Cirebon (Eretan) ditujukan berlapis-lapis pasukan ke arah Bandung itu. Melihat tentara Jepang yang datang dari pelbagai pihak dan bergelombang, maka Belanda sudah menyerah sebelum bertempur dengan sungguh-sungguh.

6. MEMPERBEDAKAN SIASAT PERANG DENGAN POLITIK.

Perang adalah kelancaran politik. Apabila pertikaian politik antara Negara dan Negara, antara satu bangsa-tertindas dengan bangsa-penjajahan, atau antara satu kelas tertindas dengan klas penindas, tiada dapat lagi diselesaikan dengan jalan damai, maka peranglah yang akan menjadi hakim. Peranglah yang akan menentukan siapa yang benar, siapa yang salah. Dalam hal ini dunia menganggap yang menang peranglah pihak yang benar.

Tetapi Siasat Perang harus dibedakan dengan Politik.

Oleh sesuatu Negara Merdeka, maka kalimat di atas ini biasanya ditafsirkan, bahwa janganlah perbedaan paham politik dimasukkan ke dalam tentara. Tegasnya janganlah percekcokan antara Partai Kolot (conservatif), Partai Liberal atau Demokratis, Partai Sosialis atau Komunis dll ditarik-tarik pula dalam ketentaraan. Petuah yang biasa dipakai berbunyi: Tentara itu tiada berpolitik. Oleh Keizer Wilhelm ke II, ketika meletusnya perang dunia ke I, petuah itu dilaksanakan dengan ucapan: “Saya tak mengenal partai, saya cuma mengenal orang Jerman”, Kedua petuah tersebut bermaksud supaya tentara cuma memikirkan soal pertempuran saja. Tak usahlah tentara itu memikirkan garis politik Negaranya. Serahkan sajalah urusan poltiik itu kepada para Ahli-politik.

 Selain dari pada tafsiran di atas, maka ada pula tafsiran  yang lain. Yaitu: bedakanlah urusan yang semata-mata urusan politik (dalam  arti bentuk dan kewajiban sesuatu Pemerintahan) dengan urusan Perang  semata-mata. Tegasnya pula! Bedakanlah soal garis politik serta CARA BAGAIMANA  mendapatkan makanan, pakaian dan senjata untuk Tentara itu dengan CARA  BAGAIMANA mengatasi musuh dalam pembelaan serta penyerangan.
 Kedua tafsiran dari Negara Merdeka tersebut di atas  mendapat corak lain bagi sesuatu masyarakat yang sedang BEREVOLUSI. Bukankah pula sesuatu Negara merdeka itu SUDAH mempunyai  kepastian tentangan soal daerah dan batas, soal kebangsaan-kewarganegaraan dan  jumlah penduduk, serta soal bentuk dan kewajiban pemerintahannya dll itu? Dan  bukanlah sebaliknya sesuatu BANGSA atau Kelas yang berrevolusi itu, JUSTRU  SEDANG memperjuangkan Masyarakat dan Negara itu yakni memperjuangkan daerah  batas warga penduduk serta bentuk dan kewajiban Pemerintah dll itu?

Memangnya ada Persamaan, tetapi ada pula perbedaan bagi sesuatu Negara Merdeka dan bagi sesuatu Masyarakat Berjuang berhubung dengan kedua tafsiran di atas tadi. Masyarakat Berjuang dan Negara Perang memangnya keduanya sama-sama membedakan urusan politik dengan kewajiban tentara. Tegasnya ialah, bahwa, kedua itu haruslah sama-sama membedakan urusan menentukan garis-politik dan cara bagaimana mendapatkan makanan, pakaian dan senjata bagi tentara dengan Siasat Membela dan Menyerang.

Tetapi berbeda dengan Negara Merdeka, maka bagi bangsa dan kelas berjuang (seperti kita sekarang) memangnya politik dalam arti PAHAM, IDIOLOGI, itulah yang sebenarnya menjadi otak-jantung, atau keyakinan-tekadnya sesuatu tentara Rakyat, Tentara Murba, Tentara Bambu Runcing! Bangsa atau Kelas Berjuang itu, yang bersenjata serba sederhana itu, justru harus mempunyai tentara yang berpaham beridiologi, yang berkeyakinan politik, paham, idiologi dan politik kebangsaan atau politik keproletaran itulah senjata Tentara Kemerdekaan yang Nomor Satu! Begitu di masa revolusi Borjuis di Perancis (1789) dan demikian pula halnya di masa revolusi Borjusi dan Proletar di Rusia (1917). SANG GERILYA yang berpolitik jelas-tegas itu berkewajiban berusaha sekeras-kerasnya mempengaruhi paham pasukannya, serta Rakyat disekitarnya sambil berusaha mendapatkan semua kebutuhan hidup dan pertempuran bagi pasukannya. Pasukan dan Rakyat berjuang buat kemerdekaan itu harus mengerti dan setuju dengan isi kemerdekaan itu! Memang juga SANG GERILYA membedakan dan memisahkan siasat perang dan politik. Berhubungan dengan itu maka di belakang pula organisasi keprajuritan dengan organiasi Politik dan Ekonomi. Tetapi (seperti juga Negara Merdeka tadi), maka organisasi politik dan tentara itu Kerja-sama dimana tentara berada di bawah pengawasan (supervision-nya politik).

7. TEKAD MAU MENANG.

Seperti udara bagi rabu (paru-paru) untuk bernafas, demikianlah pula TEKAD MAU MENANG itu adalah syarat bagi seseorang prajurit untuk berperang. Seorang prajurit yang tiada mempunyai tekad semacam itu, tiadalah pula mempunyai banyak harapan akan menang. Dia akan mudah diombang-ambingkan oleh kesulitan atau kekalahan sementara. Satu petuah militer dari bangsa Asing berbunyi: Dia menang, karena dia berpantang kalah. Kata petuah pahlawan Indonesia : “Satu hilang, kedua terbilang; namanya anak laki-laki." Artinya: Sesudah memasuki gelanggang peperangan itu, maka cuma dua kata kemungkinan buat seorang pahlawan. PERTAMA: Dia mungkin hilang atau tewas dalam perjuangannya. KEDUA: Dia mungkin terbilang artinya terhitung sebagai seorang prajurit yang menang, sebagai seorang pahlawan jaya, karena tekad semacam itulah, maka 300 (tiga ratus) pahlawan Sparta memperoleh ujian dan pujaan luar biasa di zaman lampau. Mereka sanggup mempertahankan Negaranya dan mengusir musuhnya yang datang menyerbu meskipun musuhnya terdiri dari tentara yang berlipat ganda besarnya.