Draf Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Anti Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang dan Pemasalahan
Perdagangan orang terutama perempuan dan anak merupakan salah satu issu serius yang harus dihadapi dan ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun belum ada data resmi dan valid mengenai besaran masalahnya diperkirakan sekitar 700.000 sampai 1.000.000 anak dan perempuan diperdagangkan di Indonesia, dimana sebagaian besar korban diperjualbelikan sebagai para pekerja seks komersial didalam negeri, pembantu rumah tangga, pengemis, pengedar narkotika dan obat-obat terlarang serta bentuk-bentuk lain dari eksploitasi kerja seperti di rumah makan dan perkebunan. Situasi perdagangan perempuan ke luar negeripun tidak kalah memprihatinkan, yang mana menurut catatan Kepolisian Rl, pada tahun 2000 terungkap 1400 kasus pengiriman perempuan secara illegal ke luar negeri (Kompas. September 2001).
Meningkatnya jumlah keluarga miskin dan angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya kesempatan kerja dan maraknya konflik sosial di berbagai daerah yang muncul sebagai dampak krisis sangat potensial mendorong timbulnya perdagangan perempuan dan anak. Hal ini diperparah oleh kenyataan melemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas antar warga masyarakat untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologis sekaligus kontrol terhadap para anggotanya.
Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pelanggaran dan kejahatan terhadap manusia. Perdagangan perempuan juga dapat menghambat pembangunan sumber daya manusia mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami para korban menghalangi mereka untuk berfungsi secara sosial, memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan melanjutkan proses regenerasi yang berkualitas.
Masalah perdagangan orang telah terjadi sejak abad ke empat di Timur Tengah dan berkembang terus pada abad ke delapan belas di kawasan Amerika Serikat yang didasarkan pada perbedaan ras atau warna kulit. Pada masa sekarang, perkembangan perdagangan orang beralih pada jenis manusia yang lemah yakni perempuan dan anak. Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak dan termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan perempuan dan anak diberbagai negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang telah menjadi perhatian masyarakat intemasional dan organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
`Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat dalam komunitas internasional merupakan negara yang mengikuti issu-issu dunia yang terjadi melalui proses globalisasi baik di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan bidang lainnya dengan mengutamakan kepentingan nasionalnya. Pancasila sebagai falsafah negara yang melandasi UUD 1945 sebagaimana telah diamandemen sejak tahun 1999, telah menjamin warga negaranya untuk menikmati hak asasinya, sekaligus memberikan perlindungan hukum. Hat tersebut diamanatkan dan tercantum dalam bab khusus, Bab XA tentang HAM UUD 1945.
Komitmen negara telah tertuang dalam TAP MPR Nomor IV Tahun1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang merupakan arahan bag! Pembangunan Indonesia. Selanjutnya komitmen tersebut dikuatkan melalui TAP MPR Nomor X Tahun 2001 yang memberikan rekomendasi kepada Presiden Rl untuk mengatasi perdagangan perempuan dan anak melalui penyusunan peraturan perundangan nasional, ratifikasi konvensi intemasional, dan pembentukan rencana aksi serta gugus tugas (task force), kemudian rekomendasi tersebut ditegaskan kembali melalui TAP MPR Nomor VI Tahun 2002.
Disamping itu berdasarkan komitmen yang telah dibuat oleh negara Indonesia dalam konvensi intemasional yang telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapuian Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women - CEDAW) dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Pengahapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (ILO Convention No. 182 concerning the Prohibition and Immidiate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour) dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000, Konvensi Hak Anak (Convetion on the Right of the Child) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang kesemuanya berisikan kesediaan Indonesia untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara nasional, bilateral dan multilateral. Kewajiban negara dalam hal ini adalah untuk menanggulangi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk didalamnya eksploitasi perdagangan orang. Narnun komitmen tersebut khususnya mengenai perdagangan perempuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 CEDAW yang mewajibkan Negara Peserta untuk membentuk peraturan perundang-undangan tentang larangan perdagangan dan ekploitasi perempuan untuk pelacuran.
Pada bulan Desember 2000 di Palermo Italia, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisir Lintas-negara (United Nations Convention against Transnational Organized Crime), beserta dua protokolnya yaitu Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Espescially Women and Children dan Protoco! against the Smuggling of Migrants by Land, Sea And Air.
Kedua protokol tersebut merupakan instrumen hukum intemasional yang sangat membantu dalam mencegah dan memerangi kejahatan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, melindungi serta membantu korban perdagangan orang dengan tetap menghormati hak asasi manusia, dan meningkatkan kerja sama antar-negara untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Namun penandatanganan Konvensi dan protocol tersebut belum ditindaklanjuti dengan meratifikasinya atau membentuk suatu undang-undang yang subtansinya mengatur mengenai larangan perdagangan perempuan dan anak.
Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Kepolisian Republik Indonesia bahwa sejak tahun 1999 sampai 2001 telah tercatat 4.571 kasus perdagangan perempuan dan anak dan sejumlah 2.611 kasus yang telah diajukan ke pengadilan. Kasus-kasus tersebut terjadi di 16 kota besar di Indonesia, antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Padang, Pontianak, Bali, Makassar, dan Manado.
Laporan dari Malaysia lebih dari 4.268 pekerja seks berasal dari Indonesia sebagai hasil kejahatan perdagangan perempuan dan anak. Di Malaysia terdapat 5 juta buruh migran yang 20%nya merupakan hasil perdagangan perempuan dan anak (Hasil Penelitian UNIBRAW tahun 2002). Di wilayah perbatasan negara Malaysia dan Singapura menunjukkan dari 6.800 orang yang terkait dalam kejahatan perdagangan perempuan di Malaysia sebagai pekerja seks, lebih dari 4.300 orang berasal dari Indonesia (Kompas 10 Mei 2001). Sedangkan dari hasil pemantauan dari sejumlah 5 juta buruh migran terdapat 20% merupakan hasil perdagangan perempuan dan anak yang berasal dari Indonesia.1)
Laporan dari UNICEF 1998 memperkirakan sekitar 30% jumlah pelacur adalah anak-anak di bawah umur 18 tahun (± 21.000 anak). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 1998 tercatat 1,6 juta anak menjadi buruh, yang mempunyai resiko besar untuk dijadikan korban perdagangan orang. Hasil studi yang disampaikan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) menunjukkan bahwa perdagangan orang yang dilakukan sebagian besar sindikat adalah untuk pekerja seksual termasuk paedophilia seksual (sodomi) yang terdapat hampir di semua kota besar terutama Jakarta dan Surabaya yang terakumulasi di puluhan lokasi, belum termasuk yang dilakukan melalui telepon atau internet.
Banyak cara dan modus operandi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, antara lain, dengan cara penipuan atau Janji-Janji bohong sehingga korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah obyek dari kejahatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku perorangan ataupun suatu jaringan yang luas dan terorganisasi baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Bahkan tanpa disadari pihak anggota keluarga sendiri seperti orang tua yang mempunyai latar belakang sosial ekonomi rendah dengan berbagai faktor pendorong baik ekstern maupun intern memberikan peluang terjadinya perdagangan orang. Faktor keluarga yang lemah dan daya integrasi keluarga kurang kuat menyebabkan tidak dapat mencegah terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Selain itu, kuatnya konsep budaya tertentu yang berlaku misalnya budaya filial piety (keharusan patuh pada orang tua) masih dianut oleh sebagian besar mayarakat Indonesia 2).
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang terutama perempuan dan anak pada dasarnya telah diatur dalam KUHP. Konsep pengaturan larangan ini seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri, yakni sejak tahun 1918, satu abad lebih. Dengan demikian, KUHP telah mengatur tentang larangan perbudakan, (lihat Pasal 297 KUHP yang khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur) yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahanpun perdagangan perempuan dan anak sudah dikualifikasi sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana. Narnun ketentuan Pasal 297 tersebut tidak dapat diterapkan secara lintas negara (kejahatan intemasional atau transnasional) dalam arti bahwa ketentuan tersebut terbatas pada lingkup nasional. Selain KUHP, perlindungan terhadap perdagangan orang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut merupakan Undang-undang payung (umbrella act) bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang substansinya mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia (HAM). Dalam satu ketentuannya menyebutkan bahwa terdapat prinsip nondiskriminasi yaitu bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Karena sifatnya yang payung tersebut, dalam arti umum, maka Undang-undang Nomor 39 tidak bisa diterapkan secara langsung. Dengan demikian, perlu perundang-undangan pelaksanaan untuk menerapkan substansi Undang-undang tersebut, khususnya pengaturan mengenai larangan perdagangan perempuan dan anak.
1) Hasil Penelitian UNIBRAW Tahun 2002. Menurut laporan dan Konsursium Perlindungan Buruh Migran (KOPBUMI) Tahun 2002 menyebutkan sekitar 7 juta penduduk Indonesia migrasi ke luar negeri tanpa perlindungan. 2) Hasil Penelitian Pusat Penelitian Peranan Wanita UNPAD, Tahun 2002
Pada dasarnya, tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, selain sifatnya sebagai kejahatan internasional dan transnasional serta dilaksanakan secara terorganisir, juga bersifat sangat merugikan dan membayakan masyarakat sehingga perlu ancaman pidana yang berat. Untuk mengimbangi sifat di atas dan dikaitkan dengan penegakan hukumnya, perlu pengaturan mengenai pemberian perlindungan hukum bagi korban dan saksi dalam rangka memperlancar proses peradilan.
Dari uraian latar belakang dan permasalahan di atas, dapat dikemukakan mengenai pokok permasalahan yang dapat dijadikan pembahasan selanjutnya, yakni sebagai berikut: Pemerintah Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia, belum meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan tindak pidana internasional, terutama tindak pidana terhadap perdagangan perempuan dan anak; Walaupun KUHP telah mengatur mengenai tindak pidana terhadap perdagangan perempuan dan anak, namun ketentuan tersebut belum dapat diterapkan secara lintas negara atau transnasional sesuai dengan sifat tindak pidana itu sendiri yakni tindak pidana internasional dan dilaksanakan secara terorganisasi; Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kejahatan terhadap perdagangan perempuan dan anak; dan Pemerintah belum mempersiapkan perangkat undang-undang yang khusus mengatur mengenai kejahatan terhadap perdagangan perempuan dan anak.
B. Maksud dan Tujuan
Penyusunan Naskah Akademis RUU tentang Kejahatan terhadap Perdagangan orang terutama Perempuan dan Anak dimaksudkan untuk mempersiapkan substansi atau materi yang perlu dituangkan dalam suatu rancangan undang-undang (RUU). Dengan terbentuknya RUU, maka diharapkan tujuan untuk mencegah dan memberantas kejahatan terhadap perempuan dan anak dapat terwujud sehingga harkat dan martabat perempuan pada khususnya dan harkat negara dan bangsa Indonesia dapat meningkat. Di samping itu, hubungan antar negara dan Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dapat diwujudkan melalui kerja sama yang ketentuan-ketentuan untuk melandasinya akan dituangkan dalam perangkat peraturan perundang-undangan.
C. Ruang Lingkup
Penyusunan Naskah Akademis sebagai penyusunan naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mencoba untuk lebih menjelaskankan tentang bentuk-bentuk dan fungsi pencegahan dan penegakan hukum atas kejahatan terhadap perdagangan perempuan dan anak, di samping mengadakan perlindungan terhadap korban dan saksi, serta pengaturan secara komprehensif mengenai sistem peradilan dalam menyelesaikan perkara tindak pidana terhadap perdagangan perempuan dan anak Substansi yang perlu dituangkan dalam suatu RUU adalah unsur-unsur tindak pidana perdagangan perempuan dan anak yang disesuaikan dengan konvensi-konvensi dan perkembangan hukum pada urnumnya. Di samping itu, perlu pula diterapkan suatu sanksi yang berat terhadap para pelaku sehingga terdapat efek penjeraan (deterrence effect) yang lebih etektif.
Metode Pendekatan
Melakukan telaahan dokumentasi dari hasil penelitian, pengkajian, tulisan atau referensi lainnya yang berkaitan dengan kejahatan terhadap perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Menganalisa dan mengkaji dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejahatan terhadap perdagangan orang terutama perempuan dan anak baik hukum nasional, regional maupun intemasional : melakukan diskusi dengan anggota tim, dengan tim pakar dan menyelenggarakan seminar untuk mendapatkan berbagai masukan; merumuskan dan menyusun dalam bentuk diskriptif analisis serta menuangkannya dalam Naskah Akademis RUU tentang Kejahatan terhadap Perdagangan Perempuan dan Anak; melakukan sosialisasi dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat perlunya pengaturan mengenai kejahatan terhadap perempuan dan anak.
Pengorganisasian Kepanitiaan
Penyusunan Naskah Akademis ini dilakukan oleh Tim sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor: SK-36/Meng.PP/X/2002 yang beranggotakan dari berbagai unsur Pemerintah yang terkait, akademisi, dan LSM. Dalam pelaksanaan tugas, Tim mendapat bantuan dari Pusat Pengembangan Hukum dan Gender (PPHG) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, dan Pusat Penelitian Peranan Wanita, Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran, Bandung, berupa hasil studi kasus pengkajian perdagangan perempuan dan anak di Jawa Barat, Jawa Timur, Riau (Batam) dan Kalimantan Barat. Di samping itu, juga diperoleh masukan dan arahan dari para ahli atau pakar di bidang hukum, psikologi, sosiologi, budaya, antropologi maupun agama. Bantuan dari instansi Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, c.q. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan beberapa instansi pemerintah terkait dapat berguna demi sempumanya naskah akademis ini.
Sistimatika Penulisan
Tim Penyusun Naskah Akademis yang diprakasai oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan dukungan dan Departemen atau Instansi terkait, kalangan akademis, dan LSM, telah menyusun Naskah Akademis RUU Kejahatan terhadap Perempuan dan Anak, dengan memuat latar belakang dan gambaran bentuk-bentuk dan praktek-praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak beserta muatan perangkat hukum yang ada dan berlaku di Indonesia. Naskah akademis tersebut disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang dan permasalahan yang terkait dengan praktek-praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak beserta modus operandinya, termasuk mengenai pengelompokan tindakan perdagangan orang terutama perempuan dan anak sebagai tindakan kejahatan. Di samping itu, diuraikan pula mengenai pembatasan ruang lingkup pengaturan dan metode pendekatan penulisan. Bab ini juga menguraikan mengenai permintaan dan dukungan kelembagaan yang ada baik jajaran pemerintah maupun masyarakat, yang diuraikan dalam pengorganisasian (kepanitiaan), dan diakhiri dengan uraian singkat dalam sistematika penulisan.
Bab II Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Perdagangan orang terutama Perempuan dan Anak
Bab ini menguraikan tentang ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait, baik yang didasarkan pada Konvensi atau Kovenan Intemasional maupun peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
Bab III Unsur-unsur, Peta Pola Kejahatan serta Jaringan Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak.
Bab ini menguraikan tentang unsur-unsur, pola kejahatan dan peta jaringan Serta faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
Bab IV Tinjauan Urnum, Prinsip dan Azas serta Pengertian
Bab ini menguraikan mengenai prinsip-prinsip umum atau azas-azas dari perdagangan orang terutama perempuan dan anak antara lain ditinjau dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis, ekonomis, psikososial, dan HAM. Hal ini diuraikan pula tentang beberapa definisi terutama apa batasan "Perdagangan Orang" yang lebih lanjut diikuti oleh argumentasi hukumnya dan batasan-batasan lain yang terkait dengan unsur-unsur atau tindakan-tindakan yang terkait dengan permasalahan dan penanganan perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
Bab V Perlindungan dan Bantuan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam bab ini dijelaskan mengenai bentuk-bentuk perlindungan yang akan diberikan kepada korban dan saksi, antara lain dalam upaya merehabilitasi korban, pengamanan atas privasi dan identitas korban, bentuk-bentuk perlakuan perlindungan terhadap korban yang didasarkan pada usia dan pertimbangan keadilan gender serta hal-hal khusus lain yang dibutuhkan oleh korban. Bentuk bantuan perlindungan lain mengenai kompensasi, pemulihan, jaminan keamanan phisik korban, status korban di negara penerima serta repatriasi.
Bab VI Pencegahan, Kerjasama dan Tindakan Lain.
Bab ini menjelaskankan mengenai upaya-upaya untuk penanggulangan dan penanganan tindakan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Upaya tersebut antara lain meliputi Tindakan pencegahan kerjasama, dan tindakan lain. Didalamnya diuraikan mengenai kebijakan dan program yang komprehensif, penelitian-penetitian, kerjasama baik pada tingkat nasional maupun internasional. Uraian mengenai pertukaran informasi dan pelatihan yang didalamnya antara lain meliputi penegaKan hukum, keimigrasian, termasuk pelatihan bagi para penegak hukum dan petugas keimigrasian serta petugas terkait. Selanjutnya bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan di daerah perbatasan, baik aturannya, proses pemeriksaan maupun kerjasama di daerah perbatasan. Selanjutnya uraian mengenai proses pengamanan dan pemeriksaan dokumen perjalanannya.
Bab VII
Hukum Pidana Materiel dan Formil
Bab ini menjelaskankan tentang aspek hukum materiel yang mengatur mengenai pelaku, yang diantaranya menyatakan bahwa mereka yang turut serta atau berperan sebagai pembantu pelaku aktif atau pasif dan unsur-unsur tindak pidana yang diancarnkan pada pelaku. Sementara aspek hukum pidana formil (hukum acara) menjelaskan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan penyilidikan, penyidikan dan pembuktian. Lebih lanjut digambarkan pula mengenai kendala yang dihadapi dalam penanganan perkara dan gambaran untuk adanya perlindungan serta pendampakngan terhadap korban dan atau saksi korban.
Bab VIII Peran Serta Masyarakat
Bab ini menguraikan mengenai peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak kejahatan tersebut. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi sekaligus diberikan hak-hak perlindungannya selama menjalankan peran serta tersebut.
Bab IX Penutup
Bab ini menyimpulkan tentang seluruh uraian mengenai kejahatan terhadap perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Di samping itu, naskah ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk melaksanakan dan menegakkan undang-undang melalui perjanjian ekstradisi atau bantuan timbale balik dengan negara lain.
BAB II
PERATURAN PERUNDANG-UDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK
A. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Nasional
Peraturan perundangan Indonesia, khususnya KUHP telah mengatur secara parsial perbuatan-perbuatan pidana yang sebenarnya adalah unsur-unsur dari tindak pidana perdagangan orang, perempuan dan anak., sehingga ketentuan tersebut tidak dinyatakan sebagai pasal tentang perdagangan orang, sebagaimana ketentuan-ketentuan dibawah ini:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana a. Pasal 295 Ayat(1) diancam:
1) dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang memeliharanya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
2) dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut 1) di atas yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain.
Ayat (2) jika yang bersalah, melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
b. Pasal 301, Barang siapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada di bawah kekuasannya yang sah dan umurnya kurang dari dua belas tahun, pada hal diketahui bahwa anak itu akan dipakai untuk melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c. Pasal 328, Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasannya atau kekuasan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan, dengan pidana penjara paling lama dua betas tahun.
Pasal 332, Ayat (1) diancam dengan pidana penjara : 1) paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar pemikahan;
2) paling lama sembilan tahun barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar pemikahan.
Ayat (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.
Ayat (3) Pengaduan dilakukan : a. jika wanita ketika dibawa pergi belum cukup umur, oleh dia sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila dia nikah; jika wanita ketika dibawa pergi sudah cukup umur, oleh dia sendiri atau oleh suaminya.
Ayat (4) Jika yang membawa pergi lalu nikah dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap pernikahannya berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum pernikahannya dinyatakan batal.
e. Pasal 333 Ayat (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini berlaku juga bagi orang yang dengan sengaja memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum.
f. Pasal 378 Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
g. Pasal 506 Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun.
2. Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi Butir 8,9,10, dan 11 daftar kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisi
Sementara ada satu pasal yang mengatur tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki dibawah umur (Pasal 297 KUHP), narnun dalam prakteknya ketentuan tersebut menimbulkan kesulitan karena tidak jelasnya unsur delik perdagangan. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun 3. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Ratifikasi atas konvensi ini belum ditindaklanjuti dengan pembuatan Undang-undang nasional mengenai perdagangan perempuan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 6 CEDAW.
4. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
a. Pasal 3, Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia wajib memiliki Surat Perjalanan.
b. Pasal 4 Ayat(1) setiap orang dapat ke luar wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Bertolak. Ayat (2) setiap orang asing dapat masuk ke wilayah Indonesia setelah mendapat lzin Masuk.
c. Pasal 6. Ayat (1) setiap orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki Visa. Ayat (2) Visa diberikan kepada orang asing yang maksud dan tujuan kedatangannya di Indonesia bermanfaat serta tidak akan menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan nasional.
d. Pasal 9. Penanggung jawab alat angkut yang datang atau akan berangkat ke luar wilayah Indonesia diwajibkan untuk: Memberitahukan kedatangan atau rencana keberangkatan: menyampaikan daftar penumpang dan daftar awak alat angkut yang ditandatangani kepada Pejabat Imigrasi: Mengibarkan bendera isyarat bagi kapal laut yang datang dari luar wilayah Indonesia dengan membawa penumpang. Melarang setiap orang naik atau turun dari alat angkut tanpa izin Pejabat Imigrasi selama dilakukan pemeriksaan keimigrasian; Membawa kembali ke luar wilayah Indonesia setiap orang asing yang datang dengan alat angkutnya yang tidak mendapat lzin Masuk dari Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
e. Pasal 10, Pejabat Imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi berwenang naik ke alat angkut yang beriabuh di pelabuhan atau mendarat di bandar udara untuk kepentingan pemeriksaan keimigrasian.
f. Pasal 17. Penangkalan terhadap orang asing dilakukan karena : diketahui atau diduga terlibat dengan kegiatan sindikat kejahatan intemasional; pada saat berada di negaranya sendiri atau di negara lain bersikap bermusuhan terhadap Pemerintahan Indonesia atau melakukan perbuatan yang mencemarkan nama baik bangsa dan Negara Indonesia; diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keamanan dan keterlibatan urnum, kesusilaan, agama dan adat kebiasaan masyarakat Indonesia; atas permintaan suatu negara, orang asing yang berusaha menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara tersebut karena melakukan kejahatan yang juga diancam pidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia; pemah diusir atau dideportasi dari wilayah Indonesia; dan alasan-alasan lain yang berkaitan dengan keimigrasian yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
g. Pasal 27, Pemegang lzin Tinggal Terbatas atau lzin Tinggal Tetap yang akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Indonesia dan bermaksud untuk kembali, dapat diberikan lzin Masuk Kembali.
h. Pasal 28, Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara permohonan, pemberian atau penolakan izin keimigrasian serta hal-hal lain yang berkenaan dengan keberadaan orang asing di wilayah Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
i. 30 ayat 2, Paspor biasa diberikan juga kepada Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri.
j. Pasal 45, Ayat(1) Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia melampaui waktu tidak lebih dan 60 (enam puluh) hari dari izin keimigrasian yang diberikan, dikenakan biaya beban. Ayat(2) Penanggung jawab alat angkut yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan biaya beban. Ayat (3) Penetapan biaya beban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur oleh Menteri dengan persetujuan Menteri Keuangan. k. Pasal 47, Ayat(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Ayat(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)berwenang: menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian; memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian: memeriksa dan/atau menyita surai-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan, atau benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian; memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi; melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat surat-surat, dokumen-dokumen, Surat Perjalanan, atau benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian. mengambil sidik jari dan memotret tersangka. Ayat(3) Kewenangan Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditaksanakan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
l. Pasal 48, Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dipidana dengan pidana penJ ara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta).
m. Pasal 50 Orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud pemberian izin keimigrasian yang diberikan kepadanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
5. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 8 ayat (3) Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.
Undang-undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Pasal 19
Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban : memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga Negara Indonesia diluar negeri; memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga Negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pasal 21 Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka keIndonesia atas biaya negara".
Ketentuan ini merupakan landasan hukum dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia korban perdagangan orang yang berada di luar negeri.
7. Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia "Pasal 20 (1) Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba (2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan apapun yang tujuannya serupa, dilarang."
8. Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional "Pasal 4 Ayat (1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan: dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
Ayat (2) Dalam pembuatan perjanjian internasionai, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku".
Ketentuan tersebut di atas adalah dasar bagi kerjasama intemasional dalam mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan orang, dan melindungi korban.
Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 7, 9 huruf c,e,g
"Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi : kejahatan genosida: kejahatan terhadap kemanusiaan." "Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
Huruf c perbudakan;
huruf e 7Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yangmelanggar(asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional.
Huruf g Perkosaan, perbudakan, seksual pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara".
Penjelasan Pasal 9: Yang dimaksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil" adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI
Pasal 15 ayat (2) huruf h Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan intemasional.
11.Undang-Uodang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 2 Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan : Penyelundupan tenaga kerja Penyelundupan imigran Perdagangan budak, wanita dan anak. Penculikan Penipuan, yang dilakukan diwilayah negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Pasal 3 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya atau menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana. dipidana karena tindak pidana pencuian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyard rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyard rupiah).
Ayat (2) setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk meiakukan tindak pidana pencucian uang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
12. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59, 68, 78, dan 83
a. Pasal 59 Pemerintah dan lembaga negara lainnya bsrkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
b. Pasal 68
Ayat (1) perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
c. Pasal 78 Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika dan zat adiktif tainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memeriukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara, paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
d. Pasal 83 Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
B. Konvensi dan Kovenan Internasional Beserta Protokolnya
The Convention for the Suppression of the Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Other, 1949. Konvensi ini memberikan rincian mengenai tindakan-tindakan represif yang diperlukan terhadap orang-orang yang memperoleh, mengajak, membujuk atau mengarahkan orang lain untuk melakukan maksud-maksud prostitusi dari orang lain. The Supplementary Convention for the Abolition of Slavery, Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery, 1956. Konvensi ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan Konvensi Anti Perbudakan tahun 1926 yang didasari oleh Pasal 4 Deklarasi Universal HAM. Untuk itu Konvensi ini menjadi dasar bag! perumusan instrumen yang dapat mempercepat penghapusan perbudakan yang masih terjadi serta memperluas jangkauannya dengan memasukkan bentuk-bentuk lain dari perbudakan dan perhambaan (servitude), seperti perbudakan karena utang (debt bondage), bentuk-bentuk perendahan martabat dalam perkawinan (servile forms of marriage) dan eksploitasi anak. Narnun konvensi tersebut di atas belum diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan landasan hukum nasional dalam mengatasi masalah perdagangan orang terutama perempuan dan anak. 2. Resolusi Majelis Urnum PBB : No.49/166 tahun 1994 Resolusi ini memberikan definisi perdagangan manusia lintas batas. 3. Convention on the Rights of the Child Konvensi tentang hak-hak anak yang telah berlaku sejak tahun 1990 dan telah diratifikasi Indonesia ( Keppres No.36 Tahun 1990) telah memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak dari slaver) like practices. Konvensi ini antara lain mewajibkan negara pesertanya untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan dari bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan atau dapat membahayakan kesehatan, spiritual, moral dan perkembangan sosial anak-anak, baik melaluijalur-jalurtindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan. 4. Optional Protocol to the Convention on the Right of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography, belum ditandatangani dan diratifikasi. 5. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women Konvensi yang gender spesifik, ini telah berlaku sejak tahun 1981 dan telah diratifikasi Indonesia. Pasal 6 Konvensi ini secara tegas mewajibkan Negara pesertanya untuk melakukan tindakan yang layak, termasuk dalam bidang legislasi, untuk memerangi segala bentuk perdagangan dan eksploitasi prostitusi wanita. 6. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), belum diratifikasi. International Covenant on Economic, Cultural and Social Rights (ICESCR), belum diratifikasi
8. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment (CAT), telah diratifikasi
Slavery Convention (SC) and the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery (SCAS), belum diratifikasi. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (ICPRMW), belum diratifikasi. International Labor Organization Conventions No.29 Concerning Forced Labour (ILO No.29) and No.105 Concerning Abolition of Forced Labour (ILO No.lOS), telah diratifikasi.
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafffcking in Persons, Especially Women and Children dan Protocol Against Smuggling by Land, Sea and Air, supplements of the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, sudah ditandatangani, tetap! belum diratifikasi.
Instrumen hukum tersebut merupakan seperangkat alat dan standar untuk menjamin dan menghormati HAM termasuk untuk mencegah, menyelidiki pelanggaran, melakukan tindakan yang tepat terhadap pelaku pelanggaran dan memberikan perlindungan kepada korban. Narnun kenyataannya sebagian besar dari instrumen tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia sehingga tidak mengikat dan mempunyai kekuatan secara hukum.
BAB III UNSUR-UNSUR, PETA POLA KEJAHATAN SERTA JARINGAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK
Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang perdagang orang, terutama perempuan dan anak, kiranya perlu diulas dalam bab ini tentang unsur-unsur, peta pola kejahatan dan jaringan dari perdagangan orang, terutama perempuan dan anak.
A. Unsur-unsur
Sebelum menguraikan secara rinci unsur-unsur perdagangan orang, terutama perempuan dan anak, terlebih dahulu perlu diternukan rumusan definisi tentang tindak kejahatan perdagangan tersebut. Kemudian dari definisi tersebut dapat diuraikan menjadi unsur-unsur yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Definisi yang telah disepakati oleh dunia , yang secara substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam Protokol untuk Mencegah, memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama perempuan dan anak, Pelengkap Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisir Antar Negara Tahun 2000, yang dalam Pasal 3 nya menyebutkan:
(a) "Perdagangan orang" harus diartikan sebagai penerimaan, pengangkutan, pengiriman, penyembunyian, atau penerimaan orang-orang, dengan maksud untuk memperlakukan atau menggunakan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, dari penculikan, dari penipuan, dari kecurangan, dari penyalahgunaan kekuasaan atau dari suatu kedudukan yang sifatnya rentan, atau dari pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan-keuntungan guna mencapai kesepakatan dari orang yang memiliki kontrot terhadap orang orang lain, dengan maksud pemerasan. Pemerasan harus meliputi pada tingkat minimum, pemerasan terhadap pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk pemerasan seksual lainnya, tenaga kerja atau pelayanan-pelayanan yang dipaksakan, perbudakan atau praktik-praktik yang sama terhadap perbudakan, kerja-paksa atau penghilangan organ-organ tubuh;
(b) Kesepakatan terhadap suatu korban perdagangan orang terhadap pemerasan yang dimaksud ditetapkan sesudahnya dalam sub-alinea (a) dari pasal ini tidak harus berhubungan dimanaa suatu pengertian yang ditetapkan sesudahnya dalam sub-alinea (a) telah digunakan;
(c) Penerimaan, pengangkutan, pengiriman, penyembunyian, atau penerimaan seorang anak untuk maksud pemerasan harus dipandang sebagai "penjualan orang-orang" bahkan jika ini tidak melibatkan suatu pengertian sesudahnya dalam sub-alinea (a) dari pasal ini.
(d) "Anak" harus dipahami sebagai seseorang dibawah umur delapan belas tahun.
Dari definisi tersebut di atas maka dapat diuraikan beberapa unsur dari tindakan perdagangan yaitu, sebagian atau seluruhnya yang merupakan tindakan :
1. perekrutan orang /orang-orang 2. pengangkutan orang /orang-orang 3. pengiriman orang / orang-orang 4. penyembunyian orang / orang-orang 5. menggunakan atau memperlakukan kekerasan atau bentuk bentuk tekanan lain, 6. penculikan dan atau penipuan dan atau kecurangan, 7. penyalahgunaan kekuasaan, 8. pemanfaatan orang-orang yang rentan kedudukannya, 9. Pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan-keuntungan (lain) dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang lain. 10.Pemerasan meliputi : pemerasan seksual, pemerasan tenaga kerja, pelayanan-pelayanan yang dipaksakan, perbudakan atau praktek- praktek yang sama dengan perbudakan, kerja paksa 1 l.penghilangan organ tubuh.
B. Pola Kejahatan Perdagangan Orang
Dari definisi dan unsur-unsur perdagangan orang, maka beberapa pola perdagangan orang, terutama perempuan dan anak, antara lain : Menjadikannya pembantu rumah tangga, Menjadikannya sebagai komoditas seksual (dilacurkan) dan pornografi. Menjadikannya tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa, antara lain: pekerja Anak untuk jermal, perkebunan Menjadikannya pengemis, pengamen dan pekerjaan jalanan lainnya Adopsi palsu/ dan penjualan bayi yang diternukan di daerah konflik atau daerah miskin. Menjadikannya Isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi Menjadikannya alat untuk melakukan Perdagangan Narkotika Dipekerjakan di perkebunan dan pabrik-pabrik atau tenaga kasar dengan upah sangat murah Menjadikannya sebagai obyek/sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual dengan anak-anak. Menjadikannya obyek percobaan dibidang ilmu pengetahuan atau obyek pencangkokan organ tubuh Menjadikannya komoditi dalam pengiriman tenaga kerja migrant Menjadikannya sebagai alat bayar hutang
Pola-pola tersebut diatas masih mungkin mengalami perkembangan, seiring perkembangan jaman.
Ad 1. Pembantu Rumah Tangga Hasil sensus penduduk tahun 1990, Publikasi biro statistik seri S2, menyebutkan jumlah pembantu rumah tangga adalah 861.377 orang. Sebagian besar (84%) adalah perempuan 722.695 orang. Sejumlah 82% bekerja diperkotaan. Jumlah meningkat secara drastis seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Dilihat dari jenis pekerjaannya, Profil Wanita Pembantu Rumah Tangga di 27 lbu Kota propinsi, BPS tahun 1993, menyatakan sekitar 77% PRT melakukan semua jenis pekerjaan rumah tangga, 12% mengerjakan pekerjaan mencuci dan menyeterika, 0.8% memasak & mencuci dan menyeterika sejumlah 0,8%. Dilihat dari tingkat pendidikannya sejumlah 64% tamat SD, tidak/belum tamat SD 22,3%, tidak pemah sekolah 0,5 % , pernah sekolah di SLTP 9,6%. Jika dilihat dari lamanya waktu bekerja, rata-rata memulai kerja sejak pukul 4.30 dan mengakhiri pekerjaannya pada pukul 22.00 (16,5 jam). Upah sangat minim dan tidak selalu diterimakan setiap bulan. Mereka juga tidak mengenal hari tibur. Sangat rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh majikan perempuan maupun laki-laki, baik kekerasan fisik, psikologis maupun kekerasan seksual yang mengakibatkan luka secara fisik, psikologi, kecacatan bahkan sampai pada kematian. Antara lain kasus yang paling terkenal adalah : Kematian Sunarsih, PRT, 14 th yang meninggal karena di aniaya oleh majikannya,(Surabaya Pos 12/2 2001). Dalam khasanah hukum ketenagakerjaan di Indonesia, PRT tidak termasuk pekerja yang dilindungi hukum ketenaga kerjaan. Karenanya dapat dengan mudah dikeluarkan dari tempat kerjaannya oleh majikan, manakala majikan sudah tidak menyukainya. Dilihat jam kerja, jenis pekerjaan, sistem dan jumlah upah yang diterima, kesempatan istirahat dsn pengembangan diri bagi PRT, dan ikatan kerjanya yang tidak jelas maks pekerjaan PRT termasuk dalam pekerjaan yang eksploitatif. Apalagi jika dilihat dari rentannya PRT terhadap tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual, mengalami keterasingan dari lingkungan sekitar dan ketiadaan jaminan dan perlindungan hukum, maka jelaslah bahwa PRT termasuk dalam bentuk-bentuk perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Penelitian Tentang Trafficking terhadap Perempuan dan anak di Jawa Timur yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Hukum dan Gender (PPHG) Fakultas Hukum Brawijaya Malang, melaporkan bahwa perdagangan orang, terutama perempuan dan anak sebagai PRT juga terjadi di luar negeri, yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana tersebut di atas.
Ad.2. Komoditas Seksual dan Pomografi
Umumnya perempuan yang terjebak sebagai komoditas seksual, berawal dari penipuan atau janji dusta dari orang atau sekelompok orang yang menawarkan pada calon korban untuk bekerja di luar kota atau di luar negeri, dengan pendapatan (gaji) yang cukup menggiurkan tanpa harus memiliki tingkat pendidikan yang dibuktikan dengan ijazah. Mereka juga tidak dipungut uang untuk mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan itu. Bahkan sebagian dari pengersh/perekruit memberikan sejumlah uang sebagai uang saku kepada calon korban atau keluarga calon korban. Bentuk lain, adatah janji akan menyekolahkan atau memberikan pendidikan yang berguna bagi bekal hidupnya. Korban kemudian dibawa atau diangkut ke suatu tempat yang asing baginya, kemudian diserahkan kepada orang atau kelompok orang yang siap mempekerjakan perempuan atau anak sebagai pekerja seks. Perpindahan korban dari kekuasaan orang ke orang lain berikutnya sampai beberapa kali. (Sriwahyuni dkK) Korban dipaksa melakukan pekerjaan pelayanan seks. Korban yang masih perawan, biasanya melewati dan menjadi obyek pelelangan dengan harga yang sangat tinggi. Pelelangan keperawanan semacam ini terjadi di dalam maupun di luar negeri (Leiang Perawan di Sabah, kompas, 16 Okt 2002). Korban yang telah dibeli melalui leiang kemudian mengalami perkosaan dari pembeli tersebut. Penolakan hubungan seks dengan pembeli mengakibatkan penganiayaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh pembeli dan germonya. Perkosaan tersebut mengakibatkan korban mengalami luka fisik dan luka bathin vanq sanqat mendalam. Lebih jauh, korban meniadi tidak berdava, merasa tidak berguna lagi dan hancur seluruh masa depan dan kehidupannya. (Jebakan calo dan genno memaksanya melacur, Kompas 13 Mei 2002). Mereka juga mengalami tekanan untuk melakukan pelayanan-pelayanan paksa, dengan kekerasan. Berisiko mengalami penganiayaan seksual oleh pelanggan dan berisiko tinggi terkena penyakit menular seksual seperti Siphilis, GO dan HIV/AIDS. Germo/mucikari memasukkan korban dalam jebakan hutang dengan jumlah yang besar dan mengambil keuntungan dengan mengharuskan membayar uang makan dan uang kamar yang jumlahnya sangat besar.
Perempuan dan anak-anak yang dipandang sudah tidak memiliki daya tarik dan tidak lagi memberikan keuntungan, selanjutnya oleh germo dijual kepada germo (mucikari) lainnya dengan harga murah.
Sri Wahyuningsing dkk, dalam penelitiannya menyatakan bahwa perdagangan orang dalam bentuk eksploitasi untuk komoditi seksual mengandung unsur-unsur: perekruitan, penipuan, pengangkutan, pemindahtanganan, pemberangkatan dan penerimaan. Selain itu korban berada dalam posisi rentan (tidak punya pilihan) terhadap berbagai bentuk kekerasan, terisolasi, dan tereksploitasi secara seksual maupun ekonomi.
Penelitian tersebut menitik beratkan pada perdagangan dalam bentuk eksploitasi seksual lintas Negara dari Indonesia ke Malaysia dan ke Jepang. Sementara hasil penelitian trafficking di Riau oleh Universitas Padjadjaran Bandung melaporkan bahwa praktek perdadangan orang terutama perempuan dan anak, juga terjadi dalam wilayah Indonesia, migrasi bersifat lintas daerah dan atau lintas pulau. Sedangkan hasil penelitian trafficking di Jawa Barat oleh Universitas Padjadjaran Bandung melaporkan bahwa praktek perdadangan orang terutama perempuan dan anak, berada dalam wilayah daerah migrasi bersifat desa ke kota.
Hal yang sama juga dialami oleh perempuan korban komoditi pornografi. Perempuan dan anak korban komoditi pornografi pada awalnya mengalami tipuan, bujukan dan rayuan untuk menjadi Foto model atau model iklan. Narnun setelah masuk dalam lingkungan pelaku kejahatan pornografi, mereka disituasikan dalam keadaan tidak berdaya, terjebak dalam lilitan hutang, ketergantungan obat terlarang atau produk-produk tertentu. Mereka diharuskan meiakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pornografi.
Ad.3 Tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan , perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa, antara lain Tenaga perahan untuk jermal, laut dan pekerbunan.
Pekerjaan di Jermal adalah pekerjaan di laut lepas di wilayah laut Sumatra Utara yang sangat membahayakan keselamatan anak-anak. Disamping itu mereka bekerja dengan beban pekerjaan dan waktu yang sangat lama, rata-rata mereka bekerja sekitar 14 sampai 20 jam. Pekerjaannya adalah menunggu/memegangi alat tangkapan ikan, menarik katrol, mengangkut keranjang ikan yang telah terisi, merupakan beban yang besar dan berat. Gaji mereka Rp. 100 ribu tiap bulan diterimakan secara bulanan (Masalah Pekerja Anak Jermal di Sumatra Utara, Kompas 26 Juli 2002). Anak-anak ini , seturuhnya anak laki-laki rentan mengalami kekerasan seksual (sodomi) dari para pekerja dan mandor yang lebih dewasa. Akibat dari pekerjaan jermal ini anak-anak mengalami penderitaan : kehilangan kesempatan membagun watak dan jati dirinya, tidak dapat menikmati masa belajar dan bermain, terganggu kesehatan dan perkembangan fisiknya dan menaalami pelanaaaran HAM seperti : jam keria vana panjanq, lembur paksa, dibayar paksa, tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan sosial, status hubungan kerja yang tidak jelas dan tidak terdaftar sebagai pekerja.(Buletin Anak, Juli 2000)
Korban berasal dari keluarga tidak mampu. Rata-rata perekrut anak-anak ini mendatangi orang tuan mereka dan meminta anaknya untuk diajak bekerja. Biasanya perekrut pekerja anak ini memberikan uang muka kepada orang tua mereka. Perekrut tenaga anak-anak Jermal mendapatkan upah sekitar Rp. 15.000 - 20.000 per kepala dari majikan atau mandor. Narnun ada beberapa dari anak-anak itu mengaku bahwa ia adalah anak jalanan yang diculik dari jalanan dan dipaksa bekerja di jermal.
Pekerja anak-anak perkebunan dan pertanian tak jauh berbeda dengan anak-anak jermal. Mereka terdiri dari anak-anak laki-laki dan perempuan. Jika jermal hanya ada di Sumatra utara, pekerja anak di laut, di perkebunan dan pertanian terjadi hampir di seluruli wilayah laut, pertanian dan pekerbunan di Indonesia. Narnun dampak dari pekerjaan di perkebunan tak jauh berbeda dengan yang dialami anak-anak dijermal.
Jumlah anak-anak yang bekerja di perkebunan dan pertanian ini cukup banyak. Data BPS Kalimantan Timur menyebutkan terdapat 23.283 anak berstartus sebagai pekerja, dari jumlah tersebut 60,1 % bekerja di bidang pertanian dan perkebunan. (Kompas 24 April 20C2). Sedangkan di Sumatra Utara, Hasil penelitian LAAI 1999 menyebutkan sejumlah 4.507 bekerja di perkebunan tebu. Umumnya mereka telah putus sekolah, dengan usia terendah 9 tahun. Bekerja sejak pk 4 pagi hingga pk 2 siang. Sementara, terdapat ribuan anak bekerja di pekebunan tembakau, tebu, cokelat, sawit dan karet milik negara (PTPN) urnumnya mereka bekerja dengan upah rendah. Bahkan sebagian dari mereka tidak menerima upah kerena hanya "membantu" orang tuanya yang bekerja di PTPN tersebut (kompas 24 Juli 2002). Hal serupa juga terdapat di daerah Jember, Jawa Timur.
Hasil Penelitian JARAK tentang anak-anak yang bekerja di laut dan pantai sebagai pengumpul batu apung, di Desa Luk, Mataram, Lombok menunjukkan bahwa anak-anak, laki-laki dan perempuan, bekerja sangat keras dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore untuk menggali, mencuci, mengarungkan sampai dengan mengankut karung batu apung, dengan ongkos setiap karung Rp. 50 rupiah dan hasil rata-rata per hari Rp. 1.000 - 4.000. rata-rata mereka ber Jsia 9-16 tahun. Tidak memiliki kesempatan untuk sekolah.
Ad. 4 Menjadikannya pengemis, pengamen dan pekerjaan jalanan lainnya
Anak-anak, laki-laki dan perempuan, yang dijadikan pengemis, pengamen, penyemir sepatu atau pekerjaan jalanan lainnya urnumnya mengalami eksploitasi, mereka bekerja dalam waktu yang sangat lama, tidak punya kesempatan belajar dan bermain, dan berada dilingkungan yang membahayakan keselamatan jiwanya serta mempengaruhi pertumbuhan kejiwaannya. Mereka juga rentan terhadap kekerasan, yang dilakukan oleh orang dewasa (preman, aparat dan masyarakat urnumnya) maupun oleh orang tuanya sendiri, seperti pernukulan, di caci maki dan dihardik, disodomi ataupun diperkosa.
Jika dilihat dari relasi kekuasaannya, mereka tergolong dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah mereka bekerja atas paksaan suatu kelompok atau sindikat, dan diwajibkan untuk menyetorkan hasil dari kerjaannya.
Hasil penelitian lrwanto dkk, menyatakan bahwa di Batam misalnya, anak-anak jalanan di datangkan oleh suatu kelompok yang mengangkut mereka dari Pariaman, Sumatra Barat. Mereka diambil dari keluarga miskin dan dijanjikan untuk disekolahkan. Sedangkan di Bali, anak-anak direkruit dari desa miskin di Karangasern dan Bangli, lalu diangkut ke Denpasar, Pantai Kuta, Gianyar dan Tuban. Kelompok kedua adalah mereka yang dipaksa oleh orang tuanya sendiri untuk bekerja di jalanan, diharuskan menyetorkan sejumlah uang kepada orang tuanya. Kasus di Makasar, misalnya dalam satu hari anak-anak ini menyetor kepada lbunya sebesar Rp. 20.000 -35.000. (kompas 20 Maret 2002). Kelompok ketiga adalah mereka yang lari dari rumah dan bekerja secara bebas untuk dirinya sendiri. Narnun anak-anak ini mengalami berbagai bentuk eksploitasi seperti dirampas uangnya oleh preman yang lebih dewasa, atau oleh petugas keamanan dan ketertiban (trantib)
Ad. 5. Adopsi palsu/ dan penjualan bayi yang diternukan di daerah konflik atau daerah miskin.
Adopsi palsu pada urnumnya dilakukan oleh sindikat . Anggota sindikat mendatangi daerah-daerah miskin, daerah konflik, daerah penampungan atau daerah yang mengalami bencana. Mereka datang untuk mengadopsi bayi-bayi di bawah usia 1 tahun. Dengan janji agar bayi tersebut memperoleh pemeliharaan dan perawatan yang lebih baik. Namun kenyataannya bayi-bayi tersebut dijual ke pihak lain dengan harga yang cukup tinggi sehingga sindikat memperoleh keuntungan besar.
Beberapa contoh kasus adopsi palsu : Seorang Bayi di Solo diadopsi oleh sindikat untuk dijual ke luar negeri (KR 20/4/2000), Sebuah sindikat membeli bayi-bayi yang dilahirkan oleh anak jalanan/ perempuan miskin dan menyewakannya untuk mengemis (Kompas 5 & 7/4/2000), Sebanyak 20 bayi dari Poso, Sekangwatampohe, Sinjai, Masamba diadopsi oleh sindikat yang membangun "Panti asuhan bayi" dan membawanya ke Majene untuk dibesarkan dan dijadikan buruh perkebunan cokelat ( Republika 7/8/2000), sejumlah 5 bayi akan dijual ke Malaysia, tertangkap di Riau ketika transit ( Media Indonesia, 17/7/2000), Seorang bayi di bawah 1 tahun di bawa dari Tanjung Balai dalam peti Es menuju Malaysia untuk di jual (Sijori 24/2/2000). Modus terbaru, Tiga perempuan hamil diajak ke Malaysia dengan janji mendapatkan pekerjaan dan upah tinggi. Sampai di Kota Kuching, mereka disekap bersama sekitar 10 perempuan hamil lainnya asal Indonesia. Setelah beberapa hari dilahirkan, bayi akan diambil oleh sindikat dan ibunya akan dijual sebagai PRT. Tiga perempuan tersebut berhasil lolos dan melarikan diri ke Pontianak, dan ditampung oleh LBH APIK Pontianak (Pontianak Post 24/5/2002)
Ad. 6 Menjadikannya Isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi
Ada dua bentuk perdagangan melalui perkawinan, pertama perkawinan digunakan sebagai "jalan" penipuan untuk mengambil perempuan tersebut dan membawanya di wilayah lain yang sangat asing baginya, narnun sesampainya di wilayah tujuan perempuan tersebut dimasukkan ke dalam prostitusi. Kedua adalah perkawinan untuk memasukkan perempuan tersebut ke dalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik yang sangat eksploitatif bentuknya. Proses perkawinan dilakukan melalui pesanan perjodohan yang dilakukan oleh perorangan atau sebuah "biro perjodohan" dengan janji akan diperternukan dengan "laki-laki baik-baik" sedangkan perempuannya diiklankan sebagai perempuan yang cantik, penurut , cakap dalam pekerjaan rumah tangga dan setia.
Narnun tidak semua perkawinan pesanan melalui perjodohan dapat dilihat sebagai perdagangan perempuan. Perkawinan pesanan ini menjadi perdagangan perempuan manakala diternukan bahwa perempuan atau laki-laki, narnun sebagian besar korbannya adalah perempuan- mengalami eksploitasi. Antara lain penipuan, penyengsaraan, penahanan dokumen sehingga perempuan tersebut tidak dapat melepaskan diri dari eksploitasi, ditutup akses informasi dan komunikasi dengan keluarganya.
Di Indonesia kasus pekawinan banyak terJ adi terhadap perempuan Singkawang, Pontianak dan Sambas Kalimantan Barat dengan Laki-laki Taiwan. Pada tahun 1980-an kasus perkawinan Perempuan solo dan laki-laki Suriname sempat muncul ke permukaan dan menjadi diskusi hangat di Indonesia.
Ad. 7 Menjadikannya alat untuk melakukan Perdagangan Narkotika
Sindikat perdagangan obat terlarang seringkali menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai alat atau jalan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan : Proses produksi, Pemasaran/pengedaran, penyimpanan, penyelundupan atau pengantar Narkotika dan obat-obat terlarang. Beberapa cara yang dipergunakan menggunakan paksaan, ancaman kekerasan, kekerasan atau penipuan kepada anak-anak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang merupakan mata rantai perdagangan obat terlarang. Pola-pola yang dilakukan oleh sindikat selain dengan cara-cara tersebut di atas, juga menggunakan jebakan hutang dan atau ketergantungan obat, harapan keuntungan bagi kelompok miskin dan memasukkan korban ke prostitusi.
Di Bali kasus penggunaan anak-anak jalanan sebagai pengantar obat terlarang telah terungkap dalam penelitian lrwanto dkk.: Beberapa anak jalanan mengaku pernah disuruh mengantarkan bungkusan, narnun tidak diketahui isinya tersebut, dan diawasi secara ketat. Anak-anak jalanan merupakan kelompok paling rentan terhadap prakterk kejahatan ini. Peredaran obat terlarang juga terjadi di sebagian perempuan korban eksploitasi pelacuran. Kasus Perdagangan perempuan di Sabah misalnya, dalam lingkungan tersebut sekaligus menjadi arena perdagangan obat terlarang dan minuman keras, (Kompas, 16/10/2002)
Ad. 8 Menjadikannya sebagai obyek/sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
Beberapa anak dari des? Karangasern, Kintamani dan Bangli diangkut ke Kuta, Ubud, Candi Dasa dan Denpasar untuk memenuhi kebutuhan seksual pengidap phidophile. Rata-rata mereka dari keluarga miskin, dijanjikan untuk bekerja atau disekolahkan. Anak-anak tersebut di bawa ke kota besar di Bali oleh orang Indonesia atau penduduk lokal yang memiliki hubungan yang sangat baik dengan pengguna jasa. Hampir seluruh pengguna jasa (pembeli) adalah orang asing, dari Australia, Perancis, Amerika atau German. Tak jarang setelah mereka bosan, pembeli tersebut menjualnya lagi ke pengidap phidophilie lainnya di Bali, atau membawanya ke luar negeri, atau mereka dibuangbegitu saja. Ratusan anak-anak dari desa-desa di Bali sampai sekarang belum kembali, mereka diisolasi atau disekap dalam suatu ruangan. Bila mereka mencoba untuk kembali, mereka dianiaya, diancam kekerasan atau diberitahukan bahwa mereka sudah tidak "suci" lagi dan tidak bisa diterima oleh masyarakat. Sebagian dari mereka mengalami stress, trauma, kesakitan dan mencoba bunuh diri.
Ad. 9 Menjadikannya obyek percobaan dibidang ilmu pengetahuan atau obyek
pencangkokan organ tubuh.
Perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak dengan modus operandi percobaan di bidang ilmu pengetahuan atau obyek pencakokan organ tubuh ini belum cukup banyak terdeteksi di Indonesia. Belum Ada penelitian tentang kasus ini. Narnun perternuan ketompok perempuan di Lombok membahas kasus pemberian imunisasi pada tahun 90-an dengan menggunakan bahan yang masih dalam taraf percobaan. Dua puluh bayi meninggal akibat imunisasi tersebut. Percobaan tersebut tanpa ijin pemberitahuan kapada orang tua korban. Narnun kasus-kasus serupa ini banyak terjadi di beberapa negara. Korban dari kejahatan perdagangan bentuk ini, selain kelompok miskin, orang atau anak yang lepas dari ikatan keluarga, seperti anak-anak jalanan, gelandangan dan lainnya, yang sangat kecil kemungkinannya untuk dicari oleh keluarganya. Kasus ini diawali dengan penipuan, penyekapan kemudian dimasukkan ke dalam pratek percobaan atau pengambilan organ tubuh. Di Philipina, misalnya terjadi kasus penculikan dan pengambilan ginjal.
Ad. 10 Menjadikannya komoditi dalam pengiriman tenaga kerja migran
Hasil dari tiga laporan penelitian yang difasilitasi oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan yaitu Penelitian di Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau secara urnum melaporkan bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak melalui jalur ini merupakan bentuk perdagangan, tersebesar di Indonesia. Korban biasanya dibujuk, atau diberi informasi yang tidak cukup lengkap untuk ikut pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Pemerasan dan penipuan terjadi sejak awal proses prekruitan, kemudian oleh sponsor (calo, agen) korban diserahkan kepada pihak lain pengirim tenaga kerja (resmi ataupun tidak). Korban kemudian ditampung di suatu tempat. Ada berbagai bentuk tempat seperti penampungan, Balai Latihan Kerja (BLK) tempat pelatihan/penampungan sekaligus tempat penyekapan. Ditempat itu korban menunggu untuk diberangkatakan. Pemberangkatan korban menunggu adanya permintaan pihak luar negeri yang berniat "membeli" korban. Setelah ada permintaan dari agen/perorangan di luar negeri, korban dikirirnkan. Sejak sampai di negara lain tersebut, pihak pengirim di Indonesia sudah tidak bertanggung jawab atas keadaan korban.
Pengiriman tenaga kerja ke Luar negeri baik resmi ataupun tidak resmi, korban mengalami berbagai bentuk penipuan, pemerasan, dan pelanggaran hak asasi, serta tanpa perlindungan hukum yang jelas sejak keberangkatan dari desa asal, selama transit, sesampai di negara tujuan. Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi tersebut anatara lain: penyekapan/isolasi selama transit dan selama di Negara penerima, pemalsuan dokumen, penganiayaan, perkosaan, jam kerja yang panjang/kerja paksa, gaji yang tidak dibayarkan sesuai perjanjian, penahanan dokumen pribadi dan dokumen perjalanan/kerja, tidak ada tempat pengaduan terhadap terjadinya perlindungan hak asasi, makan dan istirahat yang kurang, tidak ada jaminan kesehatan, diperjual belikan dari satu pihak ke pihak lain secara bergantian sehingga tidak ada kejelasan pihak yang bertanggung jawab, mengalami pengusiran dan penelantaran. Disamping itu banyak kasus menunjukkan bahwa korban mengalami ancaman dan tekanan psikologis.
Kasus-kasus tersebut dialami oleh tenaga migran Indonesia, maupun tenaga migran asing yang ada di Indonesia. Oleh karena Indonesia bukan saja menjadi negara asal, melainkan juga sebagai negara transit dan negara tujuan migrasi.
Ad. 11 Menjadikannya sebagai alat bayar hutang/Klaim Asuransi
Kasus Penyerahan anak /perempuan sebagai pengganti pelunasan hutang, meski tidak banyak di liput oleh media massa, narnun kasus ini masih banyak terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah miskin. Kasus ini terungkap dalam Outreach pendidikan politik di daerah-daerah pedesaan, khususnya daerah pertanian dan nelayan miskin, yang diadakan oleh Koaliasi Perempuan. Kasus semacam ini juga menjadi bahan pembahasan dalam kongres Perkumpulan Perempuan Indonesia II dan menjadi dasar dibentuknya Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan anak (P4A) pada tahun 1930. Korban pembayaran hutang kemudian dinikahi atau dijual untuk dimasukkan ke dalam prostitusi oleh pemberi hutang, lalu diangkut dan dipindahkan ke suatu tempat lain. Perempuan/anak-anak rentan terhadap kekerasan termasuk kekerasan seksual, mengalami tekanan psikologis, dan isolasi.
Selain itu, kasus perdagangan untuk klaim asuransi, juga pernah terjadi antara tahun 85-87, perekruitan anak-anak jalanan dan gelandangan yang diambil oleh sindikat untuk diikutkan asuransi. Mereka kemudian dibunuh sehingga pihak sindikat dapat mengajukan klaim. (Kasus anak Girli, KR Yogyakarta 85-87)
C. Peta Jaringan Kejahatan
Berdasarkan uraian unsur-unsur definisi perdagangan orang, terutama perempuan dan anak, dan dikaji dan berbagai penelitian, terutama penelitian di Rian, Jawa Barat dan Jawa Timur yang difasilitasi oleh Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan, maka jaringan kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak melipuiti : 1. pelaku orang perorangan, yang bekerja sendiri, termasuk mereka yang menjadi pembeli jasa pelayanan seks. 2. Jaringan kerja terputus yaitu orang-orang yang bekerja secara sendiri-sendiri dan tidak saling mengenal, narnun satu dan lamnya merupakan rangkain kejahatan perdagangan. 3. Jaringan kerja yang terorganisir yaitu kumpulan orang-orang yang saling mengenal bekerja sama yang secara sistematis. Jaringan kerja terorganisir ini dengan atau tanpa bentuk formal badan usaha. Dilihat dari wilayah operasionalnya, rangkaian kerja mereka meliputi : Desa miskin sebagai daerah asal tempat mencari korban, perkotaan sebagai daerah tujuan dan atau daerah transit (pemberhentian sementara),dan negara !ain sebagai daerah tujuan. Daerah/negara asal urnumnya adalah daerah miskin, sedangkan daerah/negar transit adalah daerah yang memiliki faktor penunjang untuk keiancaran rangkain kegiatan perdagangan orang dan daerah/negara tujuan dalah daerah yang dapat memberikan keuntungan bagi kegiatan perdagangan orang tersebut. Faktor-faktor penarik dan pendukung tindak kejahatan perdagangan orang, terutama perempuan dan anak adalah 1) kesulitan ekonomi, 2) keluarga yang tidak harmonis, 3) perkawinan dan perceraian usia dini 4) korban kekerasan seksual pada usia dini 5) korban perkosaan 6) terbatasnya kesempatan kerja 7) terpengaruh oleh anak/perempuan lain yang sukses bekerja di kota atau diluar negeri. Maka mereka direkruit melalui proses yang beragam antara lain a) ditipu, ditekan dengan cara dipenuhi kebutuhan hidupnya b) korban biasanya ditawari bekerja di rumah makan, konveksi, pabrik dan sebagai PRT (yang tidak membutuhkan pendidikan formal tinggi) c) agen datang dan mempengaruhi orang tua agar menyuruh anaknya bekerja tanpa mengata, d) terkadang agen memberikan hutang kepada orang tua untuk kemudian anak akan membayar dengan upah yang mereka terima setelah bekerja.
Karateristik korban perdagangan orang, terutama perempuan dan anak untuk dilacurkan antara lain : perempuan, usia 12- 24 tahun, berasal dari keluar; miskin. mencari pekerjaan atau anak jalanan dan korban penculikan.
BAB IV
TINJAUAN UMUM, PRINSIP DAN AZAS SERTA PENGERTIAN
A. Tinjauan Urnum Perdagangan orang, terutama perempuan dan anak yang dikualifikasi sebagai tindak pidana yang serius dan merupakan pelanggaran HAM terjadi semakin meningkat, di dalam wilayah negara Republik Indonesia atau di luar wilayah negara. Dilihat dari kualitas modus operandinya, kejahatan ini semakin meningkat dan kompleks baik dalam bentuk-bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik yang dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun bersindikat. Demikian pula dari kuantitas pelakunya, pelaku perorangan maupun kelompok jumlahnya semakin meningkat. Sedangkan dari jumlah korbannya semakin meningkat secara drastis. Sebagai gambaran banyak anak perempuan Indonesia yang terperangkap di hotel-hotel di Tawau, Sabah, Malaysia, yang dipaksa untuk menjadi pekerja seksual komersial (PSK). Di Tawau saja ada 1000-an anak yang mengalami nasib seperti itu (Gatra, 12 Oktober 20002). Semakin meningkatnya kejahatan terhadap perdagangan orang, terutama perempuan dan anak ini disebabkan oleh perkembangan unsur-unsur pola dan peta serta jaringan kejahatan tersebut sebagaimana diuraikan dalam Bab III, menunjukkan bahwa sistem hukum tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut. Ketidakmampuan hukum terjadi karena sistem hukum kita belum memadai bila dilihat dari sisi substansi, struktur dan kultur hukumnya. Hal tersebut dikatakan oleh Friedman, dimanaa sistem hukum (legal system) mempunyai unsur-unsur materi/substansi (law material), struktur (law structure) dan budaya hukum (law cultural). Apabila ditinjau dari segi yuridis, hukum tidak semata-mata dilihat dari sudut dogmatis saja seperti halnya perdagangan perempuan dan anak, tanpa melihat hukum itu dibutuhkan untuk kepentingan masyarakat (ajaran hukum murni dari Hans Kelsen), tapi juga harus melihat hukum sebagai suatu gejala sosial. Kemiskinan, pengemisan, prostitusi dan migrasi merupakan dampak sosial dari masyarakat, yang tumbuh dan berkembang (secara historis) sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, hukumpun berkembang dengan memperhatikan aspek sosiologis sebagai gejala sosial, dan bahwa hukum itu tidak hanya terdiri dari norma-norma yang tersusun secara sistematis, tetapi juga sekaligus hukum itu mempunyai berbagai aspek.3) Oleh karenanya hukum yang hendak mengatur perdagangan orang terutama perempuan dan anak, hendaknya memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya .dalam masyarakat. Keluarga merupakan suatu organisasi sosial (Herkovits: 1944 : 82). Orang tua sebagai anggota keluarga melihat bahwa anak-anak mereka (perempuan dan anak) merupakan komoditi ekonomi, mereka dapat diharapkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ketika keluarga dalam keadaan miskin. Pemenuhan kebutuhan hidup dalam keluarga oleh perempuan dan anak tercermin dengan dibangunnya rumah-rumah modem (Blitar) dan hidup yang layak.4) Hal ini juga merupakan gengsi keluarga untuk menimbulkan beberapa motivasi psikologis yang dalam pengalaman termasuk motivasi yang paling merajainya5)), termasuk aspek
3) Penelitian terhadap perdagangan perempuan tidak hanya dilihat secara dogmatis (Hans Kelsen), ataupun historis (Von Savigny), tapi yang penting adalah bagaimana hukum itu tidak hanya secara normatif saja tap! berdampak pada sosiologis. Tulisan Sumaryati Hartono " Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke 20".
4) Hasil Penelitian dan Unibraw. 5)) Melville J. Hershovits: Organisasi Sosial : Struktur masyarakat", dalam Pokok-pokok Antropologi Budaya, Hal.: 83.
ekonomi dalam keluarga. Hal ini menimbulkan dorongan bagi perempuan untuk bekerja terutama sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri.
1. Tinjauan Filosofis
Pancasila sebagai falsafah negara merupakan landasan ideologi bangsa yang tertuang dalam mukadimah UUD 1945, yang mewajibkan Negara memikul tanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan, baik secara hukum, politik, ekonomi maupun sosial untuk mencegah, menghapuskan dan memberantas serta menghukum pelaku kejahatan dan praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Tanggung jawab negara, khususnya Pemerintah didasarkan pada ketentuan: - Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan urnum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. - Bab X A UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 281 ayat (4) menyebutkan bahwa : Perlindungan kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
2. Tinjauan Yuridis
Indonesia sebagai salah satu negara peserta dari Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita" diwajibkan untuk melaksanakan Konvensi tersebut secara konsekuen. Konvensi yang telah diratifikasi tersebut mengikat Indonesia yang memerlukan perundang-undangan nasional (Kusumaatmadja, Mochtar; 1976 :16). Konvensi PBB tersebut diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 dan masuk dalam pengertian hukum, termasuk hukum internasional. Dalam hal ini Indonesia telah menjalankan azas hukum sebagai alat pembaharuan (Kusumaatmadja, Mochtar; 1976:10) Untuk hal tersebut hukum positif yang perlu dikernukakan adalah pasal 297 KUHP dimana pasal menyebutkan bahwa "Perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur, dihukum penjara selama-lamanya 6 tahun. Politik hukum kita setelah pergantian kepemimpinan, dan perubahan kebijaksanaan ditandai dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 - 2004, merupakan kesepakatan rakyat melalui perwakilannya untuk melaksanakan program pembangunan nasional 5 tahun (Propenas). Hal tersebut merupakan akselerasi kebijakan negara sebagai personafikasi dari tata hukum nasional sebagai wujud empirik dari hukum positif (teori hukum murni dari Hans Kelsen, 1995: 2-3) Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Rl, dikeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004). Perubahan sosial yang terjadi dengan turunnya Presiden Soeharto tahun 1998 dan memulai proses demokrasi mewarnai semua segi-segi dan peri kehidupan bangsa, yaitu kedudukan hukum dari bangsa Indonesia. Seperti dikatakan Friedman: " A Crisis of society challenges the law more directly perhaps than any other branch of social activity" (Friedman, 1953:437).
Perubahan sosial yang berdampak pada politik hukum dalam pembangunan, adalah perubahan arah kebijakan hukum yang telah tercermin dalam Propenas yaitu: a. Arah kebijakan hukum dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2000: Anaka 1: menyebutkan "Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatutan hukum dalam rangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum". Angka 2: "Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi". Angka 3: " Menegakkan hukum secara konsisten untuk menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai hak asasi manusia". Anaka 4 : "Melanjutkan ratifikasi Konvensi Internasional terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-undang". i b. Program Pembangunan Hukum Salah satu program pembangunan hukum yang mendukung upaya-upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum terutama penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat adalah program pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum dalam suasana perubahan sosial menginginkan program pembangunan hukum dimanaa hukum dapat menjadi sarana pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering) dan Roscoepond dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja (Kusumaatmadja, Mochtar; 1988:25). Sebagai agen pembaharuan, hukum mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, berkembang ke arah modernisasi, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum. Untuk menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan menyeluruh menurut Mochtar (Kusumaatmadja, Mochtar; 1975:11) dilakukan dengan : a. Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan Kesadaran Hukum dalam masyarakat. b. Penertiban fungsi Lembaga-lembaga Hukum menurut proporsinya masing- masing, c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan Penegak-Penegak Hukum.
Pengertian modernisasi yang merupakan suatu kebudayaan tidak identik dengan kebudayaan Barat atau Eropa (Mattulada; 1988:72). Jadi hukum internasional yang telah dimodifikasi oleh masyarakat tidak identik dengan kebudayaan Barat, tetapi semata-mata sebagai agen pembaharuan untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum serta meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan untuk membina masyarakat, penguasa, serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Hak Asasi Manusia).
TAP MPR Nomor X Tahun 2001 merekomendasikan ke Presiden, untuk meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1949 tentang Larangan Perdagangan Perempuan (Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostituion of Others), serta membentuk badan/lembaga atau gugustugas untuk memberantas perdagangan perempuan dan anak. Selanjutnya rekomendasi tersebut di perkuat dengan TAP MPR Nomor VI Tahun 2002 yang juga merekomendasikan kepada Presiden agar ratifikasi Konvensi Internasional tahun 1949 tentang Larangan Perdagangan Perempuan (Convention for the Suppression oftheTraffick in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others), serta U.N. Convention againts Transnational Organized Crime dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children.
Jika melihat sistem hukum di Indonesia yakni ketentuan peraturan perundang-undangan (substansi hukum), struktur hukum, dan budaya hukum, maka pengaturan secara khusus tentang larangan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, belum ada.
a. Substansi hukum
Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang perdagangan orang terutama perempuan dan anak mengandung berbagai kelemahan. Walaupun ada ketentuan hukum yang dibuat untuk menghukum pelaku perdagangan orang akan tetapi tidak ada perlindungan hukum yang dirancang secara khusus untuk membantu pemuliha,n hak-hak korban, misalnya :
• Hak khusus yang diberikan kepada korban
• Kompensasi untuk korban perdagangan orang
• Lembaga khusus yang menangani masalah tersebut
Analisis lebih lanjut terhadap ketentuan mengenai perdagangan orang terutama perempuan dan anak dibahas dalam Bab VI Hukum Pidana Materiel dan Formil.
b. Struktur Hukum
Dalam proses penegakan hukum terhadap penanganan perdagangan orang
terutama perempuan dan anak terdapat beberapa kendala dari sisi prosedur
formal, kemampuan kelembagaan baik sarana dan prasarana maupun kemampuan dan sikap aparat penegak hukum belum mendukung penanganan kasus-kasus yang terjadi antara lain :
1. kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak yang menjadi korban seringkali tidak yakin akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa dan hakim) terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran tidak dipercayainya pra korban oleh aparat misalnya, sehingga kurang mendapat tanggapan yang positif.
2. kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai perdagangan perempuan dan anak-anak ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk menangani perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga masih sangat tergantung pada persepsi dan kemampuan individu petugas hukum untuk menindaklanjuti masalah ini.
3. terkadang polisi kesulitan untuk memperoleh bukti awal kecuali kesaksian
korban akan telah terjadinya perdagangan perempuan dan anak, sehingga upaya tindak lanjut menjadi sulit untuk dilakukan.
4. kesulitan untuk mendapatkan keterangan saksi, karena keengganan para
saksi untuk terlibat dalam proses peradilan yang seringkali lama dan berbelit-belit, serta adanya kemungkinan rasa takut saksi pada (ancaman) tersangka pelaku tindak kekerasan;
5. terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani
kasus perdagangan perempuan dan anak, sehingga berdampak luas dalam memprosesnya.
c. Budaya Hukum
Kesadaran masyarakat tentang hak-hak dan kewajibannya dalam pemenuhan dan pelaksanaan hak asasi manusia masih belum terbangun dengan baik. Disamping itu sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan jaminan pelaksanaan HAM khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
3. Tinjauan Sosiologis
Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian peran, tugas dan nilai-nilai serta aturan-aturan yang berbeda. Perempuan karena fungsi reproduksinya, dia ditempatkan pada ruang domestic (rumah tangga) sedangkan laki-laki ditempatkan pada ruang publik. Pembagian peran, tugas dan nilai serta aturan-aturan diberikan melalui aturan social masyarakat, adat, hukum dan interpretasi agama yang keliru. Contoh yang paling sederhana adalah pembakuan peran dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: suami adalah Kepala keluarga dan isteri adalah Kepala Rumah Tangga (Pasal 31 ayat (3) ). Pembagian peran secara baku ini ternyata berdampak sangat luas, mempengaruhi pola pengasuhan dan kesempatan bagi anak laki-laki dan perempuan. Hampir di seluruh Indonesia, terutama di pedesaan, orang tua lebih memberikan kesempatan pendidikan bagi anak laki-laki, karena suatu hari anak laki- laki harus mencari nafkah bagi anak dan isterinya. Sedangkan anak-anak perempuan dianggap tidak terlalu membutuhkan pendidikan karena suatu hari nanti akan mengikuti dan dipelihara oleh suaminya. Selanjutnya, orang tua memilih segera menikahkan anak-anak perempuannya dalam usia muda (bahkan dalam usia anak- anak) dengan beberapa alasan, antara lain untuk meringankan beban kemiskinan keluarga, kekhawatiran anak perempuannya kehilangan keperawanan, kekhawatiran anaknya tidak laku dan menjadi perawan tua. Data Susenas 1998 menyatakan bahwa perkawinan anak-anak (di bawah 16 tahun) cukup tinggi dan bahkan mencapai 16% di Jawa Barat. Pemahaman demikian mengakibatkan anak perempuan memperoleh peluang pendidikan lebih kecil dari anak laki-laki.
Masyarakat juga telah mengajarkan bahwa isteri yang baik adalah isteri yang menurut kepada Kepala Keluarganya. Dalam sebuah keluarga perempuan selalu diberikan pendidikan untuk rela berkorban untuk keluarga, sehingga banyak perempuan yang bekerja bukan untuk mengaktualisasikan dirinya atau melaksanakan haknya, narnun sekedar membantu suami untuk menambah penghasilan keluarga. Anak yang baik adatah anak yang menurut kepada keputusan orang tuanya. Banyak juga anak-anak yang terpaksa bekerja untuk membantu perekonomian keluarga atau kasihan kepada orang tuanya. Anak-anak perempuan yang kurang pendidikan terpaksa melakukan migrasi (perpindahan tempat) untuk dapat memperoleh pekerjaan.
Hal lain yang mengernuka di dalam masyarakat Indonesia, juga di dalam masyarakat dunia adalah posisi perempuan dan anak yang berada di bawah laki-laki. Bahkan dalam pengambilan keputusan pun mereka bukantah subjek yang berhak untuk mengambil keputusan, tak terkecuali untuk hal-hal yang berkaitan dengan tubuh, seperti pengambilan keputusan dalam Keluarga Berencana dan pelayanan kesehatan. Sedangkan anak-anak tidak diberi hak untuk mengambil keputusan dalam hal pendidikan, usia kawin dan rencana masa depannya sendiri.
Nilai lain yang diajarkan adalah kepatuhan dan menerima keadaan serta menjaga agar tidak terjadi suatu gejolak dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat. Kita tentu sering mendengar kata ini "dari pada ribut, ya lebih baik menerima saja" atau "dari pada jadi perkara, dan kita menjadi susah dibuatnya". Tatanan semacam inilah yang selama lebih dari puluhan bahkan ratusan tahun beriaku dalam masyarakat kita khususnya dalam masyarakat desa. Kita tidak pernah tahu dengan pasti, apakah tatanan nilai semacam ini merupakan nilai dasar yang tumbuh secara alami dalam masyarakat kita, ataukah represi kolonial yang telah tertanam yang kemudian berianjut dengan represi demi represi pada setiap pergantian pemerintah sesuai upaya, rezim demi rezim. Sehingga berbagai kebijakan yang berdampak pada dan membawa mereka ke dalam proses pemiskinan, atau ketidaktahuan yang terus berlangsung.
Perempuan dan anak dari keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mempunyai dorongan secara internal (aspek karakter individu) yang bercirikan berasal dari keluarga miskin, usia muda (16 - 19 tahun), pendidikan rendah, berpenampilan menarik sehingga memiliki potensi untuk dipekerjakan di tempat hiburan, ketrampilan dan akses terhadap informasi terbatas (Hasil studi Unpad tahun 2002). Bila anak perempaun ingin bekerja, maka orang tua kurang menunjukkan sikap yang mampu untuk mempertimbangkan resiko, bersifat tugu, kepribadian dalam arti penyerapan terhadap nilai atau etika sosial kurang kuat. Pola asuh keluarga dan peran orang tua cenderung permisif, kohetivitas keluarga sebagai unit sosial lemah dan daya integrasi keluarga kurang kuat. Jadi faktor ketahanan keluarga belum dapat mencegah adanya indikator terjadinya perdagangan perempuan dan anak (Paparan hasil penelitian Unpad tahun 2002).
Selain faktor internal yang diuraikan di atas, faktor eksternal berupa lingkungan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat juga menjadi indikator terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Apabila dilihat dari aspek kultur atau nilai, struktur sosial masyarakat dan pola hubungan atau interaksi sosial seperti yang diteliti oleh PSW Unpad Bandung di daerah pantai utara Pulau Jawa Barat, maka masyarakatnya sedang mengalami banyak perubahan. Adapun kultur atau nilai yang berkembang pada lingkungan masyarakat tersebut mengalami banyak variasi norma atau nila yang orientasi material (polynormatif). Hal tersebut juga terjadi di Jawa Timur (Blitar) seperti hasil penelitian yang dialkukan oleh PSW Unibra
Pembangunan di bidang pendidikan di pedesaan juga sangat terabaikan, pertama sarana dan prasarana pendidikan seperti sekolah, guru, buku bacaansangat terbatas. Meski Pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 6 tahun dandisertai pendidikan gratis uang Sumbangan Pelaksanaan Pendidikan (SPP) di SD Inpres, narnun pada prakteknya orang tua murid dibebani berbagai macam biaya seperti uang seragam (seragam sekolah, olah raga dan prarnuka), uang buku, bantuan untuk alat-alat sekolah dan uang kegiatan serta uang ujian atau test belajar, disamping tentu saja orang tua masih harus menanggung uang transport. Ketidak mampuan secara ekonomi orang tua menjadi alasan untuk menghentikan anak-anaknya dari sekolah.
Berdasarkan data BPS, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2001) persentase rumah tangga yang mempunyai fasilitas listrik adalah di daerah pedesaan 77,4%: di daerah kota 97,8%; di pedesaan dan perkotaan 86,3%. Akibatnya, tidak ada fasilitas hiburan, pada malam hari, praktis seluruh kegiatanberhenti, rawan kekerasan (perampokan dan perkosaan), jam belajar anak pada malam hari tidak maksimal, langka (hampir tidak ada) informasi seperti TV yang masuk.
Sebagian besar dari penduduk di pedesaan mengalami kesulitan air bersih, sanitasi yang memadai dan listrik. Mereka harus berjalan untuk jarak yang cukup jauh guna memperoleh air untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001, menyatakan bahwa rasio atau perbandingan antara golongan termiskin dan terkaya dalam memperoleh akses terhadap sumber air bersih (0,33), sanitasi yang memadai (0,18) dan listrik (0,71).
Kebijakan pembangunan, yang lebih mengutamakan penambahan bangunan gedung-gedung, baik untuk alasan perkantoran maupun pembelaan kepada pemodal, melalui pembebasan tanah, penggusuran paksa ataupun pembelian tanah pertanian telah mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan pertanian. Sensus Pertanian tahun 1993 menunjukkan bahwa hanya 16 persen petani yang memiliki tanah lebih dari satu hektar, 14 persen petani yang memiliki lahan antara 0,5 - 0,9 hektar, sebanyak 27 persen memiliki lahan 0,1-0,4 hektar sedangkan sisanya 43 persen petani hanya memiliki lahan pertanian di bawah 0,1 hektar atau tidak memiliki lahan sama sekali (Endang Suhendar, Kondisi sector Pertanian, 1995) Disamping itu kebijakan Revolusi Hijau yang lebih menekankan pada penggunaan bahan-bahan hasil industri seperti pupuk, insektisida, dan pestisida serta Benih unggul yang harganya dikendalikan oleh pemodal, lebih sering menimbulkan kerugian bag; petani karena biaya produksi yang lebih besar dari hasil pertanian yang diperolehnya. Lebih-lebih karena penentuan harga dasar gabah yang ditentukan oleh pemerintah sangat rendah. Mekanisasi pertanian dalam revolusi Hijau, telah meminggirkan perempuan pedesaan dari proses pertanian. Untuk memperoleh hasil pertanian yang cepat, petani kaya lebih menyukai sistem tebasan (dengan arit) dari pada menuai padi (dengan ani-ani), sehingga kebutuhan akan buruh perempuan semakin berkurang (Agricultural, Gary E Hansen, 1976). Sedangkan Aan Staler dalam Rice Harvesting in Kaliloro; a study of class and labour in Rural Java (1977) menyebutkan bahwa dengan sistem tebasan semakin banyak perempuan desa yang menjadi buruh rontokan padi sisa panen, padahal sebelumnya pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak kecil dan perempuan tua.
Ketimpangan gender dalam masyarakat cukup tinggi. Dalam studi yang dilakukan oleh Bappenas/Unicef dinyatakan bahwa kemauan politis untuk mengimplementasikan isu-isu yang berkaitan dengan gender masih sangat lemah. Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbagai bentuknya merupakan isu yang sangatmembutuhkan perhatian serius. Survey terhadap hubungan suami-isteri pada tahun 1997, yang dilakukan oleh Bappenas /Unicef menunjukkan bahwa 11% dari 339 responden laki-laki mengakui telah menyiksa isterinya dan 19 % mengakui telah melakukan intimidasi psikologis. 362 responden perempuan melaporkan bahwa mereka dipukul (16%), ditendang (9%), sisanya diludahi atau disundut rokok (Bappenas/Unicef, 2000 dari Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2001 BPS.BAPPENAS.UNDP).
Disamping itu, pandangan laki-laki yang hanya molihat perempuan sebagai obyek pemenuhan nafsu seksual laki-laki, yang masih berlangsung di seluruh dunia termasuk di Indonesia, semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan terhadap eksploitasi seksual oleh laki-laki. Disamping itu, kampanye akan bahaya HIV/AIDS, dimaksudkan agar setiap orang menghindarkan dari seks tidak aman, ternyata berdampak serius bagi perempuan. Laki-laki lebih menyukai mencari anak-anak untuk pernuasan nafsu seksual, karena dianggap relative bersih dan lebih kecil terinfeksi penyakit tersebut. Bahkan laki-laki memilih berebut dan relamengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar untuk mendapatkan pelayanan seksual dari anak-anak perempuan yang masih perawan. Kasus Leiang Perawan di Sabah Malaysia (Kompas, 16 Oktober 2002) mengungkapkan bahwa rata-rata para laki-laki hidung belang rela mengeluarkan uang tidak kurang dari 5.000 ringgit untuk memperoleh seorang anak perawan. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Kofifah Indar Parawansa menyatakan prihatin bahwa 4.300 dari 6.800 perempuan pekerja seks di Malaysia berasal dari Indonesia (63,2 %), urnumnya berusia sekitar 13-16 tahun (Kompas 10 Mei 2001) Lemahnya kedudukan dan rendahnya jumlah perempuan dalam struktur dan proses politik, ditingkat perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan publik baik di eksekutif, legislative dan yudikatif di seluruh tingkat (dan pusat sampai ke desa) berakibat pada rendahnya akses (peluang), control (pengendalian), partisipasi(keikut sertaan dan benefit (manfaat) pembangunan yang dapat dinikmati oleh perempuan sejak proses perencanaan sampai dengan hasilnya (kertas Posisi Tindakan khusus Sementara : menjamin Keterwakilan perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia)
Himpitan kemiskinan, jauhnya dari akses pendidikan, air bersih dan kesehatan, rendahnya daya beli, fasilitas urnum dan hiburan, serta masa depan yang tidak memberikan janji, mendorong orang-orang muda, untuk keluar dari desa, mengejar satu keinginan yang manusiawi agar membuat hidupnya lebih baik dari hari ini. Lebih dari itu mereka ingin berkorban demi keluarga dan membantu keluarga yang masih ada di desa. Sampai di sini kita dapat menganggap bahwa ini adalah persoalan wajar yang dihadapi oleh setiap orang, terutama orang muda.
Persoalannya menjadi lain, jika kita menghubungkan kondisi orang-orang tersebut dengan hadirnya orang-orang yang memanfaatkan ketidak berdayaan mereka. Mereka yang tidak cukup bekal pengetahuannya karena rendahnya tingkat pendidikan berhadapan dengan orang-orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dan memiliki kemampuan finansial. Merekalah orang yang sering disebut sebagai "agent atau agen" yaitu orang-orang yang mewakili suatu lembaga atau badan hukum, sebagai petugas lapangan, datang ke desa-desa untuk mencari orang-orang (terutama) perempuan-perempuan desa untuk bekerja pada suatu tempat. Sebagai agen, mereka kemudian menempatkan orang-orang yang tidak cukup pendidikan ini pada suatu tempat atau dalam kekuasaan orang lain, sehingga yang bersangkutan secara sadar atau tidak sadar, rela atau tidak rela, mereks mengalami eksploitasi dan menjadi objek perdagangan perempuan dan anak Sementara agen tersebut mendapatkan keuntungan besar, bahkan secara terus-menerus selagi korban yang ditempatkan ke dalam kekuasaan orang lain tersebut berlangsung. Sedangkan petugas lapangan dari "agen" menunit pengakuannya menerima upah sebesar Rp. 50.000 setiap orang yang akan menjadi buruh/pekerja migran, dan Rp. 25.000 - 30.000 untuk pemasokan setiap orang yang akan bekerja di dalam negeri. Narnun pengakuan sebagian besar perempuan yang akan dikirirnkan ke luar negeri, mereka mengeluarkan uang sejumlah Rp. 3.000.000, termasuk untuk pengurusan passport, medical check, dan sertifikat syarat untuk dapat mengurus passport (hasil wawancara calon TKI di Kalimantan Barat, Lombok, Magelang dan Lampung).
Praktek eksploitasi tersebut terus berlanjut sampai hari ini. Jika sebagian besar masyarakat ingin mengambil pilihan keluar dari lingkungannya dengan tujuan bekerja dan memperoleh penghidupan yang baik, sesungguhnya bukan pilihan yang berdasar atas kebebasan memilih. Mereka melakukan pilihan tersebut karena: - Pertama, tidak ada jalan lain atau pilihan lain yang dapat diambilnya. Bagaimanakah seorang tanpa pendidikan dapat memilih pekerjaan ? sementara kenyataan dalam kehidupan sehari-hari bukan mereka yang memilih pekerjaan, tetapi pemilik lapahgan pekerjaan memilih mereka yang jumlahnya jutaan. Dengan perkataan lain bukan orang yang memilih pekerjaan tetapi pekerjaanlah yang memilih orang. Tentu saja orang yang memiliki pendidikan akan lebih memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan upah yang baik. - Kedua, seringkali mereka setuju atau memilih untuk ikut seseorang untuk bekerja. tetapi tidak berdasarkan pada pengetahuan atau penalaran yang cukup, karena informasi yang diberikan tidak cukup lengkap sehingga menimbulkan kesesatan pemikiran dan atau karena daya nalarnya untuk memahami persoalan tersebut tidak cukup mampu menjangkau. - Ketiga, orang muda dan perempuan bukanlah pengambil keputusan yang mandiri. Dalam kehidupan masyarakat kita, pengambil keputusan bagi dua kelompok orang ini (orang muda dan perempuan) adalah orang tua mereka Bahkan dibanyak daerah keputusan bukan saja berada di tangan orang tua mereka, melainkan berada di rapat keluarga batih atau keluarga yang lebih besar. Sehingga, orang muda dan perempuan hanya akan menjalankan apa yang telah menjadi keputusan mereka, Ketika mereka sepakat untuk menerima tawaran "agent", maka suka atau tidak suka, perempuan atau anak perempuan ini harus ikut dengan agent. - Keempat, tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari, tekanan kemiskinan sepanjang rentang waktu kehidupannya dan dorongan dari dalam dirinya untulk memperbaiki hari depan kehidupannya, juga merupakan alasan untuk menerima praktek eksploitasi tersebut.
Uraian di atas menjelaskankan bahwa praktek eksploitasi dan perdagangan orang, terutama perempuan dan anak seringkali berpangkal dari persetujuan atau kesediaan dari yang bersangkutan atau orang tua mereka. Tetapi persetujuan tidak dapat dijadikan dasar yang masuk akal. Karena persetujuan itu sendiri tidak didasarkan pada kondisi yang merdeka dan mandiri untuk melakukan pilihan atau memberikan persetujuan. Sesungguhnya persetujuan mereka adalah persetujuan dalam keterpaksaan, termasuk keterpaksaannya dalam menepiskan nilai-nilai kemanusiaan atas dirinya. Masyarakat sesungguhnya sangat merasakan adanya ketidakadilan dalam praktek tersebut di atas. Bahkan sebagian dari mereka menyadari bahwa hal itu merupakan kejahatan, karena merugikan dan merendahkan martabat kemanusiaan. Narnun ketidakberdayaan mereka menjadi akar persoalan dalam mengatasi masalah ini.
3. Tinjauan ekonomis
Kebijakan dan kondisi ekonomi di tingkat Internasional (Kebijakan ekonomi global) dan ekonomi nasional merupakan sebab penting terjadinya kemiskinan terhadap perempuan (feminisasi kemiskinan), yang pada gilirannya menempatkan perempuan sebagai komoditas dalam putaran kegiatan ekonomi.
Sejak kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi menggariskan untuk lebih mengutamakan ekonomi berbasis Industri dari pada ekonomi berbasis agraris, struktur produksipun mengalami perubahan. Produksi pertanian terus berkurang, proses penyempitan lahan pertanian berjalan sangat cepat dan kebutuhan tenaga kerja di pedesaan semakin berkurang. Sementara di sisi lain, proses produksi di bidang industri terus meningkat seiring pembangunan berbagai pabrik di kota. Perkembangan ini menjadi faktor penagrik terjadinya migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan. Narnun kenyataan menunjukkan Kebutuhan tenaga di sector Industri terus bertambah tersebut sulit di isi oleh sebagian penduduk Indonesia dari pedesaan yang telah kehilangan lahan pekerjaannya di pedesaan.oleh- karena rendahnya pendidikan mereka. Pergeseran arah kebijakan ekonomi ini mengakibatkan ketimpangan dalam pendapatan. Laporan Pembangunan Indonesia 2001 menyatakan bahwa perubahan kebijakan ekonomi telah mengakibatkan pergeseran lokasi-lokasi perekonomian menuju pusat-pusat Industri. Hingga awal decade 1990-an, sebagian Industri modern Indonesia dan juga banyak infrastrukturnya berada di tiga daerah metropolitan Jawa, yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya. Jawa Barat dan Jawa Timur menghasilkan sekitar 60% dari total pendapatan nasional non migas. Seiring dengan proses pembangunan di perkotaan, proses pemiskinan di pedesaan terus berjalan karena penyempitan lahan produksi dan tingginya pengangguran, khususnya perempuan di pedesaan dan mendorong teriadinva migrasi dari pedesaan keperkotaan vana meniadi pusat-pusat ekonomi.
Kebijakan Internasional Globalisasi ekonomi, juga berarti globalisasi pasar kerja, membuka peluang adanya permintaan dan pemenuhan pasokan tenaga kerja dengan upah murah. Didukung oleh kemajuan teknologi transportasi, proses migrasi dan satu Negara ke Negara lain semakin pesat. Terutama sejak dibukanya kebijakan pengiriman tenaga kerja di ke luar negeri pada tahun 1980-an. Sebagaimana layaknya pasar, maka pasar kerja global memperternukan dua kepentingan, yaitu tingginya angka pencari kerja dengan sumber daya manusia yang rendah karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya permintaan dari luar terhadap tenaga murah dan disektor domestic dan sector informal informal yang tidak membutuhkan tenaga terdidik. Hal ini mengakibatkan Booming pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan antar kota/antar pulau di sector domestic, sebagai pembantu Rumah tangga (PRT) dan sector informal seperti perkebunan, tempat hiburan dan industri seks. Sementara kebijakan dibidang ketenaga kerjaan, keimigrasian dan kependudukan yang diharapkan dapat menjadi kontrol untuk melindungi pekerja migrant dan calon pekerja migrant temyata tidak dapat diharapkan. Lebih menyedihkan lagi, aparat di bidang-bidang tersebut banyak melakukan penyalahgunaan kewenangan dan mencari keuntungan pribadi. Berbagai pelanggaran seperti misalnya pemalsuan dokumen, dari mulai KTP, surat jalan sampai dengan passport banyak terjadi.
Kebijakan lain yang ikut memperngaruhi kondisi ekonomi masyarakat adalah ketergantungan Negara pada utang luar negeri yang kemudian mengakibatkan campur tangan lembaga-lembaga keungan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sangat menentukan kebijakan ekonomi Indonesia yang menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakat. Tekanan mereka untuk melakukan penutupan 16 Bank di tahun 1998 dan desakkan untuk menghapuskan berbagai bentuk subsidi kebutuhan dasar masyarakat semakin mempercepat kemiskinan. Indonesia, hingga kini belum berhasil keluar dari situasi krisis ekonomi. Beban pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri mengakibatkan pengeluaran dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) lebih diutamakan untuk membayar hutang, daripada peningkatan penyediaan pelayanan publik.
Hampir seluruh proses, kebijakan, kondisi ekonomi dalam negeri dan luar negeri memiliki andil besar dalam proses pemisk man masyarakat. Kondisi kemiskinan dan keterbelakangan dalam pendidikan, terutama pada perempuan dan anak-anak, diperparah oleh ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan, pada gilirannya mengakibatkan perempuan dan anak-anak menjadi sasaran dan obyek dalam perdagangan orang, terutama perempuan dan anak.
5. Tinjauan Psikososial
Dari sisi pelaku, kelakuan seorang pelaku perdagangan dan eksploitasi, dilihat dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat adalah kelakuan yang menyeleweng atau menyimpang (deviant behaviour). Perlakuannya secara terus-menerus (persistent) untuk melakukan penyimpangan tersebut disebabkan oleh sikap anti sosial. Sikap anti sosial ini tumbuh semakin pesat jika ada motif-motif dominan yang menopangnya, misalnya mendapatkan keuntungan atau kenikmatan. Semakin besar motif tersebut tumbuh sebagai pendorong dari kelakuan menyimpang tersebut, akan semakin besar pula sikap anti sosial sipelaku yang tercermin dari ketidak peduliannya terhadap oang yang dirugikan. Sikap semacam ini tidak akan berhenti, kecuali ada sarana atau serangkaian cara yang digunakan untuk menghentikan, seperti pengaturan berupa pelarangan atas perbuatannya dan sanksi yang tegas dalam setiap bentuk pelanggarannya.
Dan sisi korban, perdagangan dan eksploitasi berakibat pada penderitaan, kesengsaraan lahir dan bathin, perasaan tak berdaya serta kehilangan harga diri sebagai manusia. Dan akibat tersebut semakin parah jika perdagangan daneksploitasi orang diarahkan untuk pelacuran. Sering kali bukan hanya korban secara langsung yang mengalami perasaan ini, tetapi juga orang-orang terdekat, seperti keluarga, ayah, ibu dan saudara-saudaranya ikut mengalami perasaan kesengsaraan, yang pada gilirannya menimbulkan kesengsaraan dan keprihatinan komunal dan berakibat mengikisnya kesejahteraan dan kenyamanan sosial. Pengaturan berupa pelarangan dan pembenan sanksi bagi pelaku pelanggaran, dari sisi psikologis, pada satu sisi berfungsi untuk menghentikan berkembangnya pelanggaran baik dari sisijumlah pelaku maupun kualitas pelanggarannya. Pada sisi lain, berfungsi untuk melindungi mereka yang lemah dan berpotensi untuk dirugikan sebagai akibat dari praktek perdagangan dan eksploitasi.
Tinjauan Hak Asasi Manusia
Melihat persoalan perdagangan orang dan eksplotasi pelacuran seharusnya melslui pendekatan Hak Asasi Manusia, dimanaa setiap orang mempunyai hak hidup yang harus diartikan sebagai hak untuk hidup dengan martabat dan harga diri, dengan akses pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan hukum serta perlakuan yang manusiawi sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Hal ini berarti mewajibkan negara untuk melakukan langkah-langkah tepat untuk penyediaan akses pendidikan, kesehatan, ekonomi bagi setiap orang sehingga menghindarkan orang menjadi korban perdagangan dan eksploitasi pelacuran dan atau bentuk-bentuk eksploitasi lain, serta melarang dan memberikan sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan atau berperan serta dalam praktek perdagangan dan eksploitasi pelacuran.
Hampir seluruh negara di dunia menyetujui untuk menghapuskan praktek ini, berbagai negara juga telah meratifikasi konvensi perdagangan orsng dan eksploitasi terhadap pelacuran ini, untuk alasan politis dan kemanusiaan sebagai suatu bangsa. Narnun kenyataannya, fenomena perdagangan orang dan eksploitasi ini semakin hari semakin meningkat, berkembang pesat dalam berbagai bentuk yang lebih modem dan dilegalkan oleh negara seperti misalnya praktek pengiriman tenaga kerja. Migrasi tenaga kerJ a,, suburnya lokalisasi, dan tempat-tempat transaksi seksual, bahkan anak-anak dan perempuan maupun laki-laki yang dilacurkan oleh orang lain maupun orang tuanya sendiri semakin meningkat, baik karena kondisi ekonomi, sosial maupun politik sebagai latar belakang alasannya. Fenomena ini, selama beberapa tahun oleh Negara maupun aparat penegak hukum tidak dipandang sebagai perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Karena, pandangan tradisional; menganggap bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak hanya dapat dituntut dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum bila dalam praktek tersebut tidak dengan persetujuan dari yang bersangkutan (dalam arti mereka yang diperdagangkan atau dieksploitasi melakukan penolakan). Maka acontrario-nya adalah apabila perdagangan orang, seperti praktek penyaluran TKW domestik atau pun internasional dan eksploitasi pelacuran tersebut disetujui oleh pihak yang bersangkutan, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
"Dengan atau tanpa persetujuan" seharusnya perdagangan orang tetap dianggap sebagai suatu tindakan melawan hukum dan merendahkan martabat manusia (lihat tinjauan sosiologis). Perdagangan orang melalui modus operandi penqiriman Tenaqa Kerja Indonesia (TKI), misalnya, yang sejak pengerahan, penampungan, pengelolaan dan pengiriman, di dasarkan atas informasi yang tidak lengkap dan tidak jelas bagi calon tenaga kerja tersebut, menimbulkan penyesatan pemikiran sehingga mendorong calon TKI menyetujuinya tanpa mengetahui bahwa dirinya dalam proses perdagangan orang. Demikian juga untuk perdagangan perempuan, khususnya eksploitasi pelacuran, modus operandinya semakin meluas, antara lain, bentuk eksploitasi yang terjadi atas permintaan atau perintah orang tua, sebagaimana sedang rarnai dibahas tentang anak-anak yang dilacurkan oleh orang tuanya sendiri di daerah Indramayu, atau tindakan pihak lain yang dengan menawarkan imbalan-imbalan tertentu, mengakibatkan terjadinya eksploitasi atas tubuh perempuan untuk memberikan kesenangan seksual kepada orang lain, seharusnya sudah dianggap sebagai eksploitasi pelacuran. Banyak kondisi membuktikan bahwa ternyata dengan atau tanpa persetujuan "orang yang dikorbankan itu" sesungguhnya tidak memberikan perbedaan apa-apa, terhadap kasus perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Hal tersebut disebabkan pertama kasus tersebut terjadi di level masyarakat bawah yang notabene memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman yang sangat terbatas tentang perdagangan orang dan eksplotasi pelacuran, kedua sebagian besar korban atau yang dikorbankan adalah anak-anak dan perempuan, yang selama ini di dalam masyarakat kita yang patriarchis ini sebagai pihak yang tidak dapat melindungi diri dan kepentingan-kepentingannya sendiri dan tidak dapat membuat keputusan atas dirinya sendiri, sehingga seringkali keputusan mereka berada di dalam suatu pengaruh kekuasaan orang lain yang lebih berkuasa atas dirinya.
B. Prinsip dan Asas
Prinsip-prinsip yang harus dianut dalam pengaturan dan perlindungan korban perdagangan orang terutama perempuan dan anak adalah sebagai berikut : Prinsip Non diskriminatif. Prinsip non-diskriminatif berarti bahwa negara tidak boleh membeda-bedakan orang yang diperjualbelikan (trafficked person) dihadapan hukum, baik dalam hukum acara maupun hukum substantif, dalam kebijaksanaan atau pratek. Keselamatan dan perlakuan yang adil. Prinsip ini menghendaki prinsip Negara-negara harus mengakui bahwa orang yang diperjualbelikan merupakan korban pelanggaran HAM yang serius, harus melindungi mereka tanpa melihat status keimigrasiannya, dan harus melindungi mereka serta harus melindungi dari tindakan pembalasan dan kejahatan. Akses kepada keadilan. Para aparat dan lembaga penegak hukum termasuk polisi, jaksa, dan pengadilan harus menjamin bahwa upaya untuk menghukum pelaku traffiking diimplementasikan dalam suatu sistem yang menghormati dan melindungi hak-hak korban demi terjadinya, kehormatannya, dan keselamatannya. Suatu penuntutan yang layak terhadap para pelaku trafficking, bila ada meliputi, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk-bentuk penyerangan lainnya termasuk, tetapi tidak terbatas pada pembunuhan, penghamilan dan aborsi secara paksa, penculikan penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat perbudakan dan praktik yang menyerupai perbudakan kerja paksa atau kerja wajib, penjaminan hutang atau perkawinan paksa. Akses atas gugatan perdata dan reparasi. Artinya sebagai implikasi prinsip di atas negara-negara harus menjamin bahwa orang-orang yang diperjualbelikan memiliki hak hukum untuk menuntut ganti rugi (reparasi) terhadap pelaku perdagangan manusia, termasuk untuk mendapatkan bantuan untuk hal tersebut. Status tempat tinggal. Artinya negara-negara harus menyediakan visa untuk tinggal sementara (termasuk hak untuk bekerja) selama belum ada keputusan hukum baik pidana, perdata atau yang lainnya, dan negara juga harus menjamin hak untuk mendapatkan suaka (asylum), serta harus mempertimbangkan resiko dari tindakan pembalasan dalam setiap proses deportasi. Kesehatan dan pelayanan lainnya. Prinsip ini mengatur bahwa negara harus menyediakan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial kepada korban penjualan manusia selamanya ia berada di tempat tinggalnya yang sementara. Repartiasi dan reintegrasi. Dalam prinsip ini dikernukakan bahwa negara-negara harus menjamin agar orang-orang yang diperjualbelikan dapat kembali ke tempat asalnya dengan selamat, apabila ia menginginkannya. Pemulihan. Prinsip pemulihan berarti bahwa negara-negara harus menjamin agar pada orang-orang yang diperjualbelikan diberikan perawatan medis dan psikologis serta pelayanan sosial untuk menjamin harkat dan martabat mereka. Kerjasama antar negara. Prinsip ini artinya Negara-negara bekerjasama agar standar intemasional tersebut diimplementasikan sepenuhnya.
C. Pengertian
Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi PBB menentang Kejahatan Terorganisir Lintasnegara, (UN Convention Against Transnational Organized Crime), beserta kedua protokoinya, yang salah satunya adalah Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Pasal 3 butir a dari Protocol tersebut mendefinisikan perdagangan orang sebagai berikut : "the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons by means of the treat of use of force of other forms of coercian , of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery of practices similar to slavery, servitude or the removal of organs" (Perdagangan orang dapat diartikan segala bentuk kegiatan yang diarahkan pada upaya bujukan, pengiriman, pengalihan, atau pemberangkatan dan penyerahterimaan seseorang yang tidak sesuai dengan hati nurani dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan, menakut-nakuti, penculikan atau penipuan dalam sebagai bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan terhadap yang lemah (rentan) sehingga menimbulkan ketakukan, paksaan, penipuan termasuk yang timbul dari ikatan perutangan dengan pembayaran tenaga dan atau ikatan perjanjian kerja paksa dan penghambaan, dengan maksud untuk mendapat bayaran, keuntungan, atau penguasaan atas hak kebebasan seseorang dengan tujuan mengeksploitasi hak-hak seseorang. Termasuk dalam pengertian perdagangan orang dan anak adalah tindakan eksploitasi pelacuran, atau eksploitasi da!am bentuk sekecil apapun seperti pelacuran, pemaksaan, hubungan seksual, pekerja paksa, perbudakan, penghambaan bahkan sampai penjualan bagian dari organ tubuh tertentu).
Selanjutnya pasal 3 tersebut menjelaskankan bahwa the recruitment, transportation, transfer, harbouring, or receipt of a child for the purposes of exploitation shall be cansidered "trafficking in persons" even this does not involve any of the means set forth in sub paragraph (a) of this article (rekrutmen, pengangkutan, pengalihan/pemberangkatan dan penyerahterimaan untuk dieksploitasi dianggap sebagai perdagangan orang walaupun tidak menggunakan cara sebagaimana yang diatur dalam ayat (a) pasal ini).
Dari pengertian di atas, terdapat suatu ciri utama dari perdagangan orang ini, yaitu korban diperiakukan sedemikian rupa seperti seorang budak, yang tidak mempunyai kemerdekaan untuk melakukan atau berbuat sesuai dengan keinginannya serta pada saat yang bersamaan pelaku memperoleh keuntungan dari kondisi itu.
Secara keseluruhan pengertian yang akan digunakan dalam RUU ini adalah sebagai berikut :
Perdagangan orang terutama perempuan dan anak adalah setiap tindakan merekrut, . Perdagangan orang terutama perempuan dan anak adalah setiap tindakan merekrut, mengangkut, memindahkan, memberangkatkan dan menyerahterimakan orang, terutama perempuan dan anak, untuk dieksploitasi dengan menggunakan ancaman, tekanan, atau cara-cara lain yang tidak manusia sehingga memberikan keuntungan bagi dan atau kelompok orang sebagai pelaku atau pelaku peserta.
Kekerasan adalah setiap perbutan penyalahgunaan kekuatan fisik dan non-fisik yang dapat berupa penculikan, penyembunyian, penyekapan, pempuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan keadaan yang rentan pemerasan, perbudakan dan praktek lain yang sama, kerja paksa pengambilan organ tubuh, dan eksploitasi pelacuran. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Calo/broker/aqen/sponsor dan istilah lain yanq menqandunq penqertian sebaqai perantara adalah orang/badan yang banyak terdapat di masyarakat yang melakukan dan atau mengelola perekrutan, penempatan dan administrasi persyaratan berupa dokumen-dokumen perjalanan yang diperlukan bagi korban perempuan dan anak. Korban adalah seseorang atau kelompok orang terutama Perempuan atau anak yang karena ketidakberdayaanya terjerumus ke dalam pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat orang terutama perempuan atau anak, serta tidak dapat keluar dari situasi/pekerjaan tersebut walaupun yang bersangkutan menginginkannya. Pelaku (Trafficker) adalah seorang atau kelompok orang yang dengan sengaja dengan maksud menjerumuskan seorang perempuan/anak atau sekelompok perempuan/anak ke dalam suatu pekerjaan yang diketahuinya atau patut diketahuinya/ diduga bahwa pekerjaan yang ditawarkannya itu tidak layak/pantas atau yang merendahkan harkat dan martabat perempuan dan anak. Eksploitasi adalah meliputi paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbuda atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh. Daerah/negara asal adalah daerah atau negara asal korban perdagangan orang. Daerah/negara transit adalah daerah atau neqara vanq dipergunakan sebagai tempat sementara penampungan bagi perempuan dan anak sebelum dikirim, dipekerjakan atau diperjualbelikan ke daerah/negara lain yang dituju. Daerah/negara tujuan adalah daerah atau negara tujuan korban perdaganan ora9 Transportasi adalah kendaraan yang digunakan berupa angkutan darat seperti mobil atau bus, kapal laut atau pesawat terbang untuk memindahkan, mengangkut perempuan dan anak untuk diperdagangkan dari tempat asal ke daerah/Negara transit atau ke daerah/negara tujuan. Mat angkut adalah kapal laut, pesawat udara atau sarana transportasi lain yang lazirn dipergunakan baik untuk mengangkut orang maupun barang baik di darat, laut maupun udara. Penanggung jawab alat angkut adalah pemilik atau pengurus atau agen atau nakhoda atau kapten kapal atau kapten pilot, atau pengemudi alat angkut yang bersangkutan. Pelapor adalah orang yang melaporkan terjadinya suatu tindak pidana perdagangan orang. Saksi Korban adalah saksi yang menjadi korban akibat dari tindakan pidana perdagangan orang. Sindikat adalah kumpulan orang atau organisasi yang terorganisir dan mempunyai jaringan baik di daerah, nasional maupun internasional yang merekrut, memindahkan dan memperdagangkan orang dan atau perempuan dan anak ke daerah lain atau kenegara lain. Rehabilitasi adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan mengembalikan percaya diri para korban perdagangan perempuan dan anak dengan memberikan pelatihan, keterampilan, perawatan kesehatan dan kesejahteraan melalui penyediaan lapangan kerja. Kompensasi adalah pembenan atau pembayaran pada seseorang sebagai imbalan dan atau ganti rugi. Preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya perdagangan perempuan dan anak, dengan melakukan pengawasan ke tempat penampungan/kos atau ke tempat lain atau melakukan pengawasan terhadap tempat-tempat yang dapat melancarkan lalu lintas perdagangan perempuan dan anak seperti pelabuhan laut, udara dan pintu gerbang perbatasan dengan negara lain. Represifada\ah upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan perdagangan perempuan dan anak serta menangkap pelaku dan mengungkapjaringannya untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Perlindungan adalah segala upaya yang dilakukan untuk memberikan rasa aman baik bersifat fisik, mental dan sosial. Jaminan adslah segala upaya yang diberikan oleh penguasa terhadap korban, pelaku dan saksi agar tidak dirugikan hak-hak privat yang bersangkutan. Tempat tinggal sementara adalah tempat dimanaa seseorang tinggal yang tidak menetap dan tidak mempunyai identitas (KTP) domisili dimanaa ia tinggal. Tempat tinggal permanen adalah tempat dimanaa seseorang tinggal secara menetap dan sudah mempuyai identitas dimanaa ia tinggal (KTP). Rumah atau Ruang Detensi Imigrasi adalah tempat penahanan atau penampungan sementara bagi orang asing yang tidak memiliki izin tinggal atau menunggu proses deportasi. Stateless adalah seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Transfer adalah tindakan untuk memindahkan organisasi dan satu tempat ke tempat lain atau dari seorang ke orang lain. Melabuhkan (harbouring) adalah tempat dimanaa seseorang singgah atau transit di daerah pelabuhan baik laut, udara. Dokumen perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara atau Perserikatan Bangsa-bangsa untuk melakukan perjalanan antar negara yang mernuat identitas pemegangnya. Dokumen keimigrasian adalah setiap perizinan tertulis atau surat keterangan baik dalam bentuk cap maupun dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi berwenang yang menunjukkan legalitas keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. 33. Tempat penampungan adalah tempat dimanaa calon korban, WNI atau WNA ditampung dalam waktu tertentu sambil menunggu untuk dipindahkan. Pemindahan organ tubuh adalah memindahkan organ tubuh dari seseorang kepada orang lain.
BABV
PERLINDUNGAN DAN BANTUAN
TERHADAP KORBAN DAN SAKSI
B. Perlindungan
Perlindungan dimaksudkan memberikan bantuan kepada korban untuk memperoleh tempat tinggal sementara yang layak, sampai dengan selesainya proses hukurn atau kesiapan korban untuk menentukan pilihan. Tempat perlindungan ini harus memberikan jaminan bagi korban untuk bebas dari penyiksaan atau pelecehan oleh mereka yang berada di posisi penguasa atau mendapat ancaman dan sindikat atau pelaku. Perlindungan bagi korban
a. privasi dan indentitas korban Perlindungan privasi dan identitas korban dimaksudkan untuk merahasiakan diri korban baik sejak , selama, maupun setelah selesai proses pemeriksaan. b. bantuan kesehatan fisik Bantuan kesehatan meliputi pameriksaan dan perawatan atas luka atau cidera secara fisik. Termasuk dalam bantuan kesehatan phisik ini adalah layanan tes HIV yang betul-betul dijaga kerahasiaannya dan seharusnya diberikan hanya jika diminta oleh orang yang bersangkutan dan semua tes HIV atau tes apa saja harus dilengkapi dengan konseling pra tes dan pasca tes yang sesuai. c. Bantuan kesehatan psikologis Bantuan psikologis mutlak dibutuhkan oleh korban, oleh karena trauma dan beban psikologis yang dialaminya sejak korban mengalami tindak kejahatan perdagangan sampai dengan proses pembebasannya dari tindak kejahatan tersebut. Bahkan pada saat dilakukannya proses-proses lain seperti proses penegakkan hukum, korban tetap membutuhkan pendampakngan. Oleh karena itu, bantuan atau pendampakngan psikologis diberikan selama dalam perlindungan maupun selama proses penegakkan hukum berlangsung. d. Bantuan akses ekonomi dan non ekonomi Oleh karena ketidakberdayaannya dalam ekonomi dan akses-akses lainnya, maka korban harus dijamin dan diberi kemudahan untuk mengakses bantuan-bantuan ekonomi agar yang bersangkutan dapat berdaya secara ekonomi, seperti bantuan : peningkatan ketrampilan, lapangan pekerjaan, atau permodalan. Kompensasi Kerugian dan penderitaan korban akibat perdagangan orang, terutama perempuan dan anak adalah tanggung jawab pelaku korban atau ahli waris korban berhak menurut ganti rugi meliputi kerugian ekonomi, phisik, dan psikologis yang diderita korban akibat perdagangan orang terutama perempuan dan anak, serta biaya-biaya yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut seperti yang diperlukan sebelum tinggal di penginapan/shelter dan biaya transportasi serta akomodasi. Pemberian kompensasi dan ganti rugi untuk kerugian ekonomi, phisik dan psikologis yang diderita korban akibat perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. e. Bantuan hukum Bantuan hukum sangat diperlukan utamanya ketika dihadapkan dengan proses pengadilan. Narnun demikian pada akhirnya diserahkan kepada yang bersangkutan apakah akan digunakan atau tidak, atau disesuaikan dengan kasus yang dihadapinya. g. Pendampakngan 2) akses pada penerjemah yang mampu dan ahli selama semua proses berjalan dan terjadinya semua dokumen dan catatan telah menjadi korban perdagangan. 3) Bantuan dan perlakuan khusus bagi anak sesuai dengan kemampuannya sebagai anak.
h. Hak untuk direlokasi
Apabila keamanannya sudah sangat mengkhawatirkan, relokasi atau pemberian tempat baru pada saksi layak dipertimbangkan agar ia dapat meneruskan kehidupannya tanpa adanya ketakukan yang berkepanjangan, setelah memberi kesaksian yang kemudian terdakwa dihukum karena kejahatan yang dilakukan.
i. Hak untuk diterima kembali oleh masyarakat
Hak untuk diperlukan kembali secara wajar dan bekas dari stigma atau perlakuan buruk yang menimpa diri korban.
B. Jaminan Jaminan merupakan perlindungan keamanan pribadi, baik untuk korban maupun saksi dan ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain berkenaan dengan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, atau kesaksian yang akan, sedang, atau telah diperiksa atas suatu perkara dari perbuatan tersebut. Kerahasiaan identitas korban dan saksi Jaminan kerahasiaan ini perlu, untuk menghindari adanya semacam penghukuman sebelum adanya vonis hukuman. Harus ada jaminan bahwa sejarah pribadi, karakter, pekerjaan sekarang, atau pekerjan dimasa lalu, tidak boleh digunakan untuk melawan korban tersebut maupun digunakan sebagai alasan untuk mendiskualifikasi tuntutan korban atau untuk memutuskan tidak dituntut para pelaku kejahatan, sebagai contoh pelaku kejahatan tidak boleh menggunakan sebagai pembelaan bahwa orang tersebut pada waktu yang lalu, adalah pekerja seks atau para pembantu rumah tangga. Korban yang pernah diperdagangkan tidak boleh menjadi catatan publik secara terbuka identitasnya, yang kemudian akan mempersulit yang bersangkutan untuk melaksanakan dan memenuhi hak-haknya sebagai manusia, perempuan atau anak kecuali jika yang bersangkutan mengizinkan identitasnya dipublikasikin secara terbuka. Sejarah korban tidak boleh digunakan oleh siapapun untuk merintangi korban melakukan pemenuhan hak-haknya sebagai manusia, perempuan atau anak termasuk untuk melakukan perjalanan, perkawinan, dan mencari pekerjaan yang menghasilkan. Jaminan perlakuan khusus terhadap korban didasarkan atas kebutuhan korban berkaitan dengan gender, jenis kelamin, atau usia guna memberikan jaminan pemenuhan hak asasinya serta membantu seluruh proses perlindungan dan penegakkan hukum. Negara yang di bawah yurisdiksinya harus mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin para korban untuk mengajukan tuntutan pidana dan perdata, termasuk tuntutan kompensasi terhadap para pelaku kejahatan, jika korban memilih untuk melakukannya.
Repatriasi
Terhadap korban perdagangan orang WNI yang berada di luar negeri dan korban WNA yang berada di Indonesia, menurut Protokol untuk mencegah, memberantas dan menghukum perdagangan orang terutama perempuan dan anak, yang merupakan pelengkap dari Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Lintas-Negara, negara diwajibkan untuk mengambil dan memulangkan korban-korban perdagangan orang terutama perempuan dan anak warga negara Indonesia atau ke negara asalnya.
Dalam Pasal 8 Protocol tersebut dikernukan : Negara Anggota yang para anggotanya sebagai korban perdagangan orang atau orang tersebut memiliki hak tinggal tetap pada saat memasuki wilayah Negara Penerima harus menfasilitasi dan menerima, dengan berkewajiban memperhatikan faktor keselamatan orang tersebut, pemulangan orang tanpa penundaan yang tidak semestinya atau tidak beralasan. Pada saat Negara memulangkan korban perdagangan orang ke Negara Anggota yang orang tersebut sebagai warganegaranya atau orang tersebut telah memiliki hak tinggal pada saat memasuki wilayah Negara Penerima, atau hak tinggal tetap, pemulangan tersebut harus dengan kewajiban memperhatikan segi keamanan orang tersebut merupakan korban dan perdagangan dan akan lebih baik dilakukan harus secara sukarela. Dalam permohonan suatu Negara Penerima, negara pemohon, tanpa penundaan yang tidak semestinya atau yang tidak beralasan, memeriksa apakah orang yang menjadi korban perdagangan orang adalah warga negara pemohon atau memiliki hak tinggal tetap di wilayah negara pemohon pada saat memasuki wilayah negara anggota penerima. Untuk memudahkan pemulangan korban perdagangan orang yang tanpa memiliki dokumen yang memadai, negara anggota dimanaa orang tersebut sebagai warga negaranya atau dimanaa ia memiliki hak tinggal tetap pada saat memasuki wilayah negara anggota penerima, harus menyetujui penerbitan dokumen-dokumen perjalanan atau otorisasi-otorisasi lainnya selama mungkin diperlukan pada permintaan Negara anggota penerima guna memudahkan orang tersebut bepergian ke dan memasuki kembali wilayah negaranya. Pasal ini harus dijalankan tanpa merugikan terhadap perjanjian bilateral atau multilateral yang bisa diterapkan atau ketentuan yang mengatur pemulangan para korban perdagangan orang baik secara keseluruhan maupun sebagian.
D. Status Korban di Negara Penerima
Oleh karena kejahatan perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak adalah tindak kejahatan yang lintas-daerah, lintas-wilayah dan lintas-negara maka setiap tindak kejahatan lintas tempat memberikan akibat terhadap korban. Negara perlu memberikan jaminan bahwa di lintas wilayah manapun, negara manapun korban perdagangan orang terutama perempuan dan anak tetap berstatus korban serta berhak memperoleh jaminan perlindungan dan bantuan.
a. Perlindungan Saksi
Sistim perlindungan saksi dilaksanakan berdasarkan atas asas perlindungan, hak atas rasa aman, hak atas keadilan, serta penghormatan atas harkat dan martabat manusia. Seorang saksi diberikan ha-hak sebagaimana disebutkan di bawah ini: hak atas perlindungan keamanan pribadidariancaman fisik maupun psikologisdari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana; Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia pada bulan dan tahun-tahun terakhir ini telah membuktikan bahwa kerentanan seorang saksi (yang dapat diteror, dintimidasi dan lain-lain) telah membuat saksi tidak berminat melaporkan informasi penting yang diketahuinya pada aparat yang berwenang; apabila dirasakan perlu, seorang saksi harus ditempatkan dalam suatu tempat yang dirahasiakan dari siapapun, untuk menjamin agar ia aman. hak atas biaya transportasi Dalam banyak kasus, saksi tidak mempunyai cukup kemampuan untuk membiayai dirinya mendatangi lokasi aparat yang berwenang; sehingga perlu mendapatkan bantuan biaya dari negara. Ketentuan semacam ini memang sudah ada dalam Pasal 229 KUHAP, akan tetapi sangatjarang diterapkan karena berbagai alasan;
3. hak untuk mendapat nasihat hukum
Hak ini diperlukan karena seringkali seorang saksi adalah orang yang awam dan tidak mengetahui hukum beserta prosesnya, sehingga perlu mendapatkan bimbingan dalam menjalani proses pidana.
4. hak untuk diberi informasi mengenai perkembangan kasus
Seringkali saksi hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, akan tetapi ia tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Layaklah, oleh karenanya penegak hukum, memberikan informasi pada saksi mengenai hal ini, supaya iapun mengetahui sejauhmana kontribusi yang diberikan itu dimanafaatkan oleh sistem peradilan.
5. hak untuk diberitahu bilamana terpidana dibebaskan (bila ia dipenjara)
Ketakutan saksi akan adanya pembalasan dendam terdakwa seringkali cukup beralasan, dan la layak untuk diberitahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan, hak ini juga dapat menimbulkan rasa puas seorang saksi, terutama saksi korban, karena ia dihargai dalam proses peradilan pidana.
BAB VI
PENCEGAHAN, KERJASAMA DAN TINDAKAN LAIN
Pencegahan:
1. a. Pencegahan oleh negara adalah serangkaian upaya-upaya yang disusun melalui penyusunan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan program-program beserta alokasi anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan dalam rangka menghindarkan masyarakat agar tidak berada dalam kondisi yang rentan sebagai korban perdagangan orang, terutama perempuan dan anak.
b. Pencegahan oleh masyarakat merupakan serangkaian pola tindakan yang bertujuan untuk menyangkal masuk dan bekerjanya pelaku kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak kedalam wilayah masyarakat tersebut melalui sistem ketahanan dan pengawasan masyarakat. c. Pencegahan oleh keluarga adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menghindarkan anggota keluarga menjadi korban perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
2. Upaya Pencegahan
Melihat faktor penyebab bentuk/pola tindakan kejahatan orang terutama perdagangan perempuan dan anak maka upaya pencegahan dan penanggulangannya, sejak dari perencanaan, pelaksanaan. Pemantauan (monitoring) tingkat capaian dan keberhasilan dilakukan secara terpadu antara bidang-bidang dan sektor-sektor yang terkait dengan melibatkan peran serta masyarakat. a. Program yang komprehensif di bidang ekonomi, yang pada dasarnya meningkatkan pemberdayaan orang untuk mewujudkan kesejahteraan kita bersama. b. Program di bidang budaya Budaya penghapusan atau pengikisan nilai-nilai budaya yang memposisikan perempuan dan anak-anak dalam posisi yang lebih rendah. c. Program di bidang hukum Meningkatkan peran serta perempuan dan anak d! bidang hukum : 1) Meningkatkan pengetahuan dan masyarakat, terutama perempuan dan anak untuk memahami hak dan kewajibannya. 2) Memberikan akses pengaduan dan perlindungan hukum kepada masyarakat khususnya perempuan dan anak terhadap percobaan, usaha-usaha yang dilakukan pelaku kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. 3) Meningkatkan pengetahuan, tugas, dan tanggung jawab aparatur pemerintah dan petugas administrasi negara, seperti kepada desa/lurah mengenai sebab dan akibat perdagangan orang. 4) Memberikan sanksi yang tegas kepada petugas aparatur pemerintah yang menyalahgunakan kewenangan, mernfasilitasi terjadinya tindak pidana perdagangan
d. Sosialisasi
1) Penelitian
Sebagai bagian dari pencegahan diperlukan penelitian-penelitian dan kajian-kajian sosial untuk mengetahui perkembangan tindak kejahatan perdagangan orang, terutama perempuan dan anak, mengetahui dampak dari pelaksanaan kebijakan dan program terhadap upaya-upaya pengurangan dan pencegahan terhadap tindak kejahatan tersebut.
2) Informasi
Dibutuhkan suatu sistem informasi yang mencegah dan menanggulangi perdagangan orang terutama perempuan dan anak, antara lain :
- sistem informasi ketenagakejaan yang meliputi (syarat-syarat, rekruitmen, hak-hak tenaga kerja, dan sistem perlindungan). - Termasuk juga penting disampa kan kepada masyarakat tentang jumlah lembaga ketenagakerjaan serta lembaga-lembaga ketenagakerjaan yang telah dinyatakan dicabut surat ijin usahanya. - Sistem informasi pelaporan tindak kejahatan perdagangan orang terutama permpuan dan anak untuk memudahkan korban dalam mendapatkan pertolongan dan atau bantuan, serta memudahkan masyarakat melakukan pertolongannya.
3) Kampanye
Penyebarluasan informasi yang bermaksud untuk membangun kesadaran orang dan masyarakat, untuk menghindarkan timbulnya korban perdagangan orang terutama perempuan dan anak, dan mencegah orang melakukan tindak kejahatan orang, terutama perempuan dan anak. Kegiatan kampanye merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Kerjasama
Kerja sama dapat dilakukan baik dalam maupun luar negeri, khususnya terhadap hal-hal yang terkait dengan upaya penanganan tindakan kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Kerja sama tersebut dapat berupa : 1. Pertukaran Informasi, baik antar daerah maupun antar negara. 2. Pelatihan Pelatihan bagi para penegak hukum dan petugas keimigrasian dan petugas terkait lainnya
Tindakan Lain
1. Status keberadaan seseorang di suatu negara dan konsekuensi-konsekuensi, jika : a. memiliki dokumen perjalanan b. tidak memiliki dokumen perjalanan
2. Pengamanan Pemberian Dokumen dan Pemeriksaan dokumen di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, yang meliputi : a. Keabsahan; b. pengurusan dokumen; dan
c. legitimasi dan validasi dokumen
BAB VII
HUKUM PIDANA MATERIEL DAN FORMIL
Aspek Hukum Pidana Materiel
Pelaku tindak pidana dalam RUU tentang Kejahatan perdagangan terhadap perempuan dan anak dapat digolongkan baik orang perseorangan, kelompok, badan hukum maupun aparat. Penggolongan pelaku dapat meliputi: orang perseorangan yaitu setiap individu/perorangan yang secara langsung bertindak melakukan perbuatan pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak. kelompok yaitu kumpulan dua orang atau lebih yang bekerjasama melakukan perbuatan pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak. badan hukum yaitu perkumpulan/organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum yang bergerak di bidang usaha yang dalam pelaksanaannya melakukan penyalahgunaan ijin yang diberikan. aparat yaitu pegawai negeri atau pejabat pemerintah yang diberi wewenang tertentu narnun melakukan penyalahgunaan dari yang seharusnya dilakukan.
Dalam KUHP, pelaku dapat meliputi: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan. mereka yang memberi atau menJ anjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan yang sengaja dianjurkan yang diperhitungkan serta akibat-akibatnya.
Dalam penyusunan Undang-undang tentang Pemberantasan Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak, ketentuan di atas perlu ditambahkan dengan unsur-unsur berikut : menyekap, menculik, menerima pembayaran atau keuntungan, jebakan (termasuk jebakan hutang, perkawinan).
Rumusan pembantu pelaku aktif atau pasif dapat dihubungkan dengan rumusan Pasal 56 KUHP. Pembantu pelaku aktif bagi mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu tindak pidana perdagangan dilakukan. Pembantu pelaku pasif bagi mereka yang sengaja memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Ketentuan di atas harus diubah, dengan penambahan unsur baru, yaitu bantuan diberikan setelah tindak pidana dilakukan. Dengan rumusan unsur pasal di atas menunjukkan bahwa peran atau kapasitas masing-masing pembantu pelaku dalam keikutsertaannya adalah melakukan tindak pidana sama dengan pelaku. Dengan demikian, pidana yang diancarnkan kepada pembantu sanksinya disamakan dengan pelaku, sehingga ketentuan ini berbeda dengan ketentuan dalam Buku I KUHP.
Ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan orang dirnuat dalam pasal 297 KUHP Tidak memberikan pengertian yang jelas tentang perdagangan sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan sulit untuk menguraikan unsur-unsur kejahatannya untuk menghukum pelaku. Kelemahan lain adalah pada unsur wanita dan anak laki-laki di bawah umur. Unsur ini menimbulkan juga multi tafsir mengenai pengertian di bawah umur, apakah hanya dikenakan kepada wanita dan anak laki-laki yang dibawah umur, atau wanitanya adalah wanita dewasa dan anak laki-laki di bawah umur, yang akibatnya anak perempuan tidak terlindungi. Ancaman pidana maksimal 6 tahun bagi pelakunya dirasakan terlalu ringan dsn tidak memenuhi rasa keadilan. Selain itu dalam ketentuan tersebut tidak diatur ancaman pidana minimalnya. Ancaman pidana tersebut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan, mengingat penderitaan yang dialami oleh para korban, harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang telah dirampas dan diinjak sedemikan rupa. Pada urnumnya para korban yang berasal dari golongan tidak mampu untuk memperoleh pekerjaan yang diJanjikan tersebut, telah mengeluarkan materi dalam jumlah yang tidak sedikit. Unsur-unsur di dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa laki-laki dewasa tidak terlindungi oleh hukum apabila dia menj adi korban perdagangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 297 harus dimodifikasi perumusannya dan menambahkan ancaman yang lebih berat dan mencanturnkan ketentuan minimal hukuman. Di samping itu, rumusan Pasal 297 tersebut perlu ditambahkan unsur yang sifatnya internasional dengan menyandingkan rumusan dari Protokol TOC.
Kemungkinan perubahan unsur-unsur tindak pidana yang diancarnkan bagi pelaku tindak pidana perdagangan perempuan dan anak , yakni: mencanturnkan hukuman penJ ara dan denda dengan ukuran yang lebih rasional dibandingkan dengan penderitaan dan kerugian yang dialami korban. mencanturnkan ketentuan untuk menyita asset pelaku, yang didapat dari hasil perbuatannya, sebagai pelaku perdagangan orang. Hasil sitaan ini, dipakai untuk memberikan kompensi kepada korban. pencabutan izin bagi badan hukum pengerah tenaga kerja yang melanggar ketentuan, penghapusan hak-hak atas bantuan publik dan keuntungan pajak, penempatan dibawah pengawasan aparat hukum dan pendiskualifikasian dari praktek-praktek bisnis.
Di samping unsur-unsur di atas, perlu mengambil unsur-unsur yang ditentukan dalam beberapa konvensi yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak. Kita sadari bersama bahwa perumusan ketentuan pidana merupakan unsur pokok dalam suatu undang-undang sehingga harus diperhatikan elemen-elemen apa saja yang perlu dan cermat dicanturnkan dalam ketentuan tersebut. Ditawarkan bahwa rumusan dalam TOC perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan penerimaan.pengangkutan pengiriman, penyembunyian, atau penerimaan orang-orang dengan maksud untuk memperlakukan atau menggunakan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, dari penculikan, dari penipuan, dari kecurangan, dari penyalahgunaan kekuasaan, atau suatu kedudukan yang sifatnya mudah atau dari pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan-keuntungan guna mencapai kesepakatan dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang-orang lain dengan maksud, pemerasan. Pemerasan harus meliputi tingkat minimum, pemerasan terhadap pelacuran dari orang lain atau dengan bentuk pemerasan seksual lainnya, tenaga kerja, atau pelayanan-pelayanan yang dipaksakan, perbudakan atau praktek-praktek yang sama terhadap perbudakan, keija paksa atau penghilangan organ-organ tubuh, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan serendah-rendahnya 3 (tiga) tahun. Termasuk dalam pengertian perdagangan orang adalah perdagangan perempuan dan anak yakni tindakan eksploitasi pelacuran, atau eksploitasi dalam bentuk sekecil apapun seperti pelacuran, pemaksaan, hubungan seksual, pekerja paksa, perbudakan, penghambaan bahkan sampai penjualan bagian dari organ tubuh tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima betas) tahun dan serendah-rendahnya 3 (tiga) tahun. 2. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, dengan : memberikan atau meminjarnkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana; menyembunyikan pelaku tindak pidana atau menyembunyian korban; menyembunyikan informasi tentang tindak pidana perdagangan perempuan, dipidana dengan pidana penjara serendah-rendahnya 1 (satu) tahun dan penjara paling lama 10 tahun. 3. Setiap orang yang merencanakan dan atau menggerakkan orang tain untuk metakukan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak seperti tersebut angka 1 atau angka 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan serendah-rendahnya 3 tahun. 4. Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
Aspek Hukum Pidana Formil
Selain hukum pidana materiel di atas, hukum pidana formil (hukum acara) perlu pula dirumuskan dalam RUU walaupun agak menyimpang dari KUHAP, misalnya mengenai alat bukti di luar ketentuan Pasal 184 KUHAP, seperti rekaman, disket, film, dan lain-lain yang terkait dengan tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak, dapat dijadikan sebagai alat bukti baru. Hukum acara pemeriksaan mungkin juga perlu dibedakan dengan hukum acara biasa, termasuk mengenai lamanya penangkapan dan penahanan. Dalam hal tatacara pemeriksaan diperlukan prosedur yang lebih berpihak pada korban. Perkara perdagangan orang, terutama perempuan dan anak diprioritaskan pemeriksaannya. Hal ini mengingat tindak pidana perdagangan orang, terutama perempuan dan anak merupakan kejahatan serius.
B.I. Penyelidikan dan Penyidikan Penerapan saat ini : Sebagaimana diketahui bahwa dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terlepas dari system beracara perkara pidana yang didasari dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Proses acara pidana yang dilakukan pada dasarnya melalui tahap-tahap yaitu : Tahap penyelidikan yaitu tindakan yang dilakukan untuk mencari dan menernukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Tahap penyidikan yaitu tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terangnya tindak pidana yang terjadi guna menernukan tersangka. Tahap penuntutan yartu tindakan untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan. Tahap mengadili yaitu tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana.
Dalam kasus perdagangan orang terutama perempuan dan anak lembaga/instansi yang berwenang pada proses pemeriksaan tindak pidana yaitu Poiri sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum dan hakim berperan sebagai pemeriksa di sidang pengadilan.
Dalam kasus perdagangan orang terutama perempuan dan anak hukum pidana yang diterapkan pada dasarnya tidak berdiri sendiri sebagai dimaksud dalam pasal 297 KUHP, narnun perbuatan pidana yang dilakukan terkait dengan unsur pidana yang lain. Seperti: pada unsur pemalsuan (pasal 263), pemerasan (pasal 368), penipuan (pasal 278) maupun mucikari (pasal 506) . Hal inilah sebagai salah satu kendala dari aspek penerapan hukum terutama bagi penegak hukum dalam pelaksanaan proses acara pidana.
Mengingat kasus perdagangan perempuan dan anak telah menjadi suatu kejahatan yang tidak hanya bersifat nasional narnun telah sampai pada tingkat lintas negara, sehingga menuntut adanya suatu kerjasama internasional untuk mencegah, memberantas dan menghukum pelakunya.
3. Kendala yang dihadapi dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan kasus perdagangan orang terutama perempuan dan anak tidak terlepas dari beberapa faktor antara lain : Adanya keenaganan para korban untuk melaporkan perkara/kejadian yang dialami. Ketidaktahuan korban tentang haknya dalam hukum. Ketidaksadaran yang bersangkutan bahwa ia adalah korban kejahatan perdagangan orang. Jaringan informasi yang sementara ini mungkin belum berjalan secara optimal. Instrumen hukum/Undang-undang yang belum memadai terutama yang berkaitan dengan unsur pidana yang menyangkut tentang tindak pidana perdagangan orang. Dimungkinkan adanya perbedaan penafsiran atas perumusan Undang-undang yang menjadi dasar hukum pidana perdagangan orang. Pola dan modus operand! tindak kejahatan yang sangat rapi dan terorganisir yang sulitterdeteksi.
Dengan adanya beberapa kendala di atas, maka kondisi yang diinginkan dan diupayakan, yaitu: Menyusun ketentuan hukom khusus yang berkaitan dengan perdagangan orang terutama perempuan dan anak yang lebih menjamin penegakan hukum dan perlindungannya. Adanya peningkatan pengungkapan kasus perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Adanya sanksi hukum yang lebih memadai guna memperoleh dampak kejeraan bagi para pelaku. Adanya kepekaan dan kecakapan aparat penegak hukum dalam menanggapi dan menangani kasus-kasus yang dilaporkan. Membangun Pusat Pelayanan Terpadu untuk penanganan korban semasa proses hukum.
Membentuk jaringan informasi yang lebih memadai sehingga setiap kasus yang terjadi dapat dicegah dan dapat dilakukan penindakan. Peningkatan koordinasi kepada aparat terkait untuk memudahkan dan memperketat pengawasan sehingga dapat memperkecil peluang penyimpangan. Membentuk suatu tim pengawasan dan penanggulangan secara fungsional yang meliputi instansi-instansi terkait. Periu dibentuk Undang-undang mengenai penghapusan perdagangan orang terutama perempuan dan anak yang lebih mencerminkan tindakan-tindakan pencegahan, pemberantasan, perlindungan korban dan penghukuman pelaku. Dalam hal pendampakngan saksi dan atau saksi korban periu diberi hak untuk diberi pendampakngan baik secara kejiwaan maupun hukum yang dirumuskan dalam suatu Undang-undang.
B.2. Pembuktian Pembuktian sebagai titik berat dalam Hukum Acara, menjadi dasar permasalahan dalam setiap proses hukum, baik ketika masih di tingkat penyelidikan, hingga sampai di tahap putusan hukum, bahkan sampai di tahap upaya hukum. Pembuktian bermula dan terpenuhinya unsur-unsur dalam suatu pasal, kemudian dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP ayat (1) mengenai jenis-jenis alat bukti : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa
Ketentuan Pasal 183 KUHAP mensyaratkan pembuktian suatu perkara pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti ditambah keyakinan hakim.
Pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dan dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukakannya.
Kendala yang dihadapi dalam penanganan kasus perdagangan orang : Kesulitan dari penyidik untuk menguraikan unsur perdagangan. Kesulitan penyidik untuk memperoleh bukti awal yang cukup . Keengganan saksi dan atau saksi korban atau masyarakat yang mengetahui suatu peristiwa perdagangan orang ke pihak kepolisian, dengan berbagai alasan, urnumnya adalah karena merasa malu dan ingin menutup aib, atau takut berurusan dengan hukum. Laporan disampaikan dan dilaksanakan proses hukum, narnun saksi dan atau saksi korban mengalami kondisi yang menyulitkan dirinya untuk dapat memberikan keterangan secara bebas di persidangan. Kondisi tersebut berupa stres atau trauma atas peristiwa yang dialami, atau mengalami intimidasi (ancaman) dari pjhak pelaku, atau perasaan takut dalam menghadapi pemeriksaan di pengadilan, khususnya dihadapkan dengan terdakwa.
Peraturan perundang-undangan saat ini baru memberikan perlindungan kejiwaan dan hukum pada proses pemeriksaan bagi tersangka/terdakwa. Perlindungan kejiwaan dan hukum belum diberikan kepada saksi dan atau saksi korban. Sedangkan dalam kasus perdagangan orang, pada umumnya korban mengalami kondisi mental yang labil, tertekan, takut memberikan kesaksian sehingga menghambat proses pemeriksaan, khususnya pemeriksaan di pengadilan. Dalam hal ini saksi dan atau saksi korban memerlukan pendampakngan baik dari pendampakngan dari aspek hukum maupun psikologis.
Untuk mengatasi permasalahan yang masih timbul dalam penanganan perdagangan orang langkah-langkah yang mungkin dapat dilakukan :
Bahwa saksi dan atau saksi korban yang mendapatkan trauma kejiwaan sehingga mengalami kesulitan untuk memberikan kesaksian, dapat diberikan pendampakngan psikologis dan atau hukum oleh orang atau lembaga tertentu. Memungkinkan saksi dan atau saksi korban yang mengalami trauma kejiwaan untuk dapat secara bebas menyampaikan keterangan di depan persidangan yaitu dengan tidak memperternukan mereka dengan terdakwa dalam proses pemeriksaan. Hakim dapat memerintahkan terdakwa untuk sementara waktu dikeluarkan dari ruang sidang ketika saksi dan atau saksi korban dimaksud , sedang memberikan kesaksian. Dalam kasus tertentu dapat dilakukan teleconference, yaitu pemeriksaan dengan menggunakan peralatan audi video yang memungkinkan pemeriksaan pada terdakwa dan saksi korban di ruang terp sah. Narnun kendala yang dihadapi saat ini, selain terbentur oleh peralatan dan biaya yang belum memungkinkan, Pengacara cenderung menolak pemeriksaan dengan cara ini.
BAB VIII PERAN SFRTA MASYARAKAT
Tindak pidana perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk kejahatan yang berdampak cukup luas bagi masyarakat yang memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak baik aparat penegak hukum, Dep. Naker, Imigrasi dan lain sebagainya.
Disadari bahwa penanganan masalah tindak pidana perdagangan perempuan dan anak tidaklah mudah dan tidak cukup ditangani oleh aparat pemerintah saja, namun perlu melibatkan masyarakat untuk berperan serta dalam pencegahan dan pemberantasannya.
Keadaan ini dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sementara ini belum memadai terutama yang berhubungan dengan kuantitas penegak hukum yang belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Demikian pula dengan luas wilayah negara Rl yang tidak setiap sudut tempat/lokasi dapat terjangkau oleh aparat penegak hukum.
Pada hakekatnya untuk mewujudkan keamanan adalah merupakan tanggung jawab setiap warga negara Indonesia. Sesuai tugas dan perannya aparat penegak hukum dalam upaya meningkatkan, mewujudkan keamanan dapat mendayagunakan peran serta masyarakat dalam bentuk kegiatan pembinaan masyarakat terutama sekali yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Untuk dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap kasus-kasus perdagangan orang terutama perempuan dan anak, para penegak hukum memerlukan bantuan masyarakat untuk memberi informasi.
Sesuai dengan corak dan sifat kehidupan masyarakat Indonesia yang bercirikan kegotong-royongan maka potensi masyarakat yang demikian dapat didayagunakan di dalam rangka untuk upaya peningkatan perwujudan keamanan khususnya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak.
Partisipasi masyarakat yang diharapkan dalam upaya pencegahan antara lain : memahami tentang hal-hal dan permasalahan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak. Terhindar dari perbuatan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak baik sebagai pelaku maupun korban. Dapat berperan sebagai polisi bagi dirinya sendiri.
Partisipasi masyarakat yang diharapkan dalam upaya pemberantasan antara lain: Peka terhadap kemungkinan terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan dan anak dilingkungannya. Mau memberikan informasi kepada penegak hukum setiap kasus atau patut di duga terjadinya tindak pidana perdagangap perempuan dan anak. Bersedia untuk bertindak sebagai saksi pelapor atau saksi korban dalam setiap proses pemeriksaan yang diperlukan oleh penegak hukum.
Sebagai upaya legalitas peran serta masyarakat khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan dalam tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, maka pelibatan masyarakat tersebut perlu dituangkan dalam rumusan Pasal RUU agar tidak ada keraguan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud.
BAB IX PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak mengalami peningkatan baik di lihat dari kualitas maupun kuantitasnya. 2. Jumlah korban dari tindak kejahatan ini terus menerus mengalami peningkatan. Disamping itu akibat dari kejahatan tersebut korban mengaiami penderitaan lahir dan batin, kehancuran masa depan, kecacatan seumur hidup bahkan berakibat pada kematian. 3. Perangkat hukum yang tersedia untuk menangani kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak tersebut baik dari sisi substansi maupun struktur hukum sangat tidak memadai dan sangat tidak berpihak kepada korban. Selain itu sisi budaya turut membentuk budaya hukum yang melanggengkan terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berlanjut pada tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
B. Rekomendasi
Pembentukan peraturan perundang-undangan baru untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam menangani kasus-kasus perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, mutlak diperlukan. Pembentukan hukum khusus dari hukum pidana urnum. Oleh karena kekhususannya dalam modus operandinya, para pelaku dan penyerta, jumlah dan kondisi korban maka hukum khusus ini disusun dalam satu format terpadu antara hukum material dan hukum formal. Sebagai hukum khusus yang menggunakan pendekatan terhadap perlindungan terhadap korban dan saksi serta penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM. Disusun dengan menggunakan analisis gender, yakni Feminis Legal Theory and Practise (FLTP). Sebagai hukum baru yang bersifat aktual dan futurities, dalam arti mampu menjawab persoalan masa kini dan persoalan-persoalan di masa yang akan datang.
Rekomendasi tersebut di atas di dasarkan pada :
Melaksanakan dasar-dasar filosofis pembentukan negara dan pemerintahan. Untuk melindungi masyarakat lemah dari tindak kejahatan dan menciptakan ketertiban dunia dan mencapai kesejahteraan urnum. Keterikatan negara secara yuridis formal dan politis untuk menciptakan mekanisme, menyusun perundangan dan langkah secara politis maupun administrative untuk mencegah terjadinya praktek perdagangan orang, eksploitasi pelacuran dan bentuk lainnya, sebagai pelaksanaan dari konstitusi, TAP MPR dan peraturan perundangan lainnya. Kewajiban negara Indonesia untuk melaksanakan komitmennya kepada dunia dalam menolak dan melarang praktek perdagangan orang, eksploitasi pelacuran dan bentuk lainnya, sebagaimana diwajibkan dalam pasal 6 CEDAW. Mendukung tegaknya hak asasi manusia.