Di Prosenium
They live their lives
in sad cafes and music halls
- Janis Ian.
Di kursinya yang hitam,
ia masih belum juga bernyanyi.
Di prosenium yang setengah terang itu
ia memandang ke utara. Matanya mabuk.
Tutup piano itu mengkilap seperti dahinya
yang berkeringat. Mulutnya mabuk.
‘Daud…’, tiba-tiba nama itu disebutnya.
Suara itu keras, tapi tak lurus.
Di gedung itu penonton senantiasa murah hati.
Dalam gelap, teater menunggu: seorang diva,
sebuah cerita panjang yang mungkin akan dinyanyikan,
koridor yang berwarna seperti harapan,
ruang konser yang mulai tua,
bunyi langkah yang takut tapi terbujuk,
dan sebuah suara viola yang sedang dicoba.
Beberapa menit berlalu.
Tuts itu pun mulai bergetar.
Perempuan di prosenium itu menyebut lagi, ‘Daud..’,
meskipun ia tahu yang dipanggilnya tak di sana.
‘Daud….’ - lalu terdengar baris pertama,
‘Bintang datang bintang pergi,
seperti sisa singkat matahari.’
Dan piano itu memberinya melodi.
Siapa Daud, sebenarnya?
Seperti kau dan aku, barangkali,
sebuah komposisi,sebuah lagu yang seperti arus
mengikis tebing
dan mendapatkan namanya kemudian,
setelah selesai digumamkan.
Di dalamnya Daud berjalan dari kota ke kota,
bersama band yang lusuh,
di lorong music hall dan bar yang sedih,
dan berangkat lagi, tiap kali.
Sebelum tepuk tangan.
‘Kau tak akan sampai di prosenium
Kau tak akan sampai di prosenium
Mawar kering sebelum harum.’
Barangkali ia tahu, di sebuah bangku stasiun
Daud duduk malam itu
dengan gitar yang terbungkus.
Dan kereta lewat.