Detektif Misterius

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Detektif Misterius
oleh Teresia
52636Detektif MisteriusTeresia
DETEKTIF MISTERIUS


Teresia
SMA N 2 Padang


AKU masih ingat dengan jelas kejadian tadi malam, saat aku mengantar abangku satu-satunya, Bang Koko. Ketika melintasi jalan yang sepi, kami melihat toko yang satu-satunya masih buka. Kami heran mengapa pukul 12 malam begini masih ada toko yang buka. Padahal, biasanya toko-toko tutup semua, apabila sudah malam, kecuali mall atau toko 24 jam.

Karena kami menganggap hal ini sangat aneh, kami terus memperhatikan toko itu. Papannya bertuliskan "Toko Kue Ram" yang terpasang kokoh di atas pintu masuknya. Di dalamnya tidak terlihat seorang pengunjung pun, tetapi mengapa tetap buka?

"Riska, ayo kita coba lihat-lihat toko itu! Siapa tahu kue yang dijualnya enak!" ujar Bang Koko kepadaku. Karena aku juga penasaran dengan toko itu, aku mengiyakan ajakannya. Toko itu luar biasa menakjubkan! Jika dilihat dari luar, biasa-biasa saja, pemandangan di dalam lebih hebat lagi. Toko yang luas itu, tiga perempatnya dipenuhi oleh meja-meja yang dihiasi kain warna berenda yang sangat manis. Di atasnya terdapat kue-kue dalam bentuk yang berbeda-beda dan tertata rapi. Kami tak lepas-lepasnya memandangi kue-kue itu. Bahkan, kami tidak menyadari kehadiran si pemilik toko hingga ia mendatangi kami sambil bergumam, "Menarik sekali kue ini?"

"Ah, ya!" seru Bang Koko kaget.

Sebetulnya kami kaget bukan hanya karena disapa tiba-tiba, tapi juga karena penampilannya yang aneh dan lucu. Ia memakai kemeja bermotif hitam dan masih memakai celemek yang kotor adonan dan selai. Anehnya, celemek itu juga berenda, seperti alas meja yang ada di toko itu dan dihiasi beberapa pita warna-warni, ditambah lagi, topi yang menjadi ciri khas seorang koki bertengger di kepalanya dengan hiasan boneka perempuan yang mungil. Penampilannya benar-benar kacau dan sangat aneh.

Akhirnya, kami membeli tiga kue cokelat berbentuk bintang dan sekotak kue manis.

Kami pun keluar dari toko itu diiringi ucapan "terima kasih". Kami benar-benar tidak percaya dengan apa yang terjadi. Toko yang masih buka di malam hari dan toko itu adalah toko kue yang dimiliki oleh seorang pria aneh berumur 30-an tahun. Sepanjang jalan kami terus bercerita tentang keanehan itu sambil menikmati kue yang tadi kami beli, sedangkan sekotak kue manis itu diberikan Bang Koko daku karena Bang Koko merasa malu membawa kue ke tempat kerjanya di salah satu stasiun radio di kota kami.

"Lho, Riska kenapa melamun? Seperti bukan Riska yang biasanya," ujar temanku. Dia bernama Desi Angraini. Desi dapat dikatakan sebagai anak yang biasa-biasa saja. Tidak suka meninggi hati dan berkata kasar. Aku senang memiliki teman seperti dia.

"Eh, Desi! Tidak ada apa-apa, kok!" ucapku santai.

Walaupun aku berkata demikian, ia tetap memandangiku. Sepertinya, ia tahu bahwa aku berbohong. “Iya, iya! Aku ceritakan, deh!” ujarku kemudian.

Lalu semua yang kualami kuceritakan kepada Desi. Sambil mendengar, kadang ia membekap mulutnya seolah tidak percaya.

“Ya ampun, Ris! Aku benar-benar tak percaya ada toko seperti itu! Namanya Toko Kue Ram, kan?” ucap Desi akhirnya.

“Ya, benar,” gumamku.

Entah mengapa perasaanku lega setelah menceritakan hal ini kepada seseorang. Walaupun orang dewasa takkan percaya, aku yakin Desi mau mempercayaiku.

“Jadi ..., bagaimana kalau kita ke sana setelah pulang sekolah?” celetuk Desi.

“Hah? Untuk apa?” tanyaku kaget.

Aku berpikir mungkin saja pemilik toko kue itu sengaja berpakaian begitu, atau sebenamya celemeknya sedang dicuci dan ia terpaksa memakai celemek istrinya. Tapi..., sepertinya mustahil.

“Baiklah! Kita pergi ketoko itu pulang sekolah!” sahutku akhimya.

Seperti yang telah kami sepakati, kami akan ke toko itu setelah pulang sekolah. Dari mendengar ceritaku saja, Desi sudah penasaran dengan toko itu, Apalagi kalau dia sendiri yang mengunjungi toko itu, pasti dia akan semakin penasaran.

“Hai, Ris! Sudah lama menunggu ya!?” seru Desi yang baru saja keluar dari kelasnya.

“Ya, aku maklum, kok. Habis, kamu di kelas unggul, sih! Makanya pulangnya lebih lama dari yang lain,” ujarku sambil tersenyum.

Tanpa basa-basi, kami pun langsung menuju toko itu. Suasananya lain dengan suasana tadi malam. Semua toko buka dan banyak orang hilir-mudik dijalan, tidak seperti tadi malam yang sepi dan semua toko tutup.

“Di mana tokonya, Ris?” tanya Desi yang mulai merasa gerah karena berjalan jauh dan suhu udara yang panas.

“Sebentar lagi sampai! Itu dia!” seruku langsung menunjuk toko itu.

Tapi, ada sesuatu yang aneh. Papan yang terpasang bukan bertuliskan “Toko Kue Ram”, melainkan papan usang bertuliskan “Toko Perlengkapan Alat Tulis”.Apa mungkin aku hanya bermimpi semalam? Tapi, buktinya kue yang diberikan Bang Koko setelah membelinya di toko kue itu ada padaku. Mengapa bisa begini?

“Riska...? Kok, toko alat tulis, sih?” gumam Desi kecewa. Ia mengerutkan dahinya sambil menatapku.

Nggak tahu juga, Des! Tapi, aku benar-benar yakin kalau toko itu di sini! Dan buktinya kue itu yang kubeli bersama Bang Koko masih ada, kok!” ucapku sama bingungnya dengan Desi.

“Untuk lebih pastinya kita masuk saja, yuk!” ajakku memaksakan diri.

Sebetulnya aku berharap ini hanyalah mimpi dan toko ini bukan toko yang sama. Dan, Toko Kue Ram itu berada di sebelah toko ini.

“Permisi...,” ucapku pelan.

Aku memperhatikan keadaan di dalam toko itu. Keadaannya benar-benar berbeda dengan toko kue itu. Tidak ada meja-meja yang ditutupi kain berenda, tidak ada kue-kue cantik yang ditata rapi, tidak ada ruangan yang luas, dan tidak ada pemilik toko yang ramah dan aneh itu. Sebagai gantinya, ruangan itu dipenuhi rak-rak tinggi yang menutupi sebagian dinding dan penuh buku-buku pelajaran. Juga ada etalase panjang yang terdapat perlengkapan alat tulis. Kaca etalase itu sudah kusam dan tergores, seperti sudah lama terpakai. Benar-benar bukan toko kue yang kemarin malam kukunjungi!

“Mau beli apa, Dik?” seru seseorang dengan suara serak.

Mata kami tertuju pada orang itu. Dia seorang laki-Iaki yang penampilannya cukup rapi. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana panjang berwarna biru. Ja juga memakai sepatu hitam yang tampak bersih dan berkilap.

Ng... nggak, Pak! Kami mau tanya, kok toko ini berubah, sih?” ucapku tanpa sadar. Tampak ada perubahan pada wajah orang ini. Dia langsung menatapku dan Desi dengan sinis.

“Kalau nggak mau beli, ngapain ke sini!? Pergi sana!” serunya sambil lalu dan kembali masuk ke dalam.

“Eh, tunggu, Pak! Kami hanya mau tanya, di mana Toko Kue Ram!” tambah Desi, membantuku.

153

Bapak itu berhenti sebentar. Ia tidak berkata apa-apa dan

menghela napas. “Mana saya tahu!” serunya.

Sekarang, bapak itu benar-benar marah sehingga kami buru-buru pergi dari toko itu. Orang-orang yang lewat di jalanan menatap kami dengan heran.

“Sadis! Kalau penjualnya galak begitu, bagaimana bisa ada yang mau beli!” celetuk Desi.

“Iya, tuh!” sahutku lesu.

“Jadi..., toko kue itu tidak ada, ya?” gumam Desi.

Kali ini dia tidak menatapku. Ia memandangi langit yang begitu cerah dan sedikit berawan. Rambutnya yang sebahu dan lurus itu berkilau ditimpa sinar matahari, berbeda dengan rambutku yang pendek. Kadang-kadang teman-temanku mengira aku ini tomboy.

“Hei!” seru seseorang.

Kami berusaha mencari asal suara itu, tapi tidak terlihat seseorang yang berada di dekat kami.

“Aku di sini! Di atas!” serunya lagi.

Kami pun memandang ke atas. Seorang anak laki-laki yang sebaya dengan kami sedang duduk di atas pohon. Dia sangat menarik perhatian dan sambil tersenyum ia melambaikan tangannya.

“Siapa kamu?” ucapku penasaran.

Sebelum menjawab pertanyaanku, ia turun terlebih dahulu. Lalu, ia mengulurkan tangan kanannya padaku.

“Halo, namaku Adi Prabowo. Panggil saja, Adi,” ucapnya tegas.

“Aku Riska Andini, panggil saja, Riska. Dan, yang ini Desi Angraini, biasanya dipanggil Desi,” ujarku memperkenalkan diri.

“Oh...,” gumamnya setelah bersalaman.

“Kalau tidak salah, kalian baru saja dari toko itu, kan?” ucap Adi sambil memandangi toko itu.

Kami kembali teringat tentang bapak yang galak tadi. Aku benar-benar belum pernah dimarahi oleh seorang penjual.

“Mengapa? Kalian juga dimarahi, ya?” tanya Adi menebak-nebak.

“Iya, Mengapa kamu bisa tahu?”

“Yah..., karena toko kue yang misterius itu barangkali? Kalian juga, kan?” ujar Adi. “Hah? Jadi, kamu juga pernah ke toko kue itu?” seruku tak percaya. Ternyata toko kue itu bukan hanya khayalanku saja!

“Ya, waktu itu aku tak sengaja melihat toko yang masih buka dari dalam mobilku.

Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa hanya toko itu yang masih buka, sedangkan yang lainnya sudah tutup. Pasti ada sesuatu di sana. Aku pun memutuskan masuk ke toko itu. Sungguh menakjubkan bisa melihat beraneka ragam kue yang dijual di sana. Setelah malam itu, aku mencoba pergi ke sana lagi setelah pulang sekolah. Tapi, toko itu sudah berubah menjadi toko perlengkapan alat tulis. Lalu, aku pikir, mungkin di saat siang hari toko itu menjual alat-alat tulis dan sebaliknya, di malam hari toko itu menjual kue. Ternyata dugaanku tepat! Aku sudah tiga kali ke sana. Dan aku sampai sekarang masih menyelidiki keanehan itu,” kata Adi panjang lebar.

“Benarkah? Lalu apa yang kamu ketahui sekarang tentang pemilik toko yang tidak ramah itu?” tanyaku lebih lanjut.

“Hmp! Lebih baik kita cari tempat bicara yang enak dulu. Di sini banyak orang lewat,” ujar Adi.

“Iya juga, sih...,” gumamku dan Desi.

“Kalau mau, kita ngobrol di atas pohon saja?” usul Adi bercanda.

“Ih! Memangnya kita ini monyet, sepertimu?” ucapku sambil tertawa.

“Maaf, maaf. Kita pergi ke kafe tempat yang biasa kukunjungi, yuk!” ucapnya meralat kata-katanya tadi

“Boleh. Sekalian makan siang,” gumam Desi langsung bersemangat.

Kami menyambung pembicaraan tadi di sebuah kafe yang tak jauh dari deretan toko tadi. Kafe ini menghadap ke jalan dan tampak pemandangan yang sama, yaitu orang-orang yang lalu-lalang.

“Jadi, Di..., kamu sudah tahu apa saja tentang toko aneh itu,” ucapku.

“Ya, gitu, deh,” ucap Adi yang sedang memandang ke luar kaca. Kebetulan kami duduk paling ujung dan dekat dengan tembok kaca kafe. Bisa dibilang kafe ini termasuk kafe yang bagus. Banyak orang yang makan di sini dan rata-rata mereka semua adalah murid SMU.

“Dari tadi lihat apa, sih? Di luar, kan hanya ada orang lewat?” ucapku juga memandang ke luar.

“Rahasia, ding!” ucap Adi sambil tersenyum lebar.

Aku diam saja mendengar ucapannya. Lalu kuperhatikan Desi yang sedang makan mi goreng.

“Apaan, sih, Ris? Kok, lihat aku lagi makan? Kan, malu!” seru Desi berusaha menutup malunya.

“Kamu itu makan saja dari tadi. Ya, kan, Di?” tanyaku pada Adi yang duduk di sebelah Desi.

“Iya, nih. Makan sendiri-sendiri saja. Kita dibiarin bengong,” komentar Adi. “Uh!” Desi mencibir dan meminum jus pesanannya.

“Ok! Aku sudah selesai makan, nih!” serunya sambil meletakkan gelas kosongnya di meja.

“Kelamaan! Sekarang, kita juga mau makan,” ujar Adi.

“Eh?” Desi langsung kaget.

“Hahahaha! Desi tertipu!” ujarku.

“Huh! Bisa-bisanya kalian bercanda!” keluh Desi.

Setelah tertawa beberapa saat, kami diam sesaat. Tampaknya Adi ingin bicara secara serius hingga menunggu Desi selesai makan.

“Kalian percaya tidak, kalau ada orang yang hidup dengan dua kepribadian?” tanya Adi sambil menatap kami bergantian.

“Hah? Dua kepribadian?” ucapku mengulangi.

“Ng,” Adi pun mengangguk.

“Coba kalian ingat, si pemilik toko peralatan tulis tadi mirip dengan pemilik toko kue itu. Yah..., memang sifatnya berbeda, sih! Tapi, aku yakin, wajah mereka itu mirip sekali,” ucap Adi memandangi kami.

“Aku mana tahu. Kan, Riska yang datang ke toko kue itu dengan kakaknya,” celetuk Desi.

“Oh? Desi nggak pergi ke toko kue, toh?” gumam Adi yang membuat Desi terpojok karena dia tak tahu banyak soal itu. “Iya, Habis dia baru kuberitahu tadi dan kami langsung ke toko itu.”

“Eh..., ternyata toko yang semalam kukunjungi berubah menjadi toko alat tulis?” jelasku.

Lagi-lagi Adi mengangguk.

“Jadi, kakakmu juga merasa aneh dengan toko kue itu, dong?” gumam Adi. “Ya, begitulah,” jawabku singkat.

“Hmp...,” gumamnya seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Hoi! Riska!” teriak seseorang.

Sepertinya aku sangat mengenal suara ini. Otomatis aku pun menoleh ke arah suara galak itu.

“Kak ..., Kakaknya Riska, tuh!” Desi ketakutan.

Desi memang sudah mengetahui watak abangku yang kadang lembut dan kadang pemarah dan kasar.

Lho? Bang Koko mengapa bisa ada di sini?” tanyaku tanpa pikir panjang.

Sudah pasti dia ada di sini mencariku karena belum pulang juga sejak tadi siang. “Ya, cariin kamu! Susah payah cari ke mana-mana, tahunya ada di sini. Asyik ngobrol! sama cowok lagi!” bentaknya.

Semua orang menatap kami. Kurasa mereka akan salah paham, kalau Bang Koko marah-marah di sini.

“Des, aku pulang dulu, ya! Besok kita ketemu lagi di sekolah,” ucapku buru-buru dan memegang lengan Bang Koko yang telah mengacaukan pembicaraan kami! Padahal, Adi punya informasi yang banyak tentang pemilik toko itu!

“Heh! Apa yang kamu lakukan sama cowok jelek itu?" tanya Bang Koko masih dengan nada kemarahan.

“Ih! Bang Koko, kok, begini, sih! Aku cuma mencari tahu soal toko itu, kok,” ucapku tanpa berani menatapnya.

“Hah? Maksudnya, toko kue itu? Nggak perlu susah-susah! Lebih baik kamu lupakan saja soal itu. Anggap saja tidak pemah mengunjungi atau pun melihat toko itu! Mengerti?” perintahnya.

“Hah? Mengapa?” tanyaku kaget. Aka terpaksa menatapnya.

“Kamu tahu, kan, kalau setiap orang punya hak untuk melakukan dan merahasiakan apa saja tentang mereka? Jadi, kamu jangan ikut campur masalah toko yang tidak jelas itu!”

157

ucapnya sambil menekankan kalimat terakhirnya.

“Tapi, jelas-jelas kita masuk ke toko itu! Abang jangan menyangkal!”selaku tak bisa menerima perkataannya.

“Huh! Kamu memang tidak bisa diberi pengertian, ya? Abang malas berbicara denganmu, Riska!” ujarnya sebal dan mempercepat langkahnya.

Aneh! Benar-benar aneh! Mengapa Bang Koko marah-marah hanya karena toko itu? Bukankah dia sendiri juga penasaran? Tapi..., kalau dia melarangku mencari tahu tentang toko itu berarti dia telah mengetahui sesuatu? Benarkah?

“Hmp...!”

“Ada apa, sih? Dari tadi melamun dan menghela napas terus!” ucap Bang Koko. Dia tepat duduk di depanku. Dan aku dari tadi terus memperkirakan apa yang disembunyikan Bang Koko dariku.

“Huh! Bukan urusan Bang Koko!” gumamku langsung berdiri meninggalkan meja makan.

“Memangnya, Abang pikirin?” celetuknya tak mau kalah.

“Bang Koko menyebalkan! Bodoh! Bodoh!” jeritku setelah berada di dalam kamar. Sambil terus mengomel, aku mengeluarkan buku PR dan buku latihan. Lalu, aku membalik-balikkan halaman sambil mengeluh.

“Eh...,jangan mengeluh terus! Tuh, ada telepon dari Desi. Katanya mau bicara sama kamu,” ucap Bang Koko tiba-tiba.

“...” aku diam saja dan langsung mengangkat telepon.

“Halo..., Desi?” seruku kembali bersemangat.

“Halo! Aku bukan Desi, tapi Adi,” sahut di seberang.

“Oh, Adi! Kok bisa...”

“Aku memang sengaja menyuruh Desi yang bicara duluan, biar Bang Koko tertipu,” ujarnya menjelaskan dan tertawa kecil.

“Ya, ampun. Eh..., tapi mengapa kamu tahu nama kakakku? Dari Desi, ya?” ucapku. Kurasa Desi yang memberitahunya tadi, saat mereka kutinggalkan di kafe.

“Iya. Kaget, ya?” ucapnya santai.

Hatiku menciut mendengarnya. Padahal, biasa saja, kan, kalau Adi ingin tahu tentang orang berteriak secara terang-terangan di saat kami membicarakan hal yang penting? “Ris? Kok, diam, sih?” tanya Adi.

“Ah, tidak ada apa-apa!” ucapku berusaha berbicara sewajar mungkin.

“Hmp..., ya sudah! Maaf, ya, kalaujadi telat pulang gara-gara aku. Kamu tidak marah, kan?” ujarnya.

“Tidak, tidak. Siapa yang bilang? Kakakku memang pemarah, cerewet pula!” ujarku jadi semakin sebal.

“Oi! Siapa yang kamu maksud?” ucap Bang Koko dari sofa sambil menatapku. Rupanya dari tadi dia sudah ada di sana ya!? Aku harus cepat-cepat menutup teleponnya, nih!

“Ah..., Desi! Sudah dulu, ya!” ujarku pura-pura bicara dengan Desi.

“Hah, Desi?” celetuk Adi bingung.

“Dah! Sampai besok!” ujarku lagi sebelum menutup telepon.

“Ah, Riska! Kutunggu jam 12 malam nanti di 'pohon pertemuan', ya!” seru Adi cepat-cepat.

“Ya,” gumamku otomatis.

Fuuh... selesai juga! Mudah-mudahan Bang Koko tidak tahu kalau yang berbicara denganku tadi bukanlah Desi.

“Desi bilang apa?” tanyanya saat aku menuju kamar. “Dia bilang, Bang Koko norak,” jawabku asal-asalan.

Biarin! Biar dia tahu kalau kamu itu bandel dan susah diatur.”

“Barangkali Bang Koko yang tidak bisa diatur! Bukan hanya itu, Bang Koko juga kasar!” ujarku sambil mencibir. Dia pun balas mencibirku sebelum aku menutup pintu kamar. BLAM!!!

Aku duduk kembali di depan meja belajar. Kupandangi buku PR-ku. Sedetik kemudian ....

“Hah? Dia bilang apa?” gumamku tak percaya. Kalau tidak salah, disaat-saat terakhir, dia mengatakan akan menungguku di 'pohon pertemuan'?

“Pohon pertemuan' yang itu, ya?” lanjutku sambil mengingat pertemuanku dengan Adi tadi siang. Hihi hi! Dasar anak laki-laki yang aneh!

Kedua jarum jam dinding di kamarku mengisyaratkan bahwa sekarang sudah jam 11.35 malam. Bagaimana, ya? Pergi atau tidak?

159

 Hah..., akhirnya aku pergi juga walaupun aku sedikit mengantuk karena belum tidur siang.

 “Ah, itu dia!” gumamku senang karena melihat Adi sedang menungguku di pohon itu.

 “Hai! Capek, ya, lari-larian?” sapanya sambil tersenyum.

 “Tidak..., biasa saja. Oh.., Desi mana?” ujarku baru ingat pada dirinya.

 “Tenang saja. Sebentar lagi pasti dia datang!” jawabnya ringan.

 “Nah, itu orangnya. Baru saja kita bicarakan,” celetuk Adi lagi sambil melirik Desi yang turun dari mobil pribadinya.

 Kurasa Desi diperbolehkan orang tuanya datang kemari. Buktinya, ibunya yang mengantarkannya.

 “Halo! Maaf kalau aku terlambat!” ujarnya sambil tertawa kecil.

 “Tidak apa. Kita juga baru tiba di sini dua menit yang lalu,” ucapku.

 “Ya, sudah! Kita langsung saja ke sana. Dari tadi toko itu sudah buka,” ajak Adi. Seperti yang dikatakan Adi, toko kue itu telah dibuka. Persis di toko peralatan alat tulis tadi! Papan namanya telah diganti dengan “Toko Kue Ram”, suasana di dalamnya pun telah berganti dengan meja-meja dan tataan kue-kue manis, seperti kemarin malam. Benar--benar berbeda 180 derajat dengan toko yang tadi siang.

 “Selamat datang!” seru pemilik toko yang baru saja menghias kue dengan kantong spet.

 “Ah!” gumamku kaget. Walaupun ini kedua kalinya aku kemari, tetap saja terasa ganjil dengan penampilannya yang lucu itu.

 “Wah! Paman itu aneh, ya?” ucap Desi dari belakangku.

 “Sst! Nanti kedengaran?” seruku langsung menatap Desi.

 “Ha ha ha ha! Jadi, aku ini aneh, ya? Aku merasa lucu kalau ada yang mengatakannya.

 “Padahal, seharusnya orang akan marah, lho!” sahut bapak itu.

 “Siapa yang tak akan berkata seperti itu, jika melihat orang dewasa berpakaian aneh dengan motif kekanak-kanakan,” jelas Desi. “Oh, begitu! Ini buatan tangan putriku, Rasel, Dia berumur 9 tahun, tapi begitu ibunya meninggal, dia menjadi gadis kecil yang banyak memikirkan segala hal mengenai pekerjaan ibunya dulu. Makanya, aku sangat senang memakai celemek dan topi ini!” ucap paman itu tampak senang.

Jadi, paman itu memiliki seorang putri kecil? Ternyata, itu alasannya ia berpakaian aneh.

“Tapi mengapa toko ini selalu dibuka tengah malam? Dan kalau sudah siang tidak ada lagi Toko Kue Rara. Ditambah lagi, paman sangat mirip dengan pemilik toko peralatan tulis itu. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Adi, akhirnya. Aku pun juga ingin tahu hal itu.

Dengan ragu dia menatap kami semua. Ia pun tampak bingung harus berkata apa. “Hmp! Begini..., aku dilahirkan kembar dengan orang yang kalian jumpai di kala siang hari. Walaupun kembar, kepribadian kami tidaklah sama. Hal itu yang menyebabkan kami harus berbagi waktu dan tempat untuk meneruskan toko warisan orang tua kami ini. Tapi, tampaknya keadaan ini membuatku lelah karena harus bergadang.”

“Tapi, kalau begini terus, Bapak, kan, bisa jatuh sakit? Anak bapak pasti akan sedih dan khawatir, kan?” ucapku cemas.

“Tenang saja. Apakah kalian tahu? Kepanjangan dari 'ram' adalah relish, aspiration, dan memory. Aku ingin orang lain merasakan bahwa kue buatanku memiliki cita rasa yang unik dan selalu memberikan keinginan bagi orang lain untuk menikmati kue buatanku. Tidak ada artinya jerih payahku selama ini, apabila Rasel setiap malam memikir-kanku sampai jatuh sakit. Oleh karena itu, aku tidak ingin Rasel cemas...”

“Begitu .......... ,” ucap Adi sedikit bersimpati.

Esoknya, Adi menyuruh kami berkumpul lagi. Kurasa ada sesuatu yang direncanakannya.

“Adi! Kok, kita ke toko itu lagi, sih?” tanyaku heran.

“Tenang. Yuk, kita masuk,” ajaknya tanpa cerita apa pun padaku dan Desi. “Ng, sebenarnya ada apa, sih?” gumam Desi yang kebingungan seperti aku.

161

 “Permisi, Pak!” ujar Adi santai.

 “Mau beli apa, Nak?” tanya pemilik toko itu. Hari ini ia memakai baju putih lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam.

 “Saya mau beli pensil mekanik yang ada mainan, seperti kue itu,” pinta Adi. Hah? Apa maksudnya dengan beli pensil segala?

 “Yang itu, ya?” jawab bapak itu sedikit mengernyitkan dahinya saat mendengar kata 'kue'.

 “Ya, betul. Kok, Bapak kaget, sih? Setiap orang, kan, pasti pernah makan kue?” komentar Adi.

 “Apa maksudnya?” tanya bapak itu agak tersinggung.

 “Jadi, benar ya, kalau Bapak punya saudara yang buka toko kue di malam hari itu? Mengapa Bapak nggak ikutan?” tambah Adi tak peduli.

 “Apaan, sih! Dari dulu sampai sekarang saya tidak akan pernah mau membuka toko kue macam dia. Lagi pula saya tidak mahir, tuh!” serunya benar-benar marah.

 “Hah...! Jadi, hanya karena itu Bapak tidak mau?” ucap Adi tampak lega.

 “Apa?” gumam bapak itu sambil mengerutkan dahinya.

 “Maksudnya..., kan, Bapak bisa menjelaskannya dulu pada Pak Hesti.”

 “Paman!” seru Rasel tiba-tiba muncul dari luar. Dia seorang perempuan berambut hitam dan ikal. Wajahnya imut dan putih.

 “Ra .... Rasel? Mengapa ada di sini?” ucap bapak itu kaget.

 “Kami sudah dengar, lho;;! Jadi kapan kita latihan?” tambah Pak Hesti, sang pemilik toko kue.

 “Latihan? Apa maksudmu, Hesti?” teriaknya terbelalak kaget.

 “Kau tidak mau membantu usaha toko kue karena kau tidak bisa membuat kue, kan? Kalau kau sudah bisa, apa kau mau meneruskan usaha orang tua kita bersama-sama?” ucap Pak Hesti lembut pada saudara kembarnya.

 “He, Hesti? Kau bodoh! Mana mungkin aku...?” ucap paman itu terputus. Ia menutupi wajahnya yang berlinang air mata dengan tangannya. “Pasti bisa! Asal ada kemauan kita pasti bisa!” ucap Pak Hesti lagi.

“Iya, Paman! Berusaha berdua, kan lebih baik daripada sendirian,” tambah Rasel sambil memegangi tangan pamannya. “Tuh, Rasel sampai membujukmu segala! Kau tak mungkin lagi menolaknya!” ujar Pak Hesti sambil tersenyum.

“Hmp! Mentang-mentang sudah berbaikan, kita dilupakan, deh!” ujar Adi sambil menghela napas.

“Ah, ya! Terima kasih atas bantuan kalian semua. Terutama untukmu, Adi!” ucap Pak Hesti sambil menyalami Adi.

“Sama-sama!” ucap Adi tersipu-sipu.

“Datanglah ke toko kami sesuka kalian!” tambah Pak Hesti. Kami hanya tersenyum dan kemudian mohon pamit. Dalam hati aku bertanya, siapakah Adi yang sebenarnya?

“Ok! Berarti tugasku sudah selesai!” ucap Adi tiba-tiba.

Aku dan Desi saling bertatapan tak mengerti.

“Apa maksudmu? Memangnya tugasmu apa?” tanyaku.

Need not to know!” jawabnya. Kemudian dia melambaikan tangannya tanpa memandangi kami.

Aku merasa kata-kata itu sebagai ucapan perpisahan. Dan aku langsung menyadari siapa Adi yang sebenarnya dari kalimat yang sering digunakan para detektif.