Lompat ke isi

Dari Sisi Lain

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Dari Sisi Lain
oleh Ariani Syafitri Rahardian

DARI SISI LAIN

Ariani Syafitri Rahadian

Padang


Riana

"Yana terlambat lagi?" Lave teman satu indekosku menyapa dari ruang makan.

"Maklumilah, aku kan baru saja bekerja Ve! Kelihatannya Kau memasak sesuatu yang enak," aku tersenyum pada Lave yang tengah memasak sesuatu di dapur.

"Makan saja Yana, atau Kau juga mau kuambilkan? Dasar anak manja!" Lave berkata padaku lalu meletakkan piring berisi makanan yang baru saja dimasaknya di depanku. Aku segera memakannya dengan rakus.

"Yana apa Kau tak bisa makan sedikit lebih pelan?" Lave memelototiku. Aku tak menggubris sedikitpun kritikannya, melainkan terus makan dengan frekuensi yang sama.

Hidup di kota besar seperti Jakarta memang tak pernah mudah. Aku beruntung menemukan teman indekos seperti Lave yang selalu peduli dan membantuku melakukan banyak hal. Gadis manis yang merupakan salah satu mahasiswi universitas di Jakarta, juga bekerja part time di sebuah toko makanan. Kemampuan memasaknya yang jempolan memang membuat perutku sangat bersyukur karena selalu saja tiba di indekos dalam kondisi meronta kelaparan.

* * * 


Alfa

"Kau terlambat lagi?" Sebuah suara berat mengagetkanku yang baru saja datang ke lokasi syuting.

"Maaf! Aku bangun kesiangan tadi!" Aku meminta maaf pada orang yang mengagetkanku. Setelah aku membuka topi, barulah aku menyadari kalau yang menyapaku adalah sutradara film yang sedang kukerjakan ini.

"Ya sudah Alfa! Lain kali Kau tak boleh terlambat! Semua sudah menunggumu dari tadi!" Mas Seno, sang sutradara menepuk punggungku pelan. Menyuruhku segera bersiap.

Aku meletakkan tas ransel yang kubawa di sebuah kursi. Dari jauh, aku menatap seorang gadis tengah menunduk dimarahi oleh kru lain. Sepertinya gadis itu juga terlambat, karena aku melihatnya datang tergesa-gesa tadi. Aku hanya menggeleng dan tersenyum.

* * * 


Riana

Aku bersiap di belakang kamera, dengan mengenakan topi yang biasa. Bersiap merekam adegan yang akan dilangsungkan sebentar lagi. Aku memang ditugasi untuk menjadi juru kamera sebagai tugas praktek lapangan. Bagiku menjadi juru kamera bukan pekerjaan yang mudah. Perlu. ketenangan, kesabaran, ketekunan dan kejelian demi memperoleh gambar yang bagus dan tak mengecewakan. Juru kamera berarti menjadi orang di balik layar, tak pernah terekam oleh kamera. Tapi merekam semua yang perlu direkam untuk kepentingan orang banyak. Juru kamera menjadi orang di balik suksesnya para artis. Bahkan juru kamera menjadi orang pertama yang mengabadikan peristiwa secara langsung agar dapat diperlihatkan pada orang lain bahkan sampai bergenerasi. Menurutku juru kamera dapat melihat dari dua sisi. Seperti saat ini, aku dapat melihat bagaimana perubahan sikap para artis ketika dibidik kamera, dan bagaimana pula saat mereka jauh dari kamera. Terkadang sikapnya jauh berbeda.

"Riana jangan melamun lagi! Cepat aktifkan kameramu!" Sebuah peringatan keras terlontar dari mulut Mas Tatang, salah satu juru kamera senior. Mas Tatang juga merangkap sebagai tutorku.

"I..iya Mas! Maaf!" Aku berujar terbata. Sementara suara tawa kecil terdengar dari depanku.

* 


Alfa

"Alfa Kau boleh istirahat!" Mas Seno memberiku izin untuk beristirahat setelah take terakhir dinyatakan layak oleh Sutradara perfeksionis satu itu.

"Makasih mas!" Aku bergumam pelan pada Mas Seno yang masih sibuk memberi instruksi pada pemain lain. Aku menenggak air minum cukup banyak dari botol dan berjalan menjauh.

Saat melakukan beberapa adegan tadi, berulang kali aku diberi peringatan oleh Mas Seno. Kritik pedasnya acap kali terlontar padaku hari ini. Memang tak seperti biasa, aku gampang kehilangan konsentrasi. Padahal biasanya aku termasuk cepat dalam menghayati peran, karena aku tak ingin mengecewakan banyak orang yang sudah bersusah payah untukku.

* * * 
Riana

"Maaf Kak! Kau tak apa?" Aku membaca kecemasan dan ketakutan terpeta dalam wajah Alfa yang tak sengaja menumpahkan kopi panas ke tanganku.

"Kau hampir saja membuat tanganku melepuh!" Aku berkata cukup keras sehingga para kru lain menoleh ke arahku, mengabaikan makan siang mereka sejenak. Dilihat oleh banyak orang aku sedikit canggung juga.

"Kalau begitu aku carikan obat deh!" Cowok itu berjanji padaku lalu pergi meninggalkanku, yang masih meniup-niup tanganku. Berusaha meredam rasa panas yang menjalari tanganku.

"Sudah lebih baik Kak?" Alfa memandang cemas ke arahku, dan nada suaranya sedikit bercampur kepanikan.

"Sudah! Terimakasih sudah membantu! Tapi sepertinya aku tidak cukup tua untuk Kau panggil kak! Namaku Riana, Kau boleh memanggil Rian atau Yana! Kau sendiri?" Moodku sudah cukup baik dan dapat dikontrol. Sepertinya salep berwarna bening yang terasa dingin di tangan itu memberi peranan yang cukup baik.

"Astaga Kau tidak mengenalku? Kau benar bekerja di sini? Namaku Alfa!" Kali ini rasa kesal dapat kutangkap dari suaranya.

"Aku bekerja di sini! Aku hanya bercanda Alfa! Tanganku sudah membaik, terima kasih!" Aku berujar padanya sambil meniup segelas teh panas yang juga diulurkannya ke arahku.

"Baiklah, setidaknya rasa bersalahku sudah jauh berkurang!" Alfa berkata padaku dan berlalu.

* * * 

Alfa

Apa yang sedang kupikirkan? Mengapa sampai menumpahkan kopi ke tangan orang lain, untung saja tangannya tak melepuh. Semua ini karena media-media itu, mengapa mereka selalu membuat gosip aneh tentangku. Apa salah kalau aku hanya ingin mendapatkan sedikit kebebasan untuk diriku sendiri. Satu hal yang harus mereka tahu, ini hidupku dan tak ada yang berhak mencampurinya.

* * * 


Riana

Namanya Alfa Gemilang. Seperti namanya, prestasi penyanyi muda itu memang langsung meroket sejak kemunculannya. Suaranya yang easy listening, wajahnya yang tampan, cukup untuk membuatnya dikenal oleh banyak orang sebagai idola baru. Kini, dia mencoba merambah dunia baru selain tarik suara, yaitu seni peran.

Belakangan, banyak gosip tentang Alfa beredar di media. Bahkan media melabelinya sebagai bad boy, karena sikapnya yang tak selalu koperatif pada media. Cowok itu. memang terlihat sering menolak wawancara langsung. Alfa bukan orang yang selalu tersenyum ramah pada setiap orang. Aku bahkan melihatnya hari ini beberapa kali menggerutu pada dirinya sendiri. Tapi sikap profesionalitasnya sangat kukagumi, karena tak pernah sekalipun dia banyak masalah. Jika sedang berakting, Alfa berubah menjadi tokoh yang diperankan seutuhnya. Hal itu membuat sutradara dan aku sendiri tak perlu berjuang mengulangi take yang sama untuk sekali adegan hinggal hampir membuatku muak karena harus mengambil gambar yang sama. Beberapa artis lain yang selalu dipuja fansnya malah seenaknya melakukan kesalahan, datang terlambat tanpa minta maaf atau membentak kru lain, seakan-akan dia adalah penguasa dunia ini. Huh, membayangkan betapa melelahkan hari-hari yang akan kujalani ke depan.

"Yana, Kau melamunkan Aifa ya?" Lave menegurku yang membiarkan televisi dengan tayangan tentang Alfa.

"Hah yang benar saja? Kau kan yang mengganti channel? Sudahlah Ve aku capek! Ke kamar dulu yaa!" Aku berjalan melewati Lave sambil mencomot sebungkus kue dari tangannya. Dari jauh kudengar Lave menggerutu.

* * * 
Alfa

Apa yang sedang dipikirkan media? Mengapa selalu menyerangku? Sepertinya semua yang kulakukan selalu salah. Awalnya aku tak ingin diwawancarai secara langsung hanya demi menghindari gosip-gosip berlebihan, selain itu aku juga tak ingin terlalu mencolok. Tapi sekarang, media malah memojokkanku, menggelariku sebagai bad boy dan membuat gosip aneh terus menerus. Apa mereka tak tahu aku juga manusia yang mempunyai batas kesabaran, meski manejerku selalu membicarakan kemungkinan aku melakukan wawancara ekslusif untuk meluruskan semuanya. Saat itu aku selalu menolaknya, sekarang apa aku harus menerirna rencana itu? Aku bisa gila jika memikirkan Ini semua. Tapi aku memastikan aku tak akan menyerah, ya aku akan bertahan.

* * * 

Riana

“Hah? Alfa berjuang? Kau sedang latihan akting?” Aku mengamati tingkah laku Alfa yang sedang asyik dengan pikirannya sendiri.

“Mengapa mengikutiku?” Alfa berbalik dan menghadapku.

“Sembarangan tuduh saja Kau! Aku melihatmu datang tadi, dan kebetulan Kau dicari Mas Seno! Kau mau bekerja tidak?” Aku memandangnya dengan pandangan sedikit kesal. Sementara cowok itu menoleh melihat jam tangan yang terpasang di tangan kanannya dan berjalan meninggalkanku.

“Sudah diberitahu malah tak berterimakasih! Dasar bad boy!" Aku menggerutu padanya sambil berjalan keluar.

Aku harus bekerja.

“Riana, jangan salah ambil gambar lagi! Sorot yang mana yang perlu mengerti?” Mas Tatang menegurku yang beberapa kali satah ambil gambar.

Aku menunduk malu. “Maaf Mas! Tadi lagi gak fokus!” Aku akhirnya mengeluarkan alasanku. “Lebih baik segera fokus Rian! Kau tak lihat tadi Mas Seno marah? Kau mau menjadi korban Mas Seno?” Mas Tatang menegurku dan pandangannya mengarah pada Mas Seno yang sedang mengomentari Alfa.

Apa sebenarnya yang Alfa pikirkan? Mengapa aku jadi peduli terhadapnya? Aku memang menyukai lagunya, tapi hanya sebatas itu. Mengapa aku sampai sibuk memikirkan anak itu, urusan hidupku saja sudah membuatku pusing, mengapa dia harus kuurusi juga. Sudahlah Riana urus saja dirimu sendiri jangan urus bad boy itu lagi. Riana kau harus bekerja lebih baik lagi demi nilaimu setidaknya!

Aku menghempaskan badanku yang sudah sangat lelah di sofa. Tanganku bergerak menggapai remot tv yang berada di meja. Begitu menghidupkan tv sebuah berita langsung menyergapku.

“Alfa Gemilang, kali ini kembali menunjukkan sikap tak bersahabat pada wartawan. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Alfa tak pernah bersedia dimintai keterangan oleh wartawan. Sikapnya yang selalu keras pada wartawan dan terkesan menutup diri dari media meski ia tampil di depan publik sebagai penghibur. Berikut beberapa keterangan dari orang-orang di sekitar Alfa yang bersedia dimintai keterangannya terkait sikap bad boy yang satu itu.” Klik. Aku mematikan tv tepat saat suara reporter acara itu menyelesaikan keterangannya.

“Kenapa tvnya dimatikan?” Lave memprotes keras sikapku.

“Aku bertemu dengannya seharian ini! Kalau Kau mau tahu kenapa, tanya saja pada bad boy itu!” Aku beranjak menuju kamar untuk mengistirahatkan pikiranku.

“Kau menyukai Alfa, Yana?” Aku terkejut mendengar perkataan Lave yang tiba-tiba sudah berada di kamarku.

“A..apa? Menyukai Alfa? Kau pikir aku siapa, berhak menyukai dirinya,” ketusku pada Lave.

“Kau manusia Riana, Kau berhak menyukai siapa saja termasuk Alfa. Aku tahu kau menyukainya, buktinya kau tak bisa tidur dan uring-uringan karena Alfa kan?” Lave kembali menodongku.

“Terserah pendapatmu sajalah Lave! Kepalaku pusing aku mau tidur?” Aku menutup telinga dengan bantal dan memejamkan mata, berharap rasa yang kumiliki terhadap Cowok itu akan pudar esok pagi.

* * * 

Alfa

Mereka tak pernah sadar kalau mereka akan merubah seseorang menjadi orang lain setelah gosip yang mereka sebarkan. Komentar biasa bisa menjadi spektakuler saat mereka merarnunya. Aku mengerti mereka butuh berita. Sudah banyak bukti yang ada tapi banyak juga yang mengabaikannya, kehidupan pribadi para artis diumbar sampai tuntas. Apa mereka tak bisa membiarkan para artis itu hidup tenang, meski itu konsekuensi menjadi public figure tetap saja semua orang butuh privasi. Tapi banyak diantara mereka tak pernah menghargai itu. Memang ada yang bertindak sopan, memohonizin, peduli akan perasaan para public figure, untuk yang seperti itu aku menyukainnya. Aku hanya ingin tetap menjadi Alfa yang biasa, tetap rendah hati, bukan seorang public figure, dan tak diberitakan miring oleh media. Tapi sayang yang terjadi malah sebaliknya, apa belum Cukup aku tampil di berbagai acara dan bermain film? Hingga gosip miring itu beredar? Coba saja kita bertukar tempat kau menjadi Alfa Gemilang dan aku menjadi orang yang nenonton berita di rumah, atau aku menjadi orang yang berebut mencari berita tentangmu. Rasakan saja sendiri olehmu.

“Aku ingin sekali bisa melakukan seperti yang baru saja Kau fakukan pada Sharon tadi pada media Kak!” Aku mengapresiasi perlakuan Riana yang baru saja memberi Pelajaran pada Sharon. Membuat salah satu tawan mainku Itu mencak-mencak.

“Kau tuli ya? Aku tak cukup tua untuk Kau panggil kakak!" Riana menggerutu padaku. Aku tak mendebat ulang, hanya menyandarkan badanku ke dinding dan bersenandung pelan.

"Terima kasih sudah berkata Alfa bertahan kemarin!" Aku menegakkan badanku memilih berlalu. Tak membiarkan ocehan gadis itu memenuhi telingaku lagi.

* * * 

Riana

Aku meminum jus yang disediakan di pesta peluncuran film. Mencoba tersenyum dan menikmati hasil dari kerja kerasku. Dari jauh, aku mengamati Alfa yang sedang berjuang keluar dari keributan kecil yang ditimbulkan saat wartawan menyemut mengerubunginya. Aku dapat melihat wajahnya berubah panik, dan saat itu juga seulas senyuman terukir dari wajahku melihat penderitaanya.

"Kenapa senyum-senyum Kak?" Alfa entah bagaimana sudah berada di dekatku. Wajahnya terlihat bersinar dan menyisakan sedikit senyum.

"Kenapa Kau bisa berada di sini? Bukannya tadi Kau berada di sana?" Aku menunjuk arah tempat tadinya ia berada.

"Kau pikir aku robot?" Kali ini kata-katannya penuh senyuman.

"Ya, robot yang tak ingin diganggu privasinya! Mengapa kali ini kau menggangguku bad boy?" Aku berkacak pinggang menantangnya yang jauh lebih tinggi daripadaku.

Aku dan Alfa bertukar cerita cukup banyak. Meski aku lebih banyak mengoceh dan Alfa mengangguk diam meresapi ceritaku atau malah tertidur. Akupun tak mengetahuinya. Berdiri bersisian dengannya seperti ini, aku tak tahu kenapa. Tapi aku menikmatinya.

"Well actually, I'm just a realistic man who says what I think inside my head! But not with that way..." Alfa belum sempat menyelesaikan kalimatnya untuk menjawab pertanyaanku. Tapi kilatan cahaya blitz kamera menyergap kami berdua. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Badanku membeku panik, aku tak bisa berpikir jernih. Di sebelahku, Alfa mengumpat pelan dan menarik tanganku dengan cepat untuk menjauh dari kerumunan. Cowok itu mengajakku meninggalkan pesta yang sedang berlangsung.

Pasti pikiran bad boy satu ini sedang berkecamuk. Tapi membayangkan tindakan anarkis yang dilakukan tanpa permisi oleh para awak media tadi juga membuatku ingin melempari mereka dengan gelas cola yang sedang kupegang tadi. Alfa tampaknya masih emosi, wajahnya masih memerah hingga saat ini. Dia pasti tak mengira dan tak berpikir kalau wartawan akan menemukannya di pesta sedang bercakap-cakap bersama seorang cewek, pasti akan jadi berita besar dan mangsa empuk bagi para wartawan penggosip itu.

"Maaf, aku tak bermaksud kasar padamu! Aku panik! Kau kuantar pulang ya!" Alfa melepaskan genggamannya dari tanganku. Kemudian membuka pintu mobilnya.

Aku memilih diam. Hatiku masih bergemuruh riuh, entah karena apa. Alfa hanya bersenandung pelan untuk menemani perjalanan. Perlahan mobil yang dikemudikan Alfa melambat. Aku baru sadar saat cowok itu melepas seatbeltku dan menyuruhku turun dengan sopan.

"Terima kasih Alfa!" Aku berkata padanya sambil menutup pintu. Alfa tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis lalu memakai kacamata hitamnya kembali.

* * * 

Alfa

"Terlambat tujuh menit dua puluh tiga detik! Apa yang Kau pikirkan hingga terus terlambat sih?" Aku menatap Riana yang sedang berlari menuju mobilku.

"Maaf! Tapi darimana Kau tahu nomorku?" Serunya sambil mengatur deru napasnya.

"Aku ingin menyelesaikan perbincangan kita semalam! Kau pikir aku tak bisa bertanya pada kru yang lain? Kau terlalu menganggapku berlebihan, aku juga mengenal banyak kru tahu!" Aku mematahkan pernyataannya kemarin. Alfa menyuruhku masuk dan melarikan mobilnya ke arah pantai.

"Kenapa menatapku? Kau suka?” Aku bertanya pada Riana yang sedang mencuri-curi pandang menatapku. Riana hanya terdiam, tak sepatahpun kata terucap dari mulutnya.

* * * 

Riana

Ternyata Alfa mengajakku menuju sebuah restoran kecil di tepi pantai. Katanya, restoran ini salah satu restoran favoritnya. Meski restoran ini kecil, tapi ternyata pengunjungnya cukup ramai. Dentuman suara ombak yang beradu dengan bebatuan yang tersusun rapi di sepanjang pantai, terdengar bersahutan. Perasaanku jadi cukup nyaman di sini, aku mengingat ingat kapan terakhir kali aku mencium udara berbau garam seperti ini? Aku merindukan suasana pantai yang tenang seperti ini, dan Alfa sepertinya memahami keinginanku.

"Kak, Kau mau mendengarku bercerita?" Alfa buka suara dan aku bersiap membentaknya. Tapi sebelum aku sempat melakukannya Alfa cepat-cepat berkata, "Aku suka memanggilmu Kak, Riana!"

"Sekarang terserah Kau sajalah, aku bosan. membentakmu! Apa yang mau Kau ceritakan?" Aku meminum air mineral yang disodorkan Alfa.

"Baiklah Kak Riana yang cerewet, awas saja Kau memotong ceritaku. Akan kupastikan Kau tercebur ke pantai!" Alfa mengancamku pelan. Aku dan dia serentak tersenyum.

Alfa bercerita tentang alasannya mengapa tak menyukai para wartawan yang suka meminta terlalu banyak darinya. Alfa bahkan mengakui kalau dia adalah anak yang pemalu, bukan seperti sekarang. Awalnya sulit mempercayai kalau Alfa bukanlah anak yang berani tampil di depan dulu sekali, tapi sepertinya aku bisa membaca kejujuran dari sorot mata coklatnya. Bahkan saking kesalnya, Alfa ingin orang-orang itu berganti peran dengannya. Karena Alfa ingin mereka merasakan perasaanya.

“Aku tahu rasanya! Seolah aku ingin melempari mereka dengan gelas cola kemarin!” Aku buka suara saat Alfa menarik napas panjang.

“Begitulah rasanya Rian, jadi aku bukan bad boy seperti yang selalu Kau katakan. Aku juga bukan superstar yang selalu mereka katakan. Aku hanya orang biasa seperti yang lainnya, jadi apa gunanya sombong? Bukan begitu Kak?” Giliran Alfa yang mencomot kue yang ada di atas meja.

“Ya, aku menyukai prinsipmu!” Aku hanya bisa mengucapkan kata itu, karena sepertinya aku bertambah kagum dan kharismanya menelanku bulat-bulat saat ini.

Alfa tersenyum padaku, lalu kemudian dia terlihat sedang berpikir serius sebentar. Dan saat aku sedang kembali mencuit kue, Alfa menyenandungkan sebuah lagu “What Makes a Man milik Westlife.”

Aku terkejut dengan tindakannya itu, tapi lebih terkejut lagi saat bad boy itu berkata “Tell me what makes a man, wanna give you all his heart, coz I think I'm fallin' love with you.” Alfa mengulangi syair lagunya dan mengatakan hal yang membuat pipiku memerah tanpa ampun, dan aku tidak sedang bermimpi. Jantungku berdegup lebih kencang dan tak terkontrol. Aku tak tahu harus menjawab apa lagi. Dan aku tak pernah menyangka hal ini bisa terjadi.

“But why me bad boy? Kenapa Alfa?” Aku berkata lirih lebih pada diriku sendiri.

“Entahlah, akupun tak tahu kenapa aku menyukaimu!” Alfa menjawab pertanyaanku santai. Tetap saja aku terkejut, dan aku memang tak bisa berkata apa-apa lagi.