Lompat ke isi

Dari Sinai s/d Al-Ghazali

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Dari Sinai s/d Al-Ghazali  (2008)  oleh Goenawan Mohamad
2008

Bahan percakapan di Fakultas Filsafat Universitas Parahiyangan, Bandung, 25 April 2008.

Pengantar diskusi ini – bukan sebuah teks ceramah – terdiri dari enam bagian yang tak saya kaitkan satu sama lain dengan ketat dan koheren. Dengan demikian saya mengharapkan pertemuan ini jadi sebuah proses bersama untuk menelaah persoalan tentang Tuhan dan re-presentasinya.

[A]

Inilah satu adegan di kaki Gunung Sinai, sebagaimana dikisahkan dalam Alkitab, di hari ketika Musa dan Bani Israel datang “untuk menjumpai Allah”.

Apa yang mereka jumpai? Gunung itu sepenuhnya ditutupi asap: Tuhan “turun ke atasnya dalam api.” Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bunyi sangkakala kian lama kian keras. Syahdan, Allah pun memanggil Musa ke puncak. Tuhan memperingatkan agar manusia jangan coba menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-Nya.

Di saat itu juga turunlah firman: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air…”.

Sejak itu patung atau gambar tentang Tuhan pun diharamkan. Tapi manusia punya hasrat yang tak mudah dihabisi. Bahkan ketika Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu dari emas yang mereka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak. Ketika kemudian Musa turun dari gunung dan melihat apa yang terjadi, ia pun mengikuti titah Tuhan untuk menjatuhkan hukuman yang mengerikan: mereka yang “memihak kepada Tuhan” harus membunuh saudara, teman dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran 32: 28: “Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu orang…”


[B]

Sajak Amir Hamzah yang terkenal, “Hanya Satu”, mengungkapkan kegelisahan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan. Saya kutip, tidak lengkap:



Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

Satu, kekasihku,
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas


Dari sajak itu –salah satu puisi terindah yang pernah saya baca – kita rasakan hasrat manusia untuk mendekat kepada Tuhan, yang begitu samar, sayup-sayup, berjarak. Daya-Nya memang terkadang menguasai diri (“mangsa aku dalam cakarmu”), tapi terkadang tak menyentuh; terkadang terasa menangkap, terkadang melepas.

Dalam ketidak-pastian itulah “aku, manusia”, merindukan “rupa” dan “rasa” dalam berhubungan dengan Tuhan, membutuhkan sesuatu yang indrawi: “aku, manusia” tak hanya hendak menganggap Tuhan sebagai suatu konsep, sesuatu yang abstrak.

Mungkin itu sebabnya larangan Tuhan di Gunung Sinai itu tak selamanya dipatuhi. Atau sebenarnya firman itu tak persis mengena. Manusia tak dengan sendirinya membuat berhala, atau mewudjudkan Yang Maha Suci dalam benda mati, dengan sikap menjadikannya sebuah surogat yang setara dengan Tuhan sendiri. Mungkin yang mereka lakukan adalah sekedar mewujudkan ekspresi dari “rindu rasa, rindu rupa”.

Untuk itu tampaknya manusia tak bisa dicegah.


[C]

Tuhan sebagai sebuah konsep, atau sebuah kesimpulan, adalah Tuhan para filosof.

“Tuhan” dalam pengertian ini berpangkal dari Plato, yang berteori bahwa alam semesta tentulah mempunyai “penggerak yang tak digerakkan”. Lebih sering dikatakan, “Tuhan” dalam konsep ini datang dari Aristoteles, yang menyatakan bahwa pada akhirnya ada apa yang kemudian dalam versi Latin disebut sebagai causa sui: ia yang menjadi sebab dirinya sendiri, atau ia yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain.

Pandangan ini masuk ke filsafat Islam sejak al-Farabi (870-950) dan Ibn Sinna (980-1037). Filsafat Aristoteles mendapatkan gemanya dalam karya-karya Ibn Rushd (1126-1198) dan dari sini masuk ke theologi Kristiani yang dirumuskan Thomas Aquinas (1225-1274).

Kini umum dikatakan, Tuhan sebagai causa sui, atau dalam istilah Ibn Sinna, sebagai Wajib al-Wujud (“ada karena niscaya”), adalah hasil penalaran “onto-theo-logi” – dan semenjak Heidegger (1889-1976), kritik berhamburan ke arah itu.

Kata “onto-theo-logi” sebenarnya berasal dari Kant (1724-1804). Dalam batasan Kant, “onto-theo-logi” adalah bagian dari “theologi transendental”. Adapun “theologi transendental” bertujuan memberi argumen tentang adanya Wujud yang Luhur, bertolak dari suatu pengalaman umum, tanpa mengacu ketat ke dunia tempat pengalaman itu berlangsung; itulah ‘kosmotheologi”. Atau ia berusaha mengenal adanya Wujud itu, melalui konsep-konsep, tanpa bantuan pengalaman; itulah “ontotheologi”.

Heidegger mengritik pengertian “tuhan” itu, sebagaimana ia mengritik seluruh proyek “onto-theo-logi” (begitulah ia mengejanya). Bagi Tuhan sebagai causa sui “orang tak bisa berdoa atau berkorban”, kata Heidegger, “tak bisa bersujud dengan takjub, tak bisa bermain musik dan menari”.

Sebab itu, menurut Heidegger, “pemikiran yang tak bertuhan” harus meninggalkan “tuhan filsafat”, dan dengan demikian justru lebih dekat dan lebih terbuka kepada “Tuhan yang ilahi” (göttlichen Gott).

Pertanyaan bagi Heidegger adalah: jika Tuhan sebagai hasil kesimpulan “onto-theo-logi” – atau “Tuhan” yang ditemukan melalui penalaran dengan konsep – bukanlah “Tuhan yang ilahi”, bagaimana kita mengetahui, atau menjumpai, Tuhan itu? Di luar alam pikiran?

Kita tahu, bagi Heidegger penalaran yang mendasari “onto-theo-logi” bukanlah segala-galanya dalam hidup. Ia melihat ada “pemikiran puitik” yang dapat mengembalikan manusia ke dalam Eregnis, pengalaman yang menghayati hidup, terlepas dari konsep-konsep yang menyetel hidup dalam kerangka.

Tuhan yang diletakkan dalam kerangka konsep, Tuhan sebagai hasil pemikiran, itu bukanlah “Tuhan yang ilahi”. Pemikiran “onto-theo-logis” menghasilkan Tuhan yang sifatnya “logis-fungsional”. Dengan kata lain, dengan Tuhan itulah dikemukakan ultima ratio yang diperlukan oleh metafisika untuk memberi alasan bagi adanya hal-ihwal.

Begitu juga dalam pemikiran Kant. Theologi Kant adalah theologi moral. Kita tak dapat membuktikan bahwa Tuhan ada, maka kita dapat memberikan argumen moral – bukan argumen spekulatif. Dalam theologi spekulatif, Tuhan praktis sebuah “obyek” penalaran theoritis, sebuah “problem”; dalam theologi moral, Tuhan adalah gagasan yang lahir dari penalaran praktis. Bagi Kant, adanya Tuhan niscaya, bila kita hendak membentuk sebuah dunia moral yang lengkap.

Tapi Tuhan seperti itu sebenarnya sama dengan “berhala konsep”, sesuau yang dibentuk sendiri oleh manusia, dan fungsinya ditentukan oleh si manusia pula.


[D]

Marion (1946-…), pemikir Katolik terkemuka di Prancis dewasa ini, seraya memahami keniscayaan manusia yang “rindu rasa, rindu rupa”, berbicara tentang “berhala” (l’idole) dan “aikon” (l’icone).

Baik “berhala” maupun “aikon” bukanlah benda, melainkan “cara” benda itu “meng-ada”. Akar kata dari idole ada dalam bahasa Yunani, eidô, “aku melihat”. Di gereja, candi, dan wihara, kita melihat ikhtiar manusia untuk menangkap dan mewujudkan kembali apa yang unik dalam tuhan atau dewa-dewa. Tapi, kata Marion, yang membuat “berhala” atau idole itu kelihatan bukanlah sang berhala itu sendiri, melainkan pandangan kita terhadapnya. Laku atau tindakan “intensional” kita itulah yang memberi daya kepada sang berhala.

Artinya, dalam berhala, yang “ilahi” diwujudkan dalam kerangka manusia: manusia-lah yang menentukan apa yang unik bagi yang “ilahi” itu. Tuhan pun terperangkap dalam pandangan kita. Tuhan jadi sebuah konsep di mana Ia dibatasi bagi dan oleh pemahaman kita. Itulah sebenarnya yang dilarang di Gunung Sinai: Tuhan menunjukkan bahwa pandangan manusia terbatas, tapi Ia maha tak terbatas.

Sebaliknya dengan aikon. Di sini, cara “meng-ada” tak terjerat tertangkap oleh pandanganku, melainkan aku-lah yang ada dalam tatapan itu. Aikon menghadirkan apa yang secara hakiki tak dapat dihadirkan, berusaha membuat tampak apa yang sebenarnya tak dapat diperlihatkan. Berbeda dengan berhala, aikon tak punya asal-usul. Dalam tradisi ikonografi, sang seniman pembuatnya hanyalah sarana bagi yang ilahi untuk mengekspresikan diri dalam bentuk citraan atau imaji. Menurut Marion, dengan aikon, yang ilahi memandang kita dan kita ada dan tak berdaya: yang ilahi berada melampaui pemahaman konseptual kita.

Tapi, sekali lagi, pengertian Marion tentang “berhala” dan “aikon” tak merujuk kepada dua benda yang berbeda. Patung atau nama yang sama dapat tampil baik sebagai berhala atau sebagai aikon. Maka bahkan sebuah aikon yang sarat dengan jejak sentuhan spiritual – misalnya sebuah salib kayu yang bersahaja yang tergantung di langit-langit di sebuah gereja kecil di Trevi – tak sepenuhnya bisa bebas dari bayangan pemberhalaan. Demikian juga sebuah berhala yang sangat megah dan cemerlang – katakanlah patung Budha dari emas sepanjang 14 meter di sebuah kuil di Bangkok – bukan mustahil hadir dengan aura ke-maha-suci-an yang tak sepenuhnya dapat diutarakan.

Bagi Marion, sifat ke-aikon-an ditentukan bagaimana imaji (atau nama) itu menemui kita. Aikon muncul ketika pandangan kita dibiarkan, leluasa, melampauinya, tak tertahan di kehadirannya. Berhala adalah ketika pandangan kita terjerat, berhenti, puas, olehnya – dan di sini Marion menganalogikan berhala dengan cermin: sebenarnya berhala itu yang memantulkan kembali si pemandang, tapi tak memperlihatkan apapun di samping itu.

Ada yang bagi saya belum jelas benar dari uraian Marion. Ia tampaknya melupakan hubungan dan konteks bersama antara imaji dan subyek yang memandangnya. Bagi seorang yang datang dari luar tradisi Katolik, salib kecil itu tak akan jadi aikon; demikian juga keheningan yang agung dari Puri Besakih hanya akan jadi bangunan yang indah bagi orang di luar tradisi Hindu Bali. Pendek kata, sesuatu yang tak menyatakan apa-apa, selain keunikan bentuknya.

Tapi bagi Marion, subyek memang tak menonjol berperan. Ia berbicara tentang pemberian atau karunia (le don), di mana aku, yang menerima karunia itu, tak dapat menentukan. Aku tak bisa mengarahkan, membentuk, karunia itu, sebagaimana aku tak dapat menjerat sang pemberi karunia dalam konsep-konsepku. Karunia yang tampak, yang datang dari Tuhan yang tak tampak, adalah pemberian agapè. Dalam ucapan “terima kasih”, aku menerima pemberian dan juga “kasih” (agapè). Dan Tuhan dalam pendekatan dengan paradigma agapè adalah Tuhan yang datang kepadaku sebagai sesuatu yang tak terpikirkan, impensable.

Dengan sengaja menyederhanakan pemikiran Marion, saya ingin menunjukkan bahwa dengan paradigma aikon ia mengingatkan saya akan sesuatu yang sebelumnya telah disebut oleh seorang pemikir Katolik lain, Gabriel Marcel, sebagai pengalaman dengan “misteri,” yang berbeda dari “problem”. Tuhan sebagai causa sui kita simpulkan dari sebuah problem, tapi Tuhan yang ilahi hanya kita temui sebagai misteri. Tentang misteri kita hanya bisa sumarah, mempersilakan: kita masuk ke dalam cara memandang yang oleh Heidegger disebut sebagai Gelassenheit – sebuah istilah yang ia pinjam dari seorang pengkhotbah di abad ke-13, Meister Eckhart.

Dari mistikus ini orang berbicara tentang “theologi negatif”, yang hanya berbicara tentang Tuhan tanpa hendak menyebutnya. Dalam kata-kata Derrida (1930-2004), “untuk menyebut Tuhan sebagai ia adanya, melebihi citraannya, melebihi berhala yang masih bisa terjadi dari hal yang ada, melebihi apa yang dikatakan, dilihat, atau diketahui tentangnya…”.

Di sini kita teringat akan Surah Al-Ihlas dalam Qur’an, yang ringkas, indah, dan padat itu, dalam menggambarkan Tuhan dengan bahasa yang bisa jadi dasar “theologi negatif”. Tuhan adalah yang Maha Lain: wa lam yakul-la-hû kufu-wan ahad.

Tuhan sebagai Yang Lain yang absolut pula yang jadi dasar pemikiran Lévinas.


[E]

Emmanuel Lévinas (1906-1995) adalah seorang filosof yang hidup dalam tradisi Yudaisme: ia juga seorang penafsir Talmud. Saya hanya akan membicarakannya sebagai seorang pemikir yang bertolak dari pendapat bahwa “filsafat pertama” adalah Etika. Baginya, lebih dasar ketimbang persoalan “ada” – yang dibahas oleh ontologi – adalah persoalan bagaimana aku menghadapi “yang lain”.

Seperti Marion berbicara tentang aikon, Lévinas berbicara tentang Tuhan sebagai “wajah” yang tak dapat diringkus dalam konsep dan bahkan dengan bahasa – sebab bahasa juga mengandung kekerasan dan pemaksaan.

Levinas mencoba menjawab persoalan, bagaimana kita dapat berbicara tentang Tuhan “tanpa menghantamkan pukulan ke kemutlakan yang oleh kata ini tampaknya ingin ditandai.” Bagaimana kita bicara tentang “ketak-berhinggaan” dan “sifat beda” (alteritas) atau “kebaruan” tanpa menyeret kembali makna kata Tuhan ke dalam kancah benda-benda yang imanen? Jika kita bawa Tuhan terlampau cepat dan terlalu mudah ke dalam pemahaman kita, kita mungkin luput mendekati Tuhan yang ditandai oleh transendensi dan “kemaha-lainan”.

Itu sebabnya Lévinas membedakan antara le dire dengan le dit, antara “berujar” sebagai proses yang tak mandeg dalam mengutarakan ia-yang -lain, dan “ujaran” yang sudah dikemukakan sebagai pada titik kesimpulan. Dengan “berujar”, yang terbuka dan selamanya dalam proses, aku mengemban tanggungjawab terhadap “yang lain”: aku membiarkannya hidup dalam ke-lain-annya.

Demikianlah, Tuhan bagi Lévinas bukan hasil penalaran, bukan pula ide. Tuhan adalah sebuah nama, sebuah kata, yang menunjuk apa yang tak terhingga yang tak tertampung dari hubungan dengan “yang lain”, kepada siapa aku harus bersedia menjawab dan berjabat.


[F]

Jika Tuhan adalah yang maha-lain, bagaimana dengan gambaran yang ditarik dari kitab-kitab suci, bahwa manusia diciptakan berdasarkan citra Tuhan, imago Dei?

Persoalan ini penting bukan hanya ia bagian yang tak mudah dipecahkan dalam hal penggambaran tentang Tuhan, tapi karena menyangkut perkara gawat dalam hidup manusia – misalnya perkara keadilan dan kebenaran.

Tuhan secara mutlak berbeda dari kita, totaliter alter!, kata Karl Barth, pemikir theologi Jerman itu (1886-1968) – dan jika demikian, nilai-nilai dasar yang dikembangkan manusia berlangsung tanpa mengacu kepada sifat-sifat Tuhan. Sebab Tuhan terlampau jauh, terlampau berbeda.

Ini masalah yang telah berabad-abad merundung manusia – mungkin lebih tua ketimbang kisah Ayub yang disengsarakan Tuhan tanpa kesalahan apapun.

Dalam kisah Perjanjian Lama, Ayub digambarkan sebagai orang yang ‘jujur, takut pada Allah, dan menjauhi kejahatan’. Tuhan tahu tentang semua itu: Ayub ‘demikian saleh’, begitulah kata-Nya, hingga hampir tak ada bandingannya di muka bumi. Tapi toh Tuhan memutuskan agar orang yang terpuji ini menanggungkan derita berlipat-lipat. Hanya dengan satu alasan: Yang Maha Kuasa tengah bertanding dengan Iblis, dan meletakkan Ayub sebagai bahan pertandingan. Jika setelah siksaan hidup itu laki-laki itu tetap tak ingkar, akan menanglah Allah.

Maka dalam waktu singkat, segala yang dimilikinya punah. Anak-anak yang dicintainya mati. Iblis, dengan perkenan Tuhan, mendurjanai Ayub tak putus-putusnya.. Dalam keadaan remuk hati dan rudin, laki-laki itu masih ditimpa barah yang busuk dari telapak kaki sampai ke batok kepala.

Ia memang patut berseru, ‘Aku tidak bersalah!’ Dan tak mengherankan bila ia menyebut Tuhan sebagai ‘Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku’..

Haruskah Tuhan memberi keadilan?

Ada satu persoalan yang mula-mula dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Ash’ari yang hidup di awal abad ke-10 di Basra, Irak. Persoalan ini satu abad kemudian konon diulangi al-Ghazali, seorang alim yang termashur dari kota Tus di Khorasan:


‘Mari kita bayangkan seorang bocah dan seorang dewasa ada di Surga. Mereka berdua meninggal di jalan yang benar, tapi.si orang dewasa berada di tempat yang lebih luhur. Dan si bocah bertanya kepada Tuhan: ‘Kenapa Kau beri orang itu tenpat yang lebih tinggi?’. Dan Tuhan menjawab, ‘Karena ia telah menjalankan banyak amal yang baik’.

Maka anak itu pun bertanya lagi, ‘Kenapa Kau buat aku mati begitu cepat sehingga aku dicegah menjalankan perbuatan baik?’. Tuhan pun akan menyahut, ‘Aku tahu bahwa kau kelak akan jadi seorang pendosa. Sebab itulah lebih baik kalau kamu mati semasa masih anak-anak’.

Tak urung, sebuah teriakan terdengar dari kalangan mereka yang disiksa di kerak Neraka. ‘Kenapa, ya Tuhan, tak Kau biarkan kami mati sebelum kami jadi orang yang berdosa?’


Tak diceritakan bagaimana dalam kisah imajiner ini Tuhan menyahut. Tapi justru dengan itu al-Ghazali dan kaum Ash’ariah hendak menunjukkan bahwa kita tak bisa menilai tindakan dan keputusan Tuhan. Iradah-Nya tak dapat ditaruh pada skala rasionalitas – dan itulah inti kritik para perumus theologi yang membantah pemikiran Muktazillah di abad ke-9.

Pemikiran Muktazillah, yang selama seribu dua ratus tahun lamanya memicu perdebatan dalam theologi dan filsafat Islam, menekankan keadilan dan ketunggalan Tuhan. Karena Ia adil dan karena Ia esa, Tuhan tak dapat dikaitkan dengan mala dan kekejian.

Pada awalnya adalah Wasil ibn ‘Ata di abad ke-9. Ada cerita yang mengatakan ia menulis 40.000 sajak rajaz dari balik penjara, memuja keadilan dan keesaan Allah, seuntai karya yang begitu mempesona hingga orang ramai meminta agar ia dibebaskan. Bagi Wasil, ‘karena Sang Pencipta arif dan adil, tak boleh kita menghubungkannya dengan sharr (keburukan, mala, kekejian) atau dengan kezaliman’.

Dengan kata lain, harus dilihat bahwa manusia sendirilah penggubah kebaikan dan kejahatan, kemukminan dan kemungkaran, kepatuhan dan pelanggaran. Sebab itulah ia mendapatkan pahala atau hukuman. Ia memperoleh privelese, bernama kemerdekaan, tapi juga beban, yakni kebebasan.

Wasil, yang umumnya dianggap pemula theologi yang dibawakan kaum Muktazillah, dapat dikatakan telah membuka pintu kemungkinan ‘humanisme’ berwajah Islam. Tapi bukan maksudnya untuk meletakkan manusia di pusat alam semesta. Argumennya adalah untuk membebaskan Tuhan dari sosok yang, dalam kemahakuasa-Nya, tak memiliki ukuran yang masuk akal. Itulah sebabnya – sebagaimana diceritakan oleh Majid Fakhry dalam sebuah buku yang jadi standar sejarah filsafat Islam – sudah di abad ke-9, seorang Mu’ammar bin ‘Abbād mengemukakan pendapat bahwa segala kejadian di dunia berasal dari keniscayaan alamiah (tab’an) atau, kalau tidak, berasal dari hasil ikhtiar (ikhtiyāran). Adapun Tuhan hanya secara tak langsung saja berpengaruh atas semuanya.

Sebab Tuhan yang langsung mengatur apa saja di muka bumi adalah Tuhan yang juga menyebabkan kebiadaban. Ia sebuah kekuasaan yang bisa sewenang-wenang, tak dapat dipahami, dan tak mudah pula jadi pegangan. Jika demikian, bagaimana sabda-Nya akan punya daya imbau yang universal di tengah kehidupan yang risau oleh kekacauan ini? Apa arti ada-Nya, jika demikian?

Di sini kita menemukan sebuah keadaan yang umumnya tak tampak dalam penggambaran manusia tentang Tuhan, terutama dalam akidah monotheisme: Tuhan maha kuasa dan sebab itu tak adil, atau Tuhan maha adil dan sebab itu tak maha kuasa.

Sampai pada titik ini – juga karena kesempatan yang terbatas – saya belum sampai pada titik pertama ke arah jawaban yang bisa memuaskan. Mungkin tak ada jawaban yang akan bisa memuaskan. Sebagai penutup saya hanya akan mengutip kearifan orang lain.

Yang pertama dari Derrida:


“…agama saya, tentang hal apa tak seorang pun lebih tahu ketimbang ibu saya yang bertanya kepada orang lain beberapa saat yang lalu – karena tak erani menanyakannya kepada saya – apakah saya masih percaya kepada Tuhan … Tapi ibu saya tentunya telah tahu bahwa yang ajeg dan tetap tentang Tuhan dalam hidup saya mempunyai panggilan dengan nama-nama lain, hingga saya memang dengan benar dapat dianggap seorang atheis; hadirnya di mana-mana apa yang saya sebut Tuhan dalam bahasa pribadi saya bukanlah sesuatu yang bertindak sebagai saksi mata atau suara yang tak melakukan apa-apa selain bicara kepada saya tanpa mengatakan apa-apa… sebuah schenchina yang imanen, sosok feminin dari seorang Yahweh yang senantiasa begitu asing dan begitu saya kenal.”


Yang kedua dari Ramon Panikkar (1918-…), seorang rohaniawan Katolik yang mengenal Hinduisme dan Budhisme dengan akrab. Ia membuat daftar “sembilan cara untuk tidak bicara tentang Tuhan”; saya petil satu saja, yang terakhir: percakapan tentang Tuhan adalah sebuah percakapan yang mau tak mau menjadi lengkap “dalam sebuah keheningan baru”.

Itu sebabnya sekarang saya terdiam.