Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960  (1993) 
Tim Penyusun Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960
Bab II - Manusia dan Tuhan

BAB II

MANUSIA DAN TUHAN

2.1 Pengantar

Manusia pada dasarnya adalah homo religius atau makhluk beragama. Sebagai homo religius, manusia mempercayai adanya kekuasaan dan zat tertinggi, yaitu Tuhan, yang menciptakan manusia dan alam semesta ini. Karena menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan-Nya, manusia senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, berusaha mengagungkan dan memuji nama Tuhan, melalui doa dan upacara-upacara ritual yang lain.

Meskipun pada dasarnya manusia adalah homo religius yang menyembah Tuhan yang satu, Yang Maha Esa, tetapi adanya bermacam-macam agama mengakibatkan konsep Tuhan di mata manusia tidak sama. Bagi umat Islam, Tuhan adalah Allah Yang Mahakuasa; bagi umat Kristen, Tuhan adalah Allah Bapa yang terwujud dalam Trinitas; dan sebagainya. Adanya bermacam-macam agama itu tidak menghalangi upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai pusat kekuasaan tertinggi. Yang membedakan manusia yang satu dari manusia yang lain adalah kadar keimanannya, kualitas religiusnya: ada manusia yang takwa, munafik, ingkar, dan seterusnya.

Sebelum mencoba menemukan citra manusia dalam hubungannya dengan Tuhan pada puisi Indonesia 1920—1960, akan dicoba dirumuskan batasan manusia religius itu. Manusia religius adalah manusia yang senantiasa berusaha mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Dengan demikian, firman Tuhan akan selalu terbayang pada tiap langkah, pada tiap nafas manusia yang religius itu. Singkatnya, manusia yang religius, pandangannya, sikapnya, dan perilakunya di dunia ini dinafasi oleh firman Tuhan. Dengan batasan ini, dalam pembicaraan sajak yang menampilkan citra manusia religius nanti akan terlihat bahwa berbagai upaya dilakukan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.

Cara atau upaya yang dilakukan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa itu pada akhirnya akan mewarnai citra manusia religius yang hadir dalam puisi. Ada manusia yang berserah diri kepada Tuhan, ada manusia yang berusaha mencari Tuhan, ada manusia yang mempertanyakan kekuasaan Tuhan, dan ada pula manusia yang mengingkari kekuasaan Tuhan. Semua itu, secara langsung atau tidak langsung merupakan refleksi pandangan dan sikap manusia Indonesia terhadap Tuhan yang diverbalkan oleh para penyair dalam bentuk puisi. Oleh karena itu, di antara sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair religius pun, misalnya Amir Hamzah, Rifai Ali, A. Hasjmy, menampakkan corak dan intensitas pengungkapan masalah yang berbeda-beda.

Amir Hamzah, misalnya, dalam sajak-sajaknya terbaca pergulatan religius: Tuhan dalam sajak-sajak Amir Hamzah tertemukan lewat dialog dan pencarian yang intens; sementara sajak-sajak Rifai Ali lebih menampakkan keinginan syiar penyairnya. Sementara itu, perlu pula dicatat bahwa dalam bab ini diangkat 39 sajak yang berasal dari puisi Indonesia 1920—1960, yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan Tuhan. (lihat lampiran)

2.2 Citra Manusia yang Berserah Diri Kepada Tuhan

Seperti telah dikemukakan di atas, bermacam-macam upaya dilakukan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Salah satu upaya itu adalah melaksanakan dan mengamalkan semua yang difirmankan Tuhan tanpa penggugatan dan pertanyaan sedikit pun. Semua firman Tuhan itu dipandang sebagai perintah yang wajib dijalani dengan keyakinan keimanan. Dengan demikian, manusia akan berserah diri dalam menghadapi berbagai cobaan hidup di dunia ini karena cobaan atau kemalangan yang terjadi di dunia dianggap sebagai takdir Tuhan.

Manusia yang berserah diri kepada Tuhan pada umumnya menjadikan semua yang tersurat dalam kitab suci sebagai acuan hidup. Nabi juga dijadikan sebagai suri teladan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dari 39 sajak yang mengungkapkan masalah hubungan manusia dengan Tuhan terdapat 23 sajak yang menampilkan citra manusia yang berserah diri kepada Tuhan.

Dapat dikatakan bahwa kecenderungan menampilkan citra manusia religius yang demikian itu pada umumnya berasal dari para penyair yang memiliki latar keagamaan yang kuat, seperti Hamka dan Rifai Ali. Puisi di tangan penyair dengan latar belakang seperti itu lalu menjadi semacam ajang syiar keagamaan sehingga suatu hal yang biasa apabila dalam puisi jenis ini terungkap puji-pujian terhadap kebesaran Tuhan ataupun pengagungan nama Tuhan. "Akhirat dalam Dunia" karya Rifai Ali adalah salah satu sajak yang menghadirkan citra manusia yang berserah diri kepada Tuhan dengan jalan meneladan Nabi Muhammad:

Saya bertemu dengan Muhammad,
Yang memandang ibadat tiap laku,
Segala tanda gerak hayat,
Dengan syarat ada satu:

Ialah niat, kesadaran hati,
Bahwa sesuatu perbuatan
Dilakukan dengan mengerti,
Bahwa ia disukai Tuhan.

(Kata Hati, 1941)

Larik-larik sajak Rifai Ali di atas memperlihatkan bahwa si aku lirik berusaha mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan duniawinya: segala tanda gerak hayat menjadi ibadat asal perbuatan itu berkenan pada Tuhan karena ia sadar bahwa dalam perjalanan menuju akhirat ia tidak mungkin lepas dari kehidupan duniawi. Dengan demikian, di sini kita dapatkan citra manusia yang beriman, yang memandang tiap lakunya sebagai bagian dari ibadahnya.

Masih dari penyair yang sama, melalui sajak "Manusia" penyair mengungkapkan kehebatan dan keunggulan manusia dibandingkan makhluk yang lain. Namun, manusia tetap saja tidak mampu menghindari kematian. Jika kematian manusia adalah cermin kekuasaan Ilahi, berarti manusia tidak akan pernah mampu mengatasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan: kehidupan manusia hanya perwujudan bayang-bayang kebesaran-Nya ('Betul sempurna wujud insani:/Gaib pendapat akal dan budi/Tidak termakan dirasa hati:/Kematian manusia punah bak api!')- Dengan demikian, melalui sajak "Manusia" terungkap citra manusia yang tidak takabur, manusia yang beriman, manusia yang selalu ingat dan sadar bahwa manusia bukanlah apa-apa dalam kebesaran dan kekuasaan-Nya.{

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia akan selalu berupaya mematuhi ajaran-ajaran-Nya dan menerima dengan pasrah semua yang telah ditakdirkan-Nya. Dalam salah satu sajak Rifai Ali "Iradat Ilahi", hal itu terungkap:

Kalau aku dikirimkan Allah
Sebagai hadiah ke ibu lemah.
Inilah tanda, ini isyarah
Ujud hidupku penyumbat susah.

Bukan penindih ibu yang letih,
Penambah pedih pelukai perih,

Malah pembela sebagai Almasih,
Begini iradat Tuhan Pengasih.

(Kata Hati, 1941)

Dari larik-larik sajak "Iradat Ilahi" tampak bahwa aku lirik adalah manusia yang tawakal karena imannya pada Yang Mahakuasa. Ia sama sekali tidak mengeluh walaupun hidup dalam kemiskinan. Sebaliknya, ia merasa bersyukur dan berbahagia karena merasa diri dikirimkan Allah sebagai hadiah untuk ibu yang lemah dan menderita. Dengan demikian, penderitaannya dirasakan sebagai rahmat.

Kepasrahan pada takdir, seperti terlihat dalam sajak "Iradat Ilahi" Rifai Ali juga tampak dalam sajak "Kematian Anak" A. Hasjmy dan "Biarkan Daku Kembali Pulang" Hamka. Dalam sajak "Biarkan Daku Kembali Pulang", kematian adalah panggilan Tuhan yang tidak perlu ditangisi (Tegahkan anak-anak itu menangis,/Larang orang-orang itu meratap,/Ah, aku mesti pergi, panggilan Tuhanku telah datang,/Aku telah berangkat jauh,/Kamu meratap, kamu menangis, di dekat tubuh kasarku.'); sedangkan dalam sajak "Kematian Anak", si aku lirik semula menyedihkan kematian anaknya, tetapi akhirnya insaf bahwa hal itu merupakan takdir Ilahi:

Insaflah bunda akan hakiki:
Bukan umur jadi ukuran,
Bila sampai janji Ilahi,
Jiwa melayang 'ninggalkan badan.

(Dewan Sajak, 1940)

Kehidupan—seperti halnya kematian—senantiasa berada dalam kekuasaan Tuhan: Tuhanlah yang menentukan segalanya, termasuk kehidupan dan kematian. Dalam sajak "Hidup" Samadi, hidup di dunia digambarkan sebagai sesuatu yang sangat singkat sehingga tidak selayaknya manusia terpaku pada kehidupan yang bersifat duniawi.

Ketika lahir disambut ebang,
Ketika mati dilepas salat,
antara azan dengan sembahyang,
Wahai hidup, alangkah singkat!

Datang ke dunia telanjang bulat,
Pulang hanya berkain kafan,

Jangan ke alam hati tertambat,
Alam tak dapat menolong badan!

(Senandung Hidup, 1941)

Dari larik-larik sajak "Hidup" tampak bahwa hidup bagaikan jarak waktu antara azan dan sembahyang yang begitu singkat. Namun, sesungguhnya sajak "Hidup" tidak hanya mengungkapkan masalah kehidupan yang amat pendek. Melalui larik-larik 'Ketika lahir disambut ebang,/Ketika mati dilepas salat,/Antara azan dengan sembahyang,/Wahai hidup, alangkah singkat!' terbayang bahwa kehidupan yang pendek itu harus dipenuhi dengan penyerahan diri kepada Tuhan dan agama.

Penyerahan diri kepada Tuhan itulah yang membuat manusia tabah dalam menghadapi kehidupan di dunia ini: apa pun kata orang, apa pun hinaan orang, tidak akan mengecilkan hati, seperti terungkap dalam sajak Samadi berikut ini, "Asal Tak Hina di Sisi Tuhan".

Asal tak hina di sisi Tuhan,
Biarlah hina di mata dunia,
Dalam mencari ridla Ilahi.

(Senandung Hidup, 1941)
Dua sajak Samadi di atas, "Hidup" dan "Asal Tak Hina di Sisi Tuhan", menampakkan citra manusia yang takwa dan berbakti kepada Allah. Manusia yang takwa dan berserah diri kepada Allah itu akan menemukan kebahagiaan yang sejati, yang tak kunjung habis, seperti terungkap dalam salah satu sajak Samadi, "Cinta" berikut.

Dengan kepenuhan hatimu
Di dalam kefanaan,
Dengan seluruh jiwamu
Di dalam kesucian,
Benamkanlah cintamu
Wahai teman,
Ke dalam kebakaan.
Maka akan tersualah olehmu
Bahagia yang tidak berkesudahan.

(Senandung Hidup, 1941)

Bila kebahagiaan dalam sajak "Cinta" seolah-olah hanya mungkin ditemukan dalam kehidupan yang bersifat spiritual ('Dengan kepenuhan hatimu/Di dalam kefanaan,/Dengan seluruh jiwamu/Di dalam kesucian,/Benamkanlah cintamu/Wahai teman,/Ke dalam kebakaan,/Maka akan tersualah olehmu./Bahagia yang tida berkesudahan.'), sajak "Di Mana Tempat Cinta Sejati ...?" Intoyo mengungkapkan bahwa cinta sejati yang melahirkan kebahagiaan sesungguhnya lekat pada diri kita, pada kehidupan kita. Singkatnya, cinta dan kebahagiaan itu terdapat dalam kehidupan dunia akhirat ('Cinta sejati lekat pada kita,/Bernyala-nyala sewaktu bekerja,/Untuk Bahagia Dunia Raya//Bernyala-nyala sewaktu bekerja,/Di mana kita merasa sejajar./Sehidup semati, seniat-sedasar.'), Tempat cinta sejati—tulis penyair—bukanlah '....di tempat memuja,/Di kuil tempat membakar dupa,/Di dalam gua tempat pertapa./Bukan di mahligai batu pualam,/Di katil terhias permata nilam,/Di dalam surga, di luar alam'). Dengan demikian, dalam sajak Intoyo "Di Mana Tempat Cinta Sejati....?" terdapat kesadaran bahwa manusia yang beriman bukanlah manusia yang semata-mata berurusan dengan Tuhan, namun juga berurusan dengan masyarakatnya: manusia yang beriman tidak mungkin lepas dari kehidupan duniawi karena segala laku manusia di dunia—sebelum sampai ke akhirat—sesungguhnya adalah sebagian dari ibadah juga. Hal itulah yang antara lain terungkap dalam sajak Rifai Ali, "Akhirat dalam Dunia".

Muhammad nabiku sudah tepat,
Meneladannya genap bahagia,
Sebab di dalam menuju akhirat
Aku hidup di pusat dunia:

Dari mandi bergosok gigi,
Bersisir berharum badan,
Sampai bercinta dengan isteri,
Terhitung semua jadi amalan.

(Kata Hati, 1941)

Kesadaran bahwa laku manusia di dunia adalah sebagian dari ibadah juga terdapat dalam sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Kepada Kaum Mistik".

Aku berbisik dengan Tuhanku
dalam kembang bergirang rona
Aku mendengai suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang di atas kepalaku

Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja.

(Suryadi AG., 1987a: 61—62)

Dibandingkan dengan sajak Intoyo, "Di Mana Tempat Cinta Sejati ...?" sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Kepada Kaum Mistik" lebih memperlihatkan kesadaran akan etos kerja('Sebab Tuhanku segala gerak dan kerja'). Oleh karena itu, citra manusia yang terdapat dalam sajak "Kepada Kaum Mistik" adalah citra manusia yang beriman dan bertanggung jawab. Bertanggung jawab di sini adalah tanggung jawab vertikal dan horisontal, dalam arti sebagai manusia beriman aku lirik bertakwa kepada Tuhannya, tetapi ketakwaannya itu juga diisi dengan kerja sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada masyarakat yang melingkungi hidupnya di dunia ini. Dapat juga dikatakan bahwa keimanannya itu memberikan kepadanya motivasi kerja, semangat kerja sehingga aku lirik merasa berbahagia dan merasa menemukan Tuhannya dalam lingkungan yang penuh dengan gerak kerja, tidak lagi menjadi persoalan Tuhan ada di mana 'Sebab beta melihat Tuhan di mana-mana/Di ujung kuku yang gugur digunting/Pada kelapa kering yang gugur ke tanah/Pada matahari yang panas membakar.'

Kerahmanan Tuhan selalu ada di mana saja. Rustam Effendi melalui sajaknya "Tengah Malam" menunjukkan bahwa kegelisahan yang dialami aku lirik karena kerinduan pada kekasihnya justru menuntunnya untuk bertemu dengan Tuhannya

Tengah malam
mata mengalir, tubuh menggigir.
Menyerbu, sayu dan rayu, ke dalam kalbu.
Wah jahatnya kenangan:
resah risau tiada keruan,

Tengah malam
aku mendamba kepada sa'at,
yang membawa jiwa ke hadirat Tuhan.
Wah besar gembira beta,
Alam silam, Malam bertakhta.

(Percikan Permenung, 1926)

'Alam silam, Malam bertakhta.' menunjukkan bahwa si aku lirik dalam kegelisahannya selalu ingat Tuhannya: ia menemukan kegembiraannya setelah bertemu dengan Tuhannya lewat doanya, biarpim kenangan masa silam, kenangan pada seseorang itu tetap saja muncul.

Sajak "Kupu-Kupu" Mozaza mengungkapkan hal yang hampir serupa: di tengah-tengah kesepian dan keterpencilannya si aku lirik senantiasa berusaha dekat dengan Tuhan Penciptanya.

Tinggallah aku jauh terpencil,
senantiasa mengharap sari asmara,
tak bosan berdoa kepada Tuhan.

(Pujangga Baru, III/1, Juli 1935)

Dengan demikian, dalam sajak "Tengah Malam" dan "Kupu-Kupu" kita temukan citra manusia yang saleh, yang selalu berasaha dekat dengan Penciptanya dalam keadaan bagaimanapun. Usaha manusia untuk dekat dengan Tuhan Sang Pencipta itu pada umumnya lahir dari keyakinan bahwa Tuhan memberikan kedamaian dan kebenaran, seperti terungkap dalam sajak A.M.Dg. Mijala, "Ada Aku" berikut.

Ada aku melihat alam,
Alam luas alam permai:
Datang Tuan ulurkan tangan,
Pimpin daku ke negara damai.

Ada aku melihat alam,
Alam buas alam onar:
Datang Tuan ulurkan tangan,
Pimpin daku ke jalan benar.

(Suryadi AG., 1987a: 81)

Kerahmanan Tuhan Yang Maha Pengasih itu juga terungkap dalam sajak "Pergi ke Kota" Yogi. Berbeda dengan sajak Selasih, "Peminta-minta" yang mengungkapkan seolah-olah dari hamba Allah yang sekian banyak itu tidak ada yang menaruh belas kasih kepada si aku lirik ('O Allah Tuhan yang satu/Tidak ternilai banyak hamba-Mu/Tiada penyantun berhati mesra??/Kasihan orang hina dan papa??') sajak Yogi, "Pergi ke Kota" justru mengemukakan bahwa dari sekian banyak orang yang mencemooh si aku lirik ternyata masih ada manusia yang bersifat rahman sebagai cerminan sifat Ilahi; sekaligus hal ini dapat dipandang sebagai perwujudan kerahmanan Tuhan dalam kehidupan di dunia ini, seperti tersirat dalam larik-larik berikut.

Tetapi di antara mereka, ada pula yang dermawan
Dalam biji matanya, terbayang cahaya cinta kasih,
Kasih akan saya—dan cinta akan bangsanya,
Dan kepada makhluk berkelilingnya...
Melihat halku selaku pendiam,
Lagi pemalu dan penakut
Termenunglah ia rindukan Tuhan!

(Puspa Aneka, 1931)
Dari larik-larik sajak di atas, dapat diketahui citra manusia yang beriman, tabah dan tawakal dalam menghadapi cobaan hidup. Manusia yang beriman, yang diharapkan selalu ingat kepada Tuhan dalam tiap langkahnya, juga disuarakan dalam sajak "Di Padang Rumput", Yogi, sebuah alegori berisi nasihat:

Suh, suh, jangan ke situ,
Nanti dikait, onak dan duri;
Makanlah nugrah Tuhan yang Satu,
Besar manfaatnya kepada "diri".

...

Wahai sahabat yang kucintai,
Simpanlah nasihat dari pelindungmu;
Ingatlah kodrat Tuhan Ilahi,
Agar sentosa selama hidupmu!

(Puspa Aneka, 1931)

Senantiasa ingat dan berpaling kepada kerahmanan Tuhan yang Mahakuasa juga disuarakan penyair Hamka dalam sajaknya "Permohonan":

Lihat dan perhatikanlah matahari telah terbit,
Fajar telah membayang dari sebelah Timur,
Dari puncak menara yang jauh kedengaran suara,
Azan Subuh,

Ia menyerumu kepada perdamaian,
Ia menyuruhmu menghadapkan muka ke Tuhan,
Bersegeralah sembahyang dan tuntutlah kemenangan,
La Illaha Illal-lah! ....

(Sunyi Puja, 1948)

Manusia barangkali cenderung takabur dalam hidupnya dan hanya ingat alam keduniaan, lupa alam akhirat. Oleh karena itu, melalui sajaknya "Permohonan" penyair menginginkan manusia yang bercitra religius yang menyempatkan diri berkontak dengan Tuhannya dalam hiruk-pikuk duniawi.

Sajak "Permohonan" Hamka memperlihatkan kepada kita keinginan syiar penyairnya melalui larik-larik yang berasal dari ayat-ayat suci. Sajak A. Hasjmy menunjukkan hal yang lain lagi. Sajaknya "Bintang" mengungkapkan si aku lirik yang berserah diri dan berbakti kepada Tuhannya, seperti terbaca dalam larik-larik ini:

Akh, bukan badan, bukan jasmani,
Hanya khayalku terbang ke sana,
Naik bersama arwah yang suci,
Membawa pujian kepada Yang Esa.

(Dewan Sajak, 1941)

Citra manusia yang berserah diri pada Yang Mahakuasa juga tertemukan dalam sajak Amir Hamzah, "Sebab Dikau" karena si aku lirik sadar bahwa

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang pengarak sajak

(Pujangga Baru, V/5, November 1937)

Dalam keteduhan hati, kesadaran akan besarnya kasih Tuhan kepada makhluk ciptaan-Nya akan semakin terasa, seperti yang tersirat dalam sajak Aoh Kartahadimadja, "Pecahan Ratna". Dalam sajak itu, kembang yang indah beraneka warna dan berbagai pesona alam telah menggerakkan penyair untuk menyenandungkan "lagu dialun rindu" kepada khaliknya, memuja-Nya dengan kegembiraan hati, seperti terungkap dalam larik-larik berikut ini.

VIII


Bagaikan pecah hatiku aku meniarap di telapak
kaki-Mu, dahiku menekan giiang bergelut suka.
Akan kubasuh kakiku sebeisih dapat memasuki
majelis tempat kesayangan-Mu berkumpul ramai.
Destar pilihan akan kupakai, harum wangian
akan semerbak dari pakaianku.
Mari, adinda, engkau kenakan juga hiasanmu
indah menghadap kekasih, tempat gantungan kita
di atas tanah yang terban senantiasa ....

(Zahra, 1950)

Dalam bagian VIII sajak itu tampak citra manusia yang dengan khusyuk dan tulus mengagungkan Tuhannya, 'aku meniarap di telapak/kaki-Mu, dahiku menekan girang bergelut suka'. Si aku lirik pun berusaha menghadap Tuhannya dalam suasana yang penuh kemuliaan, yaitu dengan memakai wangi-wangian dan destar pilihan. Bagi si aku lirik, Tuhan adalah kekasih yang dirindukan, penyelamat makhluk-Nya dalam kehidupan yang fana ini.

Dalam bagian X sajak Aoh Kartahadimadja, si aku lirik menyaksikan dunia yang disinari cahaya matahari, yang memancarkan keindahan. Semua itu dipandangnya sebagai anugerah Tuhan, sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, si aku lirik merasa dadanya dipenuhi lagu rindu: kerinduan kepada Sang Pencipta, kekasihnya.

Ketakwaan yang mengekspresikan kerinduan, ketulusan, dan pemujaan kepada kebesaran Tuhan, selain terungkap dalam sajak-sajak yang dikemukakan di atas, terpancar juga dalam sajak-sajak Bachrum Rangkuti, Usmar Ismail, Anas Ma'ruf, M. Taslim Ali, dan Trisno Sumardjo. Usmar Ismail bahkan memberi judul "Tawakal" pada salah satu sajaknya, yang lengkapnya demikian.

TAWAKAL


Tawakal aku segenap sukma
Pabila cobaan datang bertubi
Hatiku reda menahan goda
Mendalam Iman saat diuji

(Puntung Berasap, 1950)

Dari larik-larik sajak itu tampak citra manusia yang mengabdikan seluruh jiwanya untuk berbakti kepada Tuhan. Ia berusaha mempertebal iman dan keyakinan agar tidak terjatuh dalam godaan sehingga kelak ia pun dapat menghindari siksa Tuhan di akhirat.

Selanjutnya, Sitor Situmorang dalam sajaknya "Hari Paskah" juga menampilkan citra manusia yang berpasrah diri kepada Tuhan. Aku lirik yang merasa diri dina dan penuh dosa dengan sepenuh hati memasrahkan dirinya kepada Yang Mahakuasa, seperti terungkap dalam larik-larik berikut.

Layar putih
Di langit biru
(Laut merah kesumba)

Isa, Isa,Isa
Aku tak punya rupa

(Dalam Sajak, 1955)

Sajak yang bernafaskan ketuhanan yang ditulis oleh para penyair periode 50-an, antara lain, terlihat pada karya Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardojo, Ajip Rosidi, Djamil Suherman, Mohammad Saribi, Sugiarta Sriwibawa, dan Kirdjomuljo. Hubungan antara manusia dan Tuhan yang terungkap dalam sajak-sajak periode itu juga menampilkan dua pandangan yang berlawanan, yaitu ketakwaan dan penentangan atau pengingkaran. Mohammad Saribi, misalnya, mengungkapkan kekhusukan perasaan si aku lirik "Pada Malam Bulan Ramadan" yang menggelorakan kerinduannya untuk dekat mesra dengan Tuhannya. Sajak itu lengkapnya demikian.

PADA MALAM BULAN RAMADAN



Demi Tuhan yang jadikan seluruh alam
bintang yang cemerlang di malam kelam

...

Adalah cinta ini mawar yang bersarang di hati
dan sekali menyala bagai bunga api

Butir darah yang timbulkan nafas cemburu.

Adalah cinta ini sumber anggur dari jantung
dan menyiram segala karang-karang rindu

Adalah cinta ini bara
dan bara yang menghangus dada.

(Gema Lembah Cahaya, 1963)

Dalam sajak di atas, si aku lirik merasa kegiatan ibadahnya pada malam-malam bulan suci Ramadan, telah membuka jiwanya untuk menerima limpahan cahaya Ilahi. Penyair mengibaratkannya sebagai siraman air terhadap 'segala karang-karang rindu'.

Memberi makna bagi kehidupan selama hayat masih dikandung badan juga terungkap dalam sajak-sajak Subagio Sastrowardojo. Penyair ini melihat bahwa kehidupan yang bermakna merupakan suatu rahmat Tuhan yang memberikan kelegaan pada bumi yang semakin padat penghuninya. Si aku lirik dalam sajaknya "Burung" melihat bahwa kehidupan burung yang bebas tanpa gangguan merupakan 'Serintis angin/berembus di pinggir bumi.//Hidup jadi berarti dan/keramat.' Sajak "Burung" Subagio Sastrowardojo lengkapnya demikian:

BURUNG


Burung
masih dekat dengan malaikat
karena berbisik dengan kepak
dalam basa
asing tertangkap.
Lagu tak berkata mendesir
di mula dan akhir hari.
Serintis angin
berembus di pinggir bumi.
Hidup jadi berarti dan
keramat.

(Simphoni, 1957)

2.3 Citra Manusia yang Mencari Tuhan

Manusia pada umumnya menerima begitu saja firman dan kekuasaan Tuhan. Firman Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang wajib diamalkan dalam kehidupan di dunia karena Tuhan adalah sesuatu yang lebih tinggi, lebih besar, dan lebih kuasa dari manusia sehingga manusia hanya mampu hanyut dan pasrah dalam kuasa-Nya dan menjadi patuh kepada-Nya. Oleh karena itu, dalam citra manusia religius yang pasrah dan berserah diri kepada Tuhan itu biasanya terbayang citra manusia yang takwa, yang sedikit pun tidak menggugat firman dan kekuasaan Tuhan. Religiusitas semacam ini dapat kita temukan dalam sajak-sajak Rifai Ali. Akan tetapi, dalam kehidupan ini kadang-kadang tumbuh pula religiusitas yang berkembang dari pencarian Tuhan yang tak henti-hentinya.

Dalam sajak-sajak Amir Hamzah, misalnya, akan kita dapatkan citra manusia religius yang berusaha menemukan Tuhannya lewat pencarian yang terus-menerus. Oleh karena itu, religiusitas yang tampak dalam sajak-sajak Amir Hamzah berbeda dari sajak-sajak religius yang lain. Sajak-sajak Amir Hamzah menjadi religius bukan semata-mata karena membawa nama Tuhan dalam puisinya. Kereligiusan puisi Amir Hamzah terutama karena puisi Amir Hamzah memang membawakan persoalan mendasar dalam hubungan antara manusia dan Tuhan, yaitu bagaimana manusia mencari dan menemukan Tuhan dalam kehidupan. Dalam kaitan ini citra manusia yang tampak adalah manusia yang mencari Tuhan. Dalam tulisan ini terdapat 7 sajak yang menampilkan citra manusia yang mencari Tuhan. (Lihat lampiran 1)

Dalam rangka menemukan Tuhan itu pula dalam salah satu sajak Amir Hamzah, "Padamu Jua", Tuhan dipandang sejajar dengan manusia, dianggap sebagai 'kekasihku'. Tuhan dalam sajak "Padamu Jua" adalah bagaikan kekasih yang sabar dan setia selalu, tempat si aku lirik memalingkan diri kepadanya. Si aku lirik mengantropomorfkan Tuhan sebagai 'kekasihku' karena si aku lirik adalah manusia yang 'rindu rasa/rindu rupa'. Dalam pencarian si aku lirik akan Tuhannya itu, hanya tali batinlah yang memperhubungkan keduanya, sedangkan rupa Tuhan yang telah diantropomorfkan sebagai ’kekasihku’ itu tak pernah tersua; ’Di mana engkau/Rupa tiada/Suara sayup/Hanya kata merangkai hati’. Si aku lirik pun menjadi habis-habisan dalam upayanya menemukan "kekasih"-nya: 'Engkau cemburu/Engkau ganas/Mangsa aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan lepas’. Akan tetapi, hal itu tak kunjung membuatnya menyerah; ia senantiasa tergerak untuk menemukan "kekasih"-nya: ’Nanar aku, gila sasar/Sayang berulang padamu jua/Engkau pelik menarik ingin/Serupa dara di balik tirai’. Dengan demikian, dalam sajak "Padamu Jua" terungkap suatu pergulatan religius, suatu kegelisahan religius yang lebih intens terasa: kita dapatkan citra manusia yang menyadari ada-Nya dan selalu berupaya menemukan diri-Nya.

Dalam sajak Amir Hamzah yang lain, "Sebab Dikau", hidup si aku lirik yang bagaikan boneka menjadikannya sadar bahwa ’Hidup seperti mimpi/Laku lakon di layar terkelar’. Hidup yang demikian itu melahirkan kebimbangan, ketidaktentuan dalam hati si aku lirik sehingga dalam sajak "Berdiri Aku" dari penyair yang sama si aku lirik berucap:

Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu

Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.

(Pujangga Baru, VIII/12, Juni 1941)

Alam yang luas indah, yang disaksikan si aku lirik, seolah percuma saja tanpa hidup yang bertentu tuju. Terasa ada sesuatu yang belum kesampaian, yang belum sempurna. Karena itu, dalam sajak "Hanya Satu"—masih dari penyair yang sama–bait terakhir berbunyi demikian.

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musa di puncak Tursina

(Pujangga Baru, V/5, November 1937)

Si aku lirik merasa kepastian hidup, kesempurnaan hidup, hanya mungkin terwujud bila berdekatan dengan-Nya. Tanpa kedekatan dengan-Nya, hidup terasa mengambang, tanpa pegangan, dan barangkaii sia-sia. Kedekatan dengan Tuhan yang kekasih itu bagi si aku lirik adalah segalanya sehingga dalam sajak "Doa" Amir Hamzah menyingkapkan suasana hati si aku lirik ketika bertemu dengan Kekasihnya, demikian:

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

(Pujangga Baru, V/5, November 1937)

Manusia yang tawakal, yang senantiasa mendambakan siraman kasih-Nya dan ingin menyatukan diri dengan-Nya, itulah citra manusia yang terbaca dalam sajak "Doa". Kita saksikan, betapa kerinduan-kerinduan religius, pergulatan religius yang dialami si aku lirik pada akhirnya mengantarkannya kepada Tuhannya, seperti terbaca dalam larik-larik awal ini: 'Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?/Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.' Dengan demikian, pertemuan si aku lirik dengan Tuhannya—dalam doa—ada dalam suasana teduh yang menyejukkan setelah sebelumnya kegalauan mendekap hati si aku lirik. Ada perjalanan panjang yang diliputi keresahan dan kegelisahan sebelum si aku lirik sampai kepada Tuhannya, yang dengan susah payah dihalaukannya. Karena itu, ia mencerminkan citra manusia yang tak kenal menyerah dalam upayanya mencari dan menemukan Tuhannya.

Sementara itu, dalam sajak Sanusi Pane "Doa" dan "Mencari" juga terbayang citra manusia yang mencari Tuhan. Dalam sajak "Doa" Sanusi Pane itu digambarkan bagaimana si aku lirik bertahun-tahun mencari Tuhannya. Si aku lirik pun mengharapkan Tuhan sebagai pegangan hidupnya, yang memberinya semangat dalam menghadapi kehidupan, seperti terbaca dalam larik-larik ini.

DOA


O, Kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku.
Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari.
O, Kekasihku, turunkan rahmatmu ke dalam taman hatiku.
Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara dengan cinta berahi.
O, Kekasihku; buat jiwaku bersinar-sinar!
O, Keindahan,jiwaku rindu siang dan malam, hendak memandang cantik parasmu.
Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribuan pagi tersenyum.
O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama tuan melayang sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi.

(Madah Kelana, 1957)

Dalam sajak Sanusi Pane yang lain, "Mencari", rasa bahagia sejati itu ternyata ada dalam hati si aku lirik sendiri. Aku lirik yang telah ke mana-mana untuk menemukan kebahagiaan itu akhirnya sadar bahwa bahagia sejati sesungguhnya terdapat dalam diri sendiri, seperti terungkap berikut ini.

MENCARI



Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Yunani,
Aku berjalan
Di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat.


Segala buku
Perpustakaan dunia—
Sudah kubaca
Segala filsafat
Sudah kuperiksa
Akhirnya 'ku sampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.


Di Sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku.

(Madah Kelana, 1957)

Di sisi lain, Tuhan selalu hadir dalam kehidupan manusia dan manusia tak mungkin melepaskan diri dari bayangan-Nya. Pengingkaran atau keraguan terhadap Tuhan akan semakin mengukuhkan kehadiran Tuhan sebagaimana terlihat dalam sajak Chairil Anwar, "Doa".

Aku lirik yang semula ragu 'termangu' pada Tuhan dalam sajak "Doa" Chairil Anwar ternyata tidak terlepas dari bayangan Yang Maha Pencipta. Ia menyebut-nyebut nama-Nya. Dan dalam keterasingan si aku lirik 'di kelam sunyi', ia hanya melihat kebesaran Yang Maha Pencipta sebagai 'kerdip lilin'. Padahal, ia sadar bahwa 'caya-Mu panas suci'. Ia sungguh merasa tersiksa,'aku hilang bentuk/remuk', dan ia pun merasa kebingungan serupa 'mengembara di negeri asing'. Oleh karena itu, dengan sepenuh hati ia memasrahkan diri pada Tuhannya. Ia sadar kini, hanya kerahmanan Tuhanlah tempatnya berpaling dari segala gejolak dan kemelut hidup.

Di tengah kehidupan yang hiruk-pikuk dan penuh gejolak itu manusia akan selalu berlindung pada Tuhannya. Hanya Tuhanlah tempat mencari kedamaian di tengah hiruk-pikuk dunia, seperti tergambar dalam sajak Asrul Sani, "Pengakuan".

PENGAKUAN


Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kekal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi,

Akulah yang telah berperi,
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan.

(Mantera, 1975)

Dalam sajak "Pengakuan" Asnil Sani itu terbayang citra manusia yang religius, yang selalu mencari Tuhannya dalam kegalauan dunia dan yang hanya dapat menemukan keteduhan diri dalam bayangan-Nya. Kerinduan yang senada terangkap pula dalam sajak "Malam Natal", karya Djamil Suherman. Dalam sajak ini si aku lirik mengharapkan limpahan kasih, 'Tuhan, bangkitkan malam ini cahaya kudus dalam/dada kami':

Tuhan, berilah saksi atas cedera yang menapuk wajahnya
berilah saksi atas keangkatannya ke kerajaan langit
almasih penggembala putih
lemparkan kembali dakwa manusia atas bayi suci

Tiada pengharapan umat merindukan lagu zaman
tentang keabadian dan belaian kasih sayang
tepekur kembali muka-muka muram menghadap langit
ah Tuhan, bicaralah kepada kami

Gemercik irama tangis dalam deraian cemara natal
ia mendaki sorga gemercik air mata dan himhanan damba
ah Tuhan, bicaralah kepada kami

(Nafiri, 1983)

Pada malam natal itu si aku lirik mengharapkan kasih Tuhan turun ke bumi, meneguhkan kembali iman mereka yang ragu: 'Tuhan, bangkitkan iman kami yang redup oleh luka/kepada kepatahan salib'. Harapan dan kerinduan itulah yang menyebabkan 'gemercik air mata' dalam 'himbauan doa'. Dalam sajak ini tergambar citra manusia yang religius dalam ketakwaan.

2.4 Citra Manusia yang Mempertanyakan Kekuasaan Tuhan

Manusia yang meragukan kerahmanan dan kekuasaan Tuhan akan selalu terjadi dalam sejarah umat manusia. Makin tipis keimanan orang terhadap Tuhan akan makin kuat keraguan seseorang itu terhadap kerahmanan dan kekuasaan Tuhan. Dari 37 sajak yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan Tuhan, tercatat 3 sajak yang menampilkan citra manusia yang mempertanyakan kekuasaan Tuhan.

Sajak Selasih "Peminta-minta", misalnya, menggambarkan citra manusia yang beriman, tetapi berhiba-hiba dalam penderitaannya:'Ya Allah Tuhan yang rahman/Hanyalah Engkau tempat mengadu/Bernisap rahmat Engkau turunkan/Tidakkah ada bahagianku?//O Allah Tuhan yang satu/Tidak temilai banyak hambaMu/Tiada yang penyantun berhati mesra??/Kasihkan orang hina dan papa??'. Aku lirik yang berhiba-hiba dalam penderitaannya itu lebih tampak dalam pertanyaan-pertanyaan retorik yang terbaca dalam larik-larik berikut.

Apatah salah pada sesama,
Apakah dosa pada Tuhanku
Begini azab yang kuderita
Ini besarnya penanggunganku.

Salahkah beta bermata buta?
Kaki yang patah bukan kupinta
Sudah suratan dari dahulu
Takdir Allah atas diriku.

Aduh si kaya orang beruang
Berilah beta lemah terbuang
Sedekahi kain penutup punggung
Panas dan dingin tidak tertanggung.

Sesuap nasi hanya kupinta,
Haus dan lapar tak terderita
Di tanah yang subur banyak makanan,
Patutkah beta mati tak makan?

(Suryadi AG., 1987a: 101—102)

Citra manusia yang beriman, tetapi berhiba-hiba dalam penderitaannya itu sesungguhnya merupakan cerminan sikap mendua terhadap kerahmanan Tuhan, seperti yang terbaca dalam bait ini:

Ya Allah Tuhan yang rahman
Hanyalah Engkau tempat mengadu

Bernisap rahmat Engkau turunkan
Tidakkah ada bahagianku?

(Suryadi AG., 1987a; 101—102)

Dari larik-larik di atas terlihat bahwa pada satu pihak si aku lirik mempercayai kerahmanan Tuhan, tetapi pada lain pihak ia seolah-olah meragukan kerahmanan Tuhan karena penderitaan yang dialaminya. Dengan demikian, citra manusia yang tampil dalam sajak "Peminta-minta" adalah manusia yang beriman, tetapi tidak tabah dan tawakal.

Kehidupan bebas yang hanya menjalani kodrat dalam eksistensi diri yang penuh tanpa nilai-nilai yang membebani terkadang menjadi obsesi penyair sehingga mencuatkan semacam kegelisahan yang bersifat religius. Dalam sajaknya "Jarak", Subagio Sastrowardoyo mencoba menyifatkan perbedaan antara makhluk dengan Khalik. Makhluk penuh dengan kedinaan, kotor, dan rendah, sedangkan Khalik tinggi di atas, penuh dengan kesucian. Penyair mengungkapkan hal ini dengan 'Kau hilang dalam keputihan ufuk/Dan tersuruk ke hutan buta/Hiburku hanya burung di dahan/....'. Dari pandangan itu penyair lalu beranggapan bahwa Khalik tidak sepatutnya diwujudkan sama dengan makhluk. Obsesi tersebut diungkapkan sebagai berikut.

....
Bapak di sorga,
biarlah kita jaga jarak ini
Sebab aku ini manusia mual
Sekali kau tampak telanjang di hutan
Aku akan berteriak seperti Yahudi:
"Salib!"
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.

(Simphoni, 1957)

Lebih lanjut, si aku lirik bertanya-tanya tentang kehidupan di sorga. Apakah sorga itu penuh dengan kesucian atau sebagaimana kehidupan manusia di dunia yang memiliki aneka watak dan tabiat. Dengan agak nakal penyair mengungkapkannya demikian.

SETASION



Adakah sorga seperti setasion ini
tempat kereta lelah berhenti

dengan tulang besi-besi bersilang
dengan muka penumpang gilap berkeringat
dan debu riang mengendap.
Adakah gerimis itu di jendela
dan puntung rokok mengepul.
Dan berita polidk dari koran
dengan inflasi, kelaparan dan bunuh diri.
Nabi,
aku terlalu sayang kepada petualangan ini
di mana hati kembali bocah lagi
orang asing menjadi sobat
dan gadis alim di sudut
menjadi iseng karena resah mengharap.
Adakah di sorga kasih dan derita ini
dengan senang sebentar menjelang.
Nabi, aku ingin masuk ke sorga.

(Simphoni, 1957)

Dalam sajak di atas tampak bahwa si aku lirik menghendaki sifat kemanusiaannya yang ingin mengetahui sesuatu, suka pada petualangan, keisengan, berkenalan dengan orang asing, masalah politik, tetap berlaku sekalipun ia menjadi penghuni sorga. Si aku lirik bertanya-tanya, adakah hal-hal semacam itu masih menyertai kehidupan di sorga?

2.5 Citra Manusia yang Ingkar terhadap Kekuasaan Tuhan

Manusia yang ingkar terhadap kekuasaan Tuhan pada umumnya bersifat takabur. Manusia yang takabur tidak pernah merasa bahwa segala yang dimilikinya di dunia ini sesungguhnya adalah pemberian Tuhan.

Sebagian sajak-sajak yang bersifat religius menampilkan kereligiusannya dengan jalan menampilkan manusia yang tidak religius, yaitu manusia yang mengingkari dan melupakan Tuhan. Citra manusia yang ingkar terhadap kekuasaan Tuhan itu dapat dikatakan sengaja ditampilkan penyair dengan maksud mengingatkan pembaca agar senantiasa bersikap takwa terhadap Tuhan.

Sajak-sajak yang melukiskan sifat menentang dalam wujud pengingkaran dan ketakpatuhan kepada Sang Pencipta sedikit sekali terdapat dalam puisi Angkatan '45. Seandainya ada, pada umumya hanya mengungkapkan kesombongan diri manusia, keserakahan, pemujaan kepada benda, atau paham yang menafikan Tuhan. Dalam tulisan ini terdapat 5 sajak yang mengungkapkan citra manusia yang mengingkari kekuasaan Tuhan. Trisno Sumardjo, misalnya, mengemukakan gambaran keserakahan manusia tersebut sebagai berikut.

FANA


Ia berdiri di depan yang Hakiki
bagaikan musim pantang berganti;
saingan bumi, teladan matahari,
dialah dewa pujaan dewa-dewi.

Ia rekahkan langit, suaranya bergegar;
matanya bersinaran dahsyat memancar;
dibuatnya hawa ingar hingar
dibikinnya bumi bergeletar.

Tetapi ketika Sang Hakiki mencabut nafasnya,
ia pecah bagai debu, tak ada bekasnya.

(Silhuet, tanpa tahun)

Dalam sajak "Fana" itu penyair melukiskan citra manusia yang lupa akan hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Padahal, manusia itu sesungguhnya insan yang tak berarti apa-apa kecuali dalam iradat-Nya.

Mohammad Ali secara lugas melukiskan bagaimana akhir nasib manusia yang terlalu memuja dunia benda, 'menukar Tuhan lama yang hanya/kasih janji-janji manis dan hari-hari kecewa/dengan Tuhan baru: besi dan bisa/yang bisa rombak segala rahasia/sekali kata'. Akan tetapi, ketika "Tuhan baru" itu direbut ('dicopet') orang, ia pun tumbang dan menghadapi jalan buntu. Manusia yan terungkap dalam sajak itu adalah manusia yang takabur, seperti juga yang dilukiskan Mohammad Ali dalam sajak "Aku" berikut ini.

AKU


Aku yang pernah tujuh kali
telentang bangun
mengejar setetes anggur,
menukar Tuhan lama yang hanya
kasi janji-janji manis dan hari-hari kecewa
dengan Tuhan baru: besi dan bisa
yang bisa rombak segala rahasia
sekali kata

....

Demi Tuhanku dicopet orang
semua buntu
batubata meringis jelek
dan aku tumbang
telentang telanjang.

(Hitam atas Putih, 1972)

Dalam kedua sajak itu tersirat citra manusia dengan semangat individual, yang mengabaikan nilai-nilai keagamaan, dan hanya percaya pada benda duniawi. Pada saat ia berhasil menguasai benda, ia mendapat kenikmatan fana yang hanya sekejap singgah padanya. Akan tetapi, ketika benda-benda itu terlepas dari tangannya, kekuasaannya pun ikut punah, tinggal teronggok "telanjang", penuh kehinaan. Kecongkakan dan keingkaran manusia akan kekuasaan Tuhan biasanya baru disesali pada hari kebangkitan, di yaumil mahsyar ketika Tuhan menimbang pahala dan dosa. Manusia yang ingkar akan mendapatkan azab kubur ketika malaikat Mungkar dan Nakir menginterogasi si mati seperti yang dilukiskan Purwa Atmadja dalam sajaknya "Surat Talqin":

Rohmu melayang turun ke lubang neraka
Di mana skilwak Neraka juga bersaksi:
"Sayang bung, di sini tiada tempat bagi Bung,
Khawatir Revolusi dalam Neraka."

Ke Syorga tidak, ke Neraka tidak,
Maka rohmu akan kembali ke dunia raya,
Di mana kau hidup baqa di alam fana

(Jassin, 1959: 178)

Dalam sajak itu Purwa Atmadja menggambarkan seorang manusia yang ingkar, yang menafikan Tuhan sebagai Khaliknya. Ia seorang yang fanatik buta pengikut ajaran Marxis yang tidak mengakui adanya Tuhan. Menurut paham sebagian penganut keyakinan agama Islam, seorang mukmin yang meninggal, setelah selesai dikubur dan dibacakan doa kubur (talqin), sepuluh langkah setelah orang-orang yang mengantar jenazah meninggalkan kuburannya, interogasi pun dimulai oleh malaikat Mungkar dan Nakir. Jika ia seorang mukmin yang saleh, dengan mudah ia dapat menjawab semua pertanyaan dan ia terbebas dari azab kubur. Akan tetapi, si fanatikus buta ternyata menjawab keliru sehingga rohnya terlunta-lunta. Ia diusir ke sana kemari dan akhirnya tercampak kembali ke dunia, alam fana yang ketika hidupnya diyakini sebagai sesuatu yang baka, yang kekal. Ia menjadi roh gentayangan yang terlunta-lunta di alam barzah.

Dalam periode 50-an sajak-sajak yang mengungkapkan penentangan dalam wujud pengingkaran dan ketakpatuhan kepada Tuhan hanya tampak pada beberapa sajak. Gambaran ketidakpatuhan itu sesungguhnya berawal dari kegelisahan penyair melihat kenyataan yang dihadapi. Dengan demikian, sebenarnya isinya merupakan himbauan agar kembali kepada fitrah, kembali kepada kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah dan mengharapkan kekuatan kepada Sang Pencipta.

Subagio Satrowardojo dalam sajaknya "Dewa Telah Mati" menunjukkan bahwa dunia modern dengan mudah dapat membuat manusia lupa pada hakikat dirinya. Ia mudah terjebak ke dalam tuntutan-tuntutan duniawi yang tidak pernah habis. Penyair menyebut kehidupan yang demikian itu bagaikan pelacur yang menawarkan kepalsuan:

....
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari

(Simphoni, 1957)

Keingkaran terhadap Tuhan sesungguhnya sangat menakutkan. Oleh karena itu, penyair dalam sajaknya "Sodom dan Gomorrha" membayangkan kembali kutukan yang pernah dijatuhkan Tuhan kepada penduduk Sodom dan Gomorrha: keingkaran yang tak lagi terampuni karena mereka alpa dan mabuk dengan kehidupan duniawi, seperti dikisahkan dalam Kitab Injil dan terungkap dalam larik-larik berikut ini.

Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air.

(Simphoni, 1957)

Sajak "Sodom dan Gomorrha" itu melukiskan kesibukan sehari-hari yang menyebabkan manusia meremehkan Tuhan, mengabaikan dan melupakan-Nya karena Tuhan telah tertimbun dalam kehidupan yang menyita perhatian: masalah pajak, berita politik, pembagian untung, dan keluhan tetangga. Kesibukan tersebut tak ubahnya bagaikan kesibukan dan kesemerawutan dalam pesta semalam suntuk yang melelahkan, yang dipenuhi asap rokok dan hiruk-pikuk berbagai suara yang memekakkan. Oleh karena itu, suara Illahi yang berbisik dalam sanubari pun tak lagi dirasakan: Tak terdengar pintu diketuk.//Kau?'. Ketukan di pintu hati tak lagi terdengar karena kesibukan manusia dan suasana pun menjadi pekak oleh teriakan 'Yippee!!'. Suasana semacam itu mengerikan penyair dan melambungkan ingatannya pada kutukan yang pernah menimpa penduduk Sodom dan Gomorrha. Dari puisi ini tersirat citra manusia yang ingkar pada Tuhan karena disibukkan kehidupan duniawi.

2.6 Simpulan

Citra manusia religius yang terdapat dalam puisi Indonesia periode 1920—1960 ternyata cukup bervariasi. Sesuai dengan konteks kesejarahannya, sajak-sajak periode sebelum kemerdekaan terutama sajak-sajak periode awal, menampilkan manusia yang bertakwa kepada Tuhan, yang penyabar, dan penerima takdir. Pada periode berikutnya, yakni 1930—1940, manusia yang terungkap dalam sajak masih memperlihatkan ketakwaan dan keimanan yang memiliki kecenderungan menggugat. Hal terakhir ini tampak kuat dalam sajak-sajak religius Amir Hamzah. Selain itu, terungkap juga sikap manusia yang lebih kukuh kepercayaannya kepada Tuhan dan ajaran-Nya.

Sementara itu, puisi periode setelah kemerdekaan yang menghadirkan citra manusia religius masih menunjukkan ketakwaan yang kuat. Namun, tererosinya sikap religius pada diri manusia Indonesia juga ditunjukkan oleh beberapa sajak, antara lain "Surat Talqin" karya Purwa Atmadja, "Aku" karya Mohammad Ali, dan "Sodom dan Gomorrha" karya Subagio Sastrowardojo. Hadirnya citra manusia dalam sajak yang tererosi sikap religiusnya dapat dipandang sebagai kekhawatiran sebagian penyair terhadap masuknya ideologi Marxis di Indonesia, seperti dengan jelas tampak dalam sajak "Surat Talqin" Purwa Atmadja dan "Aku" Mohammad Ali.