Cerita Rakyat Daerah Irian Jaya/Bab 2
1. CERITERA ASAL MULA PERAHU
Dua orang pertama yang mengerjakan perahu pertama adalah Yipir dan Asparat. Perahu itu dikerjakan di dua tempat yang berIainan yaitu Damuk dan Bus. Setelah mereka mengerjakan perahu itu, mereka lalu memasukkannya kedalam sebuah pondok yang telah disiapkannya. Setelah perahu dimasukkan kedalam pondok itu, mereka memagarinya dengan daun-daun sagu, agar tidak terlihat dari luar. Setelah itu mereka mulai menyanyi dan menari sampai petang. Pada hari berikutnya, mereka meresmikan perahu itu dengan memakai tongkat dan memukul-mukul batang perahu itu. Setelah peresmian, mereka menuju kerumah laki-laki untuk makan sagu dan ulat sagu. Selesai makan, mereka pergi kepondok untuk mencat dan mengukir beberapa bagian lagi, sebab peresmian itu belum berarti mereka boleh memakai perahu itu. Pekerjaan terakhir ialah membakar dan mencat perahu. Selesai diberi warna putih, mereka menggosok kapur warna merah melintang pada badan perahu. Setelah itu, perahu dibalik dengan dasarnya menghadap kelangit supaya mendapat sinar matahari yang cukup untuk kering dan ringan, bila dipakai.
Sementara itu, setiap hari mereka menjaga perahu, menyanyi dan merencanakan pesta yang sebaik-baiknya. Mereka juga menokok sagu untuk pesta itu. Setelah selesai menokok sagu, mereka mulai mengadakan pesta perahu pada malam harinya. Pada hari berikutnya, mereka kedusun sagu dan mengambil ulat sagu. Malam hari itu juga mereka menabu tifa dan mulai menari, sampai hari berikutnya. Pada malam hari itu juga pondok tempat penyimpanan perahu itu dibongkar, dan pada petang harinya mereka mendorong perahu itu ke air, sungai Asewets. Setelah perahu itu berada diatas air, mereka itu masuk kembali kedalam rumahnya. Pada hari berikutnya, mereka membawa ulat sagu kedalam perahu. Setelah itu mereka mulai menari-nari didalam perahu itu, sampai perahu itu hampir tenggelam.
Kemudian mereka berperahu menuju sungai Jet. Sampai ditepi sungai Jet, mereka naik kedarat dan mengerjakan pondok untuk beristirahat. Karena mereka telah capai, merekapun berbaring-baring dan akhirnya tertidur sampai malam.
Ditengah malam datanglah dua orang wanita masing-masing Amar dan Dafar dari udik sungai Asewets.
Mereka datang dengan menumpangi perahu terbuat dari batang nibung. Melihat Yipir dan Asparat tertidur, maka dengan diam-diam mereka mencuri dan memakai perahu itu. Mereka itu berdayung terus sampai Yokor. Sementara itu, kedua pria itu bangun dan mencari perahunya. Setelah mereka mencari-cari,mereka tidak dapat menemukannya. Kedua wanita itu sudah sampai sungai
Bepet. Sementara mereka dua itu duduk menangis datanglah dua wanita itu kembali tetapi tidak dengan perahu. Para wanita itu menemui Yipir dan Asparat dan berkata kepadanya : " Mengapa kamu duduk menangis ?". Dua laki-laki itu menjawab bahwa mereka kehilangan perahu, dan tidak tahu harus berbuat apa. Ini perahu nibung, pakailah dan pergi ketempat tujuanmu". Mereka dengan dongkol hati, menumpangi perahu nibung itu dan teruskan perjalanannya kemuara sungai Asewets. Ditengah jalan, mereka bertemu sebuah pondok dan penghuninya bernama Yapunpit. Mereka minta kepadanya untuk tinggal bersamanya. Tetapi Yapunpit menolak permintaan itu. Karena itu, mereka teruskan perjalanannya sampai bertemu seorang lagi bernama Buceweu. Mereka singgah dan menyampaikan maksudnya, tetapi iapun menolak mereka. Karena itu, mereka meneruskan perjalanannya sampai suatu tempat bernama Omkost. Ditempat itu tinggallah tuan tanah bernama Omkostpit. Sebelum mereka menyampaikan niatnya itu, Omkostpit menolak mereka dan bahkan mengusirnya. Mereka berdayung terus sampai sungai Pek dan mereka bermalam di Kombopon. Pada hari berikutnya, sebelum berangkat, mereka menanam pohon nibung dan jambu hutan, sebagai kenang-kenangan. Setibanya dipantai Pirireu, mereka turun untuk mencari ikan, karena banyak ikan disitu.
Setelah mereka hidup beberapa lamanya, mereka menghilang dan menjelma menjadi roh .
2. ASAL MULA PESTA ROH
Pakaian itu dianyam menurut ukuran tubuhnya; termasuk lengan dan juga ukuran kaki. Pada hari terakhir, yaitu hari kelima mengerjakan lubang untuk mata dan hidung. Setelah setan itu selesai dikerjakannya, ia mulai memakainya. Ia sendiri merasa aneh waktu dipakainya baju itu. Ketika hari sudah mulai gelap, ia memakai baju itu dan perlahan-lahan berjalan kekampung dan memasuki rumah laki-laki. Semua orang didalam rumah laki-laki itu menjadi kacau dan segera lari masing-masing mencari jalan pulang kerumahnya.
Pada waktu itu orang dikampung sedang kehabisan sagu. Panglima perang mengumumkan, supaya setiap orang memberikan sagu kepada benda hidup yang aneh yang membubarkan semua laki-laki dari rumah laki-laki itu. Pada malam itu juga orang memutuskan bahwa hari berikutnya orang harus pergi mencari sagu, supaya roh jahat itu jangan mengganggu ketentraman didalam kampung. Roh itu datang sebab orang tidak memberikan sagu kepadanya. Pagi-pagi benar, sebelum orang bangun dan pergi kehutan untuk mencari sagu, anak piatu itu mendahuluinya dan dekat dusun sagu ia panjat diatas sebuah pohon beringin.
Ia memperhatikan semua orang yang berada didusun yang sedang mencari sagu itu. Ketika hari sudah hampir petang, ia turun dari atas pohon itu dan memakai bajunya, kemudian berjalan
menuju orang-orang yang sedang menokok sagu. Pada waktu ia tiba ditempat, orang sedang sibuk mengisi sagu didalam noken. Setelah sagu diisi dan mulai berjalan, tiba-tiba muncul suatu
benda hidup yang aneh yang bergerak menuju mereka. Mereka sangat ketakutan dan bahkan tidak dapat mengeluarkan sepata kata. Mereka lari tunggang langgang sambil menjatuhkan noken-noken sagu dibelakangnya. Sagu itu dipungut oleh anak yatim piatu itu dan dibawanya pulang kerumah. Dengan cara demikian, ia memperoleh nafkahnya. Ia berkeliling dari kampung yang satu kekampung yang lain untuk menakutkan orang dan mencari makanan. Ia berkeliling bahkan sampai disungai Momats dekat perbatasan dengan daenih-Mimika disebelah barat Asmat.
Pada suatu hari, beberapa orang bersembunyi dekat dusun sagu sedang para wanita mengumpulkan sagu. Ketika ia mulai muncul, mereka menangkap dia dan dibawah kerumah. Tetapi ketika mereka mendekati kampung, tiba-tiba ia menghilang dan tidak pernah kelihatan lagi, hingga kini. Mulai saat itu tersiarlah berita bahwa ada roh jahat yang dapat mengganggu orang sementara orang sedang mencari makananan di dusun.
Untuk memperingati dan memberanikan serta mendewasakan anak, maka sampai sekarang ini, biasanya diadakan pesta yang·disebut pesta setim atau pesta r oh , yang dalam bahasa Asmat disebut manimar atau bunbar pokmbui.
3. CERITERA TERJADINYA DESA WARSE.
Dekat muara sebuah sungai hiduplah seorang bernama Piri, sedangkan diudik hiduplah seorang bernama Waise. Pada suatu hari Piri ke udik sungai dan melihat sebuah gua besar dan didepan lubang gua itu ada seorang penjaga. Setelah melihat itu, ia bertanya Siapakah engkau ? ”Bukalah pintu bagi saya.” Tetapi penjaga itu menjawab, katanya . ”Jangan minta kepada saya, mintalah saja kepada Waise.”
Setelah binatang-binatang itu keluar, mereka langsung terbagi kehilir dan keudik.
Piri sementara melihat keadaan itu, ia terkejut dan segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke hilir. Setelah ia berada ditengah-tengah sungai, iapun memutuskan untuk menetap disitu. Ah, pada waktu itu isterinya sedang hamil. Ia segera akan bersalin, tetapi dirumahnya tidak ada makanan. Isterinya itu sebetulnya isteri seorang lain yang bemama Beworpits. Piri hanya memeliharanya sebagai isterinya. Oleh sebab itu Beworpits selalu datang mengunjungi Piri. Pada suatu hari Beworpits berkunjung ke rumah Piri dan minta kepada anaknya perempuan untuk keesokan harinya pergi menokok sagu.
Sehari kemudian, ketika hari mulai siang, Beworpits minta anaknya supaya menyiapkan semua peralatan yang perlu untuk pergi menokok sagu. Ia menasihati anaknya bahwa mereka perlu sekali makanan sebab ibunya akan melahirkan dan mereka tidak sempat mencari makan. Karena itu marilah kita pergi menokok sagu. Segera mereka berangkat ke hutan membawa peralatannya.
Setelah mereka menemukan sebuah pohon, segera Beworpits mulai menebang pohon sagu itu. Setelah ia mengeluarkan tulang batang pohon itu, ia menusuk dengan tongkatnya kedalam batang pohon untuk mengetahui apakah sagu itu mengandung tepung sagu yang cukup. Setelah meneliti, ternyata bahwa pohon itu mengandung banyak tepung sagu. Karena itu Beworpits berkata kepada anaknya : ”Mari kita tumbang saja pohon ini dan menokoknya, karena mengandung banyak tepung sagu.”
Kemudian ia melanjutkan pekerjaannya hingga pohon itu tumbang. Beworpits berkata kepada anaknya bahwa mereka menolak saja bagian pohonnya saja, sebab ia merasa capai sedikit dan harus beristirahat. Setelah dibersihkannya bagian yang hendak ditokoknya, ia mulai membela tulang batang sagu itu.
Ia membelahnya terus, terus, terus, terus sampai selesai. Kemudian ia meneruskan dengan memotong lagi hingga selesai. Sementara itu, anaknya pergi ke bagian ujungnya dan mengambil pelepa sagu dan disiapkannya untuk menada tepung sagu. Setelah menyiapkan penampung tepung sagu itu, ia mengerjakan tempat meramas pati sagu. Kemudian dipasangnya lagi penampi. Setelah itu digalinya sebuah perigi kecil untuk mengambil air.
Sementara itu, ayah wanita itu telah selesai membela dan menokok pati sagu itu. Karena ia telah merasa lelah, ia pergi memotong daun sagu dan mengalasnya dekat ujung pohon sagu itu dan berbaring disana. Tidak lama kemudian iapun tertidur, sambil kepalanya menghadap ke ujung daun sagu dan kakinya menghadap ke jurusan anaknya. Segera terjadi mujisat bahwa tepung sagu itu naik sampai diatas penampungnya. Tepung sagu itu naik dengan sendirinya, ayua. 1).
Tidak lama lagi muncullah seekor ular phyton yang sangat besar dari arah ujung daun sagu itu dan mulai mengepung Beworpits. Setelah itu, ular itu mulai menjilat-jilat tangan, kaki dan bagian tubuh yang lain sampai licin, siap untuk ditelan. Ular itu kemudian menjilat tubuh laki-laki itu. Setelah itu ular membesarkan tenggorokannya dan mulai menelan perlahan-2. Manusia yang panjang, panjang, panjang itu ditelannya. Selesai. Sekarang telah selesai ditelan. Kemudian ia merayap pergi. Untuk ketahuan anak wanita itu, ular mengebaskan ekornya diatas tanah tempat ayahnya tadi berbaring. Setelah melihat itu, anaknya berteriak, katanya ”Wuaaa . . . . ., bapak . . . . . ., bapak ditelan ular. Sayang ular menelan bapak; bagaimana dapat ditolong.” Sementara itu, ular telah lenyap dari pandangannya. Anak wanita itu tetap mengikuti ular itu dari belakang; sambil berteriak minta tolong . Aa . . . tolong,minta tolong. Bapak saya ditelan ular, dan ular sedang berada disini.” Setelah melihat tempat perhentian ular itu, ia pulang ke kampung untuk meminta bantuan orang banyak. Sebelum ia tiba di kampung, orang banyak dari kampung telah berkumpul dan bertanya waktu ia tiba dirumahnya. ”Apa yang menyebabkan kamu berteriak keras, dan minta tolong ?” tanya mereka.
Anak wanita itu tidak menjawab apa-apa, karena ketakutan. Ia lari langsung masuk rumah beberapa saat. Kemudian ia keluar lagi dan menghantar orang-orang kampung ketempat ular itu bersembunyi. Orang kampung itu bersenjatakan tombak dan panah. Sementara orang banyak itu sampai dan berkumpul dekat ular itu, maka segera ular itu membuka mulutnya dan menonjolkan giginya. Orang-orang itu amat ketakutan.
Salah seorang anak yang berada disitu lari kerumah dan memberitahukan kepada ayahnya. Anak itu adalah anak seorang pria bernama Waise. Waise waktu itu sedang tidur lelap. Anak itu membangunkan bapaknya sambil berteriak, katanya: ”Bapak, bangun dan lihat, apa yang sedang turun dari hutan. Banyak orang ada disana dan mereka ketakutan, tidak mampu menghadapinya. Aah, ayahnya heran dan bertanya: ”Ada apa?” Setelah diketahuinya bahwa ada bahaya, maka bapak itu bangkit membawa tombak, busur dan anak panah. Setelah itu, ia mengambil kapak batu dan menempatkannya dekat pintu, dan memilih anak panah yang baik dan kuat dan pergi ketempat ular itu. Anak wanita Beworpits itu berkata : ”Siapa yang akan membunuh dan menyelamatkan ayah saya, saya bersedia mengawininya.”
Ketika Waise tiba ditempat itu, ular langsung bertanya: ”Siapakah engkau yang mau memanah saya.?” Waise menjawab : ”Saya ini Waise” Lalu ular berkata kepadanya: ”Kalau kamu hendak membunuh saya, tombaklah saya dikepala dan ekor. Beworpits kemudian melepaskan anak panahnya. Setelah itu ia menombak ular itu dengan tombaknya dan om. 2).
Dan pada akhirnya ia mengambil kapak batu dan membelah kepala ular itu, hingga manusia yang ditelan itupun nampak. Orang didalam perut ular itu masih hidup dan dapat berbicara. Orang itu berkata kepada Waise, katanya: ”Jangan belah dekat dimana saya ada. Saya masih hidup”. Setelah mereka membela dan menarik keluar Beworpits, mereka mencucinya dengan air sampai bersih. Sementara itu, penduduk kampung membagi daging ular itu dan masing-masing pulang kerumah. Orang yang memanah ular pertama kali, menerima kepala, sedang dagingnya dibagi. Sebagian besar dibawa ke rumah Waise. Orang yang pernah makan daging ular itu masih hidup 3).
Mereka itu hidup ditepi sungai Siretsj yang namanya terdiri dari Koi, Hos Awok, Fos, Damen dan Biwar. Nama-nama itu kemudian dijadikan nama desa yang kita kenai sekarang ini. Karena penduduk desa tersiebut diatas dan penduduk desa Warse adalah satu keluarga.
Sementara semua pria pergi mencari bahan-bahan ini, para wanita dari Unir ini tinggal di kampung untuk mencari dan mengumpulkan kayu api. Ketika seorang wanita dari golongan Warse pergi melihat ditempat kayu api yang ditebangnya, ternyata ada wanita-wanita dari Unir sedang membela kayu itu. Wanita dari Warse itu langsung menegurnya : ”Itu kayu kepunyaan kami. Mengapa kamu tidak minta izin dari kami ?” .
Wanita-wanita yang membela kayu itu menjawab : ”
”Kayu ini, kami sendiri yang menebangnya, karena itu kami berhak membelah.” Maka terjadinya pertengkaran besar, hingga seorang wanita dari Warse membelah kepala dari salah seorang
dari Unir. Pertengkaran itu demikian hebatnya, hingga kedua belah pihak tidak berdaya lagi. Datanglah seorang tua dari Warse untuk mencoba mendamaikan mereka itu dengan mengatakan
bahwa tidak perlu mereka itu bertengkar, sebab tidak ada pria di kampung untuk menyelesaikan persoalan itu.
Selesai perkelahian itu, para wanita dari Warse pergi mandi dan membersihkan diri di sungai, tetapi para wanita dari Unir tidak mau. Mereka berkata. ”Kami menunggu saja sampai semua pria pulang dari mencari bahan pesta. ”Sebagai tanda tidak setuju, mereka pergi duduk-duduk ditepi sungai menghadap ke muara. Dan akhirnya nampak tiga buah perahu sedang menuju ke kampung. Setelah tiba didalam kampung, mereka bertanya kepada wanita-wanita yang berlumuran darah bercampur lumpur. Para wanita itu menjawab bahwa mereka baru saja selesai berkelai dengan wanita-wanita dari Warse. Dari sebab itu , sengaja meteka membiarkan keadaan itu sampai semua pria pulang ke karnpung. Kemudian laki-laki Yamasy dan Jondiu itu menjawab:”Ah cucilah saja darah dan lumpur itu.”Setelah mencuci, mereka meminta supaya para wanita itu harus diberi perhatian khusus sementara mereka masih tinggal di Warse ini. Selanjutnya para wanita melaporkan bahwa orang-orang Warse marah dan akan mengadakan perlawanan tentang dusun-dusun yang ada disekitarnya. Pada sore harinya semua pria berkumpul di yeu 4)untuk membicarakan masalah dusun itu. Dan sebagai hasil perundingan itu, mereka memutuskan untuk pindah tempat. Maka pada hari berikutnya diumumkan supaya semua orang yang berasal dari Yamasy dan Jondiu berpindah ketepi sungai Unir dan Asuwetsj. Maka terjadilah demikian. Sekarang hanya tinggal mereka yang berasal dari Warse dan kampung-kampung diudik sungai Siretsj. Setelah orang:-orang Yamasy dan Jondiu berangkat, maka terjadilah suatu pertengkaran yang besar diantara orang-orang Warse dan mereka yang datang dari udik sungai Siretsj. Maka terjadi lagi perpecahan dan perpindahan didalam kampung. Sekarang tinggal orang-orang Warse sendiri. Mereka ini mencari suatu ternpat baru dimuara sungai Yuar. Setelah beberapa tahun lamanya, merekapun kembali ketempat semula, yaitu Warse hingga sekarang ini.
+)Yeu = Rumah laki-laki, dimana didalamnya terbagi beberapa bagian dan perapian menurut faam. Di Asmat satu faam terdiri dari beberapa keluarga inti.
4. CERITERA MENGENAI EMEM DAN ULAT SAGU.
( Terjadinya kapak batu)
Disuatu tempat hiduplah tiga orang bersaudara; Emem, Tepet dan
Karapsi. Mereka ini merencanakan untuk mengadakan pesta ulat sagu. Tetapi diantara mereka ini ada yang tidak makan ulat sagu. Yang tidak tahu makan ulat sagu itu tidak bersedia kehutan bersama. Tetapi ia didesak, hingga terpaksa ia ikut berangkat. Setelah mereka berada dihutan, mereka itu bertengkar. Yang tidak tahu makan ulat sagu adalah Karapsi. Tetapi entah apa alasannya, Karapsi yang tidak tahu makan ulat sagu bersatu dengan Emem dan melawan. Tepet. Kemudian Tepet dipukul hingga berdarah.
Karena itu, Tepet langsung pulang sendiri kerumah. Setelah sampai di rumah, ia mengambil sagu dan menyediakan bekalnya, kemudian pergi kelaut hendak menangkap ikan. Ia mengambil jim 1) dan pergi. Sementara itu, orang di ujung kampung yang dilaluinya bertanya, karena ia pergi. Tetapi ia tidak menjawab mereka dan bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia berjalan terus ke sungai dan menuju kelaut. Sungai yang diikutinya itu bernama Yokapan. Setelah ia berada jauh dari kampung, ia meletakkan perahu; dayung dan jaring, kemudian ia berjalan kaki. Sementara itu, suaminya ikut dia dari belakang. Ia mengikuti jejak isterinya, sambil menangis dan berteriak. Tetapi isterinya yang mendengar itu tidak menyahut dan berjalan terus bertambah cepat. Dan akhirnya ia sampai dibawah sebuah pohon yang amat besar. Pohon itu ada lobangnya dan didalam lobang itu terdapat dua wanita. Tepet meminta bantuan kepada dua wanita itu untuk menyembunyikan dirinya. Iapun diterima dan naik melalui lobang itu. Ketika suaminya tiba ditempat itu juga dan bertanya, maka dua wanita itu bertanya: ”Apa yang kau sedang cari? ia menjawab : saya sedang mencari isteri saya yang hilang, dan saya kira ia ada disini.” Mereka menjawab : Ia tidak ada disini, Pergi saja ketempat lain. ”Suaminya, akhirnya pulang kekampungnya sambil menangis.
Setelah berada disitu beberapa hari, Tepet berangkat mencari suatu tempat tinggal baginya. Dan akhirnya sampailah ia disuatu tempat yang dipimpin oleh seorang bernama Biwirpitsj. Ia segera dihantar oleh penduduk kerumah Biwirpitsj. Kebetulan disitu ada seorang pemuda anak Biwirpitsj sendiri. Wanita itu dicalonkan untuk anak Biwjrpitsj menjadi isterinya. Sebelum hari pernikahan mereka, Tepet minta agar membayar Emas kawin kepada suami dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Biwirpitsj setuju, dan pada hari berikutnya , ia minta supaya semua orang dikampung itu mencari makanan, karena menurut Biwirpitsj bahwa sebelum anaknya menikah akan terjadi hujan dan badai yang hebat.
Demikianlah pada hari berikutnya, semua orang keluar mencari makanan dan kayu api.
Pada petang harinya langit mulai mendung dan tidak lama lagi mulai hujan disertai guntur dan kilat. Pada malam hari itu semua orang tidur, sedang Btwirpitsj sendiri berada diluar rumahnya. Sementara hujan badai itu terus mengamuk, Biwirpitsj mengumpulkan kapak-kapak batu yang jatuh dari langit, dan menyebarkan didepan rumah-rumah penduduk, sementara yang lain disebarkan ketempat-tempat yang jauh, sampai ketempat suami Tepet serta anak-anaknya.
Pada pagi harinya, ketika semua orang terbangun, mereka heran sekali bahwa dimana~mana terdapat kapak batu berhamburan, Biwirpitsj mengajarkan kepada orang kampung itu, supaya mengasah dan mempergunakannya untuk menebang kayu dan pohon sagu . Demikianlah terjadi kapak batu yang pertama.
Setelah itu, Tepet dikawinkan dengan anak Biwirpitsj.
5. SERANAWAKAKOY
Wonti adalah sebuah desa didaerah Waropen termasuk daerah kabupaten Yapen Waropen. Kampung Waren adalah kampung yang terdekat dengan desa Wonti. Tidak jauh dari kampung Waren ada sebuah kampung lagi yang bernama kampung Ambai Dari kampung-kampung inilah pada jaman dahulu banyak terjadi penculikan, penangkapan budak serta peperangan. Peperangan antar suku secara besar-besaran biasanya terjadi bila ada penculikan wanita, sebab wanita adalah sebagai harta yang paling berharga bagi setiap keluarga. Tanda luka-luka bekas panah atau tombak dibadan adalah merupakan kebanggaan dalam peperangan bahkan merupakan kebanggaan pula bagi kaum wanita di daerahnya. Diantara penduduk kampung-kampung tersebut nama Seranawakakoy adalah nama yang tidak bisa dilupakan oleh penduduk kampung Wonti. Seranawakakoy adalah anak tunggal dari Mansayori, yang lahir serta dibesarkan dikampung Wonti. Mansayori seorang pemimpin perang, oleh karena itu tidak mustahillah apabila Seranawakakoy diharapkan dapat menggantikan kedudukan ayahnya. Setelah Seranawakakoy dewasa Mansayori ingin mencoba kepintaran anaknya dalam hal berperang. Kebetulan waktu itu dikampung Wonti terjadi penculikan dan perampokan.
Seranawakakoy diperintahkan ayahnya untuk berperang melawan perampok perampok yang datang. Seranawakakoy segera mengejar para perampok, dengan dibantu oleh beberapa kawan yang ada dikampung Wonti. Seranawakakoy dapat mengalahkan lawannya tanpa memakan banyak kurban. Orang-orang yang mati akibat peperangan dibakar, kemudian merayakan pesta kemenangan dalam peperangan. Dalam merayakan pesta kemenangan tersebut Seranawakakoy jatuh hati kepada seorang gadis cantik yang bernama Ambinui.
Tiada berapa lama setelah perkenalan tersebut terjadilah suatu ikatan kasih yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Perkawinan antara Seranawakakoy dan Ambinui dirayakan secara besar-besaran. Mereka merupakan pasangan yang tepat menurut pendapat sebagian besar penduduk kampung Wonti.
Suatu saat Seranawakakoy mengumpulkan pemuda-pemuda didesanya untuk dilatih menjadi orang-orang yang pandai perang. Seranawakakoy melatih tanpa mengenal lelah. Kampung Wonti akhirnya menjadi kampung yang kuat, aman dan tentram serta mereka sangat yakin bahwa segala musuh yang datang akan dapat ditundukkan dengan mudah. Untuk mencoba dari hasil latihan tersebut Seranawakakoy mengumpulkan beberapa orang-orang tua dan segenap pemuda di kampungnya untuk mengadakan peperangan dengan kampung Waren. Maksud peperangan adalah untuk menjadikan kampung Waren sebagai kampung percobaan guna mengetahui sejauh mana kekuatan penduduk kampung Wonti dimasa itu. Kesempatan untuk berperang melawan kampung Waren disetujui oleh seluruh kaum muda dan orang tua. Dibawah pimpinan Mansayori dan Seranawakakoy kampung Wonti menyerang kampung Waren. Keberhasilan Seranawakakoy menyebabkan ia disegani oleh seluruh kampung. Seranawakakoy diangkat menjadi kepala perang menggantikan kedudukan ayahnya, karena ayahnya sudah tua. Seranawakakoy kemudian menyatukan kampung Waren dengan kampung Wonti sebagai kampung yang bersahabat. Orang-orang yang tidak mau tunduk kepada Seranawakakoy melarikan diri mencari perlindungan yang dianggap aman. Akhirnya kedua kampung tersebut saling bersahabat dan saling tukar-menukar anak perempuan mereka sebagai tanda untuk mempererat tali persaudaraan.
Mereka tidak lagi saling mendendam, serta Seranawakakoy kemudian tinggal di daerah kampung Waren. Setelah beberapa lama Seranawakakoy tinggal di Waren Seranawakakoy mengumpulkan pemuda-pemuda daerah Wonti dan Waren untuk diajak berlayar mengarungi lautan dan menuju salah satu pulau yang sekarang disebut pulau Yapen. Maksud Seranawakakoy tersebut banyak mendapat tantangan dari kaum tua-tua karena tempat tersebut sangat jauh serta memakan waktu berhari-hari, belum lagi rintangan-rintangan lain yang mungkin sangat membahayakan bagi dirinya. Seranawakakoy tetap bersikeras untuk mewujudkan cita-citanya mengarungi lautan. Ia akan mengikutkan istrinya Ambinui yang sangat dicintai. Mansayori melarang kepergian anaknya apalagi Ambinui dalam keadaan hamil tua. Larangan inipun tidak dihiraukan oleh Seranawakakoy mengambil 4 orang-orang kuat dari kampung Wonti dan Waren. Seranawakakoy yakin bahwa akan mendapat rintangan yang cukup banyak ditengah jalan. Oleh karena itu persiapan untuk berangkatpun harus sematang mungkin. Mereka membuat perahu besar ang diperkirakan dapat memuat 6 orang dan sanggup untuk menerjang badai dan taufan. Perahu dilengkapi dengan semang dan layar. Busur dan anak panah serta tombak tidak sedikit jumlahnya telah disiapkan untuk menjaga kemungkinan pertempuran ditengah jalan. Bekal sagu saguer dan persis Ambinui dan ikan telah disiapkan lebih dari cukup. Sebelum berangkat Seranawakakoy beserta kawan-2-nya berdoa kepada para dewa agar dalam perjalanan diberi selamat. Selesai berdoa layar dipasang, sebelum matahari terbenam menyusur pantai tanah besar dan direncanakan akan melalui kampung Ambai sebelum binatang pagi muncul.
Tetapi malang bagi Seranawakakoy karena pengaruh angin dan gelombang terpaksa sampai di daerah Ambai setelah fajar menyingsing. Dari jauh tampak dua buah perahu mengejar Seranawakakoy dan kawan-kawan. Kawan-kawan Seranawakakoy beserta istrinya mulai gelisah sebab perahu yang mengejar pastilah perahu orang-orang Ambay. Seranawakakoy tetap tenang dan ia yakin bahwa dua perahu tersebut akan dapat dikalahkan. Perahu makin dekat dan tanpa pembicaraan apapun dua perahu tersebut mulai menyerang Seranawakakoy beserta kawan-kawannya. Seranawakakoy mulai membalas dan ia mulai menghujani anak panah yang tiada putus-putusnya. Akhirnya kedua perahu tersebut mengundurkan diri karena persenjataan telah habis, atau kemungkinan karena segan melawan Seranawanakoy beserta kawan-kawannya. Seranawakakoy beserta kawan dan istrinya mulai lega hatinya dan ia terus melanjutkan perjalanan mengarungi lautan yang luas. Akhirnya Seranawakakoy sampai dipulau-pulau kecil yang saat sekarang ini disebut pulau Ambai. Pulau Ambai ini adalah pulau yang masih rawan belum didiami manusia. Seranawakakoy beserta istri dan kawan-kawannya merasa tenang tinggal di pulau Ambai dan bermaksud untuk bermalam dipulau tersebut. Seranawakakoy memerintahkan agar kedarat, dengan maksud untuk beristirahat sejenak serta memasak. Setelah makan siang mereka semua beristirahat melepaskan lelah dimana tenaga telah diperas siang malam terus-menerus.Ambinui tertidur lelap didarat tidak ada seorangpun yang berani membangunkan, mungkin karena sangat capai lagipula sedang hamil tua dimana saat-saat anak pertama sedang dinantikan kelahirannya. Riak gelombangpun tiada, angin bertiup tidak begitu kencang, suara kicau burungpun tidak kedengaran. Dalam suasana yang sunyi dan tenang tersebut tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya seseorang yang persis Ambinui dan dalam keadaan hamil tua pula. Ia menemui Seranawakakoy diperahu sambil berkata : "Seranawakakoy, sore hampir tiba, lebih baik kita berangkat segera. Kita segera berdayung, jangan-jangan dewi laut nanti mengganggu kita. Seranawakakoypun segera memerintahkan kawan-kawannya untuk segera meninggalkan tempat. Perahu segera ditolak ketengah. Tiba-tiba dikejutkan teriakan Ambinui dari darat katanya : ”Seranawakakoy, tunggu dulu aku belum naik.”
Ambinui hampir saja pingsan setelah melihat bahwa di dalam perahu tersebut ada seorang perempuan mirip dia. Ambinui segera menyambung pembicaraannya. ”Aku istrimu Seranawakakoy, jangan aku kau tinggal pergi, aku istrimu yang syah. Orang itu bukan istrimu, ia adalah Dewi laut yang mengganggu perjalanan kita. Kemari jangan aku kau tinggalkan sendirian disini”. Seranawakakoy bertambah bingung tidak tahu siapa dan mana istri yang sebenarnya. Seranawakakoy memerintahkan agar perahunya ditepikan tetapi putri didalam perahu tersebut berkata : ”Seranawakakoy dan kawan-kawan, saya akan binasa bila kita kepantai, ia adalah dewi laut raja tanah pulau ini. Tinggalkan dia kalau kita akan selamat. Akulah Ambinui istrimu, Kita segera meninggalkan tempat ini.”
Perahu kemudian dikayuh, Ambinui menangis dan berteriak mamanggil Seranawakakoy dan kawan-kawannya agar kembali mengambilnya. Tetapi perahu tetap dikayuh bahkan lebih cepat mengayuhnya karena merasa takut. Ambinui tidak putus asa ia terus berjalan dengan susah payah menyusur pantai mengikuti perahu Seranawakakoy. Seranawakakoy menjadi kacau pikirannya demikian juga kawan-kawan yang lain. Tetapi wanita yang ada dalam perahu tersebut menghibur Seranawakakoy agar tetap senang dan tidak perlu memikirkan wanita menangis yang sedang mengikuti dari arah pantai. Ambinui berdoa kepada dewa-dewa dilangit agar dapat menolong penderitaannya. Tiba-tiba perahu yang sedang ditumpangi. Seranawakakoy dihantam gelombang yang cukup keras sehingga semang sebelah patah, serta perahu akan terbalik. Setelah sampai didarat, tiba-tiba Ambinui muncul, ia berkata sambil menangis serta kelihatan sangat letih. Ambinui menyanyikan sebuah lagu sebagai berikut :
Mincapa musayono
Mundapa musayo wanangko murani
Biatone.
Mundapa musayono
Mundapa musayo depi sayato nautone
Seranawakakoy moduno
Binemu Ambinui muwane
Mururu kantoa de woma munao.
Seranawakakoy muane
Moduno binemui Ambinui
Waya yaru kauba
Adapun arti dari lagu tersebut adalah sebagai berikut :
Saya sedang berdiri serta melihat,
Mata angin apa yang sedang mengap.tar perahu itu.
Saya sedang berdiri dan melihat,
Apakah air surut a tau pasang,
Seranawakakoy mengantar wanita Ambinui
Berdayung serta mengumpul buah-buah di tepi pantai.
Seranawakakoy mengantar istrinya, istrinya sedang
mengandung mengikuti tepi pantai.
Setelah menyanyikan lagu tersebut Seranawakakoy hampir saja menubruk Ambinui tetapi dewi laut melarangnya. Akhirnya Ambinui mengundang dewi laut agar turun kepantai untuk diajak berkelahi.
Ambinui berkata :
”Seranawakakoy , kau akan melihat suatu kenyataan, kau akan terbuka matamu bahwa kau keliru. Tombak ini adalah sebagai bukti serta kau akan mengerti mana istrimu yang syah. Bila dewa atau perempuan ini menombak aku mati, dewa laut itulah istrimu yang syah. Tetapi bila terjadi sebaliknya, maka akulah istrimu yang benar senasib dan sependeritaan dalam perjalanan”. Ambinui menyerahkan tombak tersebut kepada dewi laut, kemudian dewi laut menombak Ambinui, tombak tersebut patah. Kemudian Ambinui mengambil tombak yang dipegang oleh dewi laut. Ambinui menombak perut dewi laut. Dewi laut tersebut beteriak dan mati. Adapun perut yang besar tersebut bukan berisi bayi, melainkan rumput dan daun-daun begitu banyak. Kemudian terdengar tertawa histeris dan bangkai dewa laut tersebut hilang tanpa ada bekaspun yang kelihatan. Seranawakakoy masih belum yakin benar bahwa Ambinui yang masih hidup istrinya yang syah. Ia berkata kepada Ambinui ”Bila kau Ambinui listriku yang syah, maka kau akan melahirkan anak laki-laki. Tetapi bila bayi yang lahir tersebut perempuan kau bukan istriku yang syah”. Maka seketika itu juga lahirlah bayi dari rahim Ambinui Disinilah Seranawakakoy timbul penyesalan dan yakin benar bahwa ia adalah istrinya yang syah yang dibawa dari kampung Wonti. Seranawakakoy memeluk istrinya dengan penuh kasih yang tidak terhingga. Kawan-kawan Seranawakakoy meminta agar perjalanan ditangguhkan: Permintaan dikabulkan, Seranawakakoy beserta istri, anak dan kawan-kawannya kembali kekampung Waren.
Demikian ceritera Seranawakakoy dari kampung Wonti daerah kabupaten Yapen Waropen.
======
6. MATIRUWU DAN YAFDA
Pulau Anus adalah suatu kepulauan yang terdiri dari tiga gugusan pulau kecil-kecil terletak dilepas pantai pulau Irian Jaya bagian utara, termasuk wilayah kecamatan Sarmi daerah Kabupaten Jayapura.Pulau Anus diapit oleh pulau Mengge dan pulau Masimasi, sedangkan kampung Besaf adalah kampung didaratan besar. Irian Jaya yang paling dekat dengan pulau Anus. Dituturkan oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat/penduduk di pulau Anus berasal dari daerah Sarmi. Dari jaman dahulu kala sampai, saat sekarang orang-orang Sarmi masih terkenal sebagai pelaut-pelaut yang berarti, mereka gemar mengarungi lautan dan sebagai mata pencaharian pokok adalah menangkap ikan, menokok sagu dan sebagian kecil hidup berkebun.
Pulau Anus ditemukan sebagai pulau yang banyak mendatangkan kemakmuran bagi para nelayan. Hal ini disebabkan ikan-ikan sangat gemar bermain digugusan pulau tersebut. Tiada berapa lama setelah penemuan pulau tersebut tidak ada kesulitan apapun dalam hal mata pencaharian. Dalam ketenangan hidup yang berjalan dari tahun ketahun tiba-tiba dikejutkan oleh hilangnya seorang anak yang tidak diketahui kemana rimbanya.
Semula orang-orang kampung di pulau Anus mengira bahwa anak tersebut tenggelam dilaut sewaktu bermain. Sebulan setelah kejadian diatas dikejutkan lagi hilangnya seorang perempuan yang telah dewasa.
Kejadian ini pun tidak menemukan jejakk dimana orang itu hilang. Sekelompok masyarakat menganggap bahwa hilangnya orang tersebut diambil oleh raja tanah pulau Anus. Setelah kurban manusia cukup banyak, kepala kampung mengumpulkan rakyatnya untuk diajak berdoa bersama agar dewata memberikan suatu penglihatan atau suatu tanda siapa sebenarnya pembunuh kejam yg. ada dipulau Anus tersebut. Selang beberapa hari setelah permintaan doa kepada dewata terdengarlah suatu jeritan yang sangat memilukan tidak jauh dari perkampungan. Kejadian ini segera dapat diketahui oleh banyak orang bahwa pembunuh manusia yang ada dipulau Anus adalah bahwa binatang tersebut seperti singa, bermoncong, berbulu tebal dan dapat berbicara. Setelah masyarakat pulau Anus mengetahui hal ini, maka gelisah dan takut mulai timbul dihati mereka masing-masing. Binatang tersebut bernama ”Matiruwu”. Matiruwu adalah raja tanah dipulau Anus ia berkuasa atas daratan dan lautan. Masyarakat sudah tidak bebas lagi penghidupannya mereka merasa selalu dikejar maut kebebasan hidupnya telah dirampas oleh Matiruwu Maka tidak mengherankan bahwa orang-orang dipulau Anus makin lama makin berkurang. Mereka banyak yang melarikan diri atau pindah ketempat daerah baru yang dianggap aman. Pada suatu saat kepala Kampung memerintah masyarakatnya agar mereka berkumpul guna mengatur bagaimana caranya supaya bisa meninggalkan pulau Anus. Dalam pertemuan dihadiri pula oleh seorang wanita yang sudah tidak berbapa ·dan beribu. Wanita yang hadir dalam pertemuan bernama ”Yafda”. Tercapailah suatu kesepakatan demi keselamatan dan ketentraman penduduk secara menyeluruh harus segera meninggalkan daerah pulau Anus. Mereka ada yang akan kembali ke Sarmi dan ada pula yang menuju kedaerah Besaf. Keesokan harinya semua keluarga telah bersiap untuk berangkat. Yafda pun telah berangkat dari rumahnya hendak pergi mengikuti jejak orang-orang yang akan meninggalkan pulau Anus. Malang bagi Yafda karena telah ditinggal oleh kawan-kawannya. Yafda akan berangkat sendiri tidak mungkin karena perahunya sangat kecil dan hanya dapat memuat dua orang penumpang serta perahu tersebut tidak sanggup mengarungi lautan yang begitu luas. Sebenarnya dalam diri Yafda masih senang tinggal dipulau Anus, karena orang tuanya meninggal dipulau tersebut. Yafda berkeinginan untuk meninggalkan pulau Anus dikarenakan bila ia tidak mengikuti jejak kawan-kawan yang lain berarti ia hanya tinggal sendirian dipulau Anus atau kemungkinan yang lain ia harus mati menjadi mangsa Matiruwu. Yafda terus berjalan disepanjang pantai dengan harapan dapat menjumpai kawan-kawan lain yang kemungkinan belum berangkat. Dari jauh Yafda melihat orang mendorong perahu kepantai. Yafda seakan-akan melonjak kegirangan sebab bayangan untuk pergi terbayang nyata. Bekal selama perjalanan dan barang-barang bawaan yang tadinya terasa berat seakan-akan terlepas. Yafda bergegas menemui orang tersebut seraya berkata ”Bapa, bolehkah saya menumpang”. ”Perahu kami terlalu kecil dan hanya mampu memuat keluarga kami nak” Yafda meminta belas kasihan kepada orang tersebut serta berkata :
”Kalau begitu biarlah barang-barang saya tidak usah dibawa dan kami menumpang orang saja”. Jawab orang tua tersebut : ”Anak, lihatlah dalam perahu ini. Bapa tidak membawa barang apapun, bapa hanya membawa serta keluarga, segala keperluan rumah tangga kami tinggalkan demi keselamatan dijalan.
Jalanlah ikut pantai ini barangkali anak anak menemukan orang lain yang sanggup menolongmu”.
Yafda kemudian menangis sebab harapan untuk hidup lebih lama semakin menipis. Ia berjalan menyusuri pantai dengan harapan agar ada orang yang membantunya. Sampai tengah hari Yafda tidak mendapatkan seorangpun. Yafda menemui rumah-rumah penduduk sudah kosong. Akhirnya Yafda kembali kerumahnya dengan penuh kesedihan . Dalam fikirannya penuh kebingungan serta bergelimang rasa ketakutan yang mencekam, maut menghantui dirinya tanpa berkesudahan. Yafda meminta kepada Dewata agar diberikan kekuatan dimasa-masa mendatang. Yafda memutuskan untuk segera meninggalkan rumah mencari tempat perlindungan yang lebih aman. Yafda berjalan kearah timur, dalam perjalanan tersebut dari arah kejauhan melihat sebuah batu yang sangat besar. Dalam hati Yafda sangat kawatir jangan-jangan Matiruwu berada dibalik batu-batu yang dilihatnya. Yafda bertekad untuk segera menghampiri batu tersebut. Ia melihat sebuah goa yang besar ditengah-tengah batu. Dalam khayalannya Yafda menaruh kepercayaan bahwa Matiruwu berdiam dalam goa batu. Yafda berdoa kepada dewata agar diberi kekuatan iman sehingga ia selamat dalam perjalanan hidupnya. Yafda seperti mendapat kekuatan baru , rasa takut tidak lagi menghantui dirinya. Yafda terus menuju ke goa serta goa tersebut dibersihkan untuk berteduh. Malam telah tiba, dikeheningan malam inipun Yafda tidak merasa gentar terhadap apa saja yang akan terjadi. Jiwanya diserahkan sepenuhnya kepada dewata . Malam telah berlalu dan Yafda tetap tidak mendapat gangguan apapun. Ia mulai menetapkan untuk tetap tinggal di goa. Yafda membersihkan goa, sekeliling goa diatur lebih rapi. Yafda kembali kepondoknya untuk mengambil makanan dan perabot yang diperlukan untuk dibawa didalam persembunyiannya. Ia memotong kayu untuk memagari goa agar binatang buas maupun Matiruwu tidak menyerangnya. Sebulan telah berlalu serta pagar pun telah selesai dibuatnya. Tidak disadari bahwa diri Yafda ada suatu perubahan yang sangat aneh. Yafda meyakinkan dalam dirinya bahwa ia sedang hamil. Tetapi kehamilan tersebut sangat merisaukan hati karena tidak mengetahui siapa sebenarnya lelaki yang bergaul dengannya. Yafda bertanya dalam dirinya sendiri : ”Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini ? Dewatakah yang menghendaki” Yafda sudah tidak sanggup lagi bekerja keras karena kandungan telah bertambah besar. Yafda sangat takut karena hamil yang dialaminya tidak seperti perempuan lain. Yafda merasakan bahwa perutnya sangat besar, berdiripun susah apalagi bekerja. 11 bulan lamanya Yafda baru melahirkan dua ·orang putera kembar tersebut diberi nama Viton dan Mansi. Yafda sangat senang, kedua anak ini dibesarkan dengan penuh kasih sayang yang tiada terbatas.
Satunya-satunya harapan bagi Yafda kelak bisa membantu ibunya utk. mencari Matiriwu serta membunuhnya. Yafda mendidik anaknya dengan penuh keyakinan bahwa Viton dan Mansilah yang kelak akan melepaskan ibunya dari cengkeraman Matiruwu.Yafda tetap beranggapan bahwa : Matiruwu yang membuat Yafda terlepas dari kawan-kawan yang lain, sehingga kebencian Yafda terhadap Mitiriwu sudah tidak dapat dibayangkan lagi. Viton dan Mansi kian bertambah besar dan sudah bisa lancar berbicara.
Suatu malam sebelum tidur Viton tanya kepada ibunya: ”Ayah dimana bu” ”Ayahmu adalah seorang dewa ia tidak ada disini”. Yafda mulai menceriterakan kepada anak-anaknya mula kejadian sampai ibunya terasing dari kawan-kawan yang lain. Yafda menceriterakan tentang binatang buas pemakan manusia yang bernama Matiruwu. Viton dan Mansi mulai mendesak kepada ibunya agar Matiruwu segera dibunuh. Melihat keinginan dan keberanian anak-anaknya Yafda mulai melatih anak-anaknya memanah, menombak, serta mencari ikan dilaut. Semula Yafda tidak pergi mencari ikan dilaut. ia hanya hidup berkebun. Viton dan Mansi kian bertambah cerdik serta telah meningkat dewasa. Yafda mulai mengatur siasat untuk membunuh. MaflruWiiXafda memerintahkan anak-anaknya untuk membuat pagar mengelilingi pulau anus. Pekerjaan yang sangat berat ini dilakukan oleh Viton dan Mansi idak memakan tahun. Pagar ini dimaksudkan agar Matiruwu tidak bisa lolos dari pulau Anus. Viton dan Mansi menyiapkan busur dan anak panah yang cukup banyak untuk menghadapi binatang buas yang telah menghukum ibunya. Yafda berkata kepada kedua anaknya :
”Besok kita mulai penyerangan terhadap binatang tersebut. Dewa telah membisikkan kepadaku dimana Matiruwu berada. Besok kita akan melihat tempat persembunyian binatang tersebut. Aku ingatkan bahwa Viton dan Mansi harus selalu siap siaga menjaga kemungkinan binatang tersebut menerkam. Apabila kami sudah sampai ditempat dimanaMatiruwu tinggal kamu berdua tidak boleh berpisah. Saya akan mengetuk pohon-pohon disekeliling tempat persembunyian Matiruwu. Bila pohon itu telah kuketuk kamu berdua harus segera siap dengan senjata yang ada. Bidiklah secara kilat, cepat dan tepat sehingga Matiruwu tidak ada kesempatan untuk menerjang kalian.
Binatang tersebut tidak perlu diberi ampun sebab telah banyak orang-orang yang mati menjadi mangsanya. Nah sekarang beristirahatlah”. Keesokan harinya Yafda beserta kedua anaknya mulai masuk hutan menuju ketempat persembunyian binatang yang aneh ini. Yafda mulai memberikan isyarat bahwa tempat persembunyian Matiruwu sudah kelihatan, dengan penuh waspada mereka mendekat dan Yafda mengetuk pohon yang ada disekitar tempat persembunyian,. Matiruwu mulai mengeram dan keluar dari tempat persembunyian. Kesempatan yang paling bagus ini segera digunakan oleh Viton dan Mansi. Matiruwu diserbu panah dan tombak tanpa diberi kesempatan untuk melawan.
Matiruwujatuh terkulai dengan nafas yang tinggal satu-satu. Sebelum binatang tersebut mati mengeluarkan suara keras memanggil Yafda katanya: ”Yafda ... Yafda, sebelum saya mati sampaikan kepada anak-anakmu , ambillah tulang-tulangku ini untuk tiang rumah dan bulu-bulu badanku pakailah sebagai atap rumah”. Yafda melakukan sebagaimana pesan Matiruwu. Viton dan Mansi mengerjakan apa yang dipesan oleh, Matiruwu. Beberapa tahun kemudian melalui para nelayan yang kebetulan singgah dipulau Anus mendapatkan suatu berita bahwa Matiruwu telah mati. Kematian Matiiruwu membuat kejutan bagi orang-orang yang telah mengetahui sejarah pulau Anus. Sekelompok orang-orang tuapun masih ingat samar-samar wajah dari Yafda. Sejak kematian Matiriwu pulau Anus mulai dihuni oleh orang-orang seperti sediakala. Rumah yang dibuat dari tulang dan bulu Matiruwu sampai bertahun-tahun lamanya dianggap sebagai rumah keramat. Suatu ketika Viton dan Mansi bertengkar, pertengkaran tersebut mengakibatkan bahwa kedua bersaudara tersebut harus berpisah. Mansi menuju kedaerah Pulau Anus bagian barat. Sampai saat sekarang sebagian besar penduduk dipulau Anus menganggap bahwa nenek moyang mereka adalah Viton, Mansi dan Yafda.
Demikian ceritera Matiruwu dan Yafda dari pulau Anus daerah Sarmi kabupaten Jayapura.
7. M A M B R I
Di daerah kabupaten Manokwari, tepatnya di pulau Roon termasuk daerah kecamatan Wasior terdapat suatu kampung yang dinamakan Wamasirai.
Masyarakat di daerah pulau Roon masih menyembah berhala. Mereka menyembah kepada batu-batu besar, binatang-binatang dilangit, pohon-pohon yang rindang serta hantu-hantu di laut. Pertengkaran dan peperangan antar suku masih banyak terjadi, penangkapan-penangkapan budakpun merupakan hal yang biasa. Dari penangkapan budak inilah biasanya timbul peperangan yang banyak menimbulkan kurban. Kemenangan dalam peperangan ditandai dengan bunyi triton·. Disaat itulah istri-istri menyambut kedatangan suami dengan penuh gembira dan berpesta pora merayakan pesta kemenangannya. Bjla peperangan tiba dan jatuh kurban dipihak lawan, lawan merayakan pesta kemenangan khusus dalam suatu upacara pesta pembakaran mayat Pesta pembakaran mayat ada dua macam, yakni pesta kemenangan dan pesta perpisahan.
Pesta perpisahan ialah pesta pembakaran mayat kawannya sendiri yang mati karena peperangan. Dalam pesta ini cukup mengharukan karena ratap tangis keluarga yang ditinggalkan. Dalam kesempatan yang sama keluarga yang ditinggalkan merasa gembira dan bahagia karena dewata telah menempatkan arwah si kurban kesisinya. Mati dalam peperangan adalah mati yang diidamkan-idamkan oleh sekelompok masyarakat pulau Roon dimasa itu. Pesta Kemenangan juga diadakan pembakaran mayat apabila mayat lawannya sempat diangkut sebagai tanda bukti kemenangan. Mayat lawan tersebut dibakar, dalam api unggun yang besar masyarakat berpesta pora mengelilingi daerah perapian. Diantara ribuan penduduk yang masih terbelakang peradabannya muncullah seorang lelaki pemberani lagi pintar dalam bidang kesenian. Laki-laki tersebut bernama Mambri ia berasal dari kampung Wamasirai. Kepintaran diperoleh dari usaha mata pencaharian pokok sebagai seorang nelayan. Pada suatu saat Mambri mengajak kawan-kawannya untuk berlayar mengarungi pulau-pulau disekitarnya guna mencari ikan; Ajakan Mambri diterima oleh teman-temannya. Pada suatu hari teman-teman Mambri berjum lah 10 orang berkumpul dirumah Mambri untuk membicarakan rencana perjalanannya. Mereka menyiapkan sebuah perahu yang diperkirakan dapat menampung 11 orang beserta perbekalannya. Disamping perahu yang cukup besar disiapkan pula sampan-sampan kecil guna mengadakan operasi penangkapan ikan. Perahu-perahu yang besar semacam ini oleh penduduk kampung dinamakan Maura. Ialah perahu perang atau perahu samudra. Setelah semua perlengkapan tidak ada yang kekurangan Mambri memutuskan untuk segera berangkat meninggalkan kampung Wamasirai. Keberangkatan ditentukan sebelum fajar menyingsing mengikuti arah angin yang kebetulan menuju pulau-pulau yang akan diarungi. Sasaran utama Mambri beserta kawan-kawannya adalah pulau Matasi. Pulau Matasi adalah pulau yang terkenal dengan kawanan ikan yang banyak. Oleh karena itu penduduk didaerah pulau Roan mengatakan bahwa di pulau Matasi lah tempat tinggal Dewa Laut. Pada waktu malam jarang orang yang berani tinggal di pulau Matasi karena pulau Matasi dianggap sebagai pulau keramat. Setelah tiga hari perjalanan sampailah Mambri beserta kawan-kawannya di pulau Matasi. Banyak rintangan yang mereka hadapi gelombang laut yang kadang-kadang mengganas dapat diatasi dengan tabah. Di pulau Matasi Mambri beserta kawan-kawannya membuat pondok untuk menginap beberapa hari. Segala peralatan berburu dimasukkan kedalam pondok, layar diturunkan untuk disimpan dan perahu-perahu dinaikkan kedarat untuk menjaga kemungkinan gelombang pantai mengganas membuang perahu ketengah laut. Malam sewaktu Mambri beserta kawan-kawannya hendak tidur, sayup-sayup kedengaran suara orang sedang membawakan sebuah lagu pujian. Lagu tersebut sangat merdu dan mereka perkirakan bahwa ada orang yang sedang mencari ikan dipulau Matasi. Belum pernah Mambri beserta kawan-kawannya mendengar lagu yang indah seperti malam itu. Mereka berkeyakinan bahwa yang sedang bersenandung adalah seorang wanita. Malam itu tidak begitu gelap, cuaca cerah dan bintang bergemerlapan bagaikan terang bulan nampaknya. Diantara kawan-kawan Mambri mengatakan, bahwa suara itu adalah suara hantu laut, ada pula yang mengatakan suara dewa-dewi yang turun kebumi menikmati keindahan malam di bumi, apa pula yang mengatakan bahwa semuanya hanya dengar-dengaran, ada lagi yang mengatakan bahwa suara manusia yang memang berada di pulau untuk mencari ikan. Suara indah dan merdu makin lama sudah tidak kedengaran lagi. Mambri beserta kawan-kawannya tidur lelap karena terlalu capai. Pagi harinya Mambri mengatur kawannya dengan memberikan tugas 3 orang setiap perahu. Mambri sendiri memilih Waruer adik kandungnya untuk menemaninya. Sebelum Mambri beserta kawannya meninggalkan pondok/bivak darurat Mambri mengatakan kepada kawan-kawannya agar berdoa lebih dahulu, sebab tanah yang ia pijak adalah tanah baru baginya, apalagi telah melihat dan mendengar sendiri bagaimana keramatnya pulau Matasi. Mambri memimpin doa dan minta kepada dewata terutama dewa laut agar usahanya dapat selamat dan diberi hasil yang melimpah. Setelah selesai doa Mambri berpesan agar hasil-hasil yang diicapai sebagian disisihkan untuk keluarga mereka yang ditinggalkan. Mambri beserta kawannya mendorong sampan-sampan menuju kelaut serta berangkatlah mereka menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan. Sore belum tiba kawan-kawan Mambri telah kembali kepondok dengan membawa ikan yang cukup banyak. Mereka beramai-ramai mengasar ikan serta memakan ikan sepuas-puasnya. Malam hari telah tiba, suasana menjadi lengang hanya debur ombak dipantai yang sekali-kali memecah kesunyian malam. Mambri bersama kawan-kawannya mulai membaringkan diri karena hari telah larut malam. Pada malam kedua ini tidak secerah hari pertama. Bintang-bintang tidak muncul seluruhnya, Mambri masih sibuk meruncingkan alat-alat penikam dengan batu penggosok yang dibawa dari rumah. Tiba-tiba Mambri berhenti mengasah penikam karena mendengar lagu yang indah dan merdu memecah kesunyian malam. Mambri mulai mengorek kawannya yang paling dekat sambil berkata : ”Kawan adakah kau tadi siang ketemu seorang nelayan di pulau ini selain kelompok kita?”
”Kami tidak menemukan seorang pun” cobalah tanya kawan-kawan kita yang lain, barang kali ia menjumpainya, Mambri menanyakan kawan-kawan yang lain tetapi mempunyai jawaban yang sama. Mambri mulai berkata lagi : ”Adakah kau mendengar lagu yang indah dan merdu pada malam ini ? mendengar pertanyaan Mambri semua segera bangun. Kawan-kawan mambri mulai takut tinggal dipulau Matasi, ada yang mengatakan harus segera pindah dari pulau ini, ada pula yang mengatakan lebih baik pulang saja ke Wamasirai. Mambri mengatakan agar tidak perlu takut, itu adalah suatu cobaan dewata apakah kita semua sanggup menghadapi kenyataan yang ada. Apabila kita tahan menghadapi cobaan dewa atau dewi di pulau ini niscaya akan mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak. Besuk saya akan mencari orang yang membawakan lagu indah ini. Kawan-kawan Mambri mulai tidur kembali, hanya Mambrilah yang masih tetap meneruskan mengasah penikam. Tidak sadari dan karena terlalu capai Mambripun tertidur seperti kawan-kawan yang lain. Hari kedua dan ketiga tetap mendapatkan hasil yang cukup lumayan. Hanya Mambrilah pada hari ketiga merupakan hari yang sial. Matahari hampir terbenam Mambri dan Waruer belum juga datang. Mambri tidak mau kembali kepondok karena belum mendapatkan ikan seekorpun . Tiba-tiba mata Mambri nanar karena dikejutkan oleh gelombang ikan yang cukup besar tidak jauh dari tempat Mambri berkayuh. Segera Mambri memerintahkan adiknya untuk segera mempercepat lajunya perahu. Tepat pada putaran air laut tersebut Mambri melepas penikamnya dan mengenai sasaran. Terlihatlah oleh Mambri dan Waruer bahwa bukan ikan yang ia tikam melainkan penyu yang cukup besar. Lemparan Mambri mengenai tulang belakang penyu bagian ekor. Tidak lama kemudian penikam beserta pelampungnya dibawa penyu kebagian dasar laut.
Mambri dan Waruer merasa lega hatinya, ia menantikan timbulnya penyu kepermukaan air. Biasanya penyu kalau kena tikam langsung kedasar laut. Beberapa saat kemudian timbul kembali kepermukaan air karena adanya pelampung. Kegembiraan Mambri dan Waruer tidak dapat disangkal lagi karena memang seharian penuh tidak mendapatkan ikan seekorpun. Sebentar-sebentar Mambri menarik tali penikam tetapi masih tetap keras/tegang. Ketegangan tali menandakan bahwa pehikam tidak terlepas dari sasaran. Mambri menunggu sampai lama tali tetap tegangpenyupun tidak segera timbul kepermukaan air. Habislah kesabaran Mambri karena malam telah tiba. Mambri mencoba memberanikan diri dan berkata kepada Waruer. ”Warner saya akan menyelam mengikuti tali penikam ini kedasar laut” Sebenarnya Waruer tidak setuju pada keputusan Mambri karena hari sudah malam. Tetapi karena Mambn mengatakan bahwa kita belum mendapat upah kerja selama sehari suntuk bekerja maka Waruer pun tidak bisa berbuat apa-apa atas keputusan kakaknya. Mambri lalu menyelam kedasar laut. Waruer menunggu munculnya Mambri sambil menduka-duka penyu dapat di tarik kepermukaan air atau tidak.
Waruer heran akan pernapasan Mambri yang begitu kuat. Waktu cukup lama tetapi Mambri belum juga muncul. Waruer mulai kalut pikirannya, tali dltarik masih tetap tegang. Waruer mulai timbul pikiran yang bukan-bukan. Waruer mulai berteriak ”Mambri”. Berkali-kali Waruer memanggil, tetapi Mambripun tidak menyahut atau muncul kepermukaan air, Waruer mencoba menarik-narik tali penikam dengan cara apa saja toh tetap keras. Ia mendayung ke arah samping kiri, kanan, muka, belakang juga tidak merubah posisi sasaran. Ia memandang jauh kedepan mengamati dengan seksama juga tidak ada: tanda-tanda kemunculan Mambri. Akhirnya Waruer putus asa, ia menangis serta mengira bahwa Mambri dimakan oleh ikan besar yang buas.
Warner memotong tali penikam lalu berdayung pulang menyampaikan berita duka kepada kawan-kawannya. Dengan tenaga yang masih ada Waruer mempercepat kayuhannya agar sampai ditempat kawan-kawannya. Sambil menangis Waruer menyampaikan berita kehilangan. Suasana yang cukup ramai dikala itu segera menjadi sedih. Pada saat itu juga Waruer bersama kawan-kawannya menuju ketempat dimana Mambri menyelam. Langit cukup cerah sehingga malam tidak begitu kelam. Semalam suntuk mereka mencari tetapi tidak seorangpun mendapat. Pagi hari Waruer bersama kawan-kawannya telah berkumpul di pondok, mereka memutuskan untuk mengutus dua orang kawannya pulang ke kampung guna memberitahukan kehilangan Mambri. Sedangkan delapan orang tetap tinggal di pulau Matasi mencari Mambri. Segera tersebarlah berita hilangnya Mambri keseluruh kampung Wamasirai. Dukun-dukun dan para orang tua mulai mencari tahu kemungkinan hidup tidaknya Mambri. Dari para dukun mengatakan bahwa Mambri diambil oleh Dewa Laut, ia tidak mati tetapi orang tua Mambri sendiri tetap bersikeras bahwa Mambri belum mati dan masih ada dipulau Matasi. Segera orang tua Mambri beserta semua saudaranya dengan diikuti oleh penduduk kampung yang lain beramai-ramai ke pulau Matasi untuk mencari Mambri.
Pertemuan antara Mambri dan Suandei.
Disaat Mambri menyemam kedasar laut untuk mengambil penyu yang diperkirakan telah mati kena tikam, Mambri sangat terkejut karena melihat penikamnya dihimpit oleh seorang putri dibagian ketiak sebelah kanan. ”Jangan terkejut Mambri” Mambri terbungkam mulutnya serta heran karena putri laut ini telah mengetahui namanya. Putri laut mendekati Mambri sambil berkata : Namaku Suandei, akulah yang tadi kau tikam dan inilah penikamnya. Ambilah aku sekarang. Aku adalah putri raja laut dan aku mempunyai kerajaan yang sangat indah, sebentar kita berdua akan berkeliling menyaksikan panorama laut yang sangat indah. Kau tidak akan menderita disini, apa yang kau kehendaki semua telah kusiapkan. Dikerajaanku ini kau tidak bisa mati sebab kau telah kuberi pernapasan lain yang tidak terdapat pada manusia diatas bumi. Putri raja laut memegang tangan Mambri. Aku senang kau Mambri. Oleh karena itu aku berubah menjadi penyu agar kau menikamku. Aku berbuat begitu karena aku yakin bahwa kau pasti akan mencari aku sebab kau orang yang gagah berani. Belum pernah aku melakukan pekerjaan ini, dan hanya padamulah hal ini kulakukan sebab kau pantas jadi suamiku. ”Mambri sudah tidak takut lagi kepada Suandei. Suandei menggandeng tangan Mambri seraya berkata : Marilah kita meninggalkan tempat ini, kita melihat tamanku yang sangat indah. Ada banyak pintu yang harus kita masuki agar kau me rasa senang tinggal disini. Akan kutunjukkan kepadamu kebutuhan-kebutuhan manusia di bumi dan kau boleh memilikinya asal kau berjanji untuk mengawiniku”.
Kepada Mambri, menunjukkan dan memberikan penjelasan tentang ilmu-ilmu kepintaran seperti mengukir, menyanyi dan banyak lagi ilmu-ilmu lain. Mambri dibawa masuk keistananya. Mambri sangat heran melihat segala sesuatu serba indah bergemerlapan bagaikan intan nampaknya. Suandei berkata : ”Mambri telah kusediakan padamu rumah yang bagus. Pembantu-pembantuku akan siap setiap saat melayani apa keperluan kita.
Kau jangan segan-segan memerintah orang-orang ini semua dan jangan memikirkan keadaan dibumi lagi, ini semua adalah milik kita berdua”.
Sampai dikamar tidur Suapdei, Suandei memerintahkanMambri agar tetap tinggal dikamar. Suandei akan menemui orang tuanya untuk menyampaikan berita bahwa ia telah menemukan lelaki idamannya. Disaat Suandei meninggalkan Mambri, Mambri mulai timbul pemikiran untuk kembali kekampung halamannya sebab ia takut kalau nanti berubah menjadi penyu.
Mambri segera mengambil keputusan meninggalkan kerajaan Suandei. Ia kembali melalui jalan yang ditunjukkan Suandei dan singgah di ruangan ilmu kepintaran. Karena jalannya tergesa-gesa Mambri hanya sempat mengambil ilmu menyanyi, ilmu mengukir dan melukis. Setelah Mambri mendapatkan ilmu yang dianggap cocok untuk dirinya, Mambri segera meninggalkan kerajaan, ia sampai dipermukaan air laut serta berenang sekuat tenaga agar segera sampai didaratan. Sampai didarat Mambri bingung serta perasaan takut mulai timbul karena Mambri tidak menemukan kawan-kawannya serta pulau yang didiami bukan pulau lain yang belum pernah diinjak. Sore menjelang tiba, tidak ada pula tanda-tanda pulau yang ditempati dihuni manusia. Mambri membayangkan keheningan malam yang hampir berlalu. Dalam hati Mambri meyakinkan bahwa Suandei pasti akan mencarinya, hatinya gelisah kemudian memohon ampun dan bantuan dewata agar menolong hidupnya. Suandei selesai berdoa dari arah kejauhan datang dua buah perahu. Suandei memanggil keras-keras, setelah dekat orang-orang yang dalam perahu tersebut berteriak: Mambri, Mambri. Kedua belah pihak merasa sangat gembira karema masing-masing telah mendapatkan yang mereka cari. Dua buah perahu tersebut adalah perahu Mambri yang dipakai kawan-kawannya mencari ikan dipulau Matasi. Sedangkan yang mengemudikan adalah kawan-kawan sekampung yang memang sengaja mencari hilangnya Mambri. Orang-orang kampung tersebut mengatakan bahwa telah mencari Mambri 7 hari lamanya. Pulau dimana Mambri ditemukan bernama pulau Nyoing, serta pantai dimana Mambri ditemukan bernam a pantai Nu Irang atau pantai Jarung Rempi. Mambri segera dibawa ketempat kawan-kawannya dimana orang tuanyapun sedang menunggu kembalinya Mambri. Maka bersuka citalah malam itu sampai pagi. Mambri menceritakan pengalamannya selama pergi, semua merasa heran dan bangga atas keberanian Mambri. Mambri memutuskan agar segera meninggalkan pulau Matasi dan Nu Irang sebab khawatir jangan sampai Suandei mengejarnya. Esok harinya Mambri beserta orang tuanya dan semua kawan-kawannya pulang ke pulau Roon. Sampai di pulau Roon mulailah Mambri mengajar menyanyi dan mengukir kepada penduduk kampung Wamasirai. Lagu-lagu yang diajarkan oleh Mambri adalah lagu yang biasa dinyanyikan oleh putri raja laut.
Lagu-lagu inilah yang setiap malam didengar oleh Mambri beserta kawan-kawannya sewaktu berada dipulau Mansi. Ternyata yang menyanyikan bukan manusia biasa, melainkan putri raja laut yang benama Suandei. Dengan lagu-lagu dari putri raja kaut inilah sampai saat sekarang orang-orang tua didaerah Pulau Roon, Waisor, Serui membawakan lagu-lagunya dalam pesta-pesta adat. Kepandaian membuat suatu ukiran pun masyarakat pulau Roon tetap berkeyakinan bahwa titisan kepandaian dari dewi laut Suandei.
Demikianlah ceritera Mambri yang sampai saat ini merupakan ceritera yang dikatagorikan cukup meluas tersebar di daerah Kabupaten Manokwari Nabire dan Serui.
8. R I W A Y AT BURUNG KASUARI
(SUWARE ASNA)
Ada seekor burung kasuari, namanya Saikukumen. Saikukumen punya anak manusia bernama Aikukumen
Ia tinggal di pinggir kebun Damiwai (Ondoafi - Kepala Kampung). Ia suka mencari makanan, memetik buah-buah ubi yang tumbuh di pinggir pagar.
Saikukumen jalan di pinggir kebun keliling. Serta dia minum air kolam dimana terdapat air seni (Bapak) Damiwai. Kemudian Saikukumen menjadi hamil.
Waktu Saikukumen sudah melahirkan seorang bayi (manusia) lalu dikasih nama Aikumen. Keduanya hidup bersama di pinggir kebun Bapak Damiwai.
Mereka memetik buah-buah ubi dan buah-buah kayu. Sesudah selesai makan mereka pulang ke sebuah lobang batu.
Aikumen kemudian sudah menjadi seorang gadis remaja.
Saikukumen memberitahukan kepada Aikumen tidak boleh jalan ke timur ke barat, tapi harus dekat-dekat saja, jangan jauh-jauh. Nanti Damiwai akan melihat kamu dan akan menangkap kamu.
Pada suatu hari Damiwai jalan dipinggir kebun serta menemukan bekas-bekas kaki Aikumen di tanah. Begitu ia lihat tanda kaki Aikumen ia kasih tahu Si Matabuta penjaga kebun, supaya baik-baik jaga kebun. Sebab curiga ada orang masuk kebun.
Kemudian Si Matabuta petik daun pisang, terus ia menutup badannya sendiri sambil jaga kebun . Si Matabuta itu bernama Doubise Boewai.
Suatu waktu Saikukumen dengan Aikumen masuk ke kebun, memetik buah-buah dan buah kayu dan mereka makan. Aikumen masuk ke dalam kebun, lalu begitu Si Matabuta melihat ia gemetar melihat Aikumen yang cantik .Tidak lama lagi Mamanya memanggil : ”kuk, kuk, kuk”. Lalu Aikumen ke luar kebun lalu keduanya pulang ke lobang batu .
Si Matabuta pergi ke kampung memberitahukan sama Bapak Damiwai. Setelah itu. Damiwai memerintahkan rakyatnya untuk datang jaga di kebun.
Katanya ”Jika ada anak perempuan Aikumen harus ditangkap dan bawa kemari”.
Mereka semua sudah mengurung kebun sambil menutup badannya masing-masing dengan daun pisang. Doubise Boewai menjaga jauh dari kebun dan menggali lobang di tanah dan bersembunyi.
Waktu Si Matabuta sembunyi di lobang orang-orang kampung mulai membuntuti Aikumen. Aikumen lari kearah gunung dan begitu sampai di lobang Si Matabuta menangkap kaki Aikumen.
Sesudah itu dibawa ke kampung diberikan kepada Damiwai. Kemudian Damiwai dan Aikumen menjadi suami isteri.
Mama Kasuari, Saikukumen sesudah tertangkap anaknya jadi marah. Terus lari ke gunung. Saikukumen berjalan lewat bukit Koko, bukit ke dua Koyau, bukit ke tiga Bongkiko melewati Sper butu-butu (bukit Genemo).
Dia tidur di bawah daun-daun nibung dan daun-daun lebar, daun eliparebu (daun kasuari).
Jadi sekarang Damiwai punya isteri dua orang, Wambo yang pertama dan isteri ke dua adalah Aikumen sendiri. Mereka sekarang hidup bersama, jalan bersama.
Kemudian Aikumen melahirkan dua orang anak laki-laki (kembar). Yang pertama bernama Nikowai yang ke dua Kokiwai.
Anak-anak dari isteri pertama dan anak-anak dari Aikumen sering bertengkar dan mengeluarkan kata-kata, seperti : ”Kamu punya mama asal dari lobang kasuari dan lobang babi”.
Dengan perasaan sedih dan malu Aikumen sudah tak bisa bekerja tenang lagi di rumah tangganya.
Suatu hari anak-anak Aikumen pergi ke hutan untuk ambil kayu bakar. Setelah mereka dapat kayu datanglah saudara tirinya: dan merampas kayu. Lalu membuangnya lagi, kemudian anak-anak Aikumen dipukuli .
Sambil menangis kedua anak itu kasih tahu sama mamanya.
Pada suatu hari lagi semua anak-anak pergi ke mata air untuk menimba air. Anak-anak yang tua sudah dapat air bersih. Kemudian setelah dapat air mereka sengaja membikin mata air jadi keruh. Kemudian Nikowai dan Kokiwai datang untuk menimba air juga. Tapi airnya sudah kotor. Sesudah diberikan air itu kepada Ibunya (Aikumen), ia tanya : ”Kenapa kamu ambil air yang kotor ? ”Keduanya menceriterakan bahwa saudaranya (yang tiga orang) yang bikin air jadi kotor.
Aikumen merasa marah, sedih, kecewa dan ia ingin melarikan diri dengan kedua anaknya.
Damiwai melihat Aikumen tak mau bekerja dan selalu menangis marah dan memikirkan apa sebabnya. Tapi Aikumen tidak mau menceriterakan hal yang sebenarnya.
Maka Aikumen (malah) dimarahi oleh suaminya. Lalu ia berniat melarikan diri dengan kedua anaknya dan mencari ibunya (Saikukumen).
Suatu waktu Aikumen bikin papeda, lalu memanggil anjingnya datang untuk diberi makan, lalu ia kasih tahu (sama anjingnya) Besok pagi kamu sama Bapak (Damiwai) pergi ke hutan, cari babi yang besar. Kalau kau lihat babi besar kau harus menggonggong dan mengejar sampai lewat tiga bukit dan tiga lembah. Sesudah itu kau harus kembali dengan meninggalkan Bapak Damiwai sama babi.
Babi dan Bapak tinggalkan di hutan setelah itu engkau lari kerumah.
Setelah anjing tiba di rumah, Aikumen ambil abu, lalu menaburkannya dimuka tangga rumah. Lalu Aikumen bikin tanda jejak kaki, diatas abu. Sesudah itu kedua anaknya juga bikin tanda kaki. Juga anjingnya turut.
Setelah selesai semua bikin tanda kaki mereka berangkat ke gunung.
Lalu Damiwai di hutan tidak dengar suara anjingnya dan ia memanggilnya, tapi anjing tidak menyahut. Damiwai menyangka bahwa anjingnya menipu dia. Kemudian Damiwai pulang ke rumah dan melihat mereka sudah tak ada di rumah. Terus Damiwai mengejar dari belakang.
Sambil panggil-panggil Aikumen, maksudnya agar anjing kermbalikan dan engkau (Aikumen) cukup bawa dua anak saja. Kalau tidak engkau kasih kembali anak satu dan engkau satu dgn. anjing
”Ini anak dari perut kasuari dan perut babi kau punya anak semua ada di kampung”, Aikumen berseru.
”Kenapa engkau menyesal, lebih baik kau pulang ke kampung”.
Aikumen balik: muka ke laut (turun) lalu dia menangis, katanya Lagi : ”Sebenarnya saya ingin terus tinggal bersama suami, supaya saya bisa mengusahakantanah yang subur dan saya bisa
makan segala ikan dan segala babi”.
Lalu Damiwai meminta kepada Yang Maha Kuasa Alam buat menutup jalan Aikumen, agar Aikumen jangan meneruskan lari. Kemudian alam ditutupi salju dan kabut sampai Aikumen tidak terus berjalan.
Kemudian pembalasan Aikumen membuat alam Yang Kuasa dengan bikin duri-duri rotan yang terhampar di depan jalan Damiwai. Dan Damiwai tak bisa meneruskan perjalanannya dan ia kembali ke kampungnya.
Anjing kembali sesudah mengantarkan Aikumen dan ia pulang ke kampung Damiwai. Aikumen panggil-panggil Mama Kasuari. Tapi Kasuari lainnya pada datang dan memberitahukan kepada Aikumen. ”Sedikit lagi engkau akan sampai di tempat kaupunya Mama.
Sedikit lagi jalan, sesudah dekat tempat mama kasuari, Aikumen memanggil lagi.
Begitu Saikukumen dengar suara anaknya memanggil, terus lari sampai-sampai apa yang ia lalui dia tabrak. Dan bertemulah Saikukumen dengan Aikumen dengan dua orang cucunya.
”Kenapa kamu bawa cucu dua ini ke mari ? ”. Aikumen jawab . "Karena saya dihinakan, bahwa saya keluar dari perut kasuari dan perut babi”.
”Damiwai punya anak yang memaki-maki kami maka itu saya dengan kedua anak ini lari datang sama Mama”.
Setelah mereka tinggal dengan Nenek Kasuari. Mama Aikumen bikin panah buat anaknya.
Kedua anak itu pergi ke hutan membawa panahnya {jubi) mencari babi atau kusu-kusu. Tiba-tiba mereka dapat memanah cicak tanah sampai mati.
Terus dibawa pulang ke rumah. Kasih tunjuk sama mamanya.
Lalu mama kasih tahu, binatang ini tidak boleh dimakan.
Suatu waktu Nikowai dan Kokiwai jalan sedikit jauh. Lalu yang berupa nenek kasuari datang ketemu kedua anak. Tetapi begitu Nikowai mau tembak kasuari, tiba-tiba adiknya merampas panah, lalu kasih peringatan : ” Jangan panah dia itu nenek kita”.
(Sewaktu di rumah) datang kasih tahu nenek, tadi kami ketemu sama nenek di hutan”. Nenek jawab ”Nenek tidak pergi ke mana-mana, saya ada di rumah. Nenek kasih tahu buat besok, kalau kamu orang menemukan kasuari boleh panah dan langsung bunuh".
Suatu waktu kedua anak pergi berburu ke hutan. Tiba-tiba neneknya sendiri lewat ke depan mereka. Tanpa diketahui bahwa ia itu adalah neneknya sendiri, langsung mereka panah dan matilah.
Sesudah Saikukumen terbunuh (dan Aikumen sedang berada di rumah) tiba-tiba tangannya berdarah (darah Ibunya), Aikumen kaget.
Begitu kedua anak datang di rumah langsung Aikumen tanya ”Kamu orang bikin apa di hutan.” Tapi anak-anak itu tidak menjawab pertanyaan ibunya.
’Kamu orang sebenarnya telah bunuh nenekmu di hutan. Sekarang kamu harus angkat nenek dan bawa ke rumah.
Atas dasar petunjuk mimpi Aikumen. Kedua anak itu mengangkat burung kasuari dan dibawa pulang ke rumah, lalu dipotong untuk dimakan.
Setelah dipotong maka bulu-bulunya dicabuti dan dikumpulkan menurut bagian-bagian badan . Bulu-bulu yang tumbuh di kepala dan leher jadi satu bagian, kemudian masing-masing bulu pada dada sampai paha dikumpulkan tersendiri, yaitu pada daun kelapa yang dianyam (namanya ; kakiri).
Sesudah itu kakiri yang sudah berisi bulu-bulu digantung dipinggir pondok mereka.
Begitu mereka tinggal, pada malam harinya, turun hujan lebat, guntur dan kilat berganti-ganti .
Guntur menyebabkan. terkumpul kayu-kayu. Kilat menyebabkan sebuah rumah jadi terbangun dan angin membikin bersih halaman-rumah tersebut.
Pagi-pagi mereka keluar melihat keadaan tempat yang sudah berubah. Mereka heran sekali akan keadaan yang tiba-tiba lain. Semalam-malaman selama hujan lebat mereka tidur nyenyak ternyata besoknya telah berdiri sebuah rumah bagus yang siap untuk dipakai. Di dalamnya sudah lengkap dengan perabot-perabot yang diperlukan. Pekarangannya sudah penuh dengan bunga-bungaan yang indah. Dan merekapun dapat mencium keharuman bunga-bunga itu. (Kemudian mereka sekarang bertempat tinggal di rumah baru).
Pada suatu waktu, Aikumen dengan kedua anaknya pergi ke dusun untuk menokok sagu. (Apa yang terjadi di rumah ?). Bulu-bulu kepala turun lalu memanggil bulu-bulu lainnya. Kesemua bulu-bulu itu menjadi manusia. Mereka menari-nari dipekarangan sehingga pohon-pohon bunga menjadi rusak. Kemudian mereka masuk rumah dan menghabiskan makanan yang disimpan oleh Aikumen.
Sewaktu Aikumen dengan anaknya datang ke rumah pada siang harinya, orang-orang yang lagi ”berpesta-pora” itu menciumnya dan dengan cepat bulu-bulu kepala memerintahkan bulu-bulu lain untuk masuk kembali ke tempathya masing-masing.
Begitu Aikumen dan anak-anaknya melihat keadaan pekarangan rumahnya rusak mereka sangat heran.Pikimya :”Siapakah gerangan yang merusak tanaman dan juga yang menghabiskan makanan simpanan ?”.
Mereka berunding dan memutuskan agar Kokiwai tinggal saja di rumah untuk meneliti siapa yang telah berlaku jahat itu sedang lainnya dapat pergi ke hutan.
Setelah sampai pada saatnya Kokiwai yang tinggal di rumah berhasil menyaksikan bulu-bulu kepala keluar dari tempatnya dan berubah jadi manusia yang kemudian memanggil bulu-bulu lainnya. Sehingga semuanya keluar dan berubah menjadi manusia. Mereka memetik bunga-bunga untuk hiasan badan sarnbil menari-nari. Kemudian orang-orang yang dari bulu-bulu kepala masuk rumah mencari makanan-makanan sisa.
Mari kita memperkembangkan jiwa. Supaya tempat (kampung) ini dipenuhi oleh manusia. Agar tempat ini dari timur sampai barat dipenuhi manusia” .
Demikian sejarah Suwamilena.
9. M U M I
DIKAMPUNG AIKIMA
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Daerah Tingkat II Jayawijaya banyak ditemukan hal-hal yang aneh-aneh terutama sekali yang sangat menonjol adalah dibidang Kebudayaannya. Dan hal ini banyak menarik perhatian dari para wisatawan-wisatawan, baik yang dari Luar Negeri maupun dari dalam negeri. Dan perhatian mereka yang utama a.l.
Mumi di Kampung AIKIMA KECAMATAN KURULU KABUPATEN JAYAWIJAYA.
Sebenarnya Mumi atau mayat kering ini banyak terdapat didaerah Kabupaten Jayawijaya. Tapi yang sudah populer dikalangan masyarakat luar adalah Mumi dikampung Aikima. Sedangkan lain-lainnya belum bisa diungkapkan atau dipopulerkan karena menurut kepercayaan mereka sendiri bahwa mumi itu banyak menunjukkan kesakitiannya.
Tetapi lain halnya dengan Mumi yang ada di Kampung Aikima ini. Mumi ini sudah dikenal oleh masyarakat luas dan umum. Oleh karena itu secara bisnis sudah banyak mendatangkan keuntungan bagi si pemilik Mumi ini.
Mengapa, karena setiap person yang akan melihat mumi ini, terlebih dahulu harus membayar kepada penjaga ataupun pemiliknya. Penjaga sekaligus Pemiliknya bernama HULOLIK. Seorang Kep ala Suku yang turunannya juga dari Mumi ini. Sedangkan Mumi ini bernama WERAP SIEP. Namanya ini terungkap ketika penyusun mengumpulkan ceritera rakyat a.l. tentang Mumi ini.
Pada masa hidupnya, Werap Siep dikenal oleh masyarakatnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan sebagai orang yang pertama berkuasa didaerah Aikima. Beliau dikenal juga sebagai seorang yang paling jago berperang dan tidak pernah takut menghadapi musuh walaupun hanya sendirian.
Padahal setiap ada perang, pimpinan pasukan selalu ditangan Panglima Perang. Jadi semua perintah harus lewat panglima Perang. Tetapi Werap Siep tidak pemah mengikuti perintah panglima perang, dan selalu mendahului komando dari panglima perang. Setiap berperang ia selalu dimuka dan mendahului serta sendirian menyerang musuhnya, dan pasukannya selalu menyusul dari belakang. Tetapi kenyatannya walaupun demikian Werap Siep selalu dapat membunuh musuhnya lebih dahulu dan tidak pernah kalah dalam perang. Dengan keberanian dan kemahirannya didalam berperang semua musuh-musuhnya takut pada Werap Siep. Sedangkan masyarakat dari Kampung Aikima bersatu untuk mengangkat Werap Siep sebagai orang yang pertama menjadi Kepala Suku didaerah itu dan sebagai penguasa didaerah tersebut. Sebab syarat-syarat jadi seorang kepala suku a.l. pemberani dapat menyimpan rahasia, berwibawa dan lain-lain, semuanya dimiliki oleh Werap Siep. Pada masa hidupnya Werap Siep selalu berperang dengan suku SIOPKOS dari Kurulu yang sekarang kepala Sukunya bemama Obakharok. Sampai pernah suku ini mengungsi ke Apalapsili akibat serangan besar-besaran dari Werap Siep. Dan yang menjadi panglima perang pada waktu itu adalah bernama TEMALIPAK ELOSAK. Yang bersama-sama dengan Werap Siep pemimpin dan mengusir musuh-musuhnya yang datang mengacau daerah mereka di Aikima. Werap Siep sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh kepala Suku Hulolik adalah kepala suku yang pertama, sedangkan panglima perangnya adalah Temalipak Elosak.
Berkat keberanian serta kekuasaan dan kebesarannya mengabdi kepada masyarakatnya, maka Werap Siep ketika meninggal, tidak dibakar oleh masyarakatnya seperti kebiasaan mereka melainkan di keringkan dan kita sekarang kenal .dengan sebutan Mumi di Aikima. Kepala-kepala Suku besar lainnya yang berkuasa seperti Werap Siep adalah :
Kepala Suku Silo menguasai daerah Kimbin.
Kepala Suku Harareyak Alua menguasai daerah Musatfak.
Kepala Suku Tugulik Huby menguasai daerah Hubikiak.
Kepala Suku Sisu Lagowan menguasai daerah Mukokok.
Kepala Suku Wamnele Itlay menguasai daerah Pigima.
Kepala Suku Daak, Nuarik, Elusan, Henakoak menguasai daerah Tulem.
Kepala Suku Ukumeyarek, menguasai daerah Asolokobal/Hitigima.
10. TERJADINYA BULAN
Di jaman dahulu orang Yahudian (suku Mbahar, Rumakoi, Maraha) terkenal sebagai penokok sagu yang merupakan mata pencaharian mereka, disamping berburu, membuat kebun apatar dan meramu. Pada suatu hari ada suatu keluarga yang terdiri dari suami isteri dan dua orang anak laki-laki membuat kebun apatar (kebun ulat sagu). Beberapa minggu berselang mereka sekeluarga pergi mengumpul apatar (ulat sagu) dan apatar itu harus diasar.
Untuk keperluan mengasar apatar itu sang suami masuk hutan untuk mencari kayu bakar. Dan kayu yang baik untuk api adalah kayu dari pohon gomila (bah. Yahadian-Yahadian). Sewaktu sisuami membela kayu gomila itu tiba-tiba -- menemukan sebuah benda yang bentuknya bulat (seperti bola) yang memancarkancahaya terletak dalam lobang pohon gomila/Popoho.
Sang suami atau sang ayah dengan penuh kegirangan membawa pulang benda bulat yang bercahaya itu (Kuro). Sampai malam hari, keluarga tadi lalu berusaha menutupi setiap lobang dan cela pada dinding agar benda itu jangan ketahuan oleh penduduk kampung. Huro (benda bulat bercahaya) itu disimpan didalam sebuah tas yang dianyam dari daun pendan (tatumbu).
Akhirnya beberapa hari kemudian kehadiran benda aneh tersebut diketahui juga oleh penduduk kampung. Lalu penduduk kampung datang memohon agar benda terang itu sudi ditempatkan ditengah kampung untuk menerangi seluruh kampung , sedangkan pada siang hari huro disimpan dalam tatumbu.
Pada suatu hari sang ayah dan ibu (suami isteri) pergi ke dusun untuk mengumpulkan apatar sedang kedua anak mereka tinggal di rumah. Kedua anak Laki-laki itu lalu saling mengajak untuk mengeluarkan huro dari tatumbu, mereka lalu bermain dengan huro. Tiba-tiba huro mulai terangkat dan terus naik keatas, seluruh penduduk kampung yang ketika melihat kejadian itu berteriak-teriak dan berusaha untuk mengambil kembali huro.
Tetapi makin lama huro meninggi sehingga melewati tingginya pohon-pohon kelapa. Kedua suami isteri yang tiba kembali dari dusun ikut mengambil bagian dalam usaha mengembalikan huro, tetapi semua usaha tidak berhasil menurunkan huro yang kian meninggi. Sang ayah penemu huro menyuruh orang menebang pohon bambu yang disambung tinggi keatas agar mereka dapat memanjat keatas dan menarik kembali huro, malah ada yang melepaskan anak panah kearah huro agar huro sakit dan melepaskan diri jatuh kembali ke bumi. Si ayah memanjat pohon bambu yang disambung hingga mencapai huro (bulan) lalu ia meloncat masuk ke bulan tetapi malang baginya karena huro tidak jadi turun melainkan makin meninggi ke angkasa, si lelaki yang sial itu terbawa huro dan tak kunjung kembali ke bumi.
11. AMBORUARI YANG PIATU
Amboruari, adalah seorang anak piatu yang mendiami gunung Woriboi. Suatu ketika, ia merasa lapar lalu meninggalkan tempat kediamannya pergi memasuki kempung Wiridesi untuk meminta
makan kepada keret-keret yang berada di kampung tersebut. Satu demi Satu dari rumah-rumah keret itu ia datangi. Ia datang ke rumah keret Paduai dan menyatakan maksudnya tetapi karena
tubuhnya yang kurus dan berkoreng itu membuat keret Paduai merasa jijik kepadanya dan mengusirnya dari rumah. Begitu pula dengan keret-keret lainnya, seperti keret Parairawai, Marani, Kabiai, dan lain-lainnya mereka mengejeknya, menghinanya, katanya : ”Kau jalan naik-turun rumah untuk cari apa. Pergi !” Akhirnya, terpaksa ia pergi meninggalkan rumah-rumah dari tiap keret yang ia datangi. Lama ia berkeliling, sementara berpikir kemanakah gerangan ia boleh mendapat pertolongan. Ia melihat ke pojok kampung dan terlihat olehnya akan sebuah rumah yang belum ia datangi. Amboruari lalu mencoba mendekati rumah tersebut dan naik. Rumah yang ia datangi ini ternyata adalah rumah dari keret Karubui.
Melihat keadaannya yang begitu menyedihkan, lalu keret Karubui bertanya : ”Hai anak kasihan , dari mana dan hendak kemanakah kau? ”
Ambonruari lalu berceritera : ” Saya datang ke rumah-rumah dari keret Paduai, Marani, Parairawai dan Kabiai, tapi mereka menolak,mengusir saya !!
”Oh, kasihan ! mari, mari, naik kesini, anak ! ” Keret Karubui menyambutnya lalu memberi dia makan. Setelah ia makan ia lalu meminta diri (permisi) pulang kembali ke tempat kediamannya yaitu gunung Woriboi. Suatu ketika ia tak pernah mendengar lagi suara-suara orang kampung, tak ada lagi orang kampung yang pergi ke hutan mencari buah-buahan, dan lain-lain. Ia heran bertanya-tanya sama sendirinya :
”Mengapa kampung begini sepi, apakah ada terjadi sesuatu? Coba saya pergi menengok kampung !” Amboruari lalu bangkit berdiri memakai topinya dan memanggul tombaknya yang diberi nama ”Sotouri”, lalu meninggalkan gunung Woriboi, pergi ke kampung Windesi. Setelah ia sampai di kampung, tak seorangpun tampak. Hanya tinggal tiang-tiang rumah. Sedangkan atap dan dinding rumah telah dirusakkan oleh bencana. Melihat keadaan demikian Amboruari tercengang dan berkata: ”Aduh, kampung ini sudah bagaimana ?” Semua penduduk telah punah. Tetapi ada seorang nenek tua bersama cucunya perempuan yang masih hidup.
Oleh nenek, yang mendengar suara Amboruari, ia lalu berkata kepada cucunya : ”cucu, pergi beritahukan kepada pemuda yang berbicara itu. Jangan ia jalan-jalan. Lebih baik dia bersembunyi karena jika burung garuda itu melihatnya, maka ia akan di makan !!.
Ternyata, pembicaraan antara kedua cucu-nenek ini telah terdengar oleh Amboruari. Lalu Amboruari berkata kepada mereka berdua:”Kamu dua tidak bangunkan? mengapa kamu berdua bersembunyi? Bangun, dan masuk supaya kita makan karena saya lapar”. Tetapi kata nenek : ”Aduh cucu ! Jika saya susah berarti kita bertiga akan mati. Coba lihat kampung ini sudah tidak berorang lagi.”'.
”Kenapa, nenek ?” kata Amboruari. Nenek lalu memjawab : ”Lihat, anak ! Semua orang dalam kampung ini telah di bunuh oleh burung garuda yang berdiam di pulau Wapupi itu. Lihat, mereka telah mati semua, tinggal tiang-tiang rumah ini. Jadi kalau kami mau makan, nanti malam baru masak”.
”Mengapa tidak masak pada siang hari ? ” kata Amboruari. Itu tidak mungkin , nak ! ” jawab nenek. ”Karena siang hari asap api akan terlihat olehnya dan ia akan terbang menyambar kita disini”.
Terjadilah tawar-menawar antara Amboruari dan si nenek tua ini, dan akhirnya mengalahlah si nenek tua lalu menyuruh cucunya memasak. Burung garuda yang bertengger di pulau Wapupi sambil mengawasi kampung dari jauh tiba-tiba ia melihat ada segumpal asap yang mengepul ke atas. Ia tahu bahwa tentu masih ada orang di kampung. Si burung garuda lalu melebarkan sayapnya dan segera melayang-layang di angkasa menuju ke kampung Windesi. Sayapnya yang lebar itu lalu dipergunakan untuk menutup seluruh kampung. Si nenek tua dan cucunya sangat ketakutan. Tetapi kata Amboruari : Jangan takut nenek ! Itu perkara kecil saja. Nanti kalau saya selesai makan, saya akan membuat perhitungan dengannya !!
Setelah Amboruari selesai makan ia lalu mengambil tombaknya yang diberi nama : Sotouri, lalu ia menusuk leher daripada si burung garuda itu, dan matilah burung itu seketika. Amboruari lalu menyembelih burung itu dan dagingnya ia bagi-bagikan pada tiang-tiang rumah dari keret-keret yang telah menjadi korban keganasan si burung garuda. Juga kedua cucu-nenek yang masih hidup ini mendapat bagian. Cucu si nenek tua ini lalu segera masak dan mereka bertiga makan. Setelah makan Amboruari berkata pada nenek: ”Nek, saya akan bermalam disini !”
”Baiklah, anak”. Sambut si nenek. Malampun tibalah dan merekapun tidur dengan nyenyaknya tanpa sedikit rasa takutpun menghantui mereka. Dan pada pagi-pagi benar sebelum lalat terbang, bangunlah Amboruari yang berkoreng ini, pergi mengelilingi kampung. Sejenak ia berdiri, lalu menghentakkan lakinya ke atas tanah, dan berseru : ”Hai orang-orang Windesi yang telah mati ! Bangkitlah kamu, mari kita kedusun sambil menokok sagu dan mencari buah-buahan”.
Tapi tak seorangpun yang menyahuti suara Amboruari. Ia merasa bahwa menawarkan lainnya lagi. Amboruari berseru lagi. ”Hai orang-orang Windesi yang telah mati ! Bangkitlah kamu, mari kita berdayung ke Selatan (yaitu ke Wondama) menukar sagu dengan ikan”.
Selesai ia mengucapkan kata : itu, bangkitlah semua orang- yang telah meninggal/mati, menarik perahu ke pantai dan mereka beramai-ramai berdayung ke Wondama mencari sagu dan menukarkan dengan ikan.
Akhirnya, oleh karena orang Windesi tak mau mendengar atau mengikuti tawaran Amboruari yang pertama, maka sampai sekarang ini di Windesi tak ada dusun sagu, walaupun penduduknya makan sagu. Mereka memperoleh sagu dari Wondama dengan cara menukarkan dengan ikan.
Demikianlah ceritera Amboruari yang piatu, yang telah menghidupkan kembali orang Windesi yang telah mati.
12. ASAL MANUSIA
Menurut orang Yahadian (suku Mbahar, Rumakoi dan Maraha) dan penduduk sekitarnya seperti kampung Mugim, kampung Baru (Kais), Konda Werisar (suku Onim), kampung Sisir, Mangroholo, Sayal yang juga terdapat suku Mbahar, Rumakoi, Maraha dan Onim.
Menurut mitos diceriterakan bahwa manusia (suku Mbahar, Rumakoi , Maraha dan Onim) berasal dari burung Kasuari.
Pada jaman dahulu kala hidup sebuah keluarga yang terdiri dari suami , isteri dan seorang anak perempuan. Dalam kehidupan mereka tidak tentram karena sang ayah setiap saat bertengkar dengan sang isteri dan anaknya karena sudah tidak tahan akan asap sengsara yang di timpahkan oleh sang suami kepada mereka maka mereka berkeputusan untuk lari atau bercerai dengan ayahnya untuk mendapatkan hidup yang tentram. Pada saat itu sang isteri sedang hamil dan menantikan saat melahirkan. Namun demikian untuk melepaskan sengsara ini, mereka terpaksa meninggalkan sang suami; sampai ditengah jalan dalam hutan rimba maka sang isteri melahirkan seorang anak laki-laki, sedangkan setelah melahirkan mereka terus berlari dan bayi yang baru lahir ini ditinggalkan karena mereka dikejar oleh sang suami/sang ayah. Sang suami mengejar mereka dan ia bertemu dengan bayi dan ia membawanya sambil mengejar dan memanggil agar mereka kernbali. Tetapi untuk melepaskan kesengsaraannya mereka terus berlari, dan tibalah mereka ditepi sungai. Ditepi sungai sang ibu membaca manteranya dan tiba-tiba timbul sebuah pohon akar-bahar besar yang melintasi sungai itu.
Namun dari belakang sang ayah tetap mengejar mereka dengan membawa bayi yang baru lahir itu Setelah sang ibu dan anaknya melewati sungai sampai diseberang mereka berpesan kepada pohon akar-bahar bahwa bila ada laki-laki yang menyusul, mereka mohon agar dia dibunuh.
Setelah mereka pergi maka pohon akar-bahar tenggelam kembali. Sang suami terus mengejar dan tiba ditepi sungai tersebut lalu ia membaca manteranya tiba-tiba pohon akar-bahar itu timbul dan melintasi sungai. Tapi malang baginya. Sementara ia menyeberang dengan bayinya tiba-tiba pohon akar-bahar membalikan badannya dan sang suami/ayah melemparkan bayi kedarat dan tersangkut pada pohon Negro (menurut bahasa Indonesia Irian/ bahasa sehari-hari), karena buah pohon ini bila masak berwarna hitam dan manis rasanya. Sang suami mati dibunuh pohon akar-bahar sedangkan sang anak tersangkut pada pohon negro. Tetapi tiba-tiba anak yang malang ini dikunjungi seekor burung Kasuari. Maksud burung Kasuari hendak makan buah negro. Setelah burung Kasuari menghampiri pohon negro anak kecil lalu menangis. Burung Kasuari terkejut dari lari. Beberapa kali ia mencoba sambil mengamati, rupanya tidak ada orang lain terpaksa timbul hasratnya untuk memelihara sang bayi ini.
Burung kasuari pergi dan mengumpulkan seluruh binatang dan mereka berunding akhirnya mereka bersepakat untuk memelihara sang bayi. Mereka yang menyanggupi untuk memeliharanya adalah burung tahun-tahun, sedangkan binatang lainnya membantu burung tahun-tahun untuk mengumpulkan makanan. Lalu mereka pergi mendapatkan bayi dan bayi diturunkan dari pohon negro dan sekawan burung tahun-tahun membawa (terbang) sang bayi menuju Sarang burung tahun-tahun yang dibuat dilubang pohon kayu besi/pohon cenderawasih. Hari demi hari mereka memeliharanya sampai besar. Badan bayi bertambah besar dan burung tahun-tahun mengatakan pada burung kasuari agar anak kecil itu segera diturunkan ketanah.
Kemudian burung kasuari mengumpulkan seluruh binatang dan mereka menurunkan anak tersebut. Anak itu diturunkan dan mereka memeliharanya sampai ia besar (dapat berjalan) dan bekerja. Anak bertambah besar sedangkan burung kasuari telah tua. Maka burung kasuari menyuruh burung kakak tua untuk pergi mencari dimana ada orang, agar mereka berusaha mendapat parang, tombak, panah dan api untuk sang anak. Burung kaka tua kembali dan mengatakan bahwa ia telah melihat orang sedang menokok sagu dan mereka memelihara anjing. Maka kasuari yang dianggap sebagai neneknya berkata kepadanya ikutlah aku. Sementara itu burung kasuari berkata kepada sang anak lagi bahwa bila aku telah menipu mereka sehingga apabila mereka mengejar aku, sampai jauh, engkau pergi dan membawa semua perlengkapan mereka (kapak, tumbak, parang dan api). Mereka berangkat dan setibanya mereka dekat orang yang sedang menokok sagu, lalu kasuari menampakkan dirinya kepada mereka. Anjing melihat kasuari lalu menggonggong sambil mengejarnya; orang-orang yang menokok sagu semuanya turut mengejar kasuari. Ketika mereka pergi jauh sang anak bersama binatang yang lainnya mengambil alat-alat yang disebutkan tadi.
Dengan alat-alat ini, sang anak mulai bekerja bersama binatang-binatang yang memeliharanya untuk saling menutupi kebutuhan hidupnya. Karena waktu begitu cepat berlalu, maka burung kasuari(neneknya), telah tua, . Pada suatu hari burung kasuari memanggil anak dan berkata kepadanya :
Engkau sekarang membuat rumah yang panjang dan besar, kemudian engkau membuat kamar-kamar lengkap dengan tungkunya (setiap kamar satu tungku).
Setelah itu engkau memotong batang gelobak (sejenis lengkuas) sebanyak-banyaknya. Dan yang paling terakhir engkau membunuh akuo., dan daging-dagingku engkau potong dan bagi-bagikan setiap kamar 2 penggal dan gantungkan pada tungku-tungkunya. Mendengar kata-kata ini sang anak mulai dengan hati sedih mengerjakan apa yang disuruhnya. Rumah dan batang gelobak telah siap. Ia merasa berat untuk membunuh kasuari neneknya; ia berjalan sarnbil menangis tombak telah dipegang tapi ia meletakkan kembali sambil menangis. Tetapi kasuari berkata kepadanya, bunuhlah aku dan lakukan seperti apa yang telah ku katakan. Dan dengan batang gelobak engkau melempari dan berteriak seperti memberi spirit dalam berupa orang.
Mendengar kata-kata kasuari/neneknya, terpaksa sang anak mengangkat tombak dan menikarn kasuari dan matilah kasuari tua itu. Kemudian daging kasuari dipotong dan dibagikan pada tiap-tiap kamar. Masing-masing kamar 2 potohg. Kemudian sang anak memegang batang gelobak yang telah disiapkan dan berteriak seperti memberi spirit dalam perang sambil melempari rumah yang berisi daging kasuari itu. Tapi anehnya daging-daging itu berubah menjadi manusia dan berteriak mohon ampun. Setelah sang anak mengharnpiri rumahnya ia melihat bahwa manusia dalam rumah itu berpasangan yaitu masing-masing kamar terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
13. TERJADINYA BURUNG CENDERAWASIH
Pada jaman dahulu ada dua suku yang mendiami Malya, yaitu suku Mau dan suku Wake dalam jumlah yang cukup banyak, salah satu keluarga dari suku Mau ini mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Keyam. Ayah Keyam sudah meninggal dunia sewaktu ia masih kecil. Keyam dipelihara oleh ibunya sampai dewasa. Kemudian si Keyam ini dikawinkan kepada salah seorang pemuda dari suku Wake. Tetapi sebelum Keyam ini kawin dengan pemuda tadi, dia sudah punya pacar yaitu seorang pemuda dari suku Wake juga. Semula hubungan mereka berdua ini tidak seorangpun yang tahu, termasuk ibunya sendiri, mereka berdua merencanakan untuk melarikan diri dari kampung Malya. Tetapi rencana mereka berdua ini gagal, karena ketahuan oleh orang tuanya. Karena pada jaman ini adatlah yang berkuasa dan orang tualah yang menentukan jodoh seorang pemuda atau seorang pemudi akhirriya Keyam kawin dengan seorang pemuda yang dipilih oleh orang tuanya. Pacar lelaki tadi patah hati dan akhirnya meranah dan kehutan. Selama Keyam kawin dengan pemuda dari suku Wake ini, dia tidak merasa tenang ataupun bahagia dalam hidupnya. Dia selalu memikirkan nasib pemuda kekasihnya yang malang itu, akhirnya apa yang dipikirkan oleh si Keyam itu, diketahui juga oleh suaminya. Kemudian suaminya mengatur rencana untuk membunuh isterinya. Dua hari kemudian sewaktu suami Keyam ini pulang dari hutan dan membawa binatang buruannya, Keyam dan ibunya sedang buat papeda didalam rumah, begitu suami Keyam ini tiba di kampung dan binatang buruannya ditaruh pada ruang tarim, ia memanggil Keyam untuk mengambilnya. Pada waktu yang sama ia telah menyiapkan panah pada tali busurnya, begitu Keyam keluar terus suaminya menambaknya, kemudian Keyam lari dengan panah tertancap dibadannya masuk rumah dan jatuh diatas papeda. Suaminya sendiri lari dari kampung Malya ketempat familinya. Sambil menangis ibu Keyam mengangkat anaknya dari bawah tanah ketempat tidur, selang beberapa hari Roh dari si Keyam menjelma lagi menjadi manusia dan pergi mengikuti jejak kekasihnya ke hutan. Akhirnya mereka dua bertemu dan lari kenegeri yang bernama USINU MAUNU (artinya = DUSUN KEPUNYAAN SUKU USI dan MAU), letaknya jauh disebelah timur. Selama tinggal disana mereka dua memperoleh dua orang anak, lelaki dan perempuan setelah yang perempuan berumur 9 tahun sedangkan anak laki-laki 7 tahun terjadilah suatu peristiwa.
Pada suatu hari suaminya pergi berburu ibu dan kedua anaknya tinggal di rumah. Kedua anak itu pergi kekebun ambil pisang masak dan sayur bayam. Waktu mereka dua kembali dari kebun ternyata ibunya tidak ada di rumah. Secara kebetulan anak laki-laki ini merasa ingin buang air. Kemudian ia pergi sambil berlari ketempat buang air. Begitu ia sampai dia melihat ibunya sedang duduk ditempat buang air. Setelah ia mendekatinya ternyata ibunya sambil duduk sedang makan kotoran. Perlahan-lahan ia kembali ke rumah dan menceriterakan peristiwa tersebut pada kakaknya. Waktu ayahnya pulang dari hutan kedua anak ini menceriterakan hal itu pada ayahnya. Ayahnya berpikir, ”Wah, kalau begitu perempuan yang saya kawin ini bukan manusia betul, ini sebenamya orang yang sudah mati.” Pada malam harinya suami ini tanya pada ibunya. ”Bagaimana kalau besok kita bisa pulang ke kampung saja. Isterinya menjawab: ”baiklah sayapun sudah berniat demikian, sebab anak kita ini sudah besar-besar, mereka harus bertemu dengan neneknya di kampung Malya. Sebelum ia meninggal dunia keesokan harinya mereka menyiapkan barang dan bekal maka berangkatlah. Dari Negeri USINU MAUNU menuju ke kampung Malya. Perjalanan memakan waktu selama dua minggu.
Kemudian mereka sampai di kampung Malya. Sebenarnya mereka bisa masuk ke kampung tetapi waktu ini si Keyam ini dengan ibunya menangis menyebut-nyebut namanya (nama orang mati), maka ia merasa malu. Begitu ia dengar lagi ibunya menyebut namanya, ia berhenti dan menegur kedua anaknya yang sedang ramai bercanda: ”Hei, anak-anak coba diam!”.
Dengar apa yang sedang terjadi di kampung Malya sana itu ! Saat itu suaminya masih jauh dibelakang mereka, begitu ia dengar lagi namanya disebut-sebut melalui tangis ibunya itu, maka ia lepaskan anaknya beserta menjatuhkan sagu dari atas kepalanya lalu terbang jadi burung Cenderawasih. Kemudian disusul dengan kedua anak yang perempuan jadi burung hitam mata merah dan yang anaknya lelaki jadi burung hitam putih. Suaminya kaget dan marah; lalu dibuangnya sagu beserta bambu yang dipikulnya itu diakar kayu. Dan dia sendiri ambil anak panah menuju rumah ibunya Keyam sesampainya di rumah dia panah mertuanya yang lagi menangis itu . Sang mertua ini lari dengan anak panah tertancap dibadan kemudian jatuh dan mati dekat kali. Kali itu bernama YAQUIR. Demikianlah, dan sampai sekarang tandanya masih ada, yaitu berupa lumpur. Dan didalam lumpur itu ada ulat. Dan tempat itu dikelilingi dengan daun gatal. Sagu dengan bui yang dibawa Keyam itu sekarang jadi sagu dan bulu/bambu dengan sagu yang dibuang suaminya tadi itu sekarang jadi bulu/bambu, bambu ini orang sering ambil buat anak panah.
Sedangkan kata-kata yang diucapkan melalui tangis itu sebagai berikut :
Keyam, beanef yenten . wa o ai o ai yamna nebit, yabit ba nebit i i i yamalyab nebit, rawi malya rawi Rawi yatkul rawi netabe yagul ba wabul ma kun be tayane Rawi Malya rawi Rawi yat kul rawi Netabe yakni ba wauw ma kun be tayane Rawi malya rawi Rawi yatkul rawi.
Artinya:
Keyam, beanef, dan yenten wa ini adalah nama perempuan yang dipanah;
a) Keyam = nama sebelum ia meninggal sedangkan
b) beanef = adalah nama sesudah dia di panah oleh suaminya dan lari ikut laki-laki.
c) yenten wa = Kuning, sewaktu ia terbang jadi burung cenderawasih.
Arti kata-kata yang diucapkan/ terjemahannya.
I.Keyam, beanef, yenten wa = dari mana kau datang atau kau pergi kemana.
Keyabit kah atau kemarya Sungguh cantik wajahnya bagaikan bidadari dari gunung Malya dan Yafkul.
II.Tolong mama tangkap udang dari kali yagul.' Sungguh can·tik wajahmu bagaikan bidadari dari gunung Malya dan Yafkul.
III.Tolong mama tangkap ikan dari kaliYafkul.Sungguh cantik wajahmu bagaikan bidadari dari gunung Malya dan Yatkul.
14. KISAH TENTANG DUSUN SAGU SERMGA
Ceritera itu berpokok pada dusun yang bemama Sermga itu. Waktu dulu sekali ada seorang nenek kita yang bernama Pakrin. Nenek Pakrin ada memelihara seekor babi yang dia beri nama Sandoba Sandombon. Pada suatu hari tengah hari nenek Pakrin asyik memperhatikan angin bertiup dan menggerakkan daun-daun sagu yang bergerak kesana-kemari yang menimbulkan bunyi gesek, dia tunggu dan tunggu tetapi babinya Sandoba belum lagi muncul sebagaimana biasa pada hari-hari yang lalu-lalu, jadi memanggil babi itu dengan menyebut nama babi itu : " Sando ba, Sando ba, Sando ba." Dia panggil tapi si babi itu tidak mendengar suaranya karena desisan daun sagu yang ditiup oleh angin. Sinenek Pakrin tahu bahwa panggilannya tidak didengar babi Sando ba karena bunyi daun sagu dusun ser nakai itu. Karena dongkolnya dia kutuk dusun sagu itu dan bilang : "Kau dusun terkutuk, kau bikin sampai saya memanggil si babi sepanjang hari tidak datang-datang!". Sampai petang dan gelap babi tak
muncul juga, lalu si nenek Pakrin lagi marah dan mengeluarkan kata-kata kutuk terhadap dusun sagu itu.Pada malam hari datang hujan lebat diikuti halilintar dan guruh. Hujan turun tak henti-hentinya, dan terjadilah banjir yang akhirnya menghanyutkan dusun itu ke laut. Dusun sagu itu hanyut ke laut lepas dan hanyut terus ke sebelah barat. Dusun itu hanyut sampai ke Sausapor di dekat Sorong. Keesokan harinya penduduk setempat tidak melihat dusun sagu nakai, lalu mereka menyusul, mencari kemana dusun itu pergi. Akhirnya mereka menemukan dusun sagu nakai didekat Sausapor sana, lalu mereka menetap disana.
Nenek Pakrin yang ditinggalkan seorang diri itu lalu menyusul mengikuti arus kearah barat. Nenek Pakrin menyusul pada malam hari, tetapi pada waktu mendekati daerah Sausapor, dia kesiangan, dan menjadi tiang batu di laut biru. Batu yang sekarang menonjol dipermukaan laut, itu dia nenek Pakrin yang malang.
15. UWIAO / ULAR NAGA
(Sebuah cerita rakyat daerah Mimika)
Sekali peristiwa hiduplah seekor ular Naga pada sungai Tamanipia (Mimika). Karena keseganannya ular naga tersebut ia di kenal diseluruh daratan daerah Mimika. Pada saat itu penduduk suku Kamoro yang mendiami daerah Mimika masih padat. Sebagaimana letak geografis daerah tersebut menunjukkan penduduk hidup dari sagu yang merupakan makanan utama ditambah pula dengan berjenis jenis ikan serta bermacam - macam sipit serta kerang yang terdapat banyak disana. Sagu diperoleh penduduk dari kepala air, ialah daerah yang tak dapat dijangkaui air garam. Ikan serta bia dan kerang diperoleh dari kali-kali serta laut memungkinkannya.
Pada suatu hari penduduk kampung Mimika (sebahagian kecil dari kampung besar Kaokanao), keluar kedusun untuk mencari sagu. Karena dusun tersebut letaknya jauh dari kampung, penduduk tidak pulang pada sore harinya tetapi bermalam selama beberapa hari didusun. Setelah makanan telah cukup banyak diperoleh barulah mereka dapat pulang kekampung mereka. Bila pergi kedusun, pada umumnya tidak hanya satu atau dua buah perahu, melainkan sepuluh sampai dua belas perahu. Demiki• an pula bila mereka kembali perahu tetap bersama-sama. Hal ini dilakukan karena hubungan kekerabatan yang sangat erat yang dianut oleh suku Kamoro. Urutan perahu yang mengikuti arus turun ini seolah olah diketahui ular naga. Makanan setiap perahu yang akan melintasi tempat persembunyiannya, dibuatnya tenggelam, sedang segala di musnahkannya, serta apa yang dapat dimaakan disergapnya sampai habis. Oleh karena manusia telah mengetahui perlakuan ular naga ini, maka mereka mencoba untuk menyelundup kekampung. Walaupun demikian ular naga tersebut selalu berada dalam keadaan siap siaga. Maka terjadilah pada suatu hari ketika semua perahu yang terdapat/pergi kedusun pada perjalanan kembali. Pada sebuah perahu yang terakhir ternyata terdapat seorang perempuan hamil yang bertindak sebagai pengemudi perahu tersebut. Semua perahu yang mendahului mereka di tenggelamkan ular naga, dan semua isinya dimakannya habis. Dengan demikian semua orang dari dusun telah lenyap di telan si ular naga. Tinggal lagi perahu yang terakhir yang dikemudikan oleh perempuan hamil tadi. Ketika telah mendekati tempat persembunyian ular naga, ibu tersebut mengemudikan perahunya sudah mulai dirangkul ular naga dan mulai tenggelam ia sempat meloloskan diri dengan cara melompat pada salah satu dahan kayu yang menjorok ke sungai. Dengan demikian selamatlah ia, dari cengkeraman ular naga. Kemudian ia menyelamatkan diri dan mencari tempat tinggal yang kebetulan mencari naungan di bawah pohon Taore (manggrove). Dari hari ke hari ibu tersebut hidup dari pada buah-buahan serta bahan lain yang dapat dimakan olehnya. Lambat laun saat kelahirannya makin mendekati, dan akhirnya lahirlah seorang anak laki-laki. Kepada anak laki-laki ini diberikan nama "NANI" yang berarti pahlawan. Nani hidup dengan senang dan subur dalam pangkuan ibunya, serta makin hari makin besarlah ia, dan bertambah kuat. Sewaktu Nani masih kecil sang ibunya-lah yang mengumpulkan makanan untuk mereka berdua, Nani bertambah besar dan kuat. Pada suatu hari, ketika si Nani telah dapat bermain main sendiri, Ibunya menyampaikan kepadanya bahwa ia tidak boleh bermain main ditepi pantai laut. Pada saat itu ibunya masih menyembunyikan rahasia terbesar yang pernah terjadi, yang menyebabkan orang di kampung mereka habis termusnah karena perbuatan sang ular nag yang sekarang sudah berdiam dilaut lepas.
Pesanan ibu dipatuhinya. Setiap hari bila Nani di tinggalkan ibunya, ia bermain-main kehutan. Ibunya setiap hari hingga saat ini masih mengusahakan makan bagi mereka berdua. Pada suatu malam setelah sang ibu beserta anaknya beristirahat menunggu saat tidur, Nani bermohon kepada ibunya agar kepadanya diberikan sebuah busur serta anak panah.
Ibunya mengabulkannya permintaannya, maka dibuatkannya sebuah busur serta sejumlah besar anak panah. Setelah Nani memperoleh permintaannya, ia pergi main kehutan sebagaimana biasa, serta sempat pula memanah hewan yang dapat dimakan mereka bersama. Hewan yang dilarang oleh ibunya ialah semua jenis biawak/soa-soa ( varanus leguana ). Ini adalah hewan tabu bagi mereka disaat itu dan sampai sekarang. Ketabuhan terhadap hewan ini disebabkan oleh karena jenis hewan inilah ( ular naga ) yang sempat menghabiskan penduduk kampung Mimika. Pada suatu hari Nani memberitahukan ibunya, bahwa mulai saat itu dialah yang mengumpulkan makanan bagi mereka berdua. Ibunya menyetujui permintaan anaknya. Maka sejak saat itu Nani setiap hari keluar kehutan untuk mencari makanan bagi mereka berdua. Ketika hari sudah petang Nani kembali serta memperlihatkan hasil pencahariannya kepada ibunya dan ibunya sangat senang melihat hasil keringat anaknya itu. Ibunya menerima dengan hati gembira serta mempersiapkannya untuk dimakan bersama. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, masa berganti masa Nanipun bertamah besar dan menjalankan pekerjaannya dengan setia. Kemana-mana ia pergi tetapi tak seorang pun dijumpainya. Pada suatu hari si Nani merencanakan untuk berkunjung kelaut, walaupun hal tersebut telah dilarang ibunya. Ia melanjutkan rencananya. Pada suatu hari berangkatlah ia ketepi laut untuk mengadu nasibnya disana. Ia menikam beberapa ekor ikan yang dapat dimakan. Setelah hari sudah petang ia membawa hasil pencahariannya kerumah kepada ibunya. Ketika ibunya melihat hasil tersebut, bahwa ketepi laut ia tak boleh mencari kesana. Maka bertanyalah si Nani kepada ibunya mengapa ia tak boleh mencari ditepi laut. Pada saat itulah ibunya menceritakan kepada anaknya bahwa semua penghuni kampung termasuk ayahnya serta kakaknya serta kaum keluarga lainnya dimusnahkan oleh seeker ular naga, yang sekarang dapat dilihatnya dari kejauhan yang menyerupai sebuah pulau di sana. Ketika mendengar cerita demikian si Nani merencanakan untuk membalas perbuatan ular naga tersebut, rencana-nya diberitahukannya kepada ibunya.
Ibunya menasehati agar tidak melanjutkan pekerjaan yang direncanakannya itu tapi si Nani tetap kepada pendiriannya, dan ia melakukan pembunuhan tersebut. Ia mulai mengadakan persiapan yang cukup matang untuk membunuh ular Naga tersebut. Pekerjaan yang pertama yang ia lakukan ialah membangun sebuah rumah yang mempunyai tiga bilik yang terdapat pada ujung jembatan, yang dibangunnya ditepi pantai laut. Setelah rumah serta jembatan tersebut telah siap beserta rumahnya, ia mulai dengan menempah besi. Mula-mula ia tempah alat-alat yang berukuran besar, setelah itu yang berukuran sedang dan kemudian berukuran kecil. Setelah tempahan alat-alat ini selesai, dinobatkannya menjadi orang tua serta kaum keluarga dan penduduk kampung yang telah dimusnahkan ular Naga tersebut. Kemudian ketika alat-alat tersebut sudah mendapat nama masing-masing, alat-alat tersebut dibagikannya kedalam ketiga bilik dalam rumah diujung jembatan yang dibangunnya itu.
Ia menghembuskan nafas kedalam benda-benda ini, sehingga benda-benda ini mempunyai kekuatan untuk berperang melawan ular naga nantinya. Ketika ia melihat bahwa semuanya baik adanya menurut keinginannya, ia mengambil sebuah alat musik tradisionil ialah sebuah pipa dan mulailah ia bernyanyi untuk
mengganggu ular naga tersebut. Nyanyian yang dinyanyikan Nani adalah sebagai berikut :
Ketika mendengar nyanyian serta bunyi tifa tersebut, ular naga terkejut seraya bertanya siapa gerangan yang melakukan bunyi-bunyian tersebut. Nani mengulang nyanyian tersebut sampai ketiga kalinya. Si ular naga tersebut mengkonstater bahwa perbuatan ini tidak lain dilakukan oleh manusia. Ia merencanakan untuk menghabiskan sisa-sisa manusia yang masih berada didunia itu. Makanya si ular nagapun mulai bergerak menuju kedaerah datangnya bunyi tersebut. Ketika Nani melihat bahwa ular naga sudah menuju kepadanya, iapun mulai masuk bersembunyi dalam bilik ketiga yang terdapat pada rumah yang dibangunnya itu. Ular naga itu mulai memasuki rumah tersebut. Tetapi sebelum ia melancarkan keinginannya, ia telah dihalangi oleh pukulan2 serta tikam tikaman dari benda-benda yang bergantungan pada dinding bilik tersebut. Oleh karena sakitnya si-ular naga ini tak ingin tinggal lebih lama dari itu. Makanya iapun berpalinglah kembali ketempat persembunyiannya dipantai lepas tadi. Ketika Nani melihat hal tersebut iapun sangat bergembira. Selain mencari serta mengumpulkan makanan bagi dia beserta Ibunya, si Nani tetap mengganggu ular naga tersebut dengan nyanyian serta pukulan tifa. Ia mengulangi perbuatan itu sampai ketiga kalinya. Sewaktu ular naga kembali untuk kedua kali ia sempat menerobos sampai keruang yang ke dua. Tetapi disanapun ia disikat oleh benda-benda yang bergantungan pada dinding tersebut. Untuk yang ketiga kalinya sewaktu ular naga ini kembali untuk memusnahkan manusia yang masih terdapat dibumi itu. Ia menemukan ajalnya karena disikat pula oleh benda-benda yang bergantungan pada dinding serta Nani sendiri, yang bersembunyi di bilik yang ke tiga. Ketika nani melihat bahwa ular naga tersebut betul-betul telah mati, iapun keluarlah untuk kerumahnya memberitahukan pembunuhan itu kepada ibunya. Ibunya sangat memuji perbuatannya itu. Setelah itu si Nani mengajak ibunya agar menyertainya serta menyaksikan ular naga yang telah dibunuhnya itu. Mereka bersama-sama ketepi pantai lalu memasuki ruangan tersebut dan mereka melihat bahwa ular naga tersebut betul-betul telah mati. Nani menyeret ular naga itu keluar rumah kepantai dengan dibantu oleh ibunya. Ketika sudah berada dipantai, Nani membuat rencana untuk memotong ular naga tersebut, untuk melihat apa saja yang terdapat dalam perutnya. lbunya menyetujui hal tersebut. Maka ia pun mulailah dengan pekerjaannya. Pemotongan ini dimulainya dari perut. Tetapi oleh karena isi perut bauhnya sangat busuk, iapun tak dapat menahan bauh yang keluar dari ular naga itu. Nani berhenti sebentar dengan pekerjaannya. Ia meminta rokok kepada ibunya demi menghilangkan bauh tersebut. Ibunya mengatakan kepadanya bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan tersebut, karena menanam serta membuat rokok adalah pekerjaan kaum pria. Tetapi si Nani meminta terus kepada ibunya agar ibunya memberikan kepadanya rokok melalui bagaimanapun juga caranya. Oleh karena tuntutan tersebut dianggap penting maka ibunya pulang sebentar kerumah serta mengadakan pertukaran koitus dengan seekor ayam hutan (Maleo). Hasil dari pada pertukaran tersebut terjadilah rokok sebagaimana diinginkan oleh si Nani. lbunya lalu memberikan rokok tersebut kepada anaknya. Sesudah anaknya merokok ia melanjutkan pekerjaannya. Ular naga tersebut di belanya sampai habis. Si Nani membela ular naga ini dengan pembagian khusus. Secara khususnya antata lain sebagai berikut :
Ia memotong kulitnya sendiri. Sesudah itu kulit bersama sedikit daging. Kemudian daging beserta sedikit gemuk. Juga ada pula kelompok yang hanya terdiri dari daging. Juga ada kelompok yang terdiri dari gemuk. Darahpun ia tidak sia-siakan. Tetapi dikelompokkannya pula dalam sebuah kelompok. Setelah pemotongan ini selesai iapun beristirahatlah. Setelah beristirahat ia menyampaikan kepada ibunya untuk menjadikan manusia sesuai dengan kelompok manusia yang terdapat didunia ini. Pembahagiannya adalah sebagai berikut. Segala sesuatu sekarang masih merupakan setiap kelompok. Lalu berkata sebagai berikut. Jadilah bangsa yang menempatilah daerah ...... Maka terjadilah demikian. Setelah selesai semuanya, iapun beristirahatlah. Ia beserta ibunya melihat bahwa semuanya sudah terjadi sebagaimana yang diinginkan si Nani. Sebagai pekerjaannya yang terakhir ia membagikan manusia-manusia tadi dengan kelompoknya masing-masing di dunia ini. Maka akan mendapat bangsa yang terdiri dari kulit, daging campur kulit, daging campur gemuk, bangsa hanya yang terdiri dari daging dan lagi pula bangsa yang terdiri hanya dari darah. Misalnya bangsa Indian di Amerika yang kulitnya berwarna merah, menurut cerita ini mereka adalah bangsa yang terdiri dari darah ular naga. Sedangkan bangsa Eropa misalnya mereka berasal dari kelompok gemuk si ular naga tadi. Dan demikian pulalah dengan kelompok-kelompok yang lain.
======
16.TIMBUNAN BATU DI NAPDORI
(KARUI SAFSOFER BERO NAPDORI)
Ceritera ini mengisahkan suatu peristiwa yang konon terjadi di kampung Napdori di daerah Biak Barat. Dahulu pernah ada seekor naga yang berdiam di sekitar kampung Napdori. Ular naga pernah menyerang kampung itu menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Penduduk kampung yang makin panik itu berusaha dengan berbagai cara untuk menghindarkan diri mereka dari ancaman si ular naga yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa mereka. Secara bertahap penduduk menyingkir dan akhirnya kampung itu kosong tidak berpenduduk. Hanya ada 3 orang anak piatu, dua orang anak laki-laki dan satu perempuan, mereka tidak mempunyai kerabat yang mau menolong mereka, yang mau membawa mereka keluar dari kampung yang ngeri itu. Tinggal mereka bertiga didalam kampung yang sepi itu.
Mereka tiga itu tidak memikirkan lagi untuk berusaha menyingkir dari kampung itu, mereka tinggal dengan tenang menghadapi kenyataan yang cukup tegang itu. Mereka sama sekali tidak memikirkan cara menyelamatkan diri malahan mereka asyik memikirkan cara untuk memusnahkan ular naga yang kejam itu.
Lalu kedua anak laki-laki itu menemukan akal mereka utk. mengakhiri riwayat si ular naga. Keduanya mulai mengumpul kayu, kayu api, batu-batu dan air. Setelah banyak yang terkumpul keduanya membangun para-para yang berlantai tujuh, dan sewaktu ular naga itu mulai menyerang mereka pada lantai pertama paling bawah dimana telah disiapkan perapian yang telah lama dinyalakan dengan batu-batu yang cukup panas, mereka berdua melepaskan tali-tali pengikat lantai para-para dan semua isi tungkuh perapian itu berguguran jatuh kedalam mulut dan keatas badan ular naga itu. Kemudian mereka berdua naik ke lantai kedua dan berbuat yang sama sampai kepada tingkat ke tujuh. Sang ular naga yang sudah dikenai hujan api, batu panas dan air panas itu sudah merasa tidak berdaya lagi untuk menghabiskan nyawa dari kedua lawannya itu. Namun dia masih mau berusaha dengan tenaganya yang sisa itu untuk sedapat mungkin menghabiskan riwayat dari kedua musuhnya yang sebenarnya tidak pantas berperang dengan dia. Ular naga itu mengangkat badannya dan menegakkan kepala dalam sikap hendak menyambar mangsa dengan tujuan menghancurkan rumah tempat berlindung ketiga anak piatu itu.
Tetapi pada saat yang sama salah satu dari kedua anak laki-laki itu sudah bersiap dengan busur dan anak panahnya. Sebelum kepala ular naga itu diayunkan anak itu telah melepaskan anak panah yang dibidik ke kepala ular naga itu. Pukulan kepala dan ekor ular naga itu meleset, tidak mengenai rumah dari ketiga anak piatu. Sang ular yang sudah setengah mati tidak dapat bergerak lagi karena telah parah kepala dan perutnya, dan akhirnya mati seketika.
Sejak itu tersiar khabar bahwa ular naga yang menakutkan itu telah mati dibunuh oleh kedua anak laki-laki itu. Para penduduk kampong yang telah menyingkir keluar itu mulai kembali lagi ke kampong itu terisi kembali dan menjadi ramai seperti sediakala. Dan sebagai bukti nyata dari peristiwa heroik itu, hingga kini masih nampak timbunan batu di dekat Kampung Napdori, yang menurut ceritera adalah tubuh ular yang telah dipenggal dan membatu.
Sekian ceritera pendek tentang timbunan batu di Napdori, Kecamatan Biak Barat.
17. SINAKO HOLOLIK-HOLOLIK
(POHON SIN YANG DI BOOR YANG SAKTI)
Ceritera ini mengisahkan tentang sebatang pohon Sin yang di boor dan sakti menurut kepercayaan masyarakat di lembah Baliem Kabupaten Dati II Jayawijaya. Pada zaman dahulu kala penduduk di Lembah Baliem ini mempunyai kepercayaan bahwa bumi dan langit ini sebelumnya adalah bersatu bukan terpisah seperti yang sekarang ini.
Berkat kesaktian dari pohon Sin ini maka langit dapat ditonggak pohon itu sehingga terpisahlah bumi dan langit seperti yang sekarang ini. Dan pada waktu itu lahirlah sepasang suami istri yang dikenal dengan nama Pupa dan Nalinale. Dengan hadirnya kedua insan ini maka berkembanglah penduduk lembah Baliem dari tahun ketahun.
Pada suatu ketika ada seorang anak yang ingin mencoba membunuh kawan sesamanya dengan jalan menipu anak-anak itu dengan, mereka ke hutan untuk mencari kayu. Sepanjang perjalan, mereka sambil ber-main-main dengan melontarkan atau menombak dengan sejenis tumbuh-tumbuhan yang biasa dibuat untuk gagang anak panah oleh penduduk setempat yakni lokop (sebangsa bulu lahus).
Setelah ber-hari hari mereka diperjalanan, maka tibalah mereka pada suatu kampung dimana kampung itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang bernama Pupa dan Nalinale, beserta pasukan-pasukannya pengawal keamanan kampungnya. Dalam kompleks perkampungan ini dibangun rumah-rumah penduduk setempat yang biasa disebut dengan nama Honayi lengkap dengan kandang babinya.
Begitu mereka masuk dalam kompleks perkampungan ini, pimpinan rombongan segera memerintahkan kepada anak buahhya bersembunyi dalam kandang babi. Begitu anggota rombongan sudah masuk dalam kandang babi. Pimpinan rombongan ini tidak ikut masuk bersama-sama, tapi ia pura-pura pergi membuang kotoran diluar. Akan tetapi maksud sebenarnya bukanlah pergi membuang kotoran, melainkan pergi melaporkan kepada Pupa dan Nalinale, bahwa ia membawa rombongan anak-anak dan rombongan ini supaya dibunuh, dengan maksud agar dia bersama Pupa dan Nalinale dapat berpesta dengan sepuas-puasnya dikampung itu.
Tetapi maksud jahat dari pimpinan rombongan ini, rupanya tercium oleh salah seorang dari anggota rombongan itu yang kebetulan orangnya berpenyakit kusta.
Rahasia ini didengar dari percakapan antara pemimpin rombongannya dengan salah seorang penghuni rumah yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan kandang babi yang mereka pakai untuk bersembunyi itu.
Dan segeralah hal ini diberitahukannya kepada kawan-kawannya yang sama-sama bersembunyi dalam kandang itu. Katanya bahwa kita ini kena tipu oleh Pimpinan rombongan, yakni kita ini akan dimakan olehnya bersama-sama dengan Pupa dan Nalinase beserta pasukan-pasukannya.
Begitu mendengar kabar ini, kawan-kawannya semua percaya dan mereka segera berunding untuk mencari jalan keluarnya bagaimana bisa selamat dan lolos dari pembunuhan.
Keputusan bersama yang mereka ambil ialah mencuri dua ekor babi besar besar yang ada dalam kandang miliknya Pupa dan Nalinale membakar semua honayi-honayi yang ada dalam kompleks itu, dan segera lari meninggalkan perkempungan itu. Dengan membawa barang curiannya yakni dua ekor babi yang besar-besar. Didalam peijalanan mereka sudah merencanakan untuk menyembelih babi-babi yang mereka bawa lari dari kandangnya Pupa, dengan membagi-bagi tugas masing-masing. Ada yang punya tugas ambil kayu api, ada yang ambil batu, ada yang membersihkan daging dan lain-lain.
Begitu mereka sampai ditepi Kali Baliem, rencana itu mulai dilaksanakan sesuai dengan pembagian tugas m~sing-masing yang telah disepakati bersama.
Tetapi yang berpanyakit Kusta kusta tidak ikut masak, tapi secara diam-diam pergi kehutan mencari pohon Sin yang satu itu. Kebetulan ditepi kali Balim inilah ia temukan pohon Sin yang sakti itu.
Ia segera diam-diam pergi mengebor pohon Sin itu dengan maksud supaya mereka dapat bersembunyi didalam pohon Sin itu kalau ada musuh yang mengejarnya. Pekerjaan ngeboor pohon ini ditekuni terus oleh yang berpenyakit kusta itu sampai selesai tanpa diketahui oleh kawan-kawannya.
Begitu selesai, ia mulai naik diatas pohon sin itu untuk mengintai kalau-kalau pasukannya Pupa yang mengejar mereka akan datang. Dan kawan-kawan lainnya semuanya serba sibuk memasak makanan diteli kali Baliem dengan gembiranya. Segeralah ia kembali ketempat kawan-kawannya yang sedang masak babi tetapi begitu ia tiba ditempat kawan-kawannya ternyata kawan-kawannya sudah selesai makan, dan dia sendiri tidak kebagian makanan. Anehnya dia tidak pernah menuntut atau marah kepada kawan-kawannya.
Ia selalu secara diam-diam pergi ketempat pohon sin itu untuk mengintai jangan-jangan situan babi dengan pasukan-pasukannya datang menangkap mereka. Pada suatu saat dimana ia sedang mengintai diatas pohon Sin itu, dari jauh terlihat olehnya pasukan dari situan babi datang dengan beribu-ribu anggotanya. Segeralah ia turun dari pohon Sin itu dan lari pergi menemuni kawan-kawannya ditepi kali Baliem dimana mereka sedang kumpul masak-masak, sesampai disana ia segera memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa pasukannya situan babi sedang datang untuk menangkap kita. Begitu kawan-kawannya mendengar hal ini, segeralah mereka berkemas-kemas untuk melarikan diri, tetapi mereka bingung melarlkan didi kemana. Sikusta ini melihat roman muka dari kawan-kawannya yang sudah pada ketakutan, ia malah mengejek kawan-kawannya katanya "semuanya kamu mampus" Semua pada kebingungan kecuali sikusta yang tinggal tenang-tenang saja karena ia sudah ada tempat untuk bersembunyi yang tidak mungkin tidak akan diketemukan oleh musuh.
Melihat gelagat dari kawan-kawannya yang pada ketakutan sikusta sudah jatuh kasihan dan terus dipanggilnya mereka berkumpul dipohon sin yang sudah diboor tadi oleh sikusta. Setelah terkumpul semua tiba-tiba pohon sin itu terbuka batangnya dan semuanya disuruh masuk oleh sikusta kedalam pohon sin itu.
Yang terakhir masuk adalah sikusta itu sendiri. Mereka masuk kedalam pohon itu dengan membawa makanan berupa sayuran hipiri, dan daging babi yang mereka masak tadi. Sedangkan pasukan situan babi makin dekat dan mereka melihat bahwa dipinggir kali Baliem ada asap mengepul yang mana mengadakan bahwa musuh ada ditempat asap-asap keluar itu. Ternyata tujuan pasukan situan babi adalah ketempat asap itu. Setibanya ditempat itu mereka tidak melihat apa-apa kecuali bekas masak. Mereka kepung tempat itu tapi semuanya menghilang. Pasukan situan babi dibuat pusing oleh rombongan sikusta. Tetapi salah seorang dari anggota pasukan situan babi rupanya sangat teliti sekali mencari jejak rombongan sikusta disekitar pohon sin itu.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi orang yang sedang menyunyah tulang babi keluar dalam pohon sin itu. Segera dipanggilnya anggota pasukannya dan meneliti keadaan pohon sin itu. Mereka periksa semua mulai dari cabang sampai keranting-ranting pohon sin itu tetapi sia-sia juga.
Akhirnya mereka ambil keputusan untuk menebang pohon sin itu. Ternyata usaha ini juga tidak berhasil menemukan rombongan sikusta. Padahal rombongan sikusta bersembunyi dilubang ranting-ranting yang kecil yang ketika roboh, ranting-ranting itu hanyut oleh kali Baliem.
Terpaksa rombongan situan babi pulang dengan hampa tangan. Sedangkan ranting-ranting kayu yang digunakan sebagai tempat persembunyian rombongan sikusta yang hanyut oleh kali Baliem itu, terdampar ditepi muara sungai karena air sungai sudah surut. Penduduk kampung sekitar tempat ranting kayu itu terdampar kebetulan hanya wanita-wanita saja. Begitu mereka melihat ranting-ranting kayu yang terdampar dimuara sungai itu, wanita-wanita itu segera mengumpul ranting-ranting kayu itu dan memasukkan dalam kandang untuk disimpan. Tak seorangpun wanita-wanita itu mengetahui bahwa dalam ranting kayu itu ada tersembunyi laki-laki rombongan sikusta. Disamping ranting-ranting kayu itu disimpan juga wanita-wanita itu menyimpan bahan-bahan makanan seperti betatas masak (ubi jajar) dan lain-lain sebagai makanan untuk dimakan kembali pulang dari kebun. Demikian setiap pergi kekebun wanita-wanita ini selalu meninggalkan makanan dikandang tempat ranting-ranting kayu itu tersimpan. Anehnya, setiap mereka kembali pulang dari kebun semua makanan yang mereka tinggalkan didalam kandang habis entah dimakan oleh siapa. Mereka mencari tahu siapa sebenarnya yang menghabiskan makanan yang mereka tinggalkan didalam kandang itu. Akhirnya mereka menuduh adik perempuan mereka sendiri dan memukulnya sampai luka-luka. Tetapi adiknya selalu menyangkal tuduhan itu. Tetapi kakak-kakak perempuan tetap menuduh bahwa dia yang menghabiskan makanan itu. Kejadian ini berlaku setiap hari dan akhirnya sang adik menyarankan kepada kakak-kakaknya, agar dia disembunyikan ditempat dimana makanan itu tersimpan untuk mengintai siapa sebenarnya yang selagi menghabiskan makanan mereka. Kakak-kakaknya menyetujui saran adiknya ini. Besok harinya, sebelum mereka pergi kekebun adik perempuan ini disembunyikan pada susut dapur dan semua makanan ditinggalkan didapur.
Baru kakak-kakaknya berangkat kekebun kecuali adiknya yang ditinggal dirumah, karena ia diberi tugas mengintai siapa sebenarnya yang menghabiskan makanan mereka, setiap mereka tinggal pergi ke kebun.
Begitu keadaan rumah sudah sepi, keluarlah semua anggota sikusta untuk mengambil makanan yang biasa ditinggalkan oleh perempuan-perempuan itu di dapur.
Hal ini jelas sudah terlihat oleh wanita yang ditugaskan mengintai mereka ini. Setelah semua makanan mereka sikat habis, kembalilah si kusta ketempat persembunyian mereka, sedangkan si pengintai sudah mengetahui semua peristiwa ini.
Pada sore hari pulanglah kakak-kakak perempuan ini dari kebun. Begitu mereka sampai dirumah, terus menanyakan hasil pengintaian yang dilakukan oleh adik perempuan mereka. Tanyanya kepada adiknya, ! Bagaimanakah ?? sudah dapatkah ??
Jawab adiknya : Yah ... semua saya sudah lihat.
Bahwa didalam kandang kita ada laki-laki yang ganteng-ganteng dan jago-jago bersembunyi disitu. Mereka keluar mengambil semua makanan kita yang ada dan terus mereka makan. Sehabis makan, mereka terus masuk kembali kekandang.
Hal ini sangat mengherankan kakak-kakaknya.
Dengan perasaan heran, mereka cari semua laki-laki itu didalam kandang. Tapi anehnya tak seorangpun yang mereka temukan. Mereka terdiam sejenak. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka ada yang mengatakan, mungkin mereka-mereka itu bersembunyi didalam ranting-ranting kayu dari pohon sin yang tersimpan didalam kandang kita itu. Nah kalau kalau begitu coba mari kita cari sahut kawan-kawan lainnya.
Dengan perasaan gembira yang me-luap-luap, semua ranting-ranting kayu itu dikeluarkan dan satunya mulai membelah kayu itu. Begitu kayu itu terbelah, maka terlihatlah olehnya seorang laki-laki tersembunyi dalam kayu itu. Segeralah keluar laki-laki itu dan wanita dengan penuh rasa gembira yang tak terhingga, langsung memeluknya serta mengatakan kepada kawan-kawannya : "Ini Suami saya". Saya dapat dia didalam ranting kayu itu.
Setelah hal ini diketahui oleh kawan-kawannya, satu persatu mereka mulai ambil-ambil bagiannya masing-masing untuk membelah kayu sin itu. Dan ternyata usaha mereka ini tidak sia-sia belaka. Setiap orang yang kebagian seorang laki-laki yang langsung menjadi suaminya. Kecuali adik mereka yang ditugaskan mengintai laki-laki ini yang belum mendapat pasangan karena ia tidak kebagian ranting kayu itu.
Sehingga ia mengeluh. Mengapa saya tidak dapat bagian ?? Bolehkah saya mendapat seorang dari kakak-kakak ??? Keluhnya. Kakak-kakaknya menjawab : Kami hanya mendapat bagian yang pas-pas saja yakni masing-masing hanya satu orang.
Jadi tidak bisa kami bagi lagi dan terpaksa adik sendiri tidak memperoleh bagian, ejek kakak-kakaknya.
Sang adik sangat sedih sekali perasaannya karena hanya dia sendiri yang tidak mendapat pasangan seperti kakak-kakaknya. Tapi dia masih punya perasaan bahwa dia akan mendapat pasangan juga. Ia tidak berputus asa.
Setelah ia perhatikan semua laki-laki yang ada sekarang ini, ia merasa bahwa menurut ingatannya sewaktu mengintai tadi, bahwa masih ada seorang laki-laki diantara ini yang belum hadir dan belum berada ditempat ini. Seingatnya bahwa laki-laki itu warna kulitnya kuning, sedangkan yang ada sekarang, tidak ada yang kulitnya berwarna kuning. Nah kalau demikian, baiklah saya akan periksa mungkin masih ada ranting - ranting kayu yang tertinggal didalam kandang.
Begitu dia periksa, ternyata masih ada satu tangkai kayu sin itu yang belum terbawa keluar tadi oleh kakak-kakaknya, tapi kayu itu banyak ber-buku-buku. Mungkin karena banyak buku-bukunya maka kayu itu tidak dibawa oleh mereka, pikirnya. Dibawanya keluarlah kayu itu dan begitu kakak-kakaknya melihat kayu itu, mereka mengatakan sambil mengejeknya bahwa kayu itu tadi mereka sudah belah, tapi karena banyak buku-bukunya sehingga kayu itu tidak bisa dibelah karena kerasnya. Kami sendiri tidak dapat membelahnya, apalagi kau, ejeknya.
Ejekan kakak-kakaknya ini hanya dijawabnya dengan senyum penuh harapan. Saya coba-coba dulu. Nanti kalau tidak berhasil, apa boleh buat sudahlah. Ditekuninya kayu itu dengan kampaknya dengan penuh harapan yang sangat meluap-luap. Dan ternyata usahanya ini betul-betul tidak sia-sia belaka.
Kayu itu terbelahlah, dan keluarlah seorang laki-laki yang ganteng dan perkasa dengan warna kulit kuning sesuai dengan apa yang dia saksikan pada waktu dia mengintai mereka-mereka ini.
Dengan gembiranya ia berteriak kepada kakak-kakaknya : Ini suami saya katanya; Saya dapat yang ini, yang lebih ganteng dari pada kakak-kakak punya, ejeknya. Begitu kakak-kakaknya melihat kenyataan ini, mereka jadi merasa iri hati.
Engkau wanita yang mukanya jelek mau kawin dengan laki-laki yang ganteng dan gagah seperti diakah ?? Ejek kakak-kakaknya. Lebih baik berikan kepada kami laki-laki itu dan nanti kami ganti dengan yang lain, Ejek kakak-kakaknya lagi.
Tadi adik sudah katakan toh ?? Dan kakak-kakak tidak mau bagi sama saya toh ??. "Sekarang saya tidak mau, karena ini adalah hasil usaha sendiri", kata sang adik.
Akhirnya kakak-kakaknya mengalah.
Dengan demikian semua wanita-wanita ini sudah mempunyai pasangan (suami) masing-masing.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, demikian seterusnya pasangan-pasangan ini melewati hidupnya dengan perasaan bangga dan bahagia, tetapi disamping itu suami-suami mereka tidak pernah membantu pekerjaan istrinya baik mengerjakan kebun maupun mengolah hasilnya bahkan sampai memasaknya. Hal itu tidak pernah dilaksanakan, kecuali suami dari adik perempuan mereka sendiri yang setiap harinya pergi bersama-sama istrinya membantu pekerjaan-pekerjaan dikebun. Sedangkan suami-suami dari kakak-kakaknya tidak pernah demikian, dan mereka hanya tinggal dirumah saja setiap harinya. Pekerjaannya hanya menghias diri, menganyam sekan, mengarang syair-syair lagu dan menyanyi-nyanyi terus.
Sedangkan istri-istri mereka setiap harinya bekerja dikebun mulai dari membersihkan kebunnya sampai mengolah hasilnya. Bahkan sampai memasaknya. Itu semuanya dikerjakan oleh sang istri. Tidak seperti halnya dengan suami dari adik sendiri.
Dia setiap harinya membantu pekerjaan istrinya, demikian seterusnya. Pada suatu ketika, begitu istri-istri mereka kembali dari kebun dan melihat tingkah laku dari suami-suami mereka yang pekerjaannya hanya itu itu saja, istri-istri ini bertanya kepada suami dari adik perempuan mereka :
"Apakah suami-suami kita ini dulunya tidak pernah bekerja seperti kau ini ??" Apakah mereka tidak bisa mencontoh rajinnya suami dari adik kita ini ??.
"Apakah mereka-mereka setiap harinya tidak merasa laparkah ?? Mendengar pertanyaan-pertanyaan dari istri-istri ini, laki-laki ini hanya tersenyum saja. Tapi secara diam-diam pergi melaporkan hal itu kepada semua kakak-kakaknya (suami-suami).
Mendengar laporan ini. Kakak-kakaknya pada marah, sebab mereka rasa tersinggung dan terpukul perasaannya. Mereka berpikir, kira-kira apa tindakan yang akan mereka laksanakan sehubungan dengan hal itu.
Keesokan harinya, mereka berkumpul dihalaman rumah, membicarakan apa yang akan diperbuat oleh mereka. Dan pada saat itulah diputuskan bahwa mereka akan meninggalkan istri-istrinya. Begitu keputusan itu diambil, semua mereka langsung mengatur dirinya dengan jalan menghias diri sedemikian rupa, kecuali laki-laki yang rajin itu tidak ikut ambil bagian, sebab ia pagi-pagi sekali sudah berangkat kekebun sendirian. Jadi ia tidak tahu-menahu tentang keputusan mereka ini. Begitu selesai menghias diri, dipanggillah semua istri-istri mereka untuk menyaksikan mereka. Katanya, Hee " lihatlah kemari."
Istri-istri mereka pada heran melihat sikap dari suami-suami mereka yang sedang berkumpul dihalaman.
Begitu mereka lihat keluar, laki-laki yang tertua mulai sssssst......... terbang hilang, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka terbang keangkasa tinggi dan tiba-tiba menghilang entah kemana. Dengan hilangnya suami-suami mereka ini, semua istri-istri mereka berteriak-teriak, aduuuuuuh ....... aduuuuuuu, kembali. ...... kami tipu . . . . . . kami tipu. Laki-laki itu sempat menjawab "Kami sudah dimarahi, maka kami cerai saja."
Lalu hilanglah mereka dari pandangan istri-istrinya.
Dengan kepergian suami mereka ini semua istri-istri dalam keadaan sedih dan berduka. Tapi kepergian suami mereka ini tidak diketahui oleh suami dari adik perempuan mereka. Sehingga yang masih tertinggal hanyalah dia satu-satunya. Sebab dia sudah lebih duluan keluar rumah pergi kekebun sebelum kakak-kakaknya menghilang.
Setelah matahari mulai gelap, barulah ia kembali dari kebunnya dan langsung masuk kerumah tempat tinggal kakak-kakaknya. Biasanya, begitu ia kembali dari kebun, kakak-kakaknya selalu ada dirumah, tapi anehnya kali ini mereka tidak ada. Semua ruangan dia periksa, tapi tak seorangpun yang ia temukan. Dan ibu-ibu sebelumnya sudah bersatu untuk merahasiakan hal ini kepadanya. Dengan maksud agar laki-laki yang tinggal satu-satunya ini menjadi milik mereka bersama.
Kemana kakak-kakak saya semua ini ?? Tanya si laki-laki ini kepada ibu-ibu.
Ibu-ibu malah balik bertanya padanya : Kemana mereka itu ?? Kami juga tidak tahu. ah, pasti kamu tahu, jawab laki-laki itu. Beritahu saja dimana mereka-mereka itu semua desaknya. Karena laki-laki itu mendesak terus kepada ibu-ibu akhirnya rahasia kepergian kawannya terpaksa terbongkar oleh mereka sendiri. Mereka beritahukan bahwa kawan-kawannya semua terbang pergi meninggalkan kami disini karena dapat marah dari kami sendiri. Mendengar hal ini, laki-laki itu mulai berpikir untuk bertindak seperti yang diperbuat oleh kakak-kakaknya.
Keesokan harinya, ia mulai menghias diri seperti kakak-kakaknya, dan setelah itu ia keluar halaman dan terus memberi tahu kepada ibu-ibu yang ada disitu, eeeee lihat kemari, katanya.
Sebelum itu istrinya sudah siap lebih dahulu untuk mencegah niat suaminya itu.
Dan ia lebih dahulu keluar dan langsung mendekati suaminya. Tapi rupanya maksud ini lebih dahulu sudah diketahui oleh suaminya, sehingga begitu ia keluar, suaminya langsung : sssssst ....... terbang hilang, tapi istrinya hanya sempat pegang burungnya saja (kemaluannya) dan ia pegang dengan sekuat tenaga, sehingga burungnya itu tercabut, tapi suaminya tetap terbang terus sampai menghilang entah kemana arahnya.
Oleh istrinya burungnya ini dia simpan diatas dapur persis dimana ia duduk setiap saat. Maksudnya supaya burung itu bisa kering. Sebab menurut keyakinannya burung yang sudah dikeringkan itu bisa mengadakan hubungan jasmani dengannya. Caranya, dengan mengucapkan : Liko-liko-liko, yang artinya : masuklah-masuklah.
Masuklah ketempat biasa, maka begitu mendengar ucapan itu, burung ini segera masuk ketempat tuannya.
Ternyata hal ini memang betul dilaksanakan oleh perempuan itu. Setiap ia pulang dari kebun dan langsung masuk kedapur, begitu ia masuk kedapur, dipanggilnya burungnya itu dengan : Liko-liko-liko, demikian dan seterusnya. Maka turunlah burung itu dan langsung masuk ketempat biasanya, dan begitu selesai burung itu naik lagi kesarangnya semula, demikian dan seterusnya.
Pada suatu ketika waktu ibunya sedang berada dikebun, datanglah seorang perempuan dengan maksud untuk merokok, dan yang ada hanya burungnya saja. Perempuan itu masuk dan duduk persis ditempat duduk yang biasa tuannya selalu duduk. Sang burung, begitu mendengar ada orang didalam dapur itu, segeralah ia turun dan masuk ketempat biasanya. Tapi perempuan ini tidak tahu sehingga burung itu selalu dibuangnya saja ketempat lain. Tapi sang burung masih terus mencari-cari tempat yang biasanya. Dan perempuan itu membuatnya terus. Dia berpikir ada apa ini?
Burung itu masih tetap seperti semula. Setelah bosan perempuan ini, maka burung itu dibuang kedalam api dan terbakar, sehingga akibatnya mengeluarkan ledakan-ledakan yang menakutkan. Pikir perempuan itu : Barang apa sebenarnya yang saya masukkan dalam api ini ? Mungkin ini menjadi suatu persoalan dengan diri saya. ? Akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu. Saat itu hari sudah mulai gelap.
Begitu ia meninggalkan rumah itu beberapa lamanya pulanglah orang-orang dari kebunnya menuju rumahnya masing-masing. Tidak ketinggalan yang punya burung ini. Ia juga pulang kerumahnya dan ia langsung masuk kedapurnya memanggil burungnya.
"Liko-liko ......... liko-liko ........ liko-liko - - --, tapi tidak ada yang muncul.
Dia panggil lagi. Liko; liko ........ liko-liko ...... liko-liko .... juga tidak ada.
Kemanakah perginya burungku ? tanyanya dalam hati. Diperiksanya sekitar tempat itu, tapi tak ada yang ia temukan. Pandangannya lalu dialihkan ketempat api yang sedang mengeluarkan asapnya ternyata burungnya itu sudah terbakar dan sudah dimakan oleh api.
Yang ada hanyalah bangkainya saja.
Ia tanya kepada ibu-ibu lain : Mereka mengatakan bahwa tadi ada seorang ibu yang masuk disitu untuk mengambil api untuk merokok.
Segera dicarinyalah wanita itu, dikampungnya. Begitu ketemu ia langsung menanyakan burungnya itu. Jawabnya, memang saya tadi singgah merokok didapurmu itu. Tapi ketika saya duduk-duduk merokok datanglah burungmu itu langsung masuk ditempat pinta manusia. Dan waktu itu saya langsung tangkap dia dan masukkan kedalam api.
Karena saya takut, maka diam-diam saya pergi meninggalkan tempat itu. Begitu mendengar keterangan dari perempuan ini, si Tuan burung ini mengatakan, baiklah. ltu saja. Saya datang hanya untuk menanyakan burung saya itu.
Dan keesokan harinya wanita yang datang merokok itu dibunuh hanya gara-gara burungnya yang dibakar.
Dan mulai dari saat itu selalu timbul peperangan dikalangan masyarakat;
18. BOKIAS MNAREWI MBAM TABAM
MAIBRAT
Karena takut serta curiga iapun meninggalkan kebunnya serta bergegas pulang kerumah, untuk menyampaikan hal tersebut kepada ibunya. Si gadis itu menduga bahwa ada seorang pemuda yang menaruh simpati kepadanya, serta ingin memanahnya tetapi meleset dan mengenai sokonya. Oleh karena itu ia memohon kepada ibunya agar dia diidzinkan untuk mencari pemuda tersebut dihutan. Permohonannya dikabulkan oleh ibunya, dan pada keesokan harinya iapun berangkatlah menuju kehutan (kebun) serta langsung menuju tempat datangnya anak panah tadi. Sebelum ia tiba pada tempat tujuannya, ia bertemu dengan usus usus babi yang sedang terapung apung diatas air didalam sungai. Ia menyelidiki usus babi tersebut, untuk mengetahui apakah usus babi tersebut sudah lama ataukah tidak, serta ia memperoleh kesimpulan dan kenyataan bahwa usus babi tersebut sudah beberapa hari lalu dikeluarkan.
Hal ini menandakan kepadanya bahwa disekitar kali ini ada penghuninya. Sesudah itu ia meneruskan perjalanannya menyusuri kali tersebut, serta disana sini ia temukan usus-usus babi yang terapung disana sini. Karena kemauannya yang keras menjumpai sipemanah tadi, ia meneruskan perjalanannya walaupun hari sudah senja.
Setelah beberapa saat berjalan ia melihat dari kejauhan bahwa disana terdapat sebuah pondok. Ia mendekati pondok tersebut, lalu melihatnya kedalam, tetapi tak seorangpun yang dijumpainya. Tampaknya pondok tersebut tidak terurus, bahkan sisa sisa kulit serta tulang hewan panahan hasil-hasil pemburuan berhamburan disana sini. Sebagian dari pondok itu terbuat dari tulang belulang hewan. Yang mengherankan sigadis tersebut ialah bahwa didalam pondok tersebut tidak terdapat perapian untuk persiapan makanan serta untuk mendiang dihari hujan. Walaupun demikian sigadis memasuki pondok tersebut, serta menantikan siapakah penghuninya.
Setelah beberapa saat berada didalam pondok tersebut seraya menantikan kedatangan sipemiliknya, sigadis menggosok-gosokkan rotan dengan kayu untuk mendapatkan api. Setelah beberapa saat menggosok maka keluarlah api, maka iapun membuat sebuah tungku lalu dibuatnya api. Tidak lama kemudian muncullah sang pemuda memikul seekor babi sebagai hasil dari buruannya. Ketika sang pemuda melihat bahwa pondoknya terang disinari cahaya api, iapun mundur sebentar, untuk meramal siapakah pembuat api itu. Ramalannya tertuju kepada sang gadis yang pernah dipanahnya beberapa saat yang lalu. Sang pemuda memberanikan diri untuk memasuki pondok tersebut. Ketika melihat sang pemuda itu datang sigadis tertawa tersipu-sipu, karena ia mengkonstatir bahwa sang pemuda itu adalah seorang keturunan dewa. Pertemuan mereka makin hari makin intim, maka merekapun hidup disana sebagai suami isteri. Oleh karena didalam pondok tersebut tidak terdapat perapian maka ia mengkonstater bahwa sipemuda ini belum pernah memakan makanan yang masak. Karena makannya yang belum pernah dimasak, bau mulut sipemuda ini sangat mengerikan, karena menghembuskan napas yang busuk.
Untuk menghilangkan bau mulut tersebut, ia menyuguhkan sang suaminya dengan makanan keladi bakar yang diselipi dengan bu1u anjing. Setelah itu barulah ia menyuguhkan makanan masak kepada suaminya. Karena enaknya makanan masak yang disuguhkan sang isteri ia memakan makanan tersebut dengan lahapnya. Sejak ia mengecap makanan masak itu ia meninggalkan cara hidupnya yang lama, serta mulai dengan pola hidup yang baru. Sang isteri mengajari menganyam atap dan lain sebagainya sebagai akibat dari pola hidup baru tersebut. Dari perkawinan mereka berdua lahirlah seorang anak perempuan.
"Kalau bukan anak perempuanku engkau tidak akan mengenal makanan yang dimasak".
Ketika sang cucu mendengar perkataan demikian ia merasa sedih, serta berjanji didalam hatinya untuk menyampaikan hal tersebut kepada ayahnya setelah kembali nanti.
Ketika ayahnya pulang, anaknya pergi menyongsongnya. Sambil berjalan ia menyampaikan perkataan neneknya kepada ayahnya. Ketika sang ayah mendengar perkataan demikian ia merasa terhina dan bertekad akan meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke tempat semula. Pada malam harinya ia berbisik kepada isterinya serta mengatakan bahwa ia akan berangkat lebih dahulu dan ia serta anak mereka harus menyusul kemudian.
Ketika fajar mulai terbuka berangkatlah sang suami serta anjing-anjing piaranya menuju ketempat semulanya. Walaupun tempat tinggalnya semula cukup jauh tetapi ia berjalan kuat dan pada hari kedua tibalah ia pada tempat tinggalnya semula. Setelah tiga hari kemudian berangkatlah ibu dengan anak mengikuti jejak ayah mereka. Setiba mereka ditempat tersebut mereka tidak jumpa dengan ayahnya. Mereka mencari-cari kesana kemari tetapi tidak bertemu dengan ayah mereka. Keadaan dapurpun tidak berubah sebagaimana mereka tinggalkan sewaktu mereka berangkat dari tempat atau pondok mereka. Di samping pondok mereka terdapat sebidang kebun. Anjing mereka berlari kian kemari seolah-olah mengatakan bahwa tuannya berada didalam kebun itu. Kedua orang itu mengikuti anjing yang berlari-lari itu dan akhirnya mereka bertemu dengan ayah mereka yang tidak bernyawa lagi. Tubuhnya bertusukan dengan bambu dan darahnya telah membeku. Kedua orang itu meratapi mayat tersebut serta mengucapkan kata-kata penyesalan atas penghinaan ibu mertuanya. Seketika itu roh sang ayah meruba isterinya menjadi seekor burung kasuari dan anaknya dirubah menjadi burung pipit.
Burung kasuari hidup diatas tanah serta mencari makan sedangkan burung pipit hidupnya diujung pohon. Karena kasihnya terhadap sang ibu burung pipit hingga saat ini menjatuhkan buah-buahan sebagai makanan ibunya kebawah.