Lompat ke isi

Cara memperoleh hak milik belanda dengan pemilihan pendakuan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Sesuai norma yang dikemas pembentuk undang-undang, mendapatkan hak milik atas suatu benda yang terserak di semesta ini, dengan jeli ditetapkan mulai yang paling sederhana sampai dengan cara yang secara konkrit memang banyak dilakukan orang dalam kehidupan sehari-harinya. Harus diakui bahwa antara cara yang satu dengan cara yang lain, berbeda karakter sehingga masing-masing mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Lagi pula menilik sifat cara perolehan hak milik benda yang dirakit dalam Pasal 584 BW pada prinsipnya ada yang tergolong berkarakter originair dan ada yang bercorak derivatif. Mendapatkan hak milik atas suatu benda dengan sifat originair, orang yang bersangkutan pada dasarnya cara memperolehnya tidak memerlukan bantuan pihak lain. Berbeda dengan yang bersifat derivatif, dimana perolehan hak milik atas suatu benda tersebut ada campur tangan pihak lain. Sebagai contoh mendapatkan hak milik atas suatu benda secara originair adalah seperti apa yang disebutkan pertama kali oleh penguasa dalam Pasal 584 BW yakni dengan cara pendakuan atau pemilikan.

Cara memperoleh hak milik atas suatu benda dengan pemilikan atau pendakuan, selalu berkait dengan benda yang sifatnya sebagai res nullius, artinya benda yang bersangkutan tidak bertuan atau tidak ada yang empunya. Menyangkut keberadaan res nullius atau benda tak bertuan ini memang dikenal sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 519 BW. Dikarenakan benda tersebut tidak ada yang punya, oleh seseorang yang membutuhkan lalu diambil untuk kemudian didaku sebagai miliknya. Umpama seorang pemulung yang mengambil benda-benda di tempat sampah sebagai area pembuangan benda-benda yang sudah tidak dipakai. Kepemilikan benda dengan cara mendaku seperti itu tergolong sebagai model memperoleh benda secara originair, sebab tanpa perlu perantaraan pihak lain.

Jelas sekali cara memperoleh hak milik suatu benda lewat pendakuan atau pemilikan, merupakan suatu perbuatan hukum yang sangat sederhana, dan menampakkan ciri yang masing amat konvensional. Bila dicermati perolehan hak milik benda dengan cara tersebut, bila ditelusuri alur historisnya mungkin merupakan salah satu cara mendapatkan hak milik benda yang paling tua saat masyarakat masih belum maju peradabannya dengan cara pendakuan ini, dalam era moderen secara faktual Lagi pula untuk saat ini perolehan hak milik atas suatu benda Pada umumnya sudah amat sangat jarang dilakukan orang.

Cara memperoleh hak milik benda dengan perlekatan

Sesuai hakekat lanjut dikenalnya pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak dalam BW, akhirnya dikenal asas perlekatan (asas accessie). Asas perlekatan ini dapat disimak misalnya dari Pasal 507 BW yang uraiannya secara singkat dapat dikemukakan bahwa sebenarnya sesuatu benda itu termasuk golongan benda bergerak, tetapi karena oleh pemiliknya dilekatkan secara terus menerus pada benda tidak bergerak demi tujuan tertentu, maka apa yang semula merupakan benda bergerak lalu berubah menjadi benda tidak bergerak. Akibat benda bergerak itu dilekatkan pada benda tidak bergerak, akhirnya mengalami perubahan nasib mengikuti makhom benda yang dilekatinya, yakni menjadi benda tidak bergerak. Misalnya bahan-bahan bangunan seperti batu merah, kayu, genting, daun pintu, juga daun jendela, karena oleh pemiliknya dilekatkan pada tanah yang berposisi sebagai benda tidak bergerak yang dikemas oleh ahlinya yaitu tukang, maka kesemua benda-benda bergerak tersebut berubah menjadi benda tidak bergerak yang ujudnya berupa rumah.

Asas accessie yang memiliki posisi yang sangat mendasar itu, ternyata mempunyai akibat lanjut sesuai Pasal 584 BW, dapat dipergunakan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Misalnya sekawanan lebah madu datang tanpa diundang, lalu membuat sarang di bubungan sebuah rumah. Kalau dipertanyakan siapa pemilik sarang lebah madu yang kian membesar tersebut, jawabnya tak lain adalah pihak yang empunya rumah. Berarti yang empunya rumah, memperoleh hak milik sarang lebah madu lewat jalan perlekatan. Demikian pula halnya seperti apa yang dinyatakan oleh Pasal 571 BW bahwa segala apa yang melekat di atas tanah menjadi milik dari yang empunya tanah tersebut. Namun cara memperoleh hak milik benda lewat jalur perlekatan ini hanya dalam tataran vertikal, bukan horisontal.

Uraian di atas bila dibandingkan dengan sistem Hukum Adat,jauh berbeda. Mengingat dalam Hukum Adat tidak dikenal pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak, tentunya asas perlekatan ini juga tidak dijumpai. Dikarenakan Hukum Adat sekedar mengenal pembagian benda berupa tanah dan bukan tanah, sehingga yang berlaku adalah asas pemisahan horisontal, tentunya asas perlekatan juga tidak dikenal. Segala apa yang melekat di atas tanah tidak secara serta merta menyatu sebagai sebuah keseutuhan. Apa yang melekat dan ada di atas tanah merupakan golongan benda yang berbeda dengan tanah yang ditempelinya. Oleh sebab itu sesuai Hukum Adat, tentu saja tidak mungkin seseorang mendapatkan hak milik atas suatu benda lewat cara perlekatan.