Candu buat Penguasa
Majalah Tempo, 23 Juli 1977.
".... den ajembar, den momot lawan den mengku, den kaya segara."
—Pakubuwana IV.
SIAPA yang ingin jadi pemimpin, ia harus ibarat laut. Begitu
petuah dalam Wulangreh, ia harus berlapang hati, luas, sanggup
memuat dan memangku. Ia bukan advokat dari satu pihak yang
berselisih. Memang ada semboyan divide et impera (memecah belah
dan menguasai) dan ada juga divide et impera (memecah belah dan
berteriak: "amanat penderitaan rakyat"), tapi mungkin sukses
ideal seorang pemimpin hanya ditandai oleh dua hal: ia bisa jadi
milik sebanyak mungkin pihak di masyarakat. Dan masyarakat itu
tak merasa bahwa ia (dan aparat yang di bawahnya), sebagai
sesuatu yang asing dan mengancam, tak bisa mempercaya dan
dipercaya. Dengan singkat: ada dukungan, ada legitimasi. Sebab
ia bisa jadi semacam pohon rindang, tempat siapa saja bisa
berteduh.
Tapi bukankah di masyarakat ada unsur yang anu dan unsur yang itu, unsur yanq bleg-bleg-bleg dan unsur yang dok-dok-dok? Bukankah suatu negeri tak bisa jadi tempat berlindung bagi musuh-musuh negeri itu—kecuali bila negeri itu mau bunuh diri? Bukankah di negeri Pancasila kita tak bisa mengayomi yang "anti-Pancasila", seperti halnya di negeri "klas yang revolusioner" orang tak bisa melindungi "klas yang kontra-revolusioner"?
Jawabannya: nanti dulu. Hal pertama yang harus direnungkan ialah bagaimana pandangan dasar kita tentang bernegara. Yang berpandangan Marxist-Leninis akan melihat negara dan kekuasaan politik sebagai alat dalam pertentangan. Negara dan kekuasaan politik dengan begitu bukan dimaksudkan untuk memperlihatkan sikap "luas, serba memuat dan memangku seperti lautan", tapi untuk menggebuk siapa yang dianggap lawan. Suasana permusuhan pun terus disetel. Kecurigaan jadi sikap yang terpuji —dengan diberi nama "kewaspadaan".
Tak mentakjubkan, bila rakyat kebanyakan ditaruh dalam posisi yang diteliti. Bila seratus orang rakyat pada suatu pagi ramai-ramai senyum, atau bertepuk, atau pilek, hampir bisa dipastikan bahwa seorang pembesar akan berbisik-bisik: "Mereka itu ditunggangi, eh." Dan tumbuhlah dalam negeri seperti itu, terutama dalam aparat pemerintahan, "kultur intel". Ciri dari "kultur" ini adalah teriakan hampir tiap bulan tentang adanya ancaman, dan pelototan mata hampir tiap minggu ke arah luar pintu: menebak musuh.
Adapun tentang siapa yang "musuh" dan siapa yang bukan, tentu saja si berkuasalah yang menentukan. Si tertuduh tak banyak kesempatan (apalagi hak) membantah. Jika ini dianggap sewenang-wenang, memang begitulah. Kaum Marxis-Leninis menyatakan, bahwa hukum—yang di negeri lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh berat sebelah—bagi mereka justru merupakan alat dari klas yang berkuasa. Memang, Marx dan Lenin bukanlah pengarang Wulangreh.
Tapi kiranya tak bisa diingkari bahwa pengaruh Marxisme sangat kuat. Juga di Indonesia. Para pionir pemikiran politik Indonesia, terutama Bung Karno, bukan orang asing dengan Marxisme. Bahkan suasana menerima Marxisme-Leninisme pernah berkembang leluasa kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Tak akan mengejutkan bila banyak di antara orang Indonesia yang di tahun-tahun itu baru berkenalan dengan pemikiran politik, sadar atau tak sadar terbawa oleh ide-ide? dasar paham tadi. Mungkin banyak yang kini menyatakan anti. Mungkin ada yang mengakui bahwa tak semuanya jelek dari sana. Yang jadi soal ialah: adakah cukup banyak yang kini ingat, bahwa semangat totaliter Marxisme-Leninisme bisa seperti candu, yang terus mempenyaruhi sikap dan pandangan seseorang tanpa disadarinya sendiri.
Candu itu tentulah bukan candu bagi rakyat. Sebab, rakyat ternyata bukan yang jadi hakim, bukan pula jadi jaksa.