Bumiku Yang Subur/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

4. Hijau,... hijau bumiku sayang!

Pak guru di sekolah sudah mengajarkan kepada kita:

Negara kita namanya: Republik Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1982 akan merayakan Hari Ulang Tahunnya- Kemerdekaan-nya yang ke: 37. Jadi kita sudah 37 tahun merdeka.

Negara kita ialah sebuah negara yang kaya. Kekayaannya terpendam dimana-mana. Dalam lautnya, dalam buminya, di lapisan tanahnya.

Dalam lautnya terdapat ber juta-juta ikan aneka jenisnya. Juga hasil-hasil laut yang lain. Malahan di dasar lautan itu terdapat sumber .... minyak.

Jadilah seorang nelayan. Tangkaplah ikan sebanyak-banyaknya, tak ada yang akan melarang. Asal dalam batas-batas ketentuan yang sudah ditentukan Undang-undang. Ikan di lautan itu takkan habis-habisnya. Soalnya bergantung kepada kepandaian si nelayan dan alat-alatnya.

Bumi Indonesia terhampar sangat luasnya. Tidak terdapat gurun pasir yang seluas gurun Sahara di Afrika. Dimana selembar rumput tak mau tumbuh. Dimana setetes hujan tak pernah turun sepanjang tahun. Tanah bumi Indonesia amat baik hati. Lemparkan saja sebatang pohon singkong. Ia akan tumbuh dan berdaun dan daunnya sudah boleh dijadikan sayuran. Maka kalau ditanam dengan cara yang baik tentu hasilnya akan beribu kali berlipat ganda.

Sesuatu yang ditanam dengan teratur hasilnya tentulah akan berlimpah ruah dan berlipat ganda. Kerjakanlah sawah ladang. Buatlah kebun-kebun. Kita akan dapat memetik hasilnya.

Semakin banyak dan menurut ketentuan-ketentuan cara menanamnya yang baik akan semakin banyak pula hasilnya.

Dan Tuhan sungguh Maha Pemurah. Satu butir padi ditanam. Balasannya ratusan butir. Sebutir kelapa ditanam. Sesudah sekian tahun kelapa itu akan berbuah, ratusan ya mungkin sampai ribuan buahnya. Dalam tempoh sekian puluh tahun kelapa itu akan berbuah terus-menerus. Bayangkan bagaimana bumi membalas jasa si penanamnya.

Apa saja akan tumbuh di bumi Indonesia ini. Melihat keadaan tanah dan iklimnya. Sebab setiap tanaman akan tumbuh pada tanah tertentu, pada ketinggian tertentu dan pada iklim tertentu. Ingin berkebun kelapa pada daerah yang setinggi 2.000 meter dari muka laut, oh, itu tak mungkin. Sebab kelapa suka tumbuh di daerah yang panas dan dataran rendah. Mau membuat kebun kol di pesisir laut? Oh, tak mungkin pula. Sebab kol hanya subur tumbuhnya di daerah pegunungan yang sejuk hawanya.

Jadi semuanya harus menurut ketentuan yang sudah ada. Kalau ditanam banyak-banyak dan menurut cara-caranya hasilnya akan berlipat ganda. Si pengusahanya akan boleh pula menjadi makmur hidupnya. Atau dengan kalimat lain: menjadi orang kaya. Di Indonesia tak ada larangan menjadi orang kaya. Orang kaya dan berlebihan hidupnya serta berjiwa sosial akan memakmurkan negara, Pemerintah akan senang. Hanya orang malaslah yang dibenci Pemerintah.

Tetapi semuanya tidak dapat menjadi baik sebagai suatu perbuatan sihir. "Sim salabim," dan kita lalu menjadi jutawan. "Sim salabim" sebuah gedung bertingkat tiga terbangun dalam sekejap mata. Itu tak mungkin terjadi.

Semua kemakmuran hanya tercipta dengan hasil kerja keras mempergunakan berbagai kepintaran dan keuletan. Memeras keringat. Berusaha dengan cara teratur dengan mempedomani petunjuk-petunjuk yang diberikan Pemerintah.

Mari kita kembali ke Kelok Talago sejenak! Ada sesuatu yang harus kita tinjau kembali.

Dari Kelok Talago itu kita lepas banglas dapat melihat dataran membentang dari utara ke selatan itu. Dengan barisan bukit yang sudah kita uraikan lebih dahulu ibarat bingkainya. Hamparan luas yang seumpama permadani mahaluas itu ialah sawah-sawah. Sawah-sawah itu ialah hasil 'taruko' nenek moyang zaman dahulu. Pabila hal itu terjadi tak tahulah kita. Mungkin satu abad, atau dua abad, atau beberapa abad yang silam.

Sudah sekian lama kita anak cucunya masih dapat merasakan nikmatnya. Dan kita manusia sekarang apap pula yang bakal kita wariskan kepada anak cucu kita dibelakang hari?

Manusia sekarang tak ada lagi meneruko sawah-sawah baru. Mungkin tak ada lagi tanah-tanah terluang yang dapat dijadikan persawahan yang baru. Jadi kita terpaksa mengandalkan pusaka nenek moyang kita saja. Padahal penduduk sudah berkembang biak.

Yang melambai-lambai dan me liuk-liuk itu. Itulah pohon-pohon kelapa. Sebahagian besar hasil tanaman nenek moyang pula. Namun ada juga di sela-sela oleh tanaman kelapa yang baru.

Dan hamparan hijau yang menyelimuti bukit barisan itu? Itulah hutan rimba belantara. Sudah ber abad-abad pula demikian. Malahan sudah ribuan tahun. Hutan itu penuh dengan bermacam-macam kayu. Bermacam-macam pula jenisnya.

Orang-orang memasuki hutan dan menebangi pohon-pohon itu. Mereka membuat pekayuan rumah. Mereka mengambil kayu api. Tak kunjung habisnya. Dan selalu saja hutan itu dikunjungi manusia yang memerlukan hasil-hasilnya. Jadi tidak kayu-kayuan saja. Mereka juga membabat hutan itu. Kemudian membuat ladang disana. Ada ladang gambir, ladang kopi dan dekat-dekat kampung juga ladang tembakau.

Namun mengambil kayu-kayu di hutan itu ada juga batas-batasnya. Jangan sampai mendatangkan bahaya ' e r o s i '. Juga sumber air akan menjadi kurang malahan bisa kering sama sekali. Kalau tidak berpedoman pada peraturan itu air batang Mangkisi itu mungkin menjadi kering. Dan itu suatu malapetaka.

Kini di Kelok Talago itu sudah dibuat sebuah panorama. Dari sana jelas dapat dilihat apa-apa yang sudah Lis kisahkan diatas tadi dan yang sudah lalu.

Disebelah belakang kita kelihatan sebuah gunung berpuncak tiga. Itulah gunung Sago. Pada salah satu lerengnya terdapat padang rumput yang amat luas. Disana dibangun sebuah peternakan ditempat yang bernama Padang Mengatas. Peternakan itu sudah ada semenjak pemerintahan Kolonial Belanda. Ratusan ekor lembu dipelihara disana. Tetapi pemerintah sekarang lebih hebat lagi. Seekor lembu betina bisa menjadi bunting hanya dengan suntikan saja.

Penduduk desa juga memelihara ternak. Lembu, kerbau, kambing juga jenis unggas seperti ayam dan itik. Tetapi tidak ada yang memelihara lembu sampai ratusan ekor, puluhanpun tidak. Memiliki kerbau dua belas ekor sudah terkata orang kaya.

Demikian pula kalau kita membuat peladangan. Sepuluh batang cengkeh akan memberi hasil. Tetapi seratus batang akan menghasilkan lebih banyak. Dan seribu batang akan menjadikan pemiliknya seorang jutawan. Jadi usaha itu janganlah tanggung tanggung.

Tanah yang baik untuk membuat ladang sudah berkurang. Yang masih terbuka lebar ialah di daerah hutan rimba itu. Tetapi hutan rimba itu jangan dikira tidak berpunya. Secara adat Minangkabau hutan rimba itu dinamakan ' t a n a h   u l a y a t '.

Kita tak boleh mengerjakan tanah rimba itu sesuka hati saja. Haruslah dengan seizin penghulu yang memiliki ulayatnya. Pada suatu hari terjadilah peristiwa ini:

Ada seorang pengusaha dari kota. Ia mempunyai modal untuk ditanam dalam perkebunan. Ia ingin hendak membuka hutan dan membuat ladang kopi. Luasnya kira-kira 5 ha. Orang desa takkan sanggup membuatnya sebab ketiadaan modal. Pengusaha dari kota itu sanggup. Lalu dihubunginya beberapa orang tokoh di desa. Lalu dimulainya berusaha. Tetapi akhirnya ia digugat ninik mamak. Sebab penghulu yang memiliki tanah ulayat tempat ia akan berusaha itu tidak dibawa serta. Padahal ia sudah mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Tetapi ia rupanya kurang mengerti dengan 'hak tanah ulayat'.

Baiklah Lis berkisah sedikit tentang adat Minangkabau. Sekadar menambah pengetahuan teman-teman tentang adat Minangkabau. Bukan dengan maksud menggurui.

Alam Minangkabau terkenal dengan adatnya. Yang dimaksud dengan alam disini bukanlah alam semesta melainkan daerah. Pada zaman dahulu Alam Minangkabau itu terbagi kepada tiga buah luhak. Pertama: Luhak Tanah Datar, inilah luhak yang asli. Kedua: Luhak Agam dan ketiga ialah Luhak Lima Puluh Kota. Ibu kota ketiga luhak itu: Batu Sangkar, Bukit Tinggi dan Payakumbuh. Itulah daerah asli Minangkabau. Daerah-daerah diluarnya dikatakan: 'Daerah rantau Minangkabau'. Di daerah luhak dikepalai oleh penghulu dan daerah rantau dikepalai oleh: 'raja'. Luas juga daerah rantau Minangkabau itu pada zaman dahulu. Antaranya: Bandar X (Pesisir Selatan sekarang), Tiku Pariaman, Kerajaan Tigo Selo (sepanjang Batang Hari), Kuantan, Kampar Kiri dan Kampar kanan. Dan malahan sampai ke Negeri Sembilan (Malaysia).

Dalam ketiga luhak itu ada dua 'Kelarasan'. Yang dimaksud dengan kelarasan ialah cara pemerintahannya. Kedua kelarasan itu ialah : Bodi Caniago dengan Koto Piliang. Bodi Caniago dengan sistem demokrasi seperti dalam negara kita sekarang. Dan Koto Piliang sebagai cara be raja-raja (feodal).

Penghulu memegang hak tanah ulayat. Raja-raja memegang hak memungut bea cukai. Yang menjadi tanah ulayat ialah: hutan tanah atau tanah mati yang tidak mempunyai pemilik pribadi. Daerahnya ialah: rimba, gunung, bukit, padang, paya rawang, lurah sungai, tasik danau.

Para penghulu boleh mendapat keuntungan dari daerah yang dikuasainya itu. Dalam kata-kata adat dikatakan: ' kesawah berbunga emping, ke rimba berbunga kayu, ke tambang berbunga emas.

Peraturan adat dalam memungutnya dibagi kepada empat macam yang dinamakan: adat bunga kayu, adat takuk kayu, adat bunga tanah dan adat tanam batu.

Seseorang ingin hendak membuka ladang dalam rimba. Ia harus meminta izin kepada penghulu yang punya ulayat. Kepada orang itu akan ditunjukkan batas-batas sampai dimana ia boleh mengusahakannya. Sesudah ada persetujuan ia akan mengisi adat kepada penghulu. Itulah yang dinamakan adat takuk kayu.

Jika meneruka tanah mati, keuntungan bagi penghulu yang punya ulayat sepuluh persen dari hasilnya.

Penghulu dalam pesukuan kami gelarnya Datuk Bagindo Rajo. Ia mempunyai dua bidang tanah ulayat dalam rimba Mangkisi. Tanah ulayat itu cukup luas. Dan satu bidang ada pula riwayatnya.

Pada suatu masa, puluhan tahun yang silam seorang nenek moyang memberikan sebidang tanah ulayat itu kepada anaknya. Nama nenek moyang kami itu Tu' Layau. Masih ingat bukan? Secara adat pemberian itu dinamakan: 'hibah'. Tetapi ada pula ketentuannya.

Pertama: Tanah itu menjadi miliknya selama masih ada tanaman yang tumbuh diatas tanah itu. Tanaman itu ialah: gambir.

Kedua: Selama masih ada keturunannya.

Jadi menutut adat dan persyaratan itu, selama masih ada tanaman itu dan selama masih ada keturunannya tanah itu tetap dimilikinya. Dan bila putus maka hak tanah itu kembali kepada kaum kami.

Gambir yang ditanam Tu' Layau kemudiannya punah. Keturunan terakhir anak Tu' Layau juga punah. Sepanjang adat otomatis hak ulayat tanah itu kembali kepada penghulu kami. Tetapi mendadak muncul seorang lain, keturunan jauh dari almarhum anak Tu' Layau. Ia mengaku dialah penerus hak milik tanah itu. Tentu saja hal itu melanggar peraturan adat. Hampir saja terjadi hal-hal yang kurang baik. Karena mereka tak mau mengerti dengan peraturan adat.



. / / .