Bumiku Yang Subur/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

1. Anak orang pensiunan

Rumah kami berbentuk tanduk kerbau. Bentuk itu ialah menurut secara adat negeri kami. Puncak yang berbentuk tanduk kerbau itu dinamakan 'gonjong'. Ada rumah yang ber gonjong dua, ada yang bergonjong empat dan ada juga yang ber gonjong enam. Dan ada juga yang bergonjong lima.

Rumah kami hanya ada dua buah gonjongnya. Dahulu atapnya terbuat dari ijuk sekarang sudah diganti dengan seng.

Dibawah atap berbentuk tanduk kerbau itu ada enam jiwa. Setiap jiwanya punya satu raga. Dan setiap raga memiliki sebuah mulut. Setiap mulut itulah setiap hari harus disuapi dengan makanan. Makanan terutama ialah: nasi. Nasi didapat dari padi. Padi harus ditanam di sawah.

Dua puluh tahun yang silam tubuh itu baru dua. Dan masing-masing raga itu dinamakan: papa dan ibu atau papa dan mak. Beberapa tahun mak hidup bercampur gaul terdengar suara 'ngeak' yang pertama. Itulah abangku yang kami panggil Men. Beberapa tahun kemudian lahir pula seorang lagi, seorang wanita. Itulah uni yang dipanggilkan Des. Dan beberapa tahun kemudian terdengar ngeak lagi. Nah, itulah ngeakan saya. Dalam kisah ini saya sebut saja dengan Lis walau sebenarnya namaku bukan itu. Dan beberapa tahun kemudian terdengar lagi suara ngeak. Itulah suara adik. Sesudah itu tak ada suara-suara ngeak lagi. Jadi kami adalah empat orang bersaudara. Satu laki-laki dan tiga orang perempuan.

Ketika saya bercerita ini abang atau saya panggil 'uda' sudah duduk di kelas tiga SMPP. Uni Des sudah duduk di kelas tiga tiga Es Em Pe. Dan saya sendiri baru duduk di kelas enam Es De. Adikku bernama Ris baru masuk sekolah.

Tahukah teman-teman apa kepintaran saya yang pertama. Menari? Oh, bukan! Berenang? Ah, masa! Kepintaran Lis yang pertama ialah: ma...ma.... makan. Sewaktu masih bayi makan itu bernama menyusu atau menetek. Lama-kelamaan baru tahu makan nasi. Dan Lis kuat sekali makan. Kalau orang dewasa makan tiga kali sehari Lis sendiri kadang-kadang makan sampai lima kali sehari. Yaa, anak yang tak tahu aturan.

Dan untuk menyempal perut itu papa dan mak lah yang mencarikan. Papa waktu dulu,- sepuluh tahun yang lalu,- bekerja sebagai seorang pegawai Pemerintah. Dari hasil gaji papa lah kami hidup. Dan gaji papa itu cukup pas-pasan saja, malahan kurang. Tetapi untunglah mak ada mempunyai sawah di kampung. Hasil sawah itulah yang membantu.

Sudah terang sebagai anak, kami baru menyandarkan hidup kepada orang tua. Sekarang kami harus sekolah dulu. Kemudian sesudah dewasa baru bekerja pula. Tentu saja uda yang lebih dahulu bekerja nanti. Entah akan jadi apa, entahlah. Entah jadi pegawai pula seperti papa, atau sebagai saudagar, atau seorang petani. Atau mungkin nanti akan menjadi seorang.... menteri dan bahkan mungkin menjadi seorang.... presiden.

Yah, setiap manusia yang ber kemajuan itu asal mulanya tentulah duduk di bangku Sekolah Rendah juga. Tak mungkin lalu duduk di bangku Sekolah Menengah sekali. Ia harus mulai dari bangku Sekolah Dasar. Sekolah Dasar lah namanya. Semuanya mulai dari sini. Kecakapannya, ke uletannya, kepintarannya, keyakinannya, bakatnya dan banyak syarat lain lagi untuk membawanya kepada kedudukan yang tinggi. Dan ingat: belum tentu Sekolah Dasar itu ada di sebuah kota besar. Mungkin hanya di sebuah desa yang terpencil.

Jadi kita yang duduk di bangku Sekolah Dasar sekarang kemudian hari belum dapat dibayangkan jadi apa. Bergantung pada cita-cita kita. Dan pada usaha kita mencapai cita-cita itu. Mungkin kita akan menjadi seorang importir, atau seorang sopir, atau pilot pesawat terbang, atau menjadi seorang petani, atau menjadi seorang dokter dan tidak mustahil menjadi seorang menteri. Atau mungkin akan menjadi seorang pemalas, seorang tukang gunting, atau malahan mungkin menjadi seorang ..... penjahat. Disinilah perlunya pendidikan.

Papa Lis berkisah: (dulu papa menjadi guru).

Pada suatu kali papa ngomong-ngomong dengan seorang Bupati. Heeh, tahu-tahu rupanya pak Bupati itu dahulu murid papa. Ada pula murid papa yang menjadi seorang Kolonel. Tetapi ada pula murid papa yang menjadi seorang tukang sepatu, yah ada pula yang menjadi tukang tambal sepatu. Sampai sekarang ia masih melakukan pekerjaannya sehari-hari di kota Payakumbuh.

Dan pada suatu kali papa berkunjung ke kota buaya, akh yang Lis maksud kota Surabaya. Disana papa berjumpa dengan seorang bekas muridnya yang sudah menjadi seorang anemer besar dan kaya. Seorang adik pak Menteri P. dan K. - pada waktu kisah ini ditulis Dr Doed Joesoef,- bernama Suleman Jusuf ialah bekas murid papa juga. Ia kini menjabat kepala Archeologi di Museum Negara Jakarta.

Baiklah Lis melanjutkan kisah ini dengan menceritakan tentang keluarga Lis. Terutama tentang papa. Papa dulu sebagai dikatakan diatas tadi dulu seorang pegawai negeri. Sekarang beliau sudah pensiun, dan sudah lebih 10 tahun. Teman-teman dapat membayangkan sudah berapa tahun usia papa sekarang. Namun papa masih tetap segar bugar dan kuat. Beliau masih saja menyumbangkan karya-karyanya kepada masyarakat.

Papa ialah seorang pengarang. Semua murid-murid Sekolah Dasar di Indonesia kenal dengan nama papa. Sebab buku-buku karangan papa sudah banyak yang masuk dalam Perpustakaan S.D.

Sudahkah teman-teman pernah membaca karangan papa?

Kini tentang Lis. Dalam kisah ini namaku kusebutkan dengan Lis. Sebenarnya namaku Deliyarti D. Tetapi kalau kugunakan Li saja kurang sedap pada kuping. Sebab itu tambah aksinya dengan: Lis. Tak apa bukan? Asal teman-teman tahu.

Lis tidak menyombong. Sejak duduk di kelas satu sampai di kelas lima Lis selalu pegang juara. Kejuaraan itu tidak datang begitu saja. Tetapi dengan kerajinan dan ketekunan belajar. Namun di rumah Lis sering juga kena marah dari ibu. Karena lupa mencuci piring, karena asyik membaca saja. Dan kesalahan-kesalahan lain. Yah, kita memang anak-anak yang masih banyak tingkah. Lis tak ingin mengecewakan hati ibu dan papa. Atau karena bergelut dengan adik

Uni dan uda selalu pula memegang kejuaraan dalam kelasnya. Oleh sebab itulah papa melihat jauh kedepan. Untuk keselamatan anak-anaknya dikemudian hari. Jika panggilan Tuhan datang kami jangan hendaknya telantar ditengah jalan. Perjalanan masih jauh. Biayanya tidak sedikit. Kalau hanya diandalkan pada pensiun papa saja semuanya akan gagal. Sebab itu ada sesuatu yang dapat tempat kami mengharapkan sumber biaya jika terjadi sesuatu hal yang diluar jangkauan manusia.

Ibu sudah masuk dalam asuransi. Kalau ibu meninggal dunia kami mendapat polis dari asuransi. Semua dilakukan ibu disebabkan kasih sayangnya kepada kami. Dan melihat hari depan kami, anak-anaknya. Kata orang ibu masuk asuransi jiwa sebesar: Lima ribu dollar Amerika.

Tetapi papa lain pula usahanya. Inilah kisahnya!

Kami tentu saja tidak dapat menggantungkan nasib kepada salah seorang keluarga. Atau dari salah seorang saudara-saudara kami yang satu ayah dengan kami. Mereka tentu akan punya kesibukan, kewajiban dan urusannya masing-masing. Kami tak diharapkan papa dan ibu mengharapkan hidup dari orang lain kelak.

Sebab itulah papa membuat satu usaha lain. Usaha apakah itu? Nah, itulah sesuatu yang menarik. Bukan hasil ilmu sihir sebagai dalam cerita Seribu Satu Malam. Tetapi berdasarkan sesuatu yang nyata juga.

Teruslah baca kisah ini dan pertanyaan itu nanti akan terjawab.


.//.