Buatmu Bahagia

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Buatmu Bahagia
oleh Ardita Sofyani
52624Buatmu BahagiaArdita Sofyani

BUATMU BAHAGIA


Ardita Sofyani

SMA N 1 Batusangkar


AKU berhasil menghabiskan dua gelas air mineral dalam hitungan tujuh detik saja. Kerongkonganku sudah nyaris kering, setelah selama satu jam terakhir ini aku berkutat di depan puluhan pot tanaman hiasku. Itulah kebiasaanku setiap Sore. Menyibukkan diri dengan mengurusi sahabat-sahabat kerilku itu.

Terdengar derit pintu depan rumahku, tanda pintu terbuka.

"Ibu pulang!" batinku.

Segera aku menyiapkan satu gelas air mineral lagi untuk wanita setengah baya yang kusayangi itu. Sedikit tergesa aku membawa gelas itu ke hadapannya. Sebuah senyuman manis mengiringi gerakan tanganku yang menyodorkan gelas itu kepadanya "Terima kasih, Cantik!" Dia balas senyum. Aku pun tersenyum tipis. Senyum yang dibuat-buat.

"Cantik!"ulangku dalam hati.

Cuma ibu satu-satunya orang yang bilang aku cantik. Aku sadar sekali kalau wajahku biasa-biasa saja. Sangat biasa malah. Kalau dibandingkan Agnes Monica, jelas sekali kalau aku masuk dalam kategori jelek. Tapi, walau bagaimanapun jeleknya aku, Ibu pasti selalu bilang aku cantik. Dan kupikir setiap ibu akan melakukan hal yang sama pada anaknya.

Gelas di tanganku sudah berpindah tempat ke tangan Ibu. Tanpa ragu Ibu meneguk seluruh isinya sampai habis. Sepertinya, Ibu juga kehausan. Aku yakin dia lebih lelah daripada aku. Bisa dibuktikan dengan ratusan butir peluh di dahi dan lehernya. Wajahnya juga melukiskan rasa letih yang amat sangat.

Aku menggigit bibir. Menahan sedih melihat nasib kami. Ibuku harus bekerja superkeras untuk membiayai hidup kami dan untuk mewujudkan impiannya yang menyekolahkanku sampai ke perguruan tinggi. Sejak ayahku meninggal saat aku berumur tiga ahun, ibu harus membesarkanku sendiri. Beliau pernah berjanji kepada mendiang ayah, pada saat-saat ayah sakratul maut, untuk membesarkanku dengan baik. Ibu membuktikannya. Ia membesarkanku dengan hasil keringat sendiri sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Maklum, ibuku cuma tamatan SD sehingga tidak memiliki kemampuan berdasarkan otaknya dan harus menguras tenaganya.

Aku jadi merasa bersalah sama ibu. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membalas jasanya. Untuk membuatnya bahagia, apalagi bangga. Aku orang biasa. Terlalu biasa. Bukan hanya wajahku yang biasa, otak dan kemampuanku juga biasa. Tidak ada satu pun yang menonjol dari diriku.

"I... i... bu...cc..ca... pek..., ya?" tanyaku.

Bingung? Kenapa aku bicara aneh dan terputus-putus?

Ya benar! Aku gagu. Aku cacat. Cacat lahir. Aku seorang gadis cacat. Bagaimana aku bisa membanggakan Ibu? Yang ada malah, aku sering membuatnya malu dan sedih. Satu hal yang selalu membuatku bangga kepadanya, Ibu mampu dan selalu sabar membesarkanku yang tidak normal ini. Dengan sabar Ibu menerima gosip-gosip tetangga yang menjelek-jelekkan aku. Dengan tabah Ibu menerima omongan-omongan miring orang-orang karena memiliki anak gadis yang cacat. Ibu juga yang selalu menenangkanku saat aku menangis karena diejek teman-temanku. Ibu juga yang selalu menghiburku saat aku kesepian karena tidak punya teman. Bagiku, ibuku adalah wanita terkuat sedunia.

Ibuku tersenyum dan merangkulku menuju kursi rotan tua milik kami. "Untuk Yaya, Ibu akan melakukan pekerjaan Ibu dengan ikhlas. Walaupun capek, tapi Ibu senang. Makanya, kamu sekolah yang rajin. Biar nanti nggak usah kerja capek-capek kayak Ibu!" Ibu mencium rambutku lembut.

"Bb..bu...! Ya...ya...sa...ya...ng..sa...m...ma...I...bu..!" aku menjatuhkan diri dalam pelukannya. Berada dalam pelukannya begitu damai. Mataku mulai memanas. Aku ingin menangis. "I...bbu... u...ddah...ba...nyyak...be..kor...ban. Ta...pi..., Ya...ya...eng..ggak..bi...sa...ka...ss...sih...a...pa...a..pa...bu...at...I...bbu... Ya...ya...ng...gak..bi...sa...bi...kin...I..bbu..ba...ng...ga..Aku...cu.,.ma... bi...kin..I...bbu...ma...lu..dan...su...sss...sah...!" tangisku pecah.

"Ibu sudah banyak berkorban. Tapi Yaya enggak bisa Kasih apa-apa buat Ibu. Yaya nggak bisa bikin Ibu bangga. Aku cuma bikin Ibu malu dan susah," sebenarnya kalimat itu yang ingin aku katakan kepada Ibu dengan jelas dan sepenuh hati. Tapi, bagaimanapun aku berusaha keras untuk mengucapkannya, tetap saja aku tak bisa mengucapkannya dengan jelas dan lancar. Berteriak sekalipun untuk mengucap- kannya, tetap saja percuma.

ibu makin erat memelukku, membuatku makin terisak. Membelai lembut rambutku dan menciumnya lembut.

"Yaya nggak boleh ngomong begitu. Memiliki Yaya, merupakan kebanggaan bagi Ibu! Yaya jangan sedih! Jangan merasa bersalah begitu!"

"T..tta...pi...,"

"Ssstttt... Udah, ah...! pokoknya Ibu sayang sama Yaya!"

"Bu! Yaya janji, Yaya akan bikin Ibu bangga. Yava janji, Bu!" bisik batinku.

***
"Hai, selamat sore!" sapa laki-laki di depanku. Aku sempat kaget dengan kehadiran laki-laki asing ini. Aku hanya tersenyum menjawab sapaannya.

"Ibu kamu ada?" tanyanya. Aku cuma menggeleng.

"Oh...," dia mengangguk-angguk sendiri. "Ke kamu aja, deh!"

Aku memasang tampang bingung.

"Begini, aku tetangga baru kamu. Rumahku yang di ujung sana," dia menunjuk sebuah rumah yang terletak beberapa meter dari rumahku.

"Dan, ini buat kamu. Dari Mamaku. Sebagai tanda perkenalan!" dia menyodorkan sebuah bingkisan yang ada di tangannya dan aku menerimanya.

"Eh, sampai lupa! Aku, Tio! Kamu?" dia mengulurkan tangannya.

Aku menyambut uluran tangannya. Sedikit ragu untuk bersuara. Tapi, kalau aku tidak menjawab pertanyaannya kali ini, aku takut dia marah. Dengan menguatkan hati aku menyebut namaku Ya... ya..."

"Loh?" dia bingung. Aku mengangguk paham.

"A.. ku.. ga..gg..gu...!" ucapku. Aku pikir dia akan menatapku dengan pandangan mengejek, seperti ekspresi setiap orang yang tahu kalau aku cacat. Ternyata dia. mengangguk paham.

"Ow...Sorry...! Ya, udah, aku pergi dulu ya! Besok-besok aku boleh datang ke sini lagi, kan?"

Aku mengangguk. "Ma.. .kk.. .ka.. .sssih..."

Dia tersenyum dan mengangguk. Sedetik kemudian posisinya sudah berubah menjadi membelakangiku. Meninggalkanku yang masih mematung di ambang pintu.

Sebulan sudah aku dan Tio bertetangga. Dia memang berbeda. Banyak orang yang malas berteman denganku. karena aku cacat. Tapi, Tio dengan senang hati mau berkunjung ke rumahku. Setiap sore dia datang ke rumahku. sekadar bermain-main atau membantuku mengurusi tanaman-tanamanku. Ternyata dia sangat tertarik saat aku menjelaskan bagaimana aku mengurusi tanaman-tanamanku yang berbunga indah hingga ia makin sering datang mengunjungi tanaman-tanamanku. Ibuku juga senang karena sekarang aku telah mempunyai seorang teman. Biasanya aku selalu kesepian di rumah. Aku sering duduk termenung memandangi tanaman-tanamanku yang mulai berbunga. Tapi, sekarang, selain memiliki tanaman yang bermekaran indah, aku juga ditemani Tio yang sangat mengerti kondisiku. Paham keadaanku. Walau kadang ia sering mengernyit tak mengerti dengan ucapanku yang tak jelas, ia selalu berusaha memahami setiap kalimatku.

Semakin hari kami semakin akrab. Tidak hanya bicara seputar tanaman-tanaman hiasku. Kami mulai membahas tentang pelajaran sekolah (kebetulan kami sama-sama kelas dua SMA) dan tentang kisah hidup kami. Sekarang, selain kepada Ibu aku mengadukan masalahku, Tio juga menjadi teman curhat baruku. Dia memberi solusi yang baik untuk setiap masalahku hingga aku merasa nyaman jika bersamanya.

***

"Wah..., hebat sekali dia! Masih kecil sudah jadi orang yang hebat! Pasti orang tuanya senang dibelikan mobil sama dia!" komentar Ibu saat menonton sebuah infotainmen di warung depan rumah. Infotainmen itu sedang membahas profil seorang artis remaja. Film yang dibintanginya meraih sukses. Selain itu, album solo pertamanya juga laku keras. Dengan penghasilannya sendiri, dia membelikan ibunya sebuah mobil.

Ibu tak sadar kalau aku ada di sana. Aku masih berdiri di samping warung itu. Aku mengikuti ibu karena dompetnya ketinggalan di rumah, saat dia mau belanja ke warung, dan bermaksud untuk mengantarkannya. Tapi, sebelum aku sampai di dalam warung, aku menguping komentar ibu tentang artis remaja yang dibahas di infotainmen itu.

Bisa aku lihat wajah Ibu yang menyiratkan sedikit rasa bangga walau artis cilik itu hanya orang lain yang tidak dikenalnya. Aku tahu, sebenarnya Ibu sangat ingin memiliki anak yang membanggakan. Tapi sayang, aku belum juga bisa membahagiakannya. Aku berjanji, aku akan membuatnya bangga.

***
“Semoga Ibu bisa selamat perjalanan pulang dan pergi!”

“Semoga jadi haji mabrur!”

“Wah..., Bu Eri! Beruntung sekali memiliki anak, seperti Yaya! Masih kuliah, sudah bisa membiayai Bu Eri naik haji. Selamat ya, Bu!”

“Selamat jalan ya, Bu Eri! Jangan lupa oleh-olehnya...!” Masih banyak lagi model ucapan selamat yang dilontarkan orang-orang kepada ibuku saat aku dan ibuku mengundang para tetangga untuk doa selamatan atas rencana keberangkatan ibuku ke tanah suci. Ya! Ibuku akan ke tanah suci dengan hasil keringatku. Hasil usahaku. Sungguh, aku senang dan...bangga.

Selain merasa damai dalam pelukan Ibu, kali ini aku merasa begitu bahagia berada dalam pelukannya. Ibu menangis. Tangisan bahagia. Tangisan yang mengungkapkan kebanggaan.

“Bbbu....Cu...ma.. ..i... iii...ni...yang...bi..sa... Ya...ya...kas...sss..sih...bu...at..I...bu....sem.. .mua..nya...ngg..ggak.. sebb..ban...ding...sa...ma...semm..mua...yang..sudd.. dah... Ibbb..bu...kas...ssih...sam.. .ma.., Ya.. ya...”

Ibu menggeleng, menatapku dengan sayang.”Enggak, Yaya! Kamu hebat. Ibu bangga sama Yaya. Sampai kapan pun Ibu akan akan selalu sayang dan bangga sama kamu. Ini hal yang paling berarti dalam hidup Ibu! Tidak setiap orang bisa melakukan ini untuk Ibunya.”

“Yaya anak yang hebat, kan, Bu?” Tio datang menghampiri kami dengan senyumnya.

Ibuku mengangguk, “Tentu!”

“Mak...kkass...sih...Yo. In..ni... semm,. mua... jug... gga... ber.. kat...kam...mmu? aku tersenyum padanya.

Semua kebahagiaanku ini juga ada berkat Tio ada. Tio yang menyarankan agar aku merawat tanaman-tanamanku dengan lebih baik lagi sehingga tanaman hiasku makin menghasilkan bunga yang indah dan bisa dijual. Berkat sarannya, sekarang aku memiliki sebuah toko bunga yang menjual bermacam-macam tanaman hias. Saran Tio yang membuat aku memiliki penghasilan sendiri dan bisa membiayai kuliahku sendiri. Yang terpenting, aku bisa membiayai keberangkatan ibuku ke tanah suci dengan hasil kebunku. Sungguh, aku bahagia. Terlalu bahagia.  "Terima kasih, Tuhan, Engkau telah memberikan seseorang teman terbaik dalam hidupku dan Engkau telah memberikan kesempatan untuk membahagiakan serta membanggakan ibuku!"