Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama/Nyonya R.A. Sukonto

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

NYONYA R.A. SUKONTO

Ny. Sukonto waktu kecil bernama Siti Aminah. Dia dilahirkan di Klegen, Temanggung, Jawa Tengah pada 5 Agustus 1989. Ayahnya bernama R. Ng. Duryat Sastromijoyo sedang ibunya Kustiyah. Eyang dari ayah ialah R. Riwyodipuro, wedono Batur Banyumas, sedang ibunya dari garis Tumenggung Ario Danuningrat II, bupati Magelang. Siti Aminah adalah anak keempat dari sembilan bersaudara.

Waktu kecil Siti Aminah tidak mengikuti pendidikan secara formal di sekolah seperti kakak-kakaknya. Lain halnya adik-adik Siti Aminah oleh orang tuanya diberi kesempatan bersekolah. Pada waktu Siti Aminah kecil pada umumnya orang berpendapat bahwa anak perempuan cukup diberi pendidikan di rumah saja yaitu mengaji, sembahyang, membaca Al Qur'an dan juga membaca serta menulis huruf Jawa. Jadi waktu Siti Aminah tinggal bersama orang tuanya ia belum dapat membaca dan menulis huruf latin. Baru setelah menikah dia belajar membaca dan menulis huruf latin. Berkat dorongan suaminya dan atas kemauannya yang kuat akhirnya Siti Aminah pandai membaca sehingga semakin luas pengetahuannya.

Siti Aminah mengalchiri masa mudanya dan menikah dengan dokter Sukonto pada 7 September 1907. Sukonto adalah seorang dokter lulusan STOVIA (School Ter Opleiding van Inlandsche Arsten) Batavia (Jakarta). Ia adalah putera kedua dari keluarga Kamil dari Semarang. Mereka ini kemudian memperoleh tujuh orang anak, empat laki-laki dan tiga wanita. Semua anak Ny. Sukonto berhasil menyelesaikan pendidikan pada AMS-A, AMS-B, HBS, PAMS/Sekolah Guru Menengah dan salah seorang selain tamat AMS juga tamat Sekolah Analis Kimia di Bandung, semuanya pada zaman Belanda.

Setelah menikah Ny. Sukonto selalu mendampingi suami dalam melaksanakan tugas beratnya. Semula bekerja di Semarang kemudian beberapa tahun tinggal di Wonosobo, baru setelah itu dokter Sukonto bekerja di Plaju (Sumatra Selatan), Yogyakarta, Jakarta, Banjarnegara, Yogyakarta, Bandung dan terakhir tinggal di Yogyakarta sampai wafatnya.

Pak Sukonto adalah dokterpada perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Plaju. Plaju waktu itu masih sangat sepi. Letaknya di tengah hutan lebat sulit dijangkau antara daerah satu dengan lainnya, dan di situ masih dihuni oleh orang-orang Kubu. Di dalam hutan yang lebat itu kadang-kadang terdapat anak harimau bermain-main di kolong rumah. Di tempat baru ini Ny. Sukonto benar-benar merasa sepi, lebih-lebih lagi apabila sedang ditinggal suaminya berhari-hari bertugas di pedalaman. Di Plaju masalah pendidikan belum begitu maju, maka agar anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik dititipkan di rumah kakek-neneknya di Magelang, kecuali yang paling kecil.

Untuk menghilangkan rasa kesepian itu Ny. Sukonto diberi dorongan suaminya agar suka belajar membaca dan menulis huruf Latin. Berkat kemauannya yang kuat akhimya Ny. Sukonto telah lancar membaca dan menulis huruf Latin. Setelah itu dokter Sukonto mendatangkan surat kabar dan majalah, agar isterinya lebih lancar membaca. Dengan ketekunannya membaca surat kabar dan majalah itu bertambah luaslah pandangan Ny. Sukonto tentang dunia. Pada suatu hari Ny. Sukonto mendapat kabar dari temannya di Pulau Jawa tentang kemajuan para wanita yang telah mulai berorganisasi. Membaca berita itu Ny. Sukonto sangat tertarik, niatnya makin besar untuk segera pindah ke Jawa, namun harus menunggu habis kontrak kerja suaminya. Pada tahun 1924 Ny. Sukanto sekeluarga pindah tempat ke Yogyakarta. Di tempat ini dokter Sukonto bekerja pada pemerintah. Kepindahan yang telah lama diinginkan oleh Ny. Sukonto temyata dapat tercapai, sehingga berkumpullah semua keluarga.

Ny. Sukonto yang berbadan besar dan berkulit kuning itu lincah dalam gerak langkahnya. Dia termasuk orang yang ramah-tamah, supel,berteman dengan siapa pun tanpa membedabedakan pangkat, kekayaan dan golongan. Karena itu kenalannya cukup bmyak. Sikapnya itu selalu ditanamkan juga kepada putra-pu trinya. Mereka dipesan agar tidak angkuh, sombong, dan tinggi hati.Sikap terlalu rendah diri pun tidak perlu ada pada anak-anaknya. Pandai mengendalikan diri dan ramah-tamah merupakan modal yang berharga pada dirinya sebagai seorang pemimpin. Anak-anaknya selalu didorong untuk maju dalam sekolahnya, walaupun dirinya sendiri telah menjadi korban zamannya.

Pada zamannya anak-anak sebayanya umumnya tidak mendapat kesempatan bersekolah. Lebih-lebih anak wanita yang dianggap cukup hanya memiliki pengetahuan dalam hal rumah tangga saja. Keberhasilan bimbingan Ny. Sukonto terhadap keluarganya tampak dari keberhasilan anak-anaknya dari sekolahnya. Peranan Ny. Sukonto terhadap pendidikan anak-anaknya sangat besar, karena suaminya seorang dokter yang waktunya disibukkan untuk tugas-tugas kemanusiaan.

Di dalam kehidupan rumah tangga Ny. Sukonto terdapat suasanya harmonis baik antara anak dengan ayah dan ibunya. Hubungan Ny. Sukonto dengan suami, anak-anak dan saudara-saudara yang lain selalu baik dan akrab. Keadaan semacam ini berlangsung sampai tua, beranak cucu. Anak-anak bersikap hormat kepada orang tuanya sedang orang tua mencurahkan kasih-sayang sepenuhnya kepada anak-anaknya. Ketenteraman kehidupan rumah tangga ini memberikan dorongan putra-putrinya untuk belajar lebih tekun sampai berhasil sebagai diharapkan oleh kedua orang tuanya. Keberhasilan belajar mereka itu juga merupakan suatu kebahagiaan keluarga, baik orang tua maupun anak-anak itu sendiri.

Waktu pertama kali keluarga Sukonto menetap di Yogyakarta, Ny. Sukonto baru dapat menggabungkan diri pada salah satu organisasi yang ada di Yogyakarta waktu itu. Organisasi pertama yang dimasuki ialah Wanito Utomo suatu perkumpulan non politis yang didirikan ibu-ibu rumah tangga yang mula-mula hanya berkecimpung dalam urusan kesejahteraan wanita dan sosial. Dalam perkumpulan ini Ny. Sukonto sangat aktif dan bekerjasama dengan ibu-ibu perkumpulan tersebut antara lain adalah Ny. Abdulkadir. Dokter Abulkadir satu angkatan dengan dokter Sukonto, karena itu antara kedua keluarga ini sangat akrab. Atas usaha mereka berdua. (Ny. Soekonto dan Ny. Abdulkadir) organisasi Wanito Utomo dapat berkembang dengan lancar. Berhubung Ny. Sukonto tergolong orang yang aktif dan lancar bicaranya, maka dia terpilih menjadi ketua Wanito Utomo. Sebagai pimpinan organisasi Ny. Sukonto berusaha keras meningkatkan derajat kaum perempuan dengan jalan memberikan kursus-kursus ini diberikan di rumahnya. Waktu itu keluarga Sukonto tinggal di Tugu Kulon dekat pasar Kranggan. Di rumah tersebut keluarga ini mengadakan aktivitasnya, di samping di tempat-tempat lainnya.

Suatu peristiwa penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia adalah diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama 22-25 Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta. Peristiwa bersejarah ini terus diperingati bangsa Indonesia, dan 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu. Dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama ini Ny. Sukonto terpilih menjadi ketua sebagai wakil dari Wanito Utomo.

Sebagai ketua kongres perempuan yang diselenggarakan untuk pertamakali di Indonesia dalam alam penjajahan Belanda, tugas Ny. Sukonto sangat berat. Penunjukan terhadap dirinya adalah amanah perjuangan yang harus dilaksanakan dengan kesadaran dan sepenuh hati. Pada pemikiran Ny. Sukonto bahwa berhasil tidaknya amanat itu seolah-olah terletak di atas pundaknya. Namun dia yakin bahwa kongres itu akan berhasil karena telah menjadi kebulatan tekad dan merupakan keputusan bersama organisasi wanita. Karena itu walaupun tugas itu sebenarnya merupakan beban yang berat tetapi hal ini tidak dapat dielakkan lagi.

Ny. Sukonto tidaklah berdiri sendiri. Hal ini ·dapat diketahui dari susunan Panitia Kongres Perempuan Pertama yang mencerminkan kesatuan dan dukungan berbagai macam organisasi wanita waktu itu. Adapun susunan panitia kongres adalah sebagai berikut :

Ketua : R.A. Sukonto
Wakil Ketua : Siti Munjiah
Sekretaris I : Siti Sukaptinah
Sekretaris II : Siti Sunaryati
Bendahara I : R.A. Harjodiningrat
Bendahara II : R.A. Sujatien
Anggota : Ny Hajar Dewantoro

Driyowongso

Muridan

Umi Salamah

Johanah

Budiah Muryati

Hajinah

Ismudiyati

R.A. Mursandi

Kongres Perempuan Pertama yang dimulai Saptu malam 22 - 23 Desember 1928 dihadiri lebih dari 1000 orang, yang merupakan wakil 30 organisasi wanita dari seluruh Jawa dan Sumatera dan beberapa organisasi kaum laki-laki.

Kongres ternyata mendapat perhatian khusus dari intel pemerintah kolonial Belanda. Nyonya Sukonto sebagai pucuk pimpinan kongres berkali-kali dipanggil oleh intel pemerintah kolonial untuk menjawab berbagai pertanyaan.

Perlu diketahui bahwa sebagai pemrakarsa kongres bersejarah itu ialah Ny. Sukonto, Nyi Hajar Dewantoro dan Nona Sujatien (Alm. lbu Kartiwiyono) dan didukung oleh 7 organisasi wanita yaitu Wanito Utomo, Wanito Taman Siswo, Putri Indonesia, Wanita Katholik, Jong Java (bagian gadis-gadis Meisjeskieng), Aisyiyah dan JIBDA (Jong lslamieten Bond Domes Afdeeling bagian wanita).

Keputusan-keputusan Kongtes Perempuan Pertama tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Mendirikan badan pemufakatan dengan nama "Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia" (PPPI).
  2. Didirikan studie fonds(dana studi) untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan berusaha memajukan kepanduan putri.
  3. Mencegah perkawinan di bawah umur.

Kepada Pemerintah Belanda waktu itu dikirim tiga mosi sebagai berikut :

  1. Penambahan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan.
  2. Supaya pada pernikahan pemberian keterangan tentang taklik (janji dan syarat-syarat perceraian) diwajibkan.
  3. Diadakan peraturan sokongan untuk janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri.

Berbagai ungkapan diketengahkan kepada para peserta kongres. Sebelum membuka kongres Ny. Sukonto menerangkan tentang latar belakang dan maksud serta tujuan kongres itu. Mula-mula ada berbagai usulan kepada Wanito Utomo untuk bekerjasama, namun untuk sementara ajakan itu kurang mendapat tanggapan. Kemudian datang suatu permintaan agar perkumpulan wanita di Indonesia mengirimkan utusannya ke Honolulu yaitu pada Passific Congres. Itu pun diungkapkan oleh Ny. Sukonto, tetapi juga tidak mendapat perhatian karena adanya berbagai sebab, sehingga tidak menyampaikannya.

Akhirnya Nyi Hajar Dewantoro, Nn Sujatien dan Ny. Sukonto memikirkan hal itu sampai timbul suatu pendapat bahwa kaum perempuan Indonesia benar-benar masih kurang dan bahkan tertinggal jauh dalam segala hal kemajuan dibandingkan dengan perempuan negara lain dan bangsa-bangsa lain. Menurut penilaian Ny. Sukonto walaupun perkumpulan perempuan di Indonesia sudah banyak, tetapi perkumpulan-perkumpulan itu tidak dapat membicarakan nasibnya yang amat sengsara. Oleh karena itulah Ny Sukonto bersama Nyi Hajar Dewantoro, dan Nn. Sujatien berusaha mencari jalan agar ocrganisasi wanita yang banyak itu dapat berkumpul satu dengan lainnya. Bertolak dari pemikiran itulah maka timbul ide diselenggarakannya kongres. Pertemuan di antara organisasi itu tidak ada artinya apabila hanya dilakukan oleh tiga perkumpulan itu saja. Maka ketiganya mendapat bantuan dari Sunaryati sebagai juru tulis mengundang segenap perkumpulan wanita untuk bersama-sama menghadiri kongres.

Keempat orang komite yang terdiri atas Ny. Sukonto, Nyi Hajar Dewantoro, Nn. Sujatien dan Sunaryati bekerja keras untuk mengujudkan pertemuan organisasi-organisasi wanita dan juga yang bukan termasuk di dalamnya. Dari kesepakatan itu kemudian dipikirkan macam perkumpulan mana yang sekiranya dapat memberikan dukungan terhadap maksud tersebut dengan tidak merasa takut terhadap perjuangan, dan mereka diundang untuk hadir. Karena itu setelah satu minggu komite kongres terbentuk dan diberi nama "Kongres Perempuan Indonesia".

Tidak mengherankan bila berdirinya komite kongres ini mendapat tantangan, rintangan dan kritik yang tajam dari berbagai pihak. Tantangan itu dilontarkan oleh kaum kuna (kolot) yang tetap mencintai keadaan yang sudah usang itu. Kritik yang bersikap menentang itu sudah diperkirakan oleh Ny. Sukonto dan kawan-kawannya. Kaum kolot pasti menentang niat yang baik itu. Mereka akan merasa puas apabila tantangannya itu berhasil. Kaum kolot tetap menganggap rendah kaumnya sendiri, dan merasa tidak perlu mengadakan gerakan-gerakan sebagaimana dimaksud oleh Ny. Sukonto dan kawan-kawannya.

Lontaran kritik kaum kolot terhadap niat yang dipelopori Ny. Sukonto dan teman-temannya itu antara lain mengatakan bahwa kaum isteri tidak perlu berkongres-kongresan. Kaum isteri hanyalah di dapur tempatnya. Kaum puteri tidak perlu memikirkan hal penghidupan, sebab hal itu kewajiban kaum laki-laki. Ada lagi yang mengatakan bahwa kaum isteri Indonesia belum matang, l1elum dapat berdamai dalam perkumpulan.

Di mana-mana kaum kolot melontarkan kata-kata tajam karena mereka tidak menyetujui ide kongres itu. Maka Ny. Sukonto dalam pidato pembukaan kongres secara tegas mengingatkan di hadapan para peserta bahwa orang yang ingin mencapai suatu tujuan tertentu harus berani membantah semua kritik. Untuk Itu Ny. Sukonto selalu mengajak kepada kaum puteri yang menghendaki kemajuan agar pekerjaan itu dilakukan dengan sepenuh kejujuran. Dalam ungkapannya dikatakan bahwa sudah saatnya kepentingan kaum puteri zaman kegelapan diangkat. Kaum isteri hendaklah jangan hanya dianggap baik buat di dapur saja. Pemikiran itu menurut Ny. Sukonto sudah usang. Kaum isteri hendaknya dapat mengikuti tuntutan zamannya. Sebab itu Ny. Sukonto berpendapat bahwa saat itu sudah tiba saatnya kaum isteri diangkat derajatnya, sehingga mereka tidak hanya terpaksa duduk di dapur saja. Dengan pengertian itu idaklah berarti bahwa kaum puteri Indonesia lalu melepaskan tugasnya dari dapur. Kecuali kaum puteri bertugas di dapur juga harus turut memikirkan apa yang menjadi perjuangan kaum lelaki. Kaum puteri hendaknya yakin bahwa orang laki-laki dan orang peremppuan itu harus secara bersama-sama di dalam pergaulan perikehidupan pada umumnya. Dalam hal ini ditegaskan oleh Ny. Sukonto bahwa hal itu tidaklah berarti perempuan menjadi laki-laki, akan tetapi perempuan tetap tinggal masih perempuan yang derajatnya sama dengan kaum laki-laki. Selanjutnya dikatakan juga jangan sampai kaum puteri dianggap rendah lagi sebagai pendapat orang-orang yang masih kolot pemikirannya.

Ungkapan Ny. Sukonto terbuat sesuai dengan keinginan dan cita-cita teman-teman seperjuangan yang secara bulat telah memberikan dukungannya. Di samping itu sebenarnya masih banyak lagi keperluan puteri Indonesia yang perlu diperbaiki. Karena itu dirasa penting untuk mengumpulkan perhimpunan-perhimpunan putri dari seluruh Indonesia guna berdamai dan memikirkan keperluan-keperluan tersebut. Keperluan seperti dikatakan Ny. Sukonto itu agar dibicarakan oleh utusan-utusan dari perhimpunan-perhimpunan puteri yang hadir dalam kongres.

Dalam mengakhiri sambutan pembukaan pada kongres perempuan yang bersejarah itu, dia tidak lupa menyampaikan rasa hormat dan mengucapkan terima kasih kepada R.T. Joyodipura yang telah banyak memberikan kemudahan sehingga semua perkumpulan kebangsaan dapat berkongres. Ucapan yang sama disampaikan pula kepada semua perkumpulan peserta kongres yang telah memberikan sumbangan uang, perkakas dan dukungan serta pemberian tempat pemondokan.

Dilihat dari sambutan Ny. Sukonto itu tampak dengan jelas bahwa kongres perempuan yang dipimpinnya berhasil dengan baik. Hal ini merupakan karya besar yang penuh nilai hlstoris dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Peristiwa bersejarah ini selanjutnya diperingati sebagai Hari Ibu.

Setelah tidak menjabat ketua PPI, Ny. Sukonto aktif kembali di Wanito Utomo Yogyakarta sampai ia pindah ke Jakarta pada tahun 1929 untuk mendampingi suami. Di Jakarta ia masih menjadi anggota PPI. Pada tahun 1931 Ny. Sukonto menceburkan diri dalam pergerakan wanita. Kesibukannya di Jakarta waktu itu antara lain mendirikan asrama khusus untuk wanita baik yang sedang belajar ataupun yang tidak bekerja supaya mereka mendapat tempat tinggal yang murah dan terurus baik. Berkat bimbingan yang baik, maka para penghuni

asrama itu merasa dekat dengan Ny. Sukonto. Apalagi mereka sering dibuatkan kue-kue untuk selingan belajarnya.

Pada saat yang sama Ny. Sukonto juga tercatat sebagai anggota suatu badan yang terdiri atas wanita-wanita Indonesia yang berusaha mencegah penjualan gadis-gadis Indonesia. Perdagangan gadis-gadis itu dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk maksud-maksud gelap.

Pada tahun 1931 Ny. Sukonto bersama-sama G.K.R. Dewi (pelindung), R.A. Rio Gondoatojo (ketua), Rara Suwarti (sekretaris), R.A. Abdulkadir (bendahara) duduk dalam panitia peringatan 10 tahun Wanito Utomo. Dalam kata pembukaan, buku Peringatan 10 Tahun Berdirinya Wanita Utomo dilukiskan rasa gembita wanita Jawa yang telah mencapai kemajuan dalam usahanya untuk meningkatkan kesusilaan, kepandaian, keutamaan, kemerdekaan, keselamatan dan lain lain sesuai dengan tuntutan zamanriya. Kemajuan yang dicapai itu adalah berkat adanya kerjasama antara perkumpulanperkumpulan wanita. Dalam usahanya untuk meningkatkan kemajuan kaumnya pengurus Wanito Utomo mendapat bantuan dan dukungan dari segenap warga Wanito Utomo Cabang Mataram baik yang baru maupun yang lama.

Untuk mengetahui seberapa jauh peranan Ny. Sukonto dalam Wanito Utomo dapat tergambar dalam susunan kepengurusan dari tahun ke tahun sebagai berikut :

Tahun 1925 - 1926 : sebagai Bendahara I
Tahun 1926 - 1927 : sebagai Bendahara I
Tahun 1927 - 1928 : sebagai Ketua Muda
Tahun 1928 - 1929 : sebagai Ketua Muda
Tahun 1929 - 1930 : sebagai Ketua.

Pada tahun 1933 Ny. Sukonto pindah dari Jakarta ke beberapa kota lain seperti Banjarnegara dan yang terakhir menetap di Yogyakarta mendampingi suaminya yang telah memasuki masa pensiun Mulai tahun tersebut sudah tidak menjadi anggota perkumpulan wanita lagi karena sibuk mengurus rumah tangganya.

Di zaman Jepang dokter Sukonto dipekerjakan lagi di Perumtel Bandung. Waktu Jepang menyerah kepada Tentara Sekutu keluarga ini pindah lagi ke Yogyakarta. Di Yokyakarta dr Sukanto tetap bekerja pada Perumtel hingga mendapat pensiun dari Perumtel Republik Indonesia. Di Yogyakarta Ny. Sukonto menggabungkan diri pada Perkumpulan Isteri-isteri Dokter Gadjah Mada sedang suaminya menjadi anggota IDI. Selain itu Ny. Sukonto juga masuk suatu organisasi yang berkecimpung dalam pemberantasan penyakit TBC.

Walaupun sudah lama tidak menjadi anggota perkumpulan wanita, Ny. Sukonto selalu menaruh perhatian pada perkembangan pergerakan wanita, porsi wanita di masyarakat dan sebagainya. Berbagai keterangan ia kumpulkan dari wanita-wanita yang dijumpainya, baik muda maupun tua. Nyonya Sukonto tergolong orang yang luwes dan pandai bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Dalam proses tanya jawab antara mereka ternyata bukan hanya Ny. Sukonto yang mendapat keterangan-keterangan yang berharga tetapi mereka juga mendapat pengalaman yang berharga. Dengan demikian Ny. Sukonto mendapat kenalan yang luas, dan temannya bertambah banyak. Nyonya Sukonto sangat puas dan setuju sekali bahwa dalam zaman perjuangan untuk merebut kemerdekaan antara tahun 1945-1950 pria dan wanita saling bahu-membahu. Nyonya Sukonto sendiri juga rajin mengikuti perkembangan politik dengan membaca surat-surat kabar dan mendengarkan berita radio setiap hari.

Suatu hal yang mengherankan jika diketahui bahwa Ny. Sukonto tidak pernah mengikuti pendidikan formal di sekolah, karena memang waktu itu gadis-gadis tidak boleh bersekolah tetapi pengetahuannya dari waktu ke waktu semakin bertamah luas. Semula belajar membaca kitab suci Al Qur'an, kemudian belajar membaca dan menulis huruf Jawa, selanjutnya huruf Latin. Dengan senjata inilah Ny. Sukonto mengumpulkan pengetahuan umum, Ia sangat gemar buku-buku puisi dan cerita-cerita sejarah. Jadi bukan saja membaca buku-buku Mocopat, Babad Tanah Jawa, Babad Gianti, tetapi juga Robinson Crusve, De Drie Musketiaers, Graaf de Moente Christo, Hang Tuah, cerita-cerita silat dan lain-lain. Walaupun dalam berpidato sering bercampur bahasa Jawa, tetapi Ny. Sukonto dapat menangkap makna setiap buku atau tulisan dalam kedua bahasa itu. Tentu saja hal ini dapat memperluas pandangannya.

Pada tahun 1954 Ny. Sukonto mendapat kehormatan untuk meletakkan batu pertama pembangunan Gedung Wanita di Yogyakarta. Upacara peletakan batu pertama tersebut dihadiri pula oleh adiknya yaitu Mr. Ali Sastroamijoyo yang pada waktu itu menjadi perdana menteri Republik Indonesia.

Pada tahun 1957 Ny. Sukonto menerima gravie Raden Ajeng Kartini” dari perak sebagai penghargaan kepadanya atas peranannya dalam pergerakan wanita. Penghargaan ini diberikan oleh Kowani dalam suatu upacara di Gedung Wanita Yogyakarta. Ketika menerima penghargaan itu ia menyatakan rasa gembira bercampur haru terkenang terhadap apa yang pernah dilakukan. Waktu itu dalam hatinya tidak terbayang sedikit pun apakah pekerjaan itu akan dihargai atau tidak. Menurut Ny. Sukonto pekerjaan itu sangat penting tetapi tidak ada yang sanggup mengerjakannya. Karena itu, Ny. Sukonto menyatakan bahwa dia sanggup mengerjakan dan ternyata semuanya dapat berhasil.

Kehidupan Ny. Sukonto telah memberi makna dalam perjuangan bangsa yaitu menggerakkan wanita Indonesia dari belenggu keterbelakangan menuju peningkatan kesadarannya sehingga kaum wanita semakin hari bertambah maju. Demikian juga keberhasilan hidupnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang selalu menjadi pendamping suami melaksanakan pengabdiannya dalam bidang kedokteran. Nyonya Sukonto merasa ikhlas sebagian besar waktu suaminya tersita untuk pengabdian terhadap kemanusiaan.

Keberhasilan bimbingan seorang ibu rumah tangga yang baik adalah dapat tercapainya cita-cita putra-putrinya. Walaupun dalam kehidupannya banyak tantangan yang dialami tetapi semuanya itu dihadapi dengan hati tabah dan penuh rasa optimis.

Segala kehidupan di dunia selalu berubah, tidak ada hal yang langsung kecuali dikehendaki Allah. Demikian juga kehidupan manusia pada umumnya termasuk Ny. Sukonto dan keluarganya. Nyonya Sukonto dengan suaminya menikmati masa tua di Yogyakarta sampai wafatnya. Pada 19 Juni 1968 dokter Sukonto meninggal dunia di Yogyakarta. Setahun kemudian tepatnya 5 November 1969 Ny. Sukonto juga dipanggil Tuhan di kota yang sama setelah menderita sakit jantung. Ny. Sukonto maupun suaminya disemayamkan di pemakaman keluarga di Payaman dekat Magelang.

Walaupun Ny. Sukonto telah dipanggil menghadap keharibaan Ilahi namun jiwa dan semangat perjuangannya masih membara dan terkenang oleh bangsa kita khususnya kaum wanita. Peringatan hari lbu yang setiap tahun dirayakan sudah selayaknya mengenang jasa-jasa pelopor pergerakan kaum wanita yang berjuang untuk suksesnya Kongres Perempuan Pertama termasuk Ny. Sukonto.