Bakiak

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Bakiak
oleh Pinto Anugrah
52619BakiakPinto Anugrah

BAKIAK

PINTO ANUGRAH

Universitas Andalas

USAI Isya, nenek tertatih-tatih menuju rumah. Aku yang memperhatikan dari jendela menjadi heran. Apa rematik nenek kambuh lagi atau nenek terlalu lama duduk mendengarkan pengajian hingga kakinya yang telah rapuh itu menjadi kaku dan sulit digerakkan? Ah, aku jadi tertawa sendiri. Sudah beberapa kali kukatakan agar nenek salat di rumah saja, nenek tidak usah salat di masjid, nenek sudah tua. Selain itu, masjid jauh dari rumah dan jalan menuju masjid itu masih sulit ditempuh, mendaki, dan kerikilnya tajam-tajam.

Hanya saja nenek tidak pernah mendengar ucapanku. Ada saja yang menjadi alasan nenek.

"Kalau salat di masjid itu, pahalanya 27 kali lipat dari salat di rumah. Di masjid juga ada pengajian antara waktu Magrib dan masuknya Isya. Kalau nenek di rumah, apa yang

1

harus nenek lakukan? Daripada duduk-duduk buang waktu, lebih baik nenek mendengar pengajian, selain menambah keimanan juga akan mendapat pahala!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku tertunduk mengiyakan. Aku berkata seperti itu semata-mata karena mencemaskan kondisi kesehatan nenek.

Nenek sudah memasuki halaman rumah. Wajahnya kelihatan menyeringai menahan sakit, mukanya memerah. Aku segera menyongsong nenek ke tangga rumah. Setelah berhadap-hadapan aku melihat nenek tanpa menggunakan sandal, nenek berkaki ayam.

“Bakiak, Nenek?”

“Hilang, dicuri orang.”

“Dicuri orang? Tidak mungkin, Nek. Barangkali Nenek salah taruh.” Aku langsung tertawa. Mana mungkin bakiak jelek itu dicuri orang.

“Cucu kurang ajar, malah tertawa melihat nenek kesakitan dan dapat musibah.”

“Lalu, saya harus bagaimana, Nek? Mencari pencurinya, terus menghajarnya? Tidak usah sedih, Nek! Besok, kan hari pasar, saya belikan nenek bakiak baru.”

Nenek malah makin marah-marah. Bahkan, makin menjadi menyumpahi si pencuri bakiak itu. Aku sendiri heran kenapa nenek bersikap seperti itu, tidak biasanya nenek menyumpab-nyumpahi orang. Padahal, bakiak itu tidaklah bakiak bagus, bakiak usang yang entah telah berapa tahun umurnya, bahkan mungkin melebihi umurku.

Cat bakiak itu tidak ada lagi. Kayu bagian bawahnya telah habis dan kumuh berwarna tanah yang telah mengering, kayu bagian atasnya cekung membentuk telapak kaki nenek. Karet talinya telah beberapa kali diganti dan kemarin terakhir itu telah genting, hampir putus, dan beberapa pakunya telah tanggal. Tapi, yang aku herankan nenek masih saja setia memakai bakiak itu. Kalau dipikir-pikir bakiak itu tidak layak lagi dipakai.

Besoknya, pagi-pagi aku sudah pergi ke pasar. Sebenarnya aku paling malas pergi ke pasar pagi-pagi begini, hanya ibu-ibu yang memenuhi pasar. Aku lihat ke sekeliling, hanya aku pemuda delapan belas tahun yang pergi berbelanja. Tapi,

2

demi nenek aku kuatkan juga berbaur dengan ibu-ibu itu.

Sesampai di pasar, aku sempat bingung juga. Bakiak seperti apa yang sesuai dengan nenek. Pasar yang sekali sepekan di kampungku ini masih pasar tradisional, jadi barang seperti bakiak tidaklah sulit dicari—bahkan sangat mudah didapat—dan jenisnya pun bermacam-macam.

Akhirnya, aku memilih bakiak yang kayunya ringan, tetapi kuat dan tahan lama. Aku berpikir nenek akan lebih mudah memakainya. Warna bakiak ini tentu juga nenek akan suka karena nenek tidak suka dengan warna yang mencolok. Tentu saja harga bakiak ini lebih mahal daripada harga bakiak biasa. Tapi, itu tidaklah menjadi soal bagiku, asal nenek senang menerimanya. Harga yang agak mahal tidak akan berarti apa-apa.

Setelah bakiak itu dibungkus dan dibayar, aku langsung pulang. Tujuanku ke pasar hanya membeli bakiak ini, tidak ada yang lain. Aku bergegas pulang, tidak sabar memperlihatkan bakiak ini kepada nenek. Baru satu langkah memasuki halaman rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku.

“Asalamu alaikum!”

“Alaikum salam! Oh, Pak Garin! Ada apa, Pak?”

“Setelah salat Subuh tadi nenekmu melapor telah kehilangan bakiak. Ia meminta saya mengusut pencurinya.”

“Iya, Pak. Tapi, tidak usahlah diusut pencurinya, saya sudah ikhlas. Ini saya belikan nenek bakiak baru, sudah tidak jadi masalah lagi, Pak!”

“Tapi, nenekmu kelihatan sedih sekali kehilangan bakiaknya itu dan sepertinya nenekmu belum rela kehilangan bakiaknya?”

“Melihat bakiak baru ini saya yakin nenek senang dan lupa akan bakiaknya yang hilang itu.”

“Kalau begitu, saya juga ikut senang. Saya permisi dulu, mau ke pasar membeli keperluan masjid.”

“Terima kasih, Pak! Maaf telah merepotkan.”

“Tidak apa-apa. Asalamu alaikum!”

“Alaikum salam!”

Ah, nenek ada-ada saja. Pakai mengadu segala ke Pak Garin. Sambil terheran-heran dan senyum-senyum sendiri, aku terus melangkah menaiki tangga rumah.

3

Aku melihat nenek duduk di belakang mesin jahitnya yang menghadap ke sebuah potret yang tergantung di dinding. Potret itu, potret kakek yang meninggal 25 tahun yang Jalu. Nenek memandangi potret itu, raut wajahnya sedih, dan air mukanya kelihatan murung sekali, seakan nenek sedang bercerita pada potret itu bahwa bakiaknya hilang.

“Lihat, Nek! Apa yang saya bawakan untuk Nenek!”

Nenek terkesiap, namun diambilnya juga bungkusan itu dari tanganku. Nenek membukanya. Aku menunggu reaksi nenek setelah melihat bakiak baru itu. Nenek memegang bakiak itu sejenak, lalu diletakkan begitu saja di atas mesin jahit. Raut mukanya tidak berubah sedikit pun, Masih tetap sedih dan pandangannya kosong, menerawang ke luar.

“Nenek tidak membutuhkan bakiak ini. Berikan saja kepada ibumu, mungkin ibumu membutuhkannya!”

“Tapi, saya membeli bakiak ini untuk Nenek.”

“Bakiak itu tidak bisa diganti walau dengan apa pun. Kau tidak tahu sejarah bakiak itu.”

“Sejarah bakiak?”

“Ya, bakiak itu sangat bersejarah bagi kehidupan Nenek dan mendiang Kakekmu.”

Nenek tambah menerawang, tapi kali ini pandangannya tidak kosong. Ia seperti membuka gudang waktunya yang telah tertumpuk sekian tahun. Gudang waktu yang selama ini tidak pernah ia sentuh Jagi hingga telah berkabut dan berdebu. Dan, kinilah saatnya membersihkan debu itu karena ia merasa mungkin saat inilah satu-satunya kesempatan membuka gudang itu dan membersihkannya.

Setelah gudang itu bersih, mungkin ia akan tenang menanti harinya. Ia juga yakin cucunya ini dapat menjaganya dengan baik dan dapat pula membersihkannya setiap debu mulai memenuhi sudut gudangnya itu.

“Bakiak itu adalah mas kawin Kakekmu saat mempersunting Nenek. Kakekmu melamar Nenek di pengungsian saat negeri ini sedang bergejolak waktu PRRI dulu. Waktu itu bakiak termasuk barang yang sangat berharga, jadi Nenek dapat berbangga atas mas kawinnya. Bakiak itu didapat oleh Kakekmu saat ia berhasil menyelundup ke kota.

4

Namun, kebahagiaan Nenek tidak berlangsung lama, tepatnya setelah delapan tahun pernikahan kami, saat komunis merajai negeri ini. Kakekmu dituduh komunis karena bakiak itu. Saat itu bakiak merupakan barang komunis, sangat identik dengan komunis. Bakiak dipakai komunis untuk mencari pendukungnya kepada para petani dengan cara membagi-bagikannya. Jadi, siapa yang memakai bakiak, ia komunis.

Saat komunis jatuh, para pendukungnya ditangkap dan diasingkan oleh masyarakat. Saat itu kakekmu yang juga dituduh komunis ikut ditangkap, namun tidak lama karena tidak terbukti, Tapi, yang lebih menyakitkan, pandangan masyarakat telah berubah terhadapnya. Ia diasingkan masyarakat sampai akhir hayatnya.

Hal itulah yang sangat menyakitkan Kakek dan Nenekmu ini. Hanya karena memakai bakiak, orang langsung dituduh komunis. Itu juga sebabnya mengapa Nenek masih setia memakai bakiak. Bakiak itu sesuatu yang paling berharga bagi kehidupan Nenek dan Nenek juga ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa apa yang selama ini mereka pandang terhadap keluarga kita sangatlah salah, selain ingin member sihkan nama Kakekmu.

Selama hidup dengan Nenek, Kakekmu tidak pernah kelihatan bahagia karena keadaan. Kasihan Kakekmu. Tapi, untunglah, sekarang pandangan orang terhadap keluarga kita telah berubah, itu pun karena bakiak itu yang selama ini Sangat sctia menemani Nenek ke masjid. Jadi, walau bagaimanapun peranan bakiak itu tidak akan tergantikan.”

Aku tertunduk, tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ternyata, sepasang bakiak sangat berarti dalam hidup nenek. Bakiak itu telah menjadi bagian dan kehidupannya, bagian yang tidak akan terpisahkan. Tapi, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bakiak yang baru aku beli itu kini hanya pantas menjadi seonggok kayu yang siap dijadikan kayu bakar.

Bakiak itu, harus ke mana lagi aku cari. Rasanya tidak mungkin menemukan bakiak itu kembali. Aku telah berusaha mencarinya, bahkan sampai ke masjid. Aku kini benar-benar menyerah, menyerah pada keadaan.

***

5

Sejak ia bercerita itu, keadaan nenek tidaklah membaik, malah semakin memburuk. Kesehatannya langsung menurun tajam, ia kini terbaring ditempat tidur. Segala kegiatan seharihariia lakukan di tempat tidur, mulai dari salat sampai makan dan minumnya.

Beberapa dokter telah dipanggil dan obat kampung pun telah ia minum. Alasan semua dokter pun sama, penyakit tua, kata mereka. Aku tidak terlalu merisaukannya. Aku tahu kesehatan nenek menurun karena kondisi psikologisnya. Ia sangat tertekan kehilangan bakiak itu. Oleh sebab itu, sampai saat ini aku terus mencari bakiak itu. Aku yakin kalau bakiak itu ketemu kesehatan nenek pasti membaik.

“Tentang bakiak itu, Nenek sudah merelakan. Nenek sudah ikhlas!”

Aku menghentikan suapan ke nenek. Tiba-tiba saja nenek berkata seperti itu, padahal dua hari yang lalu nenek masih memaksaku agar bakiak itu terus dicari, agar segera ditemukan. Sekarang, sikap nenek malah berbalik. Tapi, aku malah semakin memikirkannya.

Nenek mengembuskan napas terakhirnya setelah satu bulan terbaring di tempat tidur. Muka nenek tampak begitu tenang. Senyumnya yang selama ini tidak pernah terlihat, kini tampak menghiasi bibirnya. Mungkin baru kali ini nenek tersenyum atau mungkin juga sudah Jama nenek tidak tersenyum.

Tersenyum saat semuanya telah fa ikhlaskan. Mungkin akulah yang paling sedih dan paling menyesal. Sampai jasad nenek dikuburkan, bakiak itu belum juga kutemukan. Aku menyesali diri sendiri yang tidak mampu menemukan bakiak itu kembali. Sedih kepada diri sendiri yang tidak mampu berbuat sesuatu untuk nenek.

***

Bulan Ramadan tidak beberapa hari lagi. Kebiasaan keluargaku setiap memasuki bulan Ramadan membersihkan rumah. Ibu selalu mengatakan, bulan suci harus disambut dengan kesucian juga. Oleh sebab itu, selain membersihkan diri, kami juga membersihkan rumah tempat kami berdiam.

Biasanya, kami selalu berbagi tugas. Ibu selalu member-

6

sihkan dapur. Adik perempuanku membersihkan ruang tengah, termasuk kamar. Ayah dan aku dapat pembagian membersihkan rumah bagian luar, termasuk halaman. Ayah memilih membersihkan halaman belakang rumah dan aku membersihkan halaman depan rumah.

Semua bagian halaman telah aku bersihkan, kini tinggal membersihkan kolong rumah. Kolong rumah ini biasa dipakai oleh nenek untuk menyimpan kayu bakar. Aku hendak melangkah ke bawah tangga membuka pintu kolong itu. Aku terkesiap, aku baru ingat, bakiak itu aku letakkan di sini. Aku gemetar, mengapa aku sampai lupa letak bakiak itu.

Bakiak itu aku sembunyikan semata-mata hanya karena ingin melihat nenek memakai sandal yang lebih layak dari bakiak itu, paling tidak sandal jepit, dan aku juga ingin memberikan sesuatu yang sangat berkesan bagi nenek. Satu-satunya yang kurasa pantas kuberikan pada nenek hanya sebuah sandal yang baru walau hanya sebuah bakiak. Ternyata, perkiraanku salah, nenek tidak menginginkan sebuah sandal yang baru. Nenek hanya menginginkan bakiak usangnya itu.

Aku mengambil bakiak itu saat nenek sedang salat di masjid.

Sesalnya, saat aku ingin mengembalikan bakiak itu ke nenek, aku malah lupa tempat menyembunyikan bakiak itu.

Wajah sayu nenek langsung melintas di depanku. Mata nenek yang selama ini menerawang, kini seperti menghunjam kepadaku. Tajam, tajam sekali, Mata itu seperti mengulitiku hidup-hidup dan aku seperti domba yang menggelepar-gelepar di tanah dengan jangat telah terpisah dari daging. Aku Seperti dihakiminya dengan beribu umpatan dan dosa yang harus aku tanggung.

Kini, bakiak itu terhampar di depanku. Bakiak yang Sungat dicintai nenek dan yang kucari-cari selama ini.

7