Azab dan Sengsara/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Azab dan Sengsara  (1920)  oleh Merari Siregar
Bab 6: Makin Jauh
Halaman ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikisumber.
Baca halaman bantuan ini sebelum mulai merapikan. Setelah dirapikan, Anda dapat menghapus pesan ini.

Hal Ihwal penduduk rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu telah kita maklumi. Siapa Mariamin, siapa ayah bundanya, telah dikenal benar-benar. Jadi tiadalah kita heran jagi, apa sebabnya si ibu bersusah hati, waktu ia sakit itu, sebagai sudah tersebut pada awal cerita ini. Nyawa manusia tiada dapat ditentukan, kalau ia mati, apa pulakah jadinya anak yang dua itu? Yang dipikulnya pun telah berat sejak suaminya meninggal dunia. Harta habis, bangsa pun hilang. Akan tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras hati. Beban itu dipikulnya dengan pikiran yang tenang. Karena, meskipun hidupnya di dunia ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh. Sekalian penanggungannya yang berat itu diserahkannya kepada Tuhan Yang Pengasih, karena tahulah ia, bahwa di dunia ini suatu pun tiada yang kekal.

Mereka anak-beranak dalam kemelaratan, siapa tahu besok lusa datang perubahannya. Meskipun kesenangan itu tiada diperoleh di atas dunia ini, tentu kita makin cinta kepada kesenangan, yang diterima umat Allah yang percaya kepada- Nya pada hari yang kemudian. Sebab memikirkan itulah si ibu bertambah-tambah asyiknya berbuat ibadat, dan ke dalam hati anaknya ia selalu menanam biji pengajaran agama, karena ia tahu, agama itulah yang menjadi tembok batu tempat kita berdiri di waktu banjir dan air pasang. Agama itulah yang memberi tenaga bagi kita akan memikul beban kehidupan kita. Agama itulah yang menghiburkan hati kita yang gundah gulana sebab keazaban dunia, karena firman Tuhan kita ketahui, hidup di dunia yang sengsara itu akan bertukar dengan kesenangan yang kekal di akhirat. Harapan akan kesenangan di akhirat, tempat bersukacita itulah menjadikan kita terhibur, meskipun air mata kita di bawah langit ini acap kali tercucur.

Memang berat tanggungan ibu yang saleh itu. Sebenarnyalah itu, waktu suaminya hidup dan sepeninggal dia. Bukankah banyak yang dideritanya karena suaminya? Akan tetapi meskipun demikian lebih suka jugalah ia, kalau mimpinya itu tiada kejadian. Benarlah sekarang apa yang dimimpikannya itu: "Gempa amat kuat, tanah menelan suaminya, kekayaan habis semua, hanya ia bertiga dengan anaknyalah yang tinggal". Akan tetapi tak guna duduk bercintakan itu, karena takdir Allah atas hambanya tak dapat ditolak. Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah, sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. Tiadalah malu ia mencari upahan, pada waktu mengerjakan sawah, misalnya menyiangi, mengirik padi dan lain-lainnya, karena tahulah ia, pekerjaan yang halal itu tiada menghinakan orang. Dua tahun sudah mereka itu bersakitsakit, sekalipun belum pernah mereka kekurangan makan, karena usaha si ibu itu dan berkat Tuhan yang memelihara makhluknya. Pakaian anaknya pun adalah dengan secukupnya juga, tiadalah nampak di mata orang, bahwa mereka itu orang melarat. Mariamin anak gadis yang muda remaja itu pun tiadalah malu, sebagai kebiasaan anak gadis di Sipirok, bekerja mencari upahan. Ibunya acap kali berkata, "Riam, tinggallah anakku di rumah, ibu masih hidup, cukuplah ibu sendiri mencari makan kita."

Apakah jawab si anak itu? "Barangkali ibuku malu, atau takut dikata-kata orang, sebab anaknda mencari upahan? Benarlah seperti kata ibu itu, ibu sendiri pun padalah bekerja untuk kita. Tetapi selagi anaknda bersama-sama dengan ibu, apalah salahnya, anaknda menolong ibu, supaya ibu dapat berhenti sehari dua hari."

Mendengar perkataan anaknya itu, si ibu termenung, karena dipikirnya, sebenarnyalah perkataan anaknya itu. Katanya, "Meskipun bagaimana juga, lambat-laun kami akan bercerai juga, karena sepanjang adat haruslah ia dipersuamikan. Wah, sungguh amat susah benar bercerai dengan anakku ini, karena dialah yang menjadi penghibur hatiku, tetapi pada suatu masa harus juga ia meninggalkan aku. Ah, kebiasaan yang diaturkan Tuhan tak boleh diubah. Hanya itulah harapanku kepada Allah, moga-moga ia beroleh suami yang baik, janganlah sebagai kurasai ini. Kalau anak beruntung, tentu orang tua bersukacita." Demikianlah kenang-kenangan si ibu itu.

Pada dugaannya pun tiadalah Mariamin akan lama lagi di tangannya, sebab badannya telah besar, umur pun sudah sampai. Akan tetapi sekalian orang yang datang meminta dia, ditolak oleh Mariamin. Tak adalah orang muda yang disukainya untuk jadi suaminya. Karena itu bertanyalah ibunya, "Riam, ibu bukan bosan melihat kau. Anakku tahu betapa kasih sayang ibu kepadamu berdua bersaudara. Tapi apakah sebabnya engkau menolak permintaan sekalian orang itu, bukankah sudah layaknya anakku bersuami?" "Sebenarnyalah perkataan ibu itu," sahut Mariamin, "akan tetapi bagaimanakah anaknda menerima permintaan orang itu, karena telah ada yang lebih dahulu tempat anaknda berjanji. Sebagaimana ibu tahu, adalah anaknda ini berutang budi kepada dia. Waktu ia hendak berangkat, kami berteguh-teguhan janji pula; adalah kami seolah-olah bersumpah; masing-masing wajib menepati janji, walau bagaimana sekalipun, lamun bersetuju dalam pikiran orang tua. Pergaulan anaknda sejak kecil dengan Aminu'ddin tentu ibu sudah tahu; kelakuannya pun tak perlu lagi anaknda katakan." "Bagaimanakah anakku memikirkan yang demikian? Benar Aminu'ddin masih dekat lagi, akan tetapi adakah mungkin dia berkehendak kepada anakku? Pertama mereka itu orang berada dan kita orang miskin. Kedua Aminu'ddin tak ada di sini, ia sekarang di perantauan. Dan lagi kalau ada pikiran Aminu'ddin serupa itu, tentu ia datang barang sekali melawan ibu bermupakat, sebelum ia hendak berangkat." "Anaknda pun sudah mengatakan itu kepada Aminu'ddin, dan ia pun amatlah menyukai; dan jawabnya, "Riam, janganlah engkau berkata yang demikian, kekayaan, kemiskinan tak kuindahkan, karena kaulah yang kuharapkan. Sebabnya pun ia pergi ke Deli, karena ia akan dikawinkan orang tuanya. Itu jugalah sebabnya tiada disuruhnya orang tuanya datang kepada ibu, akan memperkatakan itu. Ia sendiri akan berunding dengan ibu, sudah tentu kuranglah beratnya perkataanperkataan itu. Kalau ia sudah beroleh pekerjaan di Medan dan jodohnya itu telah dikawinkan orang tuanya dengan orang lain, di situlah ia hendak mupakat dengan orang tuanya tentang maksud kami itu. Kalau ia dapat permisi, ia sendirilah datang menjemput anaknda akan dibawanya ke Deli. Demikianlah katanya kepada anaknda. Sekarang bagaimanakah pikiran ibu? Haraplah anaknda supaya ibu bersetuju akan keinginan anaknda itu, karena Aminu'ddin sajalah yang anaknda cintakan akan menjadi menantu ibu."

Mariamin menundukkan kepalanya, dan pada mukanya terbayanglah awan bimbang gundah, gulana. Sudah tentu percakapan itu menerbitkan rindu dendamnya kepada sahabat karibnya itu. Sekalian perkataan Aminu'ddin waktu mereka itu bercerai, seolah-olah terdengar juga olehnya. Apalagi ketika akan bercerai, mereka itu berjabat tangan dengan air mata yang bercucuran dan berjanji tiada akan melupakan seorang akan seorang. Ibunya duduk termenung memikirkan perkataan anaknya itu. Ia pun amat ingin, supaya kehendak Aminu'ddin dan anaknya itu lekas sampai. Akan tetapi bila dikenangnya akan segala hal mereka itu kedua belah pihak, kuranglah harapannya, karena adalah cita-cita anaknya itu sebagai pungguk bercintakan bulan di langit.

Ia pun memandang Mariamin, seraya berkata, "Semuanya hal ini kita serahkan kepada Tuhan, sebab Dia-lah yang tahu mana yang baik akan hambanya." "Sekalian angan-angan kita itu benarlah takkan diperoleh, kalau Allah tiada mengizinkan, tapi ingin jugalah anaknda akan mengetahui, adakah ibuku mengizinkan anaknda akan jadi istri Aminu'ddin?" tanya Mariamin. "Mengapakah ibu tiada mengizinkannya, asal diperkenankan oleh orang tuanya. Kalau tiada demikian, tentulah Riam menjadi pokok percederaan antara anak dan orang tua," sahut ibunya. "Ya, janji kami pun begitu juga, Mak. Itulah sebabnya anaknda bertanya tadi, kalau-kalau bunda tak bersetuju. Aminu'ddin pun hendak mupakat juga dengan orang tuanya. Sudah tentu ayah bundanya berkenan akan permintaannya itu, karena Aminu'ddin sudah besar, jadi tak maulah mereka itu memaksa dia." "Itu jangan anaknda tentukan, karena Riam masih anak-anak, ibulah yang lebih tahu akan hal itu. Dalam perkawinan, perkataan orang tualah yang berlaku, dan anak itu hanya menurut saja. Demikianlah yang biasa kejadian di antara bangsa kita. Misalnya banyak, umpamanya ibu sendiri. Tiadalah ibu ditanya nenekmu dahulu akan kesukaanku, tatkala ibu hendak dipersuamikan. Tentang perkawinan kami dengan mendiang ayahmu amatlah menyedihkan hati. Sekali-kali janganlah bersua yang demikian pada anakku. Itulah sebabnya ibu tiada mau memaksa engkau. Cuma ibu memberi timbangan; lain fasal kalau anak belum cukup umur. Percayalah anakku, ibu takkan mau mengerasi kau, seperti perbuatan kebanyakan orang tua, karena tahulah ibu, bahwa yang kawin itu si anak, bukan orang tuanya. Siapakah di belakang hari yang menanggung dan siapa yang menyesal, kalau jodoh si anak itu tiada bersesuaian pikiran dan tabiat dengan suaminya? Sudah tentu mereka takkan berkasih-kasihan lagi, akhirnya bercerai. Siapakah yang menanggungkan, tentu si anak itu juga. Seumur hidupnya menyesallah ia kepada orang tuanya, yang memaksa dia itu. Bukankah sudah nyata, bahwa perkawinan anak itu dengan paksa tiada baik? Kewajiban orang tua hanyalah memberi timbangan, dan itulah sekarang yang ibu ingatkan. Kalau Riam yakin benar-benar, Amuni'ddin kasih akan anaknda, amatlah senang hati ibu; dari kecil pun telah ibu mengetahui perangai Aminu'ddin. Adalah ia masuk golongan anak yang baik-baik; tetapi sebagai kataku tadi, haruslah kita menyerahkan hal ini kepada Tuhan Yang Mahamulia, karena Dia-lah yang mengatur sekalian nasib hamba-Nya." "Kalau demikian, baiklah anaknda berkirim surat kepada Aminu'ddin akan membalas suratnya yang baru kuterima itu. Lagi pula supaya anaknda menceritakan sekalian perkataan bunda itu," kata Mariamin.

Mariamin pun mengambil surat itu dari kamarnya, lalu dibacalah di hadapan ibunya, yang kira-kira begini bunyinya : Adinda yang kucintai! Tiga bulan sudah lamanya saya meninggalkan negeri tumpah darah kita, meninggalkan kampung halaman tempat kita bermainmain, meninggalkan kekasihku, Mariamin. Aduh, bukan buatanlah sedihnya perceraian itu, barulah sekarang kurasa. Akan tetapi itu tak mengapa, harapanku akan pertemuan kita nanti di belakang hari, itulah yang menghiburkan hati, ya, Riam? Dengan girang hatiku, kakanda memaklumkan kepada adinda, bahwa kakanda telah beroleh pekerjaan, yakni dengan pertolongan kaum kita, tempat kakanda sekarang menumpang. Riam, itu semua rahmat Tuhan kepada kita. Lihatlah, cita-cita kita makin dekat, mogamoga Allah mengabulkannya. Hal perjalananku dan keramaiannya kota Medan, tiada kuceritakan sekali ini, karena kakanda menunggu surat balasan daripada adinda. Kabar yang lain ada baik. Bagaimanakah hal adinda dan ibu kita sekarang? Haraplah kakanda adinda bercerita panjang; maklumlah Riam akan keinginanku menerima surat dari negeriku, lebih-lebih daripada orang yang menjadi anganangan dan impianku. Ah, tak dapatlah kakanda menggambarkan perasaanku dalam surat ini! Sampai di sinilah dahulu, pekerjaanku amat banyak, maklumlah, segala pekerjaan itu harus kupelajari. Terimalah salam daripada kekasihmu, AMINU'DDIN Alamat: AMINU'DDIN kerani onderneming HALVETIA MEDAN.

Setelah surat itu habis dibacanya, ia pun masuklah ke bilik tempat tidurnya, lalu ia menulis sepucuk surat akan pembalas surat Aminu'ddin itu. Dua tiga kali terpaksa ia berhenti daripada me nulis itu, sebab dadanya sakit karena ia duduk membungkuk itu. Meja dan kursi sudah tentu tak ada dalam pondok kecil itu. Sebuah peti kayu tempat menyimpan pakaiannya, itulah ganti meja jati tatkala mereka hidup dalam kekayaan. Kursi atau bangku tak usah dikata lagi. Anak gadis yang miskin itu duduk bersila di atas lantai, dan peti itu di hadapannya, di atas itulah ia menulis. Tangkai pena yang ditangannya pun tiadalah sebagai yang biasa dipakai orang, hanyalah sepotong pimping. Penanya dicocokkan saja pada pangkal pimping itu, sebagaimana kita memasukkan pena ke gagang pena.

Demikianlah sakitnya kemiskinan itu, yang dahulunya biasa dalam kesenangan. Akan tetapi semuanya itu tiada menyusahkan hati Mariamin. Bukankah cita-cita dan kenangkenangan mereka itu sudah dekat? Kalau ia nanti bersama-sama dengan Aminu'ddin, tentu datanglah pertukaran dalam kehidupannya. Ia menurutkan suaminya makan gaji, meninggalkan Sipirok, tempat orang yang memandang mereka itu hina. Ia akan pergi ke Deli, tanah emas, yaitu ke tempat pencarian yang amat murah. Semua kenang-kenangan yang serupa itulah yang mengurangkan kesakitan hidup anak gadis itu. Tetapi sungguhpun demikian adalah juga yang menyedihkan hatinya, tatkala ia menulis surat itu, sehingga ia terpaksa berhenti beberapa kali. Kadang-kadang tangannya gemetar dan kaku, kadang-kadang ia diam serta memandang ke muka. Sebabnya itu, ialah karena terkenang akan pergaulannya dengan Aminu'ddin; persahabatan yang karib, budi yang baik, cakap yang lemah-lembut, segala hal mereka itu yang dulu-dulu terkenang dalam hatinya. "Sekarang ia sudah jauh, Aminu'ddin kekasihku itu," kata anak dara itu, seraya ia mengeluh. Kemudian ia membulatkan pikirannya seraya meneruskan suratnya itu. Dalam hatinya ia berkata, "Haruslah saya menceritakan sekalian perasaanku kepadanya. Benar perempuan itu harus pandai menyembunyikan rahasianya, akan tetapi kepada Aminu'ddin tak usahlah saya menaruh rahasia, karena ia itu adalah sebagai saudaraku sejati. Saya ini harus menyerahkan diri kepadanya, dialah yang kuasa atas diri saya, karena kasihnya, budinya dan pertolongannya. Bukankah saya sudah lama berkubur dalam air, jika sekiranya tiada dengan pertolongannya?"

Tiada berapa lamanya surat itu pun sudahlah. Setelah dibacanya sekali akan memeriksa susun kalimatnya, lalu dimasukkannya ke dalam sampulnya. Alamatnya itu ditulisnya lambat-lambat dengan huruf yang besar. Di sudut sebelah kanan atas sampul itu dibubuhnya perangko, yang dibelinya dengan uang upah menjahit sarung. Setelah selesai surat itu, dimasukkannya ke pos. Berapa lama ia menunggu kedatangan balasannya, tiadalah diketahui lagi. Hanyalah siang dan malam Mariamin tiada melupakan kekasihnya itu dan harapan akan kenikmatan persahabatan adalah dari sehari ke sehari makin besar dalam kalbu anak dara yang menanggung rindu itu. Setelah surat Mariamin itu diterima oleh Aminu'ddin, amatlah girang hatinya. Baru dilihatnya alamatnya, ia pun mengenal tulisan kekasihnya itu. Di pinggir surat itu tertulis pula nama si pengirim. Surat itu diciumnya, lalu dibukanya dengan tergopoh-gopoh. Jarinya gemetar, karena sukacita. Surat itu dibacanya berulang-ulang; bunyinya adalah kira-kira begini: Kakanda Aminu'ddin! Rindu dan gundah gulana silih berganti dalam hati adinda selama kakanda meninggalkan Sipirok yang indah itu. Rindu karena suara kakanda tak kudengar, muka kakanda tak kulihat lagi. Bimbang dan gulana hati adinda, karena sudah sekian lama adinda tiada menerima kabar daripada kakanda. Aduh Kakanda, tiadalah dapat adinda menceritakan dalam waktu yang tiga bulan ini; kadang-kadang adinda bertanya dalam hati adinda sendiri, "Bagaimanakah hal Dangkang Aminu'ddin dalam perjalanan?" Bagaimana lamanya yang tiga bulan itu tak tahu lagi adinda, karena pada perasaan adinda seolah-olah lebih dari setahun.

Sekarang, setelah adinda menerima surat kakanda itu, bukan buatanlah sukacita adinda. Syukur alhamdulillah! Kakanda pun telah beroleh pekerjaan dan bertemu pula dengan keluarga yang menaruh kasihan akan kakanda. Mudah-mudahan Allah yang rahmatlah menyampaikan segala maksud kita.

Akan adinda, tak usahlah kubukakan di sini isi dadaku. Meskipun bagaimana jauhnya kakanda, tiadalah berkurang kasihku; gunung yang tinggi kudaki, lurah yang dalam kuturuni, sungai yang lebar kuseberangi, supaya bertemu dengan kakanda, lamun waktunya sudah datang. Aminu'ddinlah jiwaku, kakandalah yang kuharapkan. Bukankah adinda dipaksa hatiku menyerahkan diri kepada angkang, karena nyawaku pun sudah angkang lepaskan dari bahaya maut.

Tentang pikiran adinda, ibu kita adalah bersetuju dengan permintaan adinda. Dengan hati yang ikhlas ia telah memberi izin. Itulah supaya kakanda maklum. Kabar yang lain adalah baik. Adinda dan bunda serta dengan adik dalam sehat, kakanda Aminu'ddin pun adinda haraplah bersenang hati mendapat surat yang secarik ini. Sehingga inilah dahulu ceritaku. Benar banyak lagi yang akan adinda katakan, tetapi biarlah dahulu kita sabar; kelak di belakang hari akan adinda ceritakan semuanya. Tuhanlah yang mengasihi hambanya! Salam takzim dari adinda, MARIAMIN Sekali lagi Aminu'ddin mengulangi membaca surat kekasihnya itu. Kemudian ia termenung sejurus lamanya, lalu dengan perlahan-lahan ia mengangkat tangan kirinya ke mulutnya, dan mencium cincin suasa, yang ada pada jari manisnya itu. Cincin itu pemberian Mariamin. "Aduh Riam, adinda ingin sekali, tetapi lebih keraslah hasrat kakanda ini," kata Aminu'ddin, sambil ia berdiri mendapatkan meja tulisnya.

Maka ia pun menulis surat kepada ayahnya, kepala kampung dusun A. Dalam surat itu ia meminta dengan keras, supaya orang tuanya mencarikannya perempuan akan jadi istrinya. Adapun perempuan itu ialah Mariamin, karena itu sajalah yang disetujuinya. Hal ini harus lekas diurus, karena amatlah susahnya bagi dia menumpang di rumah orang; lagi pula banyaklah bencananya bagi dia bekerja di kebun, tempat perkumpulan laki-laki perempuan yang menjadi pekerja di sana. Siapa yang telah menjejak Pesisir Timur, tentu telah maklumlah makna perkataan Aminu'ddin itu.

Kepada Mariamin ia menulis pula sepucuk surat akan menyuruh dia berkemas. "Waktu pertemuan kedua kalinya sudah dekat. Betapakah senangnya!" katanya di ujung suratnya itu.

Ya, selambat-lambatnya dua bulan lagi mereka itu akan bersamasama sebagai pada waktu dahulu. Lebih lagi, karena sekarang tiada persahabatan saja lagi yang ada di antara mereka itu, tetapi mereka itu hidup menjadi bersatu, berkasih-kasihan, tiada kelak akan bercerai, karena cinta mengebat mereka itu telah bertahun-tahun berurat berakar dalam kalbu mereka. Lepas dua bulan lagi akan bertukarlah perasaan hidupnya. Bukankah ia merasa bosan di tanah asing, bercampur gaul dengan orang yang tiada dikenal, dengan orang lain, sedang orang penghibur hatinya jauh di balik Bukit Barisan? Lepas dua bulan lagi akan diperolehnya angan-angan dan citacitanya, sejak akil balig. Di situlah kelak ia merasa dirinya beruntung, karena tangkai kalbunya telah di sisinya, yakni Mariamin buah hatinya itu. Ya, waktu yang dinanti-nanti Aminu'ddin itu tiada jauh lagi. Mariamin kelak akan membawa ke hadapannya. Yang perlu hanya ia harus menunggu dengan sabar apa yang akan datang, itulah yang menentukannya. Surat yang dua pucuk itu sampai kepada alamatnya. Mariamin menerima dengan girang. Sekejap itu dibacanya di hadapan ibunya. Tiadalah dapat dikira-kira lagi betapa sukacitanya, dan pada malamnya itu pun ia memimpikan untung bahagia yang akan datang itu. Orang tua Aminu'ddin pun berbesar hati pula mendengar kabar yang baik itu. Pekerjaan anak sudah ada, gaji pun adalah sederhana, apakah lagi yang ditunggu-tunggu? Dahulu ia tak mau kawin, sekarang ia sendirilah yang memintanya; wah, betapakah baiknya itu? Ibu Aminu'ddin pun amatlah riangnya mendengar bunyi surat yang dibaca suaminya itu. "Kita berdua sudah tua, dan amatlah ingin hatiku hendak mendukung cucuku," katanya kepada suaminya. Kedua laki-istri itu mupakat akan mencarikan jodoh anak mereka itu. Apakah yang kurang lagi bagi mereka itu akan memperoleh anak dara yang patut-patut? Ayah Aminu'ddin seorang kepala kampung yang dimalui di luhak Sipirok. Uang banyak, sawah lebar, kerbau dan lembu pun cukup, sedang anaknya orang makan gaji, di Deli pula. Sekali ini haruslah mereka itu mengambil anak bangsawan sekurang-kurangnya yang sama dengan mereka itu, yang di bawah pantang. Demikianlah pikiran orang tua itu. Oleh sebab itu tiadalah ingin mereka itu lagi akan datang ke rumah istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara kesukaan Aminu'ddin itu; sungguhpun pertalian mereka itu masih dekat.

Mariamin anak orang miskin akan menjadi istri anak mereka itu? Tentu tak mungkin, karena tak patut! Bukankah orang itu telah hina di mata orang, lagi pula tak berada, boleh dikatakan orang yang semiskinmiskinnya di daerah Sipirok? Orang yang begitukah yang akan jadi tunangan Aminu'ddin? O, sekali-kali tidak boleh; Aminu'ddin seorang anak muda, belum tahu ia membedakan bangsa, haruskah didengar permintaannya itu? Betul anak gadis itu bagus rupanya, lagi masuk kaum mereka juga, akan tetapi kaum tinggal kaum, perempuan yang elok dapat dicari. Begitulah sebabnya ayah Aminu'ddin tak jadi pergi ke rumah ibu Mariamin. Istrinya mencoba membujuk-bujuk suaminya akan menurut permintaan anaknya itu, karena meskipun bagaimana melaratnya seisi rumah Sutan Baringin karena perbuatannya, adalah ia merasa kasihan juga dalam hatinya kepada ibu dan anak yang dua orang itu. Benar Sutan Baringin salah, ia tiada mendengar nasihat mereka itu, tetapi apakah salahnya anak yang dua orang itu? Oleh sebab itu ia pun mempertahankan kesukaan Aminu'ddin itu. Kalau Mariamin telah menjadi menantunya, tentu adalah perubahan kemelaratan orang itu, pikir ibu Aminu'ddin. Akan tetapi suaminya tiada bersetuju dengan maksud istrinya itu; untuk menolaknya dia tidak dapat, karena ibu dan anak bersama-sama melawan dia. Setelah seminggu lamanya, pada suatu malam berkata ia kepada istrinya, "Kalau engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi baiklah kita berhati-hati, karena mengambil jodoh anak itu tiada boleh dipermudah-mudahkan. Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik menantu kita; kalau demikian baiklah kita pergi mendapatkan Datu[2] Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki Aminu'ddin, bila ia beristrikan Mariamin. Datu itulah yang masyhur sekarang fasal hal faal[3]. Pekerjaan ini janganlah dilengahkan lagi. Kalau pertemuan mereka itu tiada baik menurut faal, baiklah kita carikan yang lain." Pada keesokan harinya pergilah kedua laki-istri itu membawa nasi bungkus ke rumah Datu itu. Setelah habis makan, mereka itu pun menceritakan maksud kedatangan mereka. Datu itu pun bertanya nama yang laki-laki dan orang tuanya, nama anak gadis itu serta orang tuanya pula. Kemenyan pun dibakarlah, sehingga rumah itu penuh dengan asap dan bau kemenyan. Beberapa lamanya dukun itu menganggukanggukkan kepalanya perlahan-lahan serta berbisik-bisik membaca doa dan mentera. Kemudian ia membuka buku yang terletak di bawah pedupaan itu, lalu dibacanya ayat yang tertulis dalamnya. "Maksud itu kurang baik. Awalnya laki-istri selamat dan beruntung. Lepas dua tahun, lahir seorang anak laki-laki, tetapi baru ia berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia," kata Datu itu lambat-lambat tetapi terang dan nyata suaranya.

Kedua laki-istri bermohon diri, lalu pulang ke rumah; istrinya dengan hati kesal, karena yang diinginkannya tak jadi; suaminya dengan girang hati, karena kehendaknyalah yang mesti diturut. Akan tetapi sepanjang jalan tiadalah ia memperlihatkan sukacitanya itu, takut kalau-kalau istrinya itu sakit hati.

Dalam rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu duduklah Mariamin menanti-nanti kedatangan ayahnya (bapak Aminu'ddin). Sejak ia menerima surat Aminu'ddin itu, amat banyaklah pekerjaannya. Menyediakan pakaiannya, karena kakaknya berkata demikian. Betul tiada banyak, tetapi semua dikerjakannya sendiri. Kalau dia orang berada, tukang jahitlah yang menjahit pakaiannya itu. Membuat seperai akan dibawa ke Deli; menganyam tikar untuk tempat duduk ayahnya (bapak Aminu'ddin), kalau ia datang ke rumah hendak bermupakat dengan ibunya. Tikar itu tentu ganti permadani, supaya kemiskinan mereka itu jangan mengurangkan adat di rumah mereka. Kalau jamu datang, malulah ia kalau ia duduk di atas lantai saja. Serbuk kopi telah sedia tersimpan disalaian, supaya ada minuman kepala kampung itu, bila ia datang. Juadah pun telah sedia dalam tempatnya akan kawan air kahwa itu. Semua sudah sedia akan menanti ayah Aminu'ddin, yang akan menjadi bapaknya pula. Sekalian telah teratur untuk perjalanan mendapatkan kakandanya itu. Semua sedia dan teratur, tetapi yang ditunggu-tunggu tak juga datang.

Ya, dia hanya menunggu, dan menunggu, tetapi yang ditunggu tidak akan datang. Yang akan sampai ke telinganya hanya kabar yang tiada disangka-sangka. Kabar yang akan menghamburkan air mata, meremukredamkan hati sebagai kaca terempas ke batu.

Ketika matahari hampir terbenam, duduklah ayah Aminu'ddin di beranda rumahnya dengan istrinya. Istrinya pun bertanya, "Siapakah yang jadi kita ambil akan menantu kita? Jangan diperlambat-lambatkan lagi."

"Bimbang hatiku, karena pada waktu itu adalah kurang yang akan dipilih. Itulah sekarang yang kupikir-pikir," sahut Baginda Diatas; begitulah disebut orang gelar kepala kampung itu.

"Kurang yang akan dipilih?" tanya istrinya. "Negeri Sipirok sebesar ini, berapa ratus anak gadis di luhak ini, sedang yang akan dicari hanya seorang juga."

"Aku pun tahu juga. Akan tetapi yang akan diambil bukanlah orang sembarangan."

Sejurus kedua laki-istri itu berdiam, kemudian Baginda Diatas berkata, "Cuma seorang sajalah yang kusetujui; rupanya pantas, bangsanya cukup, akan tetapi kelakuannya belum kuketahui:" "Apakah marganya?[4] Siapa orang tuanya?" tanya istrinya. "Marganya Siregar, dan bapaknya kepala kampung. Kupikir baik akan jadi menantu kita. Baiklah aku pergi ke sana. Sepanjang dugaanku anak itu mungkin kita peroleh; tentang "boli" kita takkan mundur,"[5] jawab suaminya.

Untuk menjelaskan adat-istiadat orang Batak, lebih-lebih adat perkawinannya, baiklah diterangkan sekadar aturan-aturan yang harus diturut orang dalam perkawinan itu.

Adapun masing-masing orang Batak mempunyai suku (marga). Seorang anak yang baru lahir beroleh marga bapaknya. Marga itu ada bermacam-macam, misalnya di luhak Sipirok, Siregar dan Harahaplah yang terbanyak; marga lain ada pula umpama: Pane, Pohan, Sibuan dan lain-lain. Bagaimana timbulnya marga yang banyak itu, tiadalah hendak diceritakan di sini. Orang yang sebanyak itu dua tiga sajalah neneknya, yaitu yang empunya keturunan, sedang marga sekarang banyak ragamnya. Jadi sudah tentu marga Siregar bersaudara juga dahulunya dengan marga Harahap, Pohan atau yang lain-lain. Di mana perceraianya itu, wallahualam; karena hal itu adalah bersambung dengan ceritacerita tambo. Seorang berkata begini, yang lain berkata begitu, sehingga tiada tahu mana yang benarnya lagi. Lagi pula cerita itu sudah sebagai dongeng di telinga.

Maka barang siapa yang hendak kawin, tiadalah boleh mengambil orang yang semarga dengan dia. Umpamanya laki-laki marga Siregar tiada boleh mengambil perempuan marga Siregar, meskipun mereka itu sudah jauh antaranya; artinya hanya nenek-nenek moyang mereka itu, yang hidup beratus tahun dahulu, yang bersaudara. Mereka itu tiada boleh ambil-mengambil dalam perkawinan, karena dilarang keras oleh adat. Akan tetapi anak muda marga Siregar boleh mengambil seorang perempuan marga Harahap, meskipun perkaumannya dengan anak gadis itu masih dekat, umpama senenek dengan dia. Artinya, nenek si laki dari pihak ibu, nenek si perempuan dari pihak bapak. Hanya margalah yang berlainan, sebenarnya mereka itu masih sedarah; akan tetapi sebab pengaruh adat itu, perkawinan yang kedua ini dilazimkan dan perkawinan yang pertama dilarang keras. Larangan itu mengherankan hati. Apakah salahnya si Anu kawin dengan si Itu, kalau pertalian (perkauman) mereka itu sudah jauh, ya, kadang-kadang tak ada lagi, karena masingmasing tak tahu lagi, di waktu mana nenek moyang mereka itu bersaudara atau sedarah. Haruskah perkawinan mereka itu dicegah, oleh sebab mereka itu samasama Harahap, Pane dan lainlain? Padahal mereka itu telah berkasihkasihan, seorang ingin kepada yang seorang. Sebab yang tersebut tiadalah patut menjadi larangan; betul mereka itu semarga, tetapi sudah jauh dan tiada, sedarah lagi. Di negeri lain misalnya Deli, Palembang, Jawa, tiada ditemui aturan yang serupa itu, hanya di Tapanuli. Ya, kata pepatah: Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya.

Itu benar. Masing-masing daerah mempunyai adat yang berlainan daripada daerah yang lain. Maka seharusnyalah penduduk daerah itu setia kepada adatnya yang telah diaturkan nenek moyangnya. Akan tetapi mengingat peredaran masa ini, tiadalah dapat dipertahankan semua peraturan-peraturan itu, sudah seharusnyalah mengubah apa yang kurang baik, dan menghapuskan yang tiada patut. Salah satu di antaranya ialah, tentang larangan kawin sesuku itu. Ini tidak dipertahankan lagi. Sebab itu seorang hendaklah dibebaskan kawin dengan orang lain, meskipun mereka itu sesuku, artinya tali persaudaraan mereka masih rapat lagi menurut adat. Tentang emas kawin di tanah Batak adalah suatu adat yang memberatkan. Emas kawin itu biasa disebut orang sere atau boli. Adapun sere itu dibayar si laki-laki kepada orang tua anak gadis, banyaknya dari 200 sampai 400 rupiah. Ini diambil jumlah pertengahan, karena ada juga yang kurang, umpamanya 120 rupiah, ada pula yang lebih sampai 600 rupiah. Sere itu boleh dibayar semua dengan uang semata, atau separuh dengan kerbau atau lembu. Aturan itu pun sangat memberatkan, sudah seharusnya dihapuskan, kalau susah, dientengkan. Banyaklah terjadi yang sedih-sedih disebabkan boli itu. Umpamanya, seorang anak muda yang tiada berada, haruskah ia tinggal bujang selama hidupnya, karena ia tiada mempunyai uang 200 rupiah di kantungnya? Orang yang serupa itu tiada sedikit. Betul uang boli itu tidak akan masuk kantung orang tua si perempuan semuanya. Separuhnya dipakainya juga akan pembeli emas, perhiasan anaknya dan pembayar ongkos perjamuan, umpamanya kenduri, pesta dan sebagainya, ketika anaknya dikawinkan. Akan tetapi apakah salahnya dihilangkan pesta itu, apakah faedahnya mengarak anak dara dan pengantin sekeliling kota, karena uang pembeli kerbau yang disembelih itu terbuang saja? Kasarlah didengar telinga, bila orang berkata, "Di tengahtengah Pulau Sumatera yang besar itu masih ada orang menjual anaknya yang perempuan." Ya, memang ada yang serupa itu. Kalau akan mengawinkan anaknya yang perempuan, maka lebih dahulu membicarakan boli. Betul boli itu berguna juga diterima untuk pembeli yang berguna bagi anaknya, tetapi bicara itu terbaliklah rasanya. Seharusnya janji kawin lebih dahulu dipadu, sedang boli perkara kedua. Itulah yang bernama emas kawin, emas (uang) ongkos-ongkos perkawinan. Halal dan bersih uang yang serupa itu di tangan! Akan tetapi sere (boli) yang diterima harga anak itu, tiadalah patut lagi. Itulah aturan-aturan adat yang berlaku di sana, yang masih dipegang teguh. Sekarang marilah diceritakan seorang anak gadis dari sebuah kampung yang tiada berapa jauh dari Sipirok, karena itulah yang disetujui Baginda Diatas. Gadis itu anak kepala kampung. "Bangsa" lebih dari "kepandaian" bagi dia. Kedatangan Baginda Diatas diterima baik oleh orang tua gadis itu. Melihat keelokan jodoh anaknya itu, terus mengiakan permintaan Baginda Diatas. Apalagi yang diinginkannya, berapa pun besarnya boli yang dimintanya akan diperkenankan juga oleh orang tua bakal menantunya itu. Setelah sampai pada masanya *), anak gadis itu pun dijemput dan dibawa ke rumah ayah Aminu'ddin, supaya esok atau lusa berangkat ke Deli. Adapun sekalian hal ini dilakukan dengan rahasia, supaya jangan ketahuan oleh Mariamin dengan ibunya.

Di sana orang masih percaya akan masa (waktu). Kalau hendak menjemput anak dara, lebih dahulu diperiksa hari dan jamnya yang baik. Dentikian juga kalau hendak membuat perjalanan, mendirikan rumah dan lain-lain. Daladn hal ini Datulah yang menentukan. Setelah lengkaplah sekalian, Baginda Diatas pun berangkatlah ke Deli mengantarkan menantunya itu. Sebab dia sendiri pergi, supaya dapat ia menceritakan kepada anaknya, apa sebabnya maka yang lain yang diambil mereka itu. Ya, siapakah orang yang mau mengambil orang celaka? Bukankah sudah dikatakan Datu, bahwa Mariamin itu anak yang membawa celaka? Kalau Aminu'ddin mendengar keadaan itu, tentu ia akan menurut kehendak orang tuanya.

Supaya Aminu'ddin lebih dahulu mengetahui akan kedatangan mereka itu, ayahnya pun mengetok kawat. Karena banyaklah nanti yang disediakannya akan menerima istrinya itu. Apakah salahnya, ia lebih dahulu bersukacita oleh karena kedatangan kekasihnya itu. Setelah Aminu'ddin menerima surat kawat ayahnya, yang bunyinya demikian, "Aminu'ddin, bapak membawa menantu songsong ke stasiun," ia pun meminta permisi kepada sepnya, meskipun lima hari lagi ayahnya akan tiba. Dengan hati yang girang, pergilah ia kepada kaumnya, yang mencarikan ia pekerjaan itu, dan diceritakannya kabar itu, karena dia inilah nanti yang akan menolong dia. Betul ia beroleh rumah dari perkebunan tempat ia makan gaji, tetapi kuranglah baiknya, jika ia membawa Mariamin terus ke rumahnya, karena seorang perempuan pun tak ada yang mengawani dia. Pada waktu itu Aminu'ddin menyangka juga akan kedatangan Mariamin.

Waktu yang lima hari itu terlalu amat lama pada perasaan Aminu'ddin, lebih lama daripada waktu yang bertahun-tahun yang telah dirasainya itu. Sementara itu ia pun menyuruh membersihkan rumahnya, membeli apa-apa yang peirlu, supaya mereka itu lebih lekas tinggal di rumah sendiri. Terlampau lama di rumah orang, tentu mendatangkan susah pula bagi orang tempat menumpang. Demikianlah pikiran Aminu'ddin. Empat hari sudah lewat. Besoknya pukul sepuluh pagi tentu bersualah ia dengan kekasihnya itu, yang sekarang akan jadi istrinya, karena itulah waktunya kereta api pertama tiba di stasiun Medan. Wah, betapakah senangnya perasaan Aminu'ddin.

Hari yang penghabisan itu amatlah lamanya, tiada berkeputusan pada perasaannya; matahari itu pun seolah-olah tiada jemu memanasi bumi yang bercintakan malam. Tetapi meskipun ia lambat-lambat turun ke sebelah barat, sebagai raja berjalan lakunya, hari yang membosankan hati Aminu'ddin itu hampirlah bertukar dengan malam. Kuli-kuli yang beratus-ratus yang bekerja di kebun tembakau yang lebar itu pun, telah berhenti, masingmasing pulang ke pondoknya, sehingga kebun yang luas itu sebagai bertabur dengan kepala manusia, karena pohon tembakau pada waktu itu telah tinggi, sehingga badan mereka itu kelindungan, hanya kepala sajalah yang terulur ke atas, sebagai terapung di atas laut rupanya. Hari pun malamlah; kebun yang luas itu sudah mulai sunyi. Bunyi gamelan yang dipalu pekerja-pekerja dari Jawa itu pun telah diam, karena mereka harus pergi tidur, akan mengumpulkan kekuatan untuk pekerjaan esok harinya yang amat berat itu. Seorang pun tak ada yang jaga lagi, selain daripada bulan tujuh hari yang memenuhi dataran yang luas itu dengan sinarnya yang cantik. Bintang-bintang di langit pun amatlah banyaknya, berjuta-juta sebagai pasir di laut. Adalah dia itu turut juga membantu raja malam itu menghiasi alam yang lebar ini, dengan cahayanya yang seperti perak itu. Sayang, seorang pun tiada yang menyenangkan dirinya dengan cara melihat kebagusan malam yang indah itu, karena semuanya gedung tuan-tuan kebun dan pondok teratak pekerja telah gelap, tiada kelihatan lagi cahaya pelitanya. Tetapi dalam rumah kerani, yang di sisi gedung tuan besar kebun itu, masih nampak cahaya api, meskipun sudah lepas pukul sepuluh malam. Yang masih jaga itu, tak lain ialah Aminu'ddin yang sedang mengenang-ngenangkan kedatangan buah hatinya.

la tiada tidur bukan disebabkan pekerjaannya banyak, hanya matanya tak mengantuk karena dimabuk kegirangan hatinya. Esok sorenya di situlah waktunya ia akan melihat adindanya itu. Pedih dan sedih perceraian yang dahulu itu, akan berobat dengan kegirangan hati nanti melihat muka Mariamin yang bersih dan sabar itu. Kenang-kenangan yang serupa itulah yang memenuhi kalbunya, sehingga ia gelisah. Ia pun meninggalkan kamarnya yang panas itu, lalu pergi duduk ke atas bangku yang di hadapan rumahnya, di bawah sebatang pokok nyiur yang rimbun daunnya. Angan-angannya makin panjang, karena merasai sedapnya hawa malam itu. Angin gunung pun berembuslah sepoi-sepoi basa dan kebun tembakau itu berombak-ombak rupanya ditiup oleh angin itu dan berwarna ilam-ilam, karena cahaya raja malam antara terang dan gelap.

Aminu'ddin duduk bersandar pada bangku, seraya menghadap ke sebelah barat ke Bukit Barisan yang membujur Pulau Sumatera. Dari sanalah akan datang yang dinanti-nantinya itu; dengan teropong wasiat, memandanglah ia ke bukit yang bertalitali itu akan melihat dan mengira-ngira, di manakah adihdanya itu tidur pada malam itu. Adakah juga ia gelisah, karena sukacitanya akan bertemu dengan kakandanya? Tetapi suatu pun tak ada yang nampak oleh Aminu'ddin, lain daripada bukit yang berbaris-baris itu. Di ruangan kalbunya terbayangbayang wajah Mariamin yang cantik itu: Mukanya bundar sebagai bulan empat belas ... rambutnya hitam serta berkilat-kilat ... sanggulnya besar dan bulat, tergantung di atas tengkuk yang putih bersih itu ... di atas leher yang jenjang itu kelihatanlah pipi yang halus yang memberahikan hati, lebih-lebih kalau senyum yang bersimpul di sudut mulut anak dara itu keluar, sehingga pipi yang manis itu berliang di kanan dan di kiri .... Dilihatnya pula bentuk bahu adindanya yang halus itu ... dada yang penuh itu, ditutupi oleh baju kebaya ... pinggang yang ramping ... paha yang tambun serta dengan lunaknya, keduanya dipalut sarung batikar Lasam ... dilihatnya pula betis yang bulat serta dengan halusnya itu, berjejak di atas tumit yang seperti telur burung .... Ya, semua bagian-bagian itu tergambar dalam hati Aminu'ddin, mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki.

Karena nyatanya ia melihat gambar adindanya itu, ia pun mendekap udara yang di hadapannya, pada sangkanya tubuh adindanyalah yang dipeluknya itu, akan tetapi suatu pun tiada. "O, aku bermimpi," pikir Aminu'ddin; belum sekarang, besoklah baru aku melihat muka Mariamin, di situlah aku mendengar suaranya yang merdu itu. "Ah, sungguh amat lama malam ini, seolah-olah tak berkesudahan rasanya." Sementara itu bulan dan bintang-bintang telah melewati baris yang membentang di langit, dari utara sampai ke selatan, yakni yang menjadi watas timur dan barat. Malam pun telah jauh, suatu pun tak ada yang kedengaran, hanya suara jengkerik dan makhlul yang•kecil-kecil di tengah padang yang luas itu. Angin yang lemahlembut itu pun telah berhenti, sehingga daun tembakau yang leba, itu tiada bergerak lagi. Aminu'ddin tinggal juga di luar, tiadalah ia dapat tidur. Perjalanan bintang yang lambat-lambat itu ditentangnya dan kalau ada sebuah bintang yang lenyap ke batik Gunung Sibualbuali, ia pun menyangkakan, makin dekatlah kedatangan matahari itu ... makin dekatlah waktunya ia melihat adindanya. "Kalau ia sakit dan kalau ia ... tentu adindaku terlambat datang, " pikir Aminu'ddin.

Hati Aminu'ddin gundah gulana dan darah di dadanya berdebardebar, karena perasaan hatinya yang demikian itu membuat jantungnya lebih kencang bergerak dan darahnya mengalir dengan cepat dalam seluruh urat-urat badannya. Dalam hal yang demikian itu merasalah Aminu'ddin dirinya amat letih, sedang keringatnya pun mengalir di punggungnya. la pun tertidurlah dengan amat nyenyaknya. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi melihat Mariamin hanyut di sungai, yakni sungai yang dahulu itu juga tempat ia dapat kecelakaan. Akan tetapi terjadinya itu waktu siang hari dan air pun tiada berapa derasnya. Mariamin meraung dan berteriak meminta pertolongan.kepada Aminu'ddin, akan tetapi ia diam saja. Anak gadis itu hanyut serantau, dua rantau ... suaranya pun makin sayup-sayup ... yang akhirnya lenyap dari mata Aminu'ddin. Dan ... ia pun melompatlah hendak mengejar adiknya itu.

Aminu'ddin terperanjat daripada tidurnya dengan heran, karena setelah ia bangun, tahulah ia bahwa ia telah berdiri di atas tanah. la menggosok-gosok matanya dan mengingat apa yang kejadian atas dirinya. Tiada berapa lama, ia pun sadarlah akan dirinya dan barulah ia tahu, penglihatannya itu tiada benar, hanya mimpi jua adanya. "Apatah gerangan maknanya mimpiku yang ajaib ini? Adakah patut di akal, aku membiarkan Mariamin dihanyutkan air? Mustahil! Tak mungkin! Ialah yang lebih berharga bagiku di atas bumi ini. Tetapi sungguh ajaib mimpiku ini." Demikianlah Aminu'ddin berpikir-pikir sambil ia duduk di atas bangku yang di muka tempat tidurnya.

Bintang Timur yang menandakan hari akan siang telah ke luar dari sisi sebelah timur. Awan di langit pun mulailah merah kekuningan rupanya, makin lama makin nyata dan jernih, langit pun sebagai disepuh dengan mas juita rupanya dan fajar pun telah menyingsinglah. Meskipun si penerangi alam ini belum ke luar daripada peraduannya, akan tetapi cahayanya yang elok itu telah kelihatan. Ke sana-sini pada segenap lingkungan alam terpancarlah sinarnya yang amat permai itu, ke luar daripada suatu benda yang bundar, sebagai anak panah yang melayang daripada busurnya. Semuanya itu dipandang Aminu'ddin dengan kegirangan hatinya, karena saat kedatangan matahari itu tiada ternilai harganya pada Aminu'ddin, sebab bukan sajalah ia membawa panas dan sinar ke bumi ini, tetapi sekali ini adalah ia seakan-akan membawa benda yang lebih mahal daripada intan dan zamrud, yaitu Mariamin jiwa utamanya itu. Sebentar lagi ... dilihatnyalah muka adindanya itu, muka yang sebenarnya, bukan bayangan saja lagi ... ya, sekejap mata lagi .... Akan tetapi suara Mariamin yang berteriak-teriak dengan sayupsayup meminta tolong itu masih kedengaran olehnya, tiada berkeputusan. Semuanya itu tak lain dari angan-angan Aminu'ddin saja.

Setelah habis mandi dan berpakaian, pergilah Aminu'ddin ke stasiun Pulau Berayan, karena itulah perhentian kereta api yang lebih dekat pada perkebunan tempat ia bekerja. Sesampai ia di Medan, ia pun menyewa sado akan pergi ke rumah kaumnya memberitahukan, kedatangan ayahnya itu. Segala orang yang melihat Aminu'ddin, tiadalah dipedulikannya. Kuda Batak yang menarik sado itu pun berlarilah dengan kencangnya dan tangkas, sehingga rupanya sebagai burung terbang. Roda sado itu pun seperti kebiasaan sado di kota Medan, berlingkar karet, sehingga suaranya tiada kedengaran waktu berputar di atas jalan-jalan kota yang permai itu, hanyalah suara kuku kuda yang berlari-lari itu saja yang kedengaran, seolah-olah suara balam yang mengepakngepakkan sayapnya. Sais yang berpakaian putih itu pun sudah tentu menambahi eloknya sado itu di mata, membunyikan cambuknya yang berbunga, apabila sampai di jalan yang ramai suara lonceng pun kedengaranlah, kalau mereka itu melalui jalan yang berbelok.

"Berhenti, Bang," ujar Aminu'ddin, setelah mereka itu sampai di Sungai Rengas. Sais itu menarik tali les dan sekejap itu pun kuda Batak yang mengerti itu menahan kekuatan menarik kereta itu ...; dua tiga langkah ... ia pun berdirilah di tepi jalan. "Tunggu, Bang," kata Aminu'ddin, seraya ia turun. Tiada berapa lama, datanglah ia kembali dengan kaumnya itu, kedua laki-istri. Mereka itu hendak turut juga mengelu-elukan kedatangan Baginda Diatas. Dengan memakai dua sado, berkeretalah mereka itu ke stasiun. Di tengah jalan, orang lalu memperhatikan orang muda itu. "Siapakah gerangan anak muda itu?" Tanya masing-masing yang bersua dengan mereka. Pertanyaan itu dapat diketahui Aminu'ddin pada air muka orang itu. Ya, benar ia seperti orang baru, tetapi bukan disebabkan pakaiannya lebih buruk daripada yang biasa, tetapi sekali ini lebih bagus. Sebagai dimaklumi orang di Medan amat berahi akan potongan pakaian yang bagus, lebih-lebih di antara laki-lakinya, sedang pada perempuannya kurang. Di negeri lain perempuanlah yang berkeinginan benar akan pakaian yang indah-indah, sedang lakilakinya kurang.

Aminu'ddin memakai-makai lebih daripada sehari-hari itu bukanlah karena hendak melagak; ia memakai baju dan celana sutera Cina ... kopiah beledu sutera yang lembayung ... sepatu yang berkilat-kilat ... hanya dengan maksud, supaya ia lebih pantas di mata adindanya itu. Barangkali pakaiannya yang elok itu dapat menghilangkan mukanya yang dimakan panas dan angin itu, karena ia bekerja selalu kena panas dan angin. Akan tetapi Aminu'ddin menyesal juga, sebab pikirnya, "Pakaianku bagus dan Mariamin tentu tidak, karena ia baru datang dari perjalanan yang sejauh itu. Tentu kuranglah baiknya perbuatanku ini. la tiada pula mempunyai kebaya sutera atau sarung Yogya, sebab ibu kami miskin. Akan tetapi tak mengapa; pakaian apakah nanti yang tiada akan dapat kubeli untuk dia, kalau nyawa masih di kandung badan?" Sedang berpikir-pikir demikian, maka sampailah mereka ke stasiun. Aminu'ddin membayar sewa sado itu, dan kedua laki istri pun pergilah duduk ke kamar tempat menunggu kereta api, karena ada setengah jam lagi baru kereta api dari Tebingtinggi datang. Setengah jam lagi ... datanglah ia, tapi apakah yang tertulis di papan yang tergantung dekat jendela tempat membeli karcis itu? "Kereta api dari Tebingtinggi terlambat dua puluh menit," demikianlah bunyi tulisan itu dibaca. Aminu'ddin dengan bersungut-sungut, sebab jam sepuluh itu, yaitu saat yang nikmat yang akan diterima Aminu'ddin. "Sabar! Tak mengapa itu, sekian lama sudah dinanti dengan tenang, apalagi waktu yang dua puluh menit. Waktu yang bertahun-tahun sekejap mata saja, karena jiwaku telah kembali ke tubuhku," kata Aminu'ddin dalam hatinya. Dalam kamar dan ruang stasiun itu telah penuh orang, ada yang hendak pergi ke perjalanan, ada pula yang menunggu kedatangan kaum kerabatnya. Di sana-sini pekerja-pekerja dan pegawai kereta api sibuk dan ramai menjalankan kewajibannya. Kereta seretan hilir-mudik mengantarkan barang-barang yang hendak dimuat, amat ribut suaranya, sedang orang yang banyak itu pun berkumpul di ruang stasiun, akan menantikan kereta yang datang itu; sebentar-sebentar mereka itu meninjau ke barat, melihat kalau-kalau asap kereta itu telah nampak.

Bunyi kereta api itu pun kedengaranlah, makin dekat makin kerat. Asap yang berkepul-kepul beterbanganlah ke kanan dan ke kiri ... dan kesudahannya kereta itu pun memasuki stasiun itu dengan suara yang menderu-deru, sehingga tanah itu gemetar karena hebatnya. "Allah," mengucap Aminu'ddin, "datanglah Mariamin?" Sabarlah ... hanya sekejap lagi. Hati Aminu'ddin berdebar-debar, dadanya gemuruh ... tiada berapa lama antaranya kelihatan bapaknya sudah turun dari kereta, tetapi Mariamin belum; tentu sebentar lagi .... Sebagai kijang yang luka kena tembak, Aminu'ddin pun berlarilah mendapatkan ayahnya itu. Akan tetapi saat yang nikmat itu bergantilah dengan ketika yang belum pernah dirasa anak muda itu. Ayahnya itu membawa anak gadis yang bagus, akan tetapi bukanlah Mariamin yang diharap-harapnya itu ....

Bagaimana pertemuan anak muda itu tak dilukiskan di sini. Tiadalah dapat menuliskan sedih dan pilu, kesal dan kecewa yang diderita hati anak muda remaja itu. Sungguh terlampau berat akan melukiskan hal itu. Dengan lekas-lekas mereka itu, yang datang dan yang menanti, berkereta ke rumah famili Aminu'ddin. Semua hal itu sebagai mimpi bagi dia, tiadalah ia sadar benar akan dirinya. Lepas makan tengah hari, Baganda Diatas pun bercakaplah menceritakan kedatangannya dan hal ihwal yang menyedihkan hati Aminu'ddin itu. Kesudahannya ia berkata, "Benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan anaknda, tetapi janganlah anakku lupakan, keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau ia hendak selamat di dunia. Itu pun harapan bapak, dan ibumu serta sekalian kaumkaum kita anakku akan menurut permintaan kami itu, yakni anaknda terimalah menantu ayahanda yang kubawa ini!"

Meskipun Aminu'ddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan orang itu semua. Bukanlah disebabkan ia tiada setia kepada Mariamin, akan tetapi apakah dayanya melawan orang yang sebanyak itu? Lagi pula hal itu sudah terlanjur sekali, tak dapat diundurkan lagi. Apatah kata bapaknya nanti, bila anak gadis yang dijemput ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? Itu belum pernah kejadian dan bukan adat! Malu orang tuanya, malu Aminu'ddin juga, sedang menurut kitab anak itu tiada boleh durhaka kepada orang tuanya. Sebenar-benarnya Aminu'ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya. Amatlah berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu.

Pendek kisah, Mariamin yang malang itu hanyut juga, makin lama makin jauh, sehingga lenyap dari mata, sedang suaranya minta tolong itu sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. Demikianlah kejadian cinta Mariamin yang malang itu. Siapa yang salah? Dalam hal ini nyatalah adat dan kepercayaan kepada takhyul itu yang mengurbankan cinta kedua makhluk Allah itu. Dunia ini tempat panas dan hujan, duka dan suka berganti ganti di atasnya. Kesudahannya cinta yang malang itu ada jugalah ekornya.

Sedang Aminu'ddin duduk dalam kamarnya, sebenarnya dalam kamar kaumnya, tempat ia menumpang sementara itu yaitu sesudah nikah dilakukan, ia pun berpikir dalam hatinya, "Pada waktu inilah harus aku berkirim surat kepada Mariamin, memberitahukan hal ini dan minta ampun kepadanya. Haramlah bagiku akan mengaku orang lain istriku, sebelum perkataan meminta maaf ke luar dari mulutku; akan jawabnya tak mungkin dapat ditunggu. Bila aku menulis surat kepada Mariamin, sudahlah cukup sebagai meminta ampun. Surat yang akan dibaca Mariamin itu, itulah ganti mukaku berhadapan dengan anak dara itu." Maka ia pun mengambil sehelai kertas, lalu menulis surat. "Anggiku Mariamin yang amat kucinta ! Sebelum kakanda menceritakan sebabnya kakanda berkirim surat ini, lebih dahulu kakanda meminta doa kepada Allah, supaya la memberi adinda kekuatan akan menahan kabar yang akan kuberitakan ini kepada adinda. Riam, berat yang kupikul, ngeri perasaanku sampai pada waktu menulis surat ini. ... Hatiku remuk-redam. Engkau pun tentu demikian. Sebab itu kumpulkanlah tenagamu, pikullah bebanmu dengan hati yang sabar sebagai aku. Anggi Riam, kasihku tiada berkurang akan dikau. Percayalah, engkau tak kulupakan dari dahulu sampai sekarang, ya, sehingga matiku. A ku pun percaya, adinda kasih juga akan diri kakanda, sebab itu lebih dahulu aku minta ampun, dan keampunan itu harap aku peroleh, sebab Riam kasih kepada kakanda anak yang terbuang-buang di rantau ini. Sekarang sampailah tulisanku ini kepada kabar yang meremukkan hatimu. Ayah kita sudah datang ke Medan membawa anak yang lain, dan kawan sehidupku. Riam tahu benar, bukanlah dia yang kuminta, tetapi adindalah. Akan tetapi sudah jauh terlanjur, sehingga tak dapat diulangi lagi. Dengan nama Allah kakanda bersumpah, bahwa kakanda tak bersalah, adinda pun tidak. Ya, hanya ini sajalah yang kakanda katakan: Sekaliannya itu terjadi dengan takdir Allah Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu kepada Dia-lah kita serahkan penanggungan kita yang sedih ini. Allah yang kasih akan hambanya, Dialah yang dapat membuat hal ini berkesudahan yang baik, baik kepada kakanda, baik kepada adinda. Dan sekarang kita lupakanlah sekalian angan-angan dan janji kita yang dahulu itu. Ya, apa boleh buat, sekaliannya telah hanyut ke taut kedukaan. Kalau adinda ada semupakat, inilah kita janjikan, yakni kasih dan cinta yang bertahun-tahun itu kita biarkan hidup dalam kalbu kita berdua. Anggi Riam, buah hatiku, percayalah bahwa kakanda takkan melupakan adinda, selama ada hayat di kandung badan, Orang lain, istriku yang sekarang pun, tiadalah dapat kukasihi dengan sepenuh-penuh hatiku, karena ruangan kalbuku telah penuh olehmu. Akan penutup suratku ini, kakanda memberi pengakuan kepada adinda, yakni pengakuan yang ke luar dari fuad zakiyat, bahwa surat ini kusurat dengan perkataan yang terbit dari piala keikhlasan hatiku. Dan sebagai permintaan yang penghabisan, tetapi ini tak kuharapkan, kakanda ingin sekali menerima surat balasan daripada adinda, yakni surat keampunan, supaya ombak waswas yang berpalu-paluan di atas karang wasangka hati kakanda itu, agak teduh sedikit rasanya. Selamat ..., selamatlah engkau Riam. Tuhan memberkati jiwamu ! Salam takzim daripada kakanda yang gundah gulana, AMINU'DDIN.

Sambil ia menghapus air matanya yang jatuh menitik ke atas surat itu, ia memasukkan surat itu ke dalam sampulnya, lalu dibawanya malam itu juga ke kotak pos. Istrinya yang baru itu heran melihat perbuatan suaminya itu, lebih-lebih melihatnya yang balut itu, ajaib benar kepada dia, sebagai teka-teki yang tak dapat diterka. Sebulan lamanya Baginda Diatas di Deli mengunjungi kaumkaumnya. Maka ia pun kembalilah dengan membawa pesanan yang wajib dilakukan. Karena kalau tiada demikian, tak suka Aminu'ddin menurut perkataan itu. Lagi pula menurut adat, seharusnyalah ia berbuat demikian. Apakah pesan yang dibawa bapaknya itu? Yaitu setelah sampai di Sipirok, ia dan istrinya harus membawa nasi bungkus ke rumah ibu Mariamin*) meminta maaf, sebab Aminu'ddin telah berjanji dengan Mariamin akan kawin. Akan penutup perbuatan yang salah itu, haruslah mereka itu memberikan seekor lembu dan kerbau kepada ibu Mariamin. Hal itu diminta keras oleh Aminu'ddin kepada ayahnya, bukan supaya menurut adat saja, tetapi maksud menolong adindanya yang miskin itu, lebih berat padanya daripada adat. Suatu tanda, bahwa Aminu'ddin bertabiat yang mulia terhadap kepada sahabatnya yang malang itu. Jadi nyatalah, bahwa ia tiada dusta, waktu menulis, "Saya mengaku, takkan berkurang kasihku akan dikau, Riam." *) Menurut adat orang Batak, orang yang meminta ampun akan kesalahannya, harus membawa nasi ke rumah orang tempat ia meminta ampun itu, supaya langkahnya berat. Nasi itu biasa dibungkusdengan daun pisang; sebab itu nasi itu bernama nasi bungkus. Ya, benar; akan tetapi acap kali kejadian di dunia ini bahwa huruf yang terukir di hati manusia itu amat mudah lenyap, apabila tukang ukir yang lain datang.== Catatan kaki ==