Lompat ke isi

Arkoun

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Arkoun  (2000) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi 11/XXIX/15 - 21 Mei 2000

Ada sebuah cerita orang Yahudi tentang dua rabbi piawai yang berdebat. Yang diperdebatkan adalah dua buah naskah yang ditulis oleh Musa bin Maimon (yang dalam kepustakaan Barat disebut Maimonides), ahli filsafat yang hidup delapan abad yang lampau. Kedua rabbi itu, masing-masing pakar utama telaah karya-karya Maimonides, mempersoalkan tidak cocoknya sebuah teks dengan teks yang lainnya.

Perdebatan berlangsung dengan argumen-argumen yang mengagumkan. Kedua pihak sama-sama kuat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun disusul tahun yang lain, terus saja perdebatan itu tak berhenti. Ketika kedua rabbi itu akhirnya meninggal, di akhirat pun mereka terus saja saling mengajukan argumen yang cemerlang.

Tuhan pun mengikuti diskusi itu, dan akhirnya Ia memanggil Maimonides sendiri untuk menjawab: apa sebab ada ketidakcocokan antara tulisannya di naskah A dengan tulisannya di naskah B. Maimonides pun mendekat, membaca baik naskah A maupun naskah B, dan dia tertawa. ’’Yang di naskah B itu ada salah cetak!”.

Perdebatan selesai? Ternyata tidak. Kedua rabbi itu menganggap penjelasan Maimonides tidak menarik dan kurang cemerlang. Dan mereka pun terus saling mengajukan tesis dan antitesisnya….

Tesis dan antitesis yang tak putus-putusnya adalah cerita tentang teks dan tafsir, yang bukan saja berlaku untuk karya Maimonides, tapi apa saja. Apalagi dalam hal naskah atau kitab yang penggubahnya sudah tak bisa dihubungi lagi—atau memang tak bisa ditanya, seperti misalnya Kitab Suci. Begitu sebuah teks selesai dan sampai ke tangan pembaca, ’’Sang pengarang sudah mati,” kata Roland Barthes yang terkenal. Sang pengarang (l’auteur atau author), yang umumnya dianggap sebagai pemegang kunci kebenaran dan pemegang otoritas terakhir, harus dianggap sudah lepas kuasa. Sebab akhirnya setiap pembacalah yang membentuk tafsirnya sendiri.

Mungkin sebab itu bahkan penafsiran Qur’an tidak mungkin ’’ditutup”. Mohammed Arkoun termasuk yang dengan konsisten mengemukakan itu, sebagaimana diterangkan oleh Robert D. Lee dalam bukunya yang baru saja terbit terjemahannya, Mencari Islam Autentik. Persoalannya, tentu, senantiasa ada dorongan ke arah penutupan proses tafsir: ada lembaga yang dibentuk untuk menentukan mana tafsir yang tepat mana yang harus dibabat, ada kodifikasi yang dilakukan untuk mencegah kekacauan, ada lapisan baru pemegang hegemoni tafsir, baik yang dideking oleh kekuasaan ataupun oleh tradisi.

Arkoun terutama mengecam kodifikasi yang diberlakukan dalam syariat, tapi di mana pun juga, kodifikasi adalah kontrol. Kodifikasi menghentikan perbedaan. Aturan yang semula terserak dan berkembang dalam habitat masing-masing, dikumpulkan, diklasifikasikan, lalu didaftar. Yang di luar itu harus dianggap barang buangan. Itu sebabnya kodifikasi hanya bisa berlangsung di bawah sebuah kekuasaan yang bisa menginterogasi, memutuskan, dan menghukum misalnya dengan fatwa ataupun dengan senjata. Tanpa sebuah lembaga yang berkuasa, kodifikasi hanya sebuah kerajinan para pakar yang memimpikan dirinya sebagai pengontrol.

Yang menakjubkan ialah bahwa kekuasaan lembaga seperti itu—katakanlah sebuah majelis ulama—tidak pernah bertanya atau ditanyai dari mana kekuasan atau otoritasnya datang. Para ulama bisa mengeluarkan fatwa dan menyitir hukum tanpa menyadari bahwa fatwa, hukum, dan bahkan diri mereka sendiri terpaut dengan sebuah pengalaman.

Tapi di mana ada hukum tanpa pengalaman, tanpa sejarah? Kita tahu, Arkoun menolak kecenderungan untuk menaikkan hadis, yakni ujar dan perilaku Nabi Muhammad dalam hidup kenabiannya, ke posisi wahyu Tuhan. Dengan itu ia sebenarnya hendak menekankan bahwa hanya Tuhan yang tidak tersentuh sejarah. Bahkan ia agaknya sepaham dengan yang disimpulkan oleh para pemikir di abad ke-8, bahwa Qur’an juga sebuah ’’makhluk”. Ia dibentuk dari unsur-unsur manusiawi (terutama kata-kata yang tumbuh dan berkembang di Jazirah Arab di abad ke-5) dan sebab itu tidak sepenuhnya berada di atas pengalaman.

Hal yang sama berlaku untuk kitab suci yang lain. Dalam agama Kristen, sabda Yesus bertaut dalam cerita tentang perjalanan hidupnya, yang diceritakan oleh orang yang berbeda-beda. Dalam agama Yahudi, Taurat—buku hukum itu—tidak dimulai dengan daftar aturan. Ia didahului oleh cerita tentang kejadian-kejadian besar yang dialami para patriakh. Semuanya mengisyaratkan, sebagaimana dikatakan oleh seorang penasfir Injil: ’’Pengalaman harus mendahului hukum, demikian pula cerita harus mendahului kodifikasi.”

Hukum akan seperti penggilas besi seandainya di baliknya kita tidak boleh menyidik asal-usulnya di suatu masa, di suatu tempat. Dia tidak akan hidup. Syariat, yang sebenarnya adalah jalan, akan seperti lorong penjara kalau jalan itu tidak merupakan cerita dari mana ia datang.

Tapi kita tahu bahwa pengalaman hanya bisa ditilik kembali, direkonstruksikan menjadi buku sejarah, bila ada kemerdekaan—juga kemerdekaan untuk menampik buku sejarah itu. Persoalannya, bersediakah kita untuk merdeka?