Apakah Batjaan Tjabul/Gajus Siagian
Gajus Siagian
Saudara Ketua, hadirin jang terhormat.
Dengan perantaraan seputjuk surat pengurus Organisasi Pengarang Indonesia (O.P.I.) meminta saja mendjadi debater prasaran Saudara St. Takdir Alisjahana mengenai „Pengertian Batjaan Tjabul dan Usaha Penjaluran Kegiatan Penulis Karangan² Tjabul.”
Kalau saja tidak salah, prosedure dalam menjelenggarakan pertukaran pikiran ini ialah, bahwa praeadviseur menjampaikan dulu prasarannja dalam bentuk tertulis dan lengkap pada pengurus, jang selandjutnja meneruskannja kepada debater jang ditundjuk untuk mempeladjarinja, agar supaja dia dapat mendasarkan sanggahannja pada prasaran itu. Djuga untuk djelasnja sesuatu, menurut hemat saja, haruslah demikian djalannja. Ternjata jang saja terima hanjalah pokok² prasaran jang sangat singkat, jang tidak memberikan kemungkinan bagi saja untuk menjelami seluruh isi dari prasaran itu.
Karena saja harus menjiapkan sanggahan saja lebih dulu berdasarkan bahan² jang singkat itu, dengan sendirinja bisa timbul berbagai kemungkinan jang sukar dielakkan. Kemungkinan pertama ialah bahwa saja mengemukakan tafsiran² jang djauh atau sama sekali menjimpang dari maksud Saudara Takdir. Kemungkinan kedua ialah, bahwa ada dalam prasaran Saudara Takdir hal² jang dipandangnja sebagai soal ketjil, bagi saja soal penting, bahkan pokok, tetapi untuk mana saja tidak dapat membuat sanggahan lebih dulu karena tak berkesempatan membatja prasaran itu dalam bentuk jang lengkap. Saudara Ketua, ditetapkannja dua debater jang masing² harus menjediakan sanggahannja setjara tertulis menghadapi seorang praeadviseur dapat djuga menimbulkan hal² jang kurang menjenangkan bagi salah seorang atau bagi kedua-duanja debater, sebab debater kedua mungkin djuga terpaksa mengulangi jang sudah dikemukakan debater pertama, sesuatu jang tidak perlu dan membosankan bagi pendengar². Hal² demikian dapat dielakkan dalam sanggahan jang dikemukakan setjara lisan oleh debater² bebas.
Saudara Ketua, sebelum saja kemukakan sanggahan² dan saran² saja ada baiknja djuga saja terangkan dulu, bahwa banjak dari hal² jang saja akan uraikan disini sudah pernah saja paparkan dalam bentuk prasaran pada suatu pertemuan dengan perantaraan orang lain. Saja tidak tahu apakah ada diantara hadirin jang sudah pernah mendengarnja dan saja berikan tjatatan ini hanjalah untuk mendjaga agar supaja djangan sampai timbul sangkaan dan tuduhan, seakan-akan saja memindjam buah pikiran orang lain. Sebaliknja saja tidak berpretensi akan menjadjikan idee² baru pada hadirin. Soal ketjabulan sebenarnja bukanlah soal baru dan tjara pemetjahannja mungkin djuga tidak baru pula.
Saudara Ketua, Saudara Takdir membagi prasarannja dalam tiga bagian, masing² dengan 6, 9 dan 5 dalil atau pokok. Sebagaimana telah saja kemukakan tadi, saja hanja mendapat kesempatan membuat sanggahan² berdasarkan pokok² prasaran jang ringkas, tidak berdasarkan prasaran jang lengkap. Suatu pekerdjaan jang saja harus akui tidak mudah. Maka saja harap, bahwa hadirin dapat memahamkan dan memaafkan saja, apabila saja agak menjimpang dari tjara jang biasa dan hal² jang saja akan kemukakan pada beberapa bagian dalam isi dan tjoraknja mirip pada suatu prasaran djuga. Memang ada alasan bagi saja untuk berbuat demikian. Pertama ialah karena berhubung dengan hal² jang saja sebut tadi, jakni tak adanja kesempatan bagi saja untuk mempeladjari prasaran Sdr. Takdir lebih dulu, saja terpaksa mengambil djalan, jang menurut anggapan saja paling sedikit memberi kemungkinan akan timbulnja keruwetan dan memberi paling banjak kedjernihan dalam batas kemungkinan jang ada.
Kedua karena saja sendiri sudah mempunjai pendapat jang tertentu mengenai batjaan tjabul serta tjara mentjegahnja, pen- dapat jang sukar saja potong² dan bentuk kembali berupa sanggahan² terhadap dalil² jang terpisah-pisah.
Ketiga, karena pertemuan ini diadakan untuk mentjari pendjernihan dalam pengertian jang sebenarnja masih kabur², tidak untuk mengadakan perdebatan untuk perdebatan, Baik prasaran maupun sanggahan² dan saran² hanjalah alat atau djalan untuk mentjari penjelesaian, bukan tudjuan. Kiranja adalah lebih bermanfaat untuk mengemukakan satu-dua saran jang sehat dalam satu-dua baris kalimat dan jang dapat dilaksanakan daripada melantjarkan sanggahan² berapi-api sepuluh lembar, tetapi sedikitpun tidak membantu menjelesaikan persoalan.
Saudara Ketua, membatja pokok² prasaran Saudara Takdir, terpaksa saja mengetjewakan mereka diantara hadirin jang menjangka atau mengharap akan mendengar perdebatan jang sengit. Sebab saja harus katakan disini bahwa, sepandjang saja dapat menangkap dan memahami pendapat dan pikiran Saudara Takdir dari pokok² prasaran beliau, baik mengenai analisa masalah tjabul jang ditindjau dari sudut etik, ilmu masjarakat, ilmu djiwa dan ilmu pendidikan, maupun mengenai usaha mentjegahnja, dalam garis besarnja saja setudju dengan beliau. Sebagian terbesar dari pokok² prasaran Saudara Takdir tidak memberi kesempatan. bagi saja untuk melakukan tugas saja sebagaimana diharapkan dari saja, jakni : mendebat.
Maka saja serahkan sadja kesempatan ini pada mereka diantara hadirin jang coûte que coûte mau melampiaskan keinginannja mendebat. Saja hanja dapat menjanggah hal² jang saja tak setudjui. Itupun saja hanja lakukan djika saja anggap perdebatan jang sehat dapat dilakukan dengan manfaat. Tetapi bitjara tentang ,,sebagian terbesar” berarti pula, bahwa ada djuga dari pokok² prasaran Saudara Takdir jang saja tak dapat setudjui seluruhnja , jang kurang djelas atau memerlukan kelengkapan. Dalam pokok prasarannja Saudara Takdir sebenarnja tidak memberi batas² atau perumusan jang tertentu dari tulisan atau lukisan tjabul sebagaimana termaktub dalam atjara. Sudah lazimnja, bahwa kita mentjari kedjelasan dan kedjernihan sesuatu pengertian dalam perumusan karena kita tjenderung berpikir dalam istilah² moral dan istilah² hukum, apabila kita berhadapan dengan pertanjaan ,,apa jang baik dan apa jang buruk" atau ,,apa jang boleh dan apa jang tidak". Saja sendiri berpendapat, bahwa kita akan membuang tempo sadja, kalau perumusan itu mendjadi sjarat untuk mentjari penjelesaian; karena saja jakin, bahwa kita tidak akan dapat mentjiptakan suatu perumusan jang dapat diterima semua pihak mengenai soal² relatif seperti etiket dan moral. Alasan lain mengapa saja tidak begitu suka pada perumusan dalam hal ini, saja harap mendjadi djelas djuga nanti dari uraian selandjutnja.
Dalam membitjarakan soal etik jang dipakai Saudara Takdir sebagai titik bertolak dalam dalil 1, 2 dan 3 bagian I, Saudara Takdir tidak menjinggung sama sekali hal jang hakiki jang terkandung dalam pengertian etik. Jang saja maksud ialah, bahwa etik memastikan segala sesuatu dari sudut pandangan masjarakat belaka. Dengan lain perkataan: Setiap orang dalam masjarakat jang bersangkutan hanja dapat dipandang sebagai anggota masjarakat sadja. Hal mana berarti, bahwa pribadinja diabaikan. Hal ini saja anggap sangat penting, karena berhubungan rapat dengan kemerdekaan individu; terutama kemerdekaan seniman, sebagaimana Saudara.Takdir kemukakan djuga dalam dalil 9 bagian II. Disiniiah kita lihat adanja kemungkinan bentrokan antara manusia sebagai anggota masjarakat pada suatu pihak, jang diikat oleh etik, dengan ,,alter ego-nja" pada pihak lain dengan martabatnja sebagai manusia. Dalam hubungan ini saja teringat pada pendapat pudjangga Nietzsche jang mengatakan, bahwa etik sering merupakan rintangan bagi perobahan dan perkembangan masjarakat. Bahkan dia lebih radikal lagi mengatakan, bahwa. tiap etik berdasarkan paksaan dan oleh karena itu tidak sesuai dengan martabat manusia. Mengenai utjapan terachir ini kita tidak berpendirian sedjauh Nietzsche, tetapi dalam utjapan itu memang terkandung inti kebenaran.
Dalam dalil 2 bagian II Saudara Takdir mengatakan, bahwa jang menentukan ketjabulan adalah dua faktor, jaitu etiket orang jang mentjiptakannja dan etiket orang jang membatja atau melihatnja. Menurut hemat saja disini adalah lebih tepat mengatakan motif orang jang mentjiptakannja, karena etiket itu —— seperti Saudara Takdir sendiri akui—— adalah relatif dan terikat pada tempat dan waktu jang tertentu. Lain halnja dengan pengertian jang terkandung dalam perkataan motif, satu2nja ukuran jang tidak tergantung pada tempat dan waktu. Dengan sebuah tjontoh hendak saja djelaskan apa jang saja maksud: Memang menurut etiket jang berlaku dikalangan modern di Djakarta pada waktu ini, berdansa tidaklah tjabul, baik menurut etiket jang berdansa, maupun menurut etiket dari orang2 jang menontonnja dari kalangan itu. Bahkan bagi sebahagian orang berdansa adalah inhaerent dengan progressiviteit atau alat untuk melantjarkan pergaulan seperti main bridge dan ,,gezelschapsspel" jang lain. Tetapi djika si pemuda berdansa dengan si pemudi dengan motif jang mesum, mereka adalah berbuat tjabul, sekalipun menurut etiket jang berlaku berdansa tidak tjabul ; sekalipun dimata penonton mereka berdansa sebagai dua malaikat jang sopan. Djadi jang menentukan sifat ketjabulan itu, bagi saja, adalah terutama motif jang mendorong orang jang melakukannja dan kemudian arti jang diberikan padanja oleh orang jang melihatnja atau mendengarnja.
Disini terletak perbedaan jang hakiki antara pornografi dengan seni. Bahasa pornografi bisa mirip pada bahasa sastera, tetapi motifnja jang tidak dapat disembunjikannja, hanjalah mengobarkan hawa nafsu. Sedangkan seni adalah essensi kehidupan jang lebih luas dan jang memberikan kebebasan rochaniah, lahir dari ilham jang sutji-murni.
Dalam bagian I dalil 6 Saudara Takdir menjinggung perseregangan antara nilai2 etik jang dihasilkan oleh penjelidikan ilmu djiwa, ilmu masjarakat dan ilmu kebudajaan dengan nilai2 etik agama. Saja dapat tambahkan, bahwa dalam Kitab Indjil, Wasiat Lama, banjak tjeritera2 jang bagi sebagian orang, jang memberikan arti jang tertentu pada tjeritera2 tersebut, djauh lebih tjabul daripada tjerita2 jang terdapat dalam madjalah2 tjabul jang beredar sekarang.
Djika orang2 Hollywood dengan motif mengobarkan hawa nafsu hendak membuat film, maka Wasiat Lama memberikan lebih dari tjukup bahan untuk mereka, tanpa membajar haktjipta. Film2 Samson and Dalilah dan David and Bethseba memang mengarah-arah kesana. Atau paling sedikit motif pembuatnja dan reklame2nja berupa poster dengan pose2 jang menggiurkan ,,appeleren" pada selera atau nafsu rendah dari publik. Tetapi siapakah jang akan mengatakan, bahwa Wasiat Lama itu adalah batjaan tjabul ? Sangkaan itu sadja sudah profaan bagi orang jang menghargai Kitab Indjil.
Dalam bagian II dalil 5 Sdr. Takdir mengemukakan sebagai sebab terbesar dari ketjabulan adalah perobahan struktur kota jang mengakibatkan kemiskinan dan terlepasnja individu2 dari ikatan2 jang lama, sehingga antara lain mengakibatkan perkembangan pelatjuran dll. Bagi saja ini adalah salah suatu sebab, tetapi bukan jang terpenting. Dan sepintas lalu saja tjatat disini, bahwa terlepasnja individu2 dari ikatan lama, tidak selalu mengakibatkan pelatjuran dan hal2 jang tidak sehat lainnja. Jang sebaliknja djuga mungkin terdjadi, jakni membawa pembebasan dan kemadjuan.
Proses perobahan struktur desa mendjadi struktur kota dengan segala akibatnja bukanlah masalah baru jang spesifik Indonesia. Baik dinegeri-negeri Barat, maupun dinegeri-negeri Timur, urbanisasi sudah ada sedjak djaman industrialisasi dan akibatnja a.l. adalah pauperisme, pelatjuran dan banditisme. Memang proses urbanisasi ini, dengan segala akibatnja, lebih pesat berlaku di Indonesia tahun2 belakangan ini daripada dinegeri-negeri lain. Kenjataan inilah jang menimbulkan pertanjaan: Apa sebabnja?
Dan sampailah kita pada latar belakang jang dalam keadaan normal tidak usah mendjadi sebab dari urbanisasi, tetapi dalam situasi Indonesia sekarang mempertjepat proses urbanisasi itu. Dalam urutan jang bersambung-sarnbung kita melihat perang dunia ke II, jang disamping menimbulkan kegontjangan ekonomis, djuga melahirkan revolusi Indonesia jang pada gilirannja menimbulkan masalah2 jang kita tak kenal sebelurnnja dan jang kita harus hadapi dengan pengetahuan dan pengalaman jang sangat terbatas. Kesukaran2 kita lebih besar, lebih beraneka warna dan lebih berbahaja lagi sesudah musuh bersama resmi meninggalkan bumi Indonesia. Benteng jang dengan tenaga bersama kita pertahankan terhadap musuh luar, kemudian kita rusakkan dari dalam. Gerombolan2 jang mempunjai ideologi jang sesat dan jang tidak mempunjai ideologi, dibantu oleh musuh dari luar, mengganas terus dan mengakibatkan menqalirnja bertambah banjak haves'not kekota-kota, jang relatif lebih aman daripada desa2. Dapatlah kiranja difahamkan, bahwa orang2 ini menganggap dirinja bukan hanja korban dari keganasan gerombolan2, melainkan djuga korban dari kelemahan Pemerintah jang tidak sanggup memberikan perlindungan dan nafkah pada mereka. Dendam itu makin hebat, djika mereka mempersaksikan sendiri kemewahan dan korupsi jang meradjalela dikota-kota.
Disamping dan djuga sebagai akibat kesukaran2 ekonomis, pergolakan tahun2 belakangan ini langsung mempengaruhi pendidikan pemuda-pemudi. Pertama ialah karena sedjak djaman Djepang pendidikan rochaniah sangat sedikit mendapat perhatian. Proses ini bersambung terus dengan petjahnja revolusi dan menampakkan rojan-rojannja (naweeën) sampai hari ini. Baik pendidikan murid2, maupun pendidikan guru2 sangat terganggu dan hubungan antara murid dan guru tidak lagi sebagai sewadjarnja. Pemuda-pemudi pergi kefront untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air. Guru2 pindah kedjawatan-djawatan jang menjimpang dari djurusannja semula, mendjadi kolonel, politikus atau direktur N.V., karena djabatan guru tidak meridapat penghargaan jang sepantasnja lagi atau karena godaan kedudukan jang lebih mentereng.
Setelah proses ini berlangsung beberapa lama dengan sendirinja timbullah bermatjam-matjam vacuum. Vacuum ini, kebebasan mendadak jang tidak mendapat saluran baik, suasana front, pengasingan dari masjarakat biasa, tidak boleh tidak menimbulkan kegontjangan pada djiwa² muda jang belum berisi dan belum mempunjai daja-bertahan rochaniah (geestelijk weerstandsvermogen). Proses ini berlaku pada masa kebanjakan pemuda-pemudi termasuk jang dinamakan adolescent. Dan menurut ahli² pada taraf hidup inilah sexualitet dan erotik sering menimbulkan konflik² rochaniah jang membahajakan, apabila kaum adolescent ini tidak mendapat bimbingan jang sehat pada waktunja.
Tetapi apakah jang kita lihat? Baik orang² tua, maupun kaum pendidik, sudah kehilangan „gezag” atas pemuda-pemudi jang menganggap dirinja pedjoang² jang berdjasa dan jang perlu dihargai. Arti djasa dan kewadjiban terhadap tanah air sudah mendjadi kabur. Arti kemerdekaan dan demokrasi bagi sebagian orang adalah sama dengan anarchi. Emansipasi kaum wanita, seperti jang disinggung Saudara Takdir dalam dalil 6 bagian II, sering tidak mendapat saluran jang sehat dan dipandang oleh sebagian kaum wanita tidak lain daripada kebebasan bergaul dengan kaum prija, kebebasan memberontak terhadap sang suami; atau paling sedikitnja mengambil oper pimpinan dari tangannja. Bukanlah rahasia lagi, bahwa djustru dikalangan kaum wanita terkemuka jang dalam segala-galanja sudah geemancipeerd dan giat dalam aneka warna organisasi, terdapat banjak hypocrit² jang dengan „halus” melakukan hal² jang pada hakekatnja lebih rendah daripada perbuatan² pelatjur² resmi atau professional. Pada waktu ini memang sungguh banjak maling jang berteriak: „Maling!”
Dari uraian tadi njatalah djelas, bahwa keliaran jang djuga mengakibatkan ketjabulan, tidak hanja terbatas pada kota² seperti jang dikemukakan Saudara Takdir dalam dalil 5 bagian II, melainkan djuga diluar kota, difront dll. Pendeknja ditempat-tempat, baik didalam maupun diluar kota, dimana „social order” kehilangan nilainja sebagai pedoman dalam menentukan norma² hidup dan dalam pemberian bentuk pada pergaulan manusia. Dalil 8 bagian II, dalam mana Saudara Takdir mengatakan, bahwa menurut hemat beliau aturan² jang ada dalam undang² pidana sekarang telah mentjukupi untuk mengatasi gedjala² jang tampak dalam masjarakat kita, hanja dapat diterima, apabila alat² pemerintah, jang bertugas melaksanakannja, betul² dapat berdjalan. Dan sebetulnja untuk menghadapi segala matjam anasir² jang tidak sehat negara kita tjukup mempunjai peraturan². Tetapi apakah kebobrokan masjarakat ini dengan sendirinja hilang dengan tertjiptanja hukum pidana? Maka optimisme jang agak naif dari Saudara Takdir hanja menimbulkan kesan, bahwa beliau kehilangan kontak dengan masjarakat, kenjataan² sehari-hari; seperti seorang Siddharta Gautama jang hidup tenteram dan mewah, tidak mengetahui keadaan jang sebenarnja, jakni bahwa kebobrokan bertjabul diluar istananja jang aman sentausa itu.
Bagi saja sesuatu undang², sekalipun dikadji oleh sardjana² hukum terpandai, hanja baik dan bermanfaat djika dapat didjalankan. Tetapi djika hukum pidana dalam praktek hanja berlaku untuk kaum lemah, maka dia hanja dapat menambah ketidakadilan dan merupakan alat penindas. Mereka jang bertugas melaksanakan undang² adalah pertama-tama jang diharapkan taat padanja. Tetapi djika seorang hakim atau djaksa sudah turut tersangka melanggar undang² dan melatjurkan djiwanja, keselamatan apakah jang dapat diharap dari undang²?
Kita berada disini djustru karena banjak dari undang² tsb. termasuk undang² mengenai ketjabulan, tidak dapat mentjegah gedjala² jang tidak sehat itu. Pada masa umum berpendapat bahwa masing² orang boleh membuat undang-undangnja sendiri, kita tidak boleh lagi menggantungkan nasib pada undang² sadja, tetapi harus mentjari djalan lain jang sedapat mungkin bersih dari sifat paksaan. Lagi pula undang² pidana adalah alat jang sifatnja negatif dan dalam pelaksanaannja, dalam arti represif sering hanja merupakan alat pembalasan. Diantara filsuf² hukum memang banjak jang berpendapat, bahwa hukuman mati atas diri seorang pembunuh hanja menambah korban djiwa manusia sadja, sedangkan kedjahatan jang sudah dilakukan tidak dapat diperbaiki lagi. Maka saja tegaskan lagi, bahwa baiklah kita serahkan pelaksanaan undang2 itu pada hakim2 dan memandangnja sebagai alat terachir. Kita pusatkan sadja perhatian kita dalam pentjiptaan sesuatu jang positif.
Saja setudju dengan Saudara Takdir jang dalam dalil terachir mengatakan bahwa sebagian daripada berkuasanja karangan2 tjabul itu adalah kegagalan kita memberi batjaan jang tjukup menarik. Hendaknja kita djangan hanja memikirkan bagaimana menghilangkan batjaan tjabul itu, tanpa menjediakan gantinja jang sehat. Kegiatan pemuda2 kita menerbitkan madjalah2 tjabul hendaknja djuga djangan dipandang hanja karena mereka begitu suka menerbitkannja, tetapi kita harus dapat fahamkan djuga mereka mungkin berbuat demikian karena ternjata, bahwa pada masa ini madjalah tjabullah jang dapat menutupi kebutuhan ekonomis mereka, bukan madjalah kebudajaan jang biasanja hanja sebentar sadja dapat bertahan. Maka usaha mereka harus kita tindjau djuga dari sudut kebutuhan ekonomis, tidak selalu dari sudut kebutuhan batjaan pornografis.
Sanggahan dan uraian saja ini hendak saja tutup dengan beberapa usul untuk mentjari djalan keluar mengatasi masalah jang kita hadapi.
Antara lain ialah untuk :
- Memperluas terbitan2 sehat, jang sedapat mungkin djuga menarik sebagai pengganti batjaan tjabul.
- Mendirikan perpustakaan2 dimana pemuda-pemudi dapat membatja buku2 dan madjalah2 jang sehat.
- Meninggikan honorarium penulis2 jang djudjur, agar djangan mereka terpaksa melatjurkan djiwanja seharga seratus duaratus rupiah dan rneratjuni ber-djuta2 djiwa dengan karangan2 tjabul.
Untuk mendirikan perpustakaan tsb. tadi kiranja tiap minggu dapat dikumpulkan wang dari murid2 untuk membentuk sematjam dana perpustakaan. Betapa besarnja djumlah wang jang dapat terkumpul tiap minggu dapat dikira dari djumlahnja murid2 dan mahasiswa2 jang ada diseluruh Indonesia pada waktu ini dan masa depan. Usaha ,,Maandagcent" zaman Belanda dapat kita ambil sebagai tjontoh.
Sebagai penutup saja andjurkan untuk mendirikan suatu panitia jang terdiri dari achli2 untuk mempeladjari batjaan tjabul lebih dalam. Berdasarkan penjelidikan panitia ini nanti dapat dibentuk suatu badan tetap seperti ,,Rijksbureau en Commissie ter Bestrijding van den Pornographie" jang ada di Nederland. Badan2 atau organisasi2 jang dapat bekerdja sama untuk maksud ini adalah a.l.
- Organisasi Pengarang Indonesia (O.P.I.)
- Fersatuan Wartawan Indonesia.
- Ikatan Fenerbit Indonesia.
- Jajasan Lektur.
- Persatuan Guru Indonesia
- Polisi Susila.
Sekian dan terima kasih.
KETUA: Saja mengutjapkan banjak terima kasih pada Saudara Siagian. Maka sekarang kita meningkat pada atjara jang penting djuga, jaitu atjara istirahat. Akan tetapi sebelumnja saja minta perhatian Saudara jang akan bertindak selaku penjanggah bebas nanti untuk pada waktu ini mendaftarkan namanja pada sekretariat.
Dengan ini rapat saja tunda.
(Rapat ditunda djam 21.05 dan dibuka kembali djam 21.15)
KETUA: Saudara2, marilah kita mulai lagi dengan pembitjaraan ini.
Saudara2, menurut waktu jang telah ditetapkan, maka sekarang Saudara praeadviseur akan mendjawab sanggahan2 dari Saudara-saudara debater, tetapi sebelum itu, ingin saja meminta perhatian Saudara, bahwa bagi debater2 bebas masih terbuka kesempatan untuk mentjatatkan namanja. Saja persilakan Sdr. Takdir. MR. ST. TAKDIR ALISJAHBANA :
Saudara2 sekalian.
Sesungguhnja girang hati saja, karena tentang jang kita bitjarakan malam ini, sebenarnja tidak banjak beda faham antara saja dengan Saudara2 penjanggah tadi dan kalau ada perbedaan faham boleh djadi itu disebabkan hanja oleh karena kurang terang atau dianggap belum lengkap uraian saja atau boleh djadi djuga hanja mengenai soal2 jang ketjil2 sadja. Saudara Hamka berkata, bahwa didaerah desa orang2 lebih banjak menutup bagian badannja daripada orang2 jang dikota. Pengalaman dan penglihatan saja dalam hal ini agak beda dengan penglihatan Saudara tadi. Didaerah desa lebih banjak daripada dikota, orang tidak menutup badannja ! Tetapi ada bedanja: dalam suasana desa itu segala sesuatu berlaku dibawali niiai jang lain. Orang menganggapnja sebagai sesuatu jang biasa sadja, seperti melihat alam ; mata orang jang melihatnja masih sutji, tidak seperti orang2 kota, misalnja kalau datang di Bali dengan membawa fototoestel, dsb. Hal ini berarti pandangan mata orang2 kota berbeda sekali dari pandangan mata orang2 didesa.
Saudara Ketua, sesungguhnja persoalan jang kita hadapi sekarang ini adalah soal tjabul dalam arti jang luas; bukan hanja berhubungan dengan madjalah dan buku2, tetapi djuga jang mengenai murid2, anak2, keluarga kita dan seluruh masjarakat kita. Tetapi djustru berhubung dengan inilah, maka saja ingin mempunjai bahan2 jang lebih banjak. Benarkah sekarang ini anak2 sekolah kita lebih tjabul daripada dahulu ? Tentang hal ini dengan terus terang sadja tidak ada angka2 jang djelas. Djadi sebenarnja, kita sebagai orang jang berpikir dan hendak memikirkan hal itu dengan bahans jang lebih exact, merasa tidak puas. Tentang hal ini saja mempunjai pengalarnan sekedarnja, karena saja hampir 6 tahun duduk sebagai ketua Seksi P.P. & K. Dewan Perwakilan Kotapradja. Beberapa tahun jang lalu ketika masjarakat kita dihebohkan oleh krisis etik, maka kami dari Dewan Kotapradja ingin tahu sungguh2 apakah betul2 ada krisis etik ? Untuk mendapat bahan2, kami mentjoba mengadakan penjelidikan. Kami bersama-sama telah menjusun 10 buah pertanjaan:
Adakah di-sekolah2 jang dinamakan krisis etik itu ?
Kalau ada bagaimana bentuknja dan bagaimana pikiran Saudara tentang hal itu ?
Bagaimana pikiran Saudara tentang pakaian murid ?
Sepuluh pertanjaan serupa ini kami susun dan kami roneo 1000 lembar dan kami kirimkan kepada semua sekolah di Djakarta ini. Tetapi usaha kami dalam menjelidiki hal itu setengah gagal, oleh karena pada suatu hari kami menerima surat dari Kem. P.P. & K. Pusat jang mengatakan: ,,Kotapradja tjampur tangan apa?"
Kepala2 sekolah dilarang mendjawab pertanjaan itu, hingga hanja 100 lembar djawab jang kembali kepada kami. Tetapimeskipun hanja sekian, interessant djuga djawab2 itu; maka kelihatan pada kami, bahwa soal krisis etik itu terlampau di-besar2kan oleh masjarakat kita.
Ada kesulitan dalam sekolah2, bahwa murid-muridnja menulisi dinding2 sekolah, tidak begjtu patuh kepada guru2 dan sebagainja. Tetapi tentang hal krisis etik seperti jang dimaksudkan dalam surat2 kabar itu kelihatannja tidak begitu hebat seperti jang dimuat dalam surat2 kabar. Demikian diantara djawab2 itu ada jang se-olah2 mengedjek pertanjaan kami itu : ,,Tuan bertanja tentang apa ? Kami tidak mengerti".
Sebaliknja ada pula djawab dari sebuah sekolah jang sampai satu buku tebalnja.
Maka seterusnja kami berusaha mentjari djalan untuk mendjauhkan kesulitan2 itu dengan tidak terasa oleh masjarakat. Sesudah kami batja djawab2 itu, kami adakan klasifikasi dan kami usulkan suatu tjara untuk mengatasinja. Kami usulkan kepada pimpinan P.P. & K. Kotapradja supaja pada perrnulaan tiap2 tahun, sekolah2 itu memanggil semua murid2-nja berkumpul. Dalam pertemuan itu guru jang memimpin rapat itu hendaknja djangan terlampau mengemukakan dirinja, sehingga rapat itu seolah-olah rapat daripada murid2 jang menghadapi tahun itu dengan senang dan sedihnja ber-sama2 dan bertanggung-djawab bertanggung-djawab tentang kebaikan dan kemadjuan sekolahnja. Dalam rapat itu mereka bersama-sama mengadakan aturan2 untuk tahun jang dihadapi itu. Djadi misalnja diadakan aturan, bahwa mereka tidak akan mentjoret-tjoret dinding sekolah, mereka tidak akan memburukkan nama sekolah dll. Dengan demikian murid2 itu sendiri dapat mengontrol sesamanja, berdasarkan aturan2 bersama jang diadakan pada permulaan tahun itu. Dalam aturan2 itu dapat diselipkan aturan2 tentang pakaian dan kelakuan jang baik.
Tetapi sampai dimana hal ini didjalankan, tentu kami dari Dewan tidak dapat mengetahuinja.
Jang mendjadi soal sekarang ialah, masjarakatnja sudah tjabul sehingga madjalah2 dan buku2 tjabul itu hanja bajangan sadja dari masjarakat, ataukah madjalah2 dan buku2 ini jang mengakibatkan ketjabulan ? Djadi mana telurnja dan mana ajamnja ?
Pada pikiran saja, sesungguhnja kita melihat, seperti djuga dikemukakan oleh Saudara Hamka -, bahwa dalam masjarakat kita sudah ada sesuatu jang gojah. Kita telah gagal memberi isi kepada masjarakat. Tetapi dengan adanja kegagalan ini, bukan maksud kita untuk tinggal diam.
Saudara Hamka tadi mengemukakan tentang hal perhubungan perkawinan jang sutji. Saja tidak berkeberatan mengenai perkataan itu, malahan disini saja mengemukakan satu tantangan, ialah bahwa sebenarnja golongan2 jang menganggap perkawinan itu sesuatu jang sutji, hingga sekarang gagal dalam menundjukkan dan melukiskan ini, baik dalam buku2 maupun dalam memberi isi kepada masjarakat.
Misalnja, kita banjak membitjarakan tentang perlunja sexuele opvoeding akan tetapi usaha kita sesungguhnja tidak kelihatan djuga ; kita masih gagal dalam hal mentjiptakan apa2 jang sesungguhnja berguna bagi masjarakat.
Achirnja, seolah-olah ada pertentangan tentang hal syntese agama dan ilmu. Saja pikir dalam hal ini tidak ada pertentangan antara saja dan Saudara Hamka, tjuma boleh djadi Saudara Hamka kurang dari saja merasakan, bahwa djustru agamalah jang menghadapi krisis jang sebesar-besarnja sekarang ini. Agama harus mentjari dasar-dasarnja kembali, kalau ia mau mempertahankan kedudukannja dalam dunia sekarang ini. Hingga sekarang memang agama memberikan nilai2 kebudajaan. Tetapi berhubung dengan pertumbuhan kebudajaan, sekarang disetiap negara banjak agama; malahan di Djakarta sekalipun kadang2 dalam satu rumah terdapat lebih dari satu agama. Tiap2 agama mengatakan bahwa kebenarannja mutlak. Melihat tiap agama mengemukakan kemutlakan kebenarannja itu, dengan sendirinja orang mendjadi sangsi, oleh karena terlampau banjak agama2 itu bertentangan sesamanja, masing2 mengaku kebenaran jang terachir dan mutlak. Berdasarkan pikiran2 inilah maka pada salah satu pertemuan di Brussel telah saja kemukakan, bahwa bilamana agama itu mau menduduki kembali tempat đidunia ini sebagaimana dahulu, hendaklah ia berani menjelami dasar-dasarnja kembali. Hanja pada tingkat2 sedjauh itu agama dapat kembali membawa nilai2 jang dapat memimpin peri kemanusiaan jang penuh dengan pertentangan sekarang ini. Tentang ini saja merasa girang sekali, bahwa antara golongan2 agama Keristen sudah mulai diusahakan mentjari pertemuan kembali antara sesama mereka ; demikian djuga menggirangkan, bahwa di Kairo orang Islam dan orang Keristen telah mulai mau membitjarakan soal2 agama. Itu adalah gedjala2 jang baik dalam masa sekarang ini.
Saja rasa tjukuplah sekian tentang hal jang sebenarnja bukan pertentangan akan tetapi hanja tambahan berhubung dengan uraian Saudara Hamka itu.
Tentang uraian Saudara Siagian, pertama saja hendak melenjapkan suatu salah-faham berhubung dengan dalil bagian kedua, dimana saja menjebutkan iktikat orang jang mentjiptakan dan orang jang membatja.
Saudara Siagian membatjanja ,,etiket", sehingga timbul salah-faham itu, sedangkan isi uraiannja tak berbeda dengan maksud saja.
Saja mengakui bahwa saja sesungguhnja tidak berbitjara tentang etik individu; saja berbitjara tentang ketjabulan ialah dalam hubungan masyarakat jang luas. Akan tetapi perhubungan antara individu dan masjarakat sebenarnja soal jang penting. Masjarakat jang selama ini terikat, mulai gojah, mulai retak. Individu mengeluarkan pribadinja. Akan tetapi djika etik masjarakat terlampau kuat, masjarakat dapat dimisalkan sebagai seorang ibu jang terlalu kuat menekan bajinja pada dadanja, sehingga djadi mati. Semestinja masjarakat mengikat individu untuk melepaskannja pada tingkat jang lebih tinggi, sedang individu jang bebas itu sebaliknja akan menjerahkan tenaganja dan ketjakapannja kepada masjarakat. Oleh karena dalam penjerahan dirinja pada masjarakat dia akan mendjadi lebih besar. Demikian dialektik diantara etik individu dan etik masjarakat.
Tentang hal buruknja undang2, ada salah faham ; sajapun tidak mengatakan bahwa soal ini terutama harus ditjegah dengan undang2, malahan sebaliknja. Sekaang ini djika ada sesuatu kesulitan, Pemeintah terus sadja menambah undang2, hingga undang2 jang lama belum dipakai lalu datang lagi undang2 jang baru. Sementara itu buat orang jang djahat masih ada djalan untuk meloloskan diri, sehingga banjak undang2 hanja menjukarkan orang jang baik dan taat sadja. Misalnja, Mr. Bouman lari ke Singapura, lalu diadakan aturan jang menjukarkan orang jang ingin pergi kesana. Tetapi Juslam mudah sadja lari ke Singapura sesudah itu, sehingga aturan itu, hanja menjukarkan orang2 jang baik dan taat.
Saja ingin mengemukakan sekali lagi, bahwa dalam uraian saja jang terpenting ialah bagian 3, jaitu kita harus berusaha setjara positif, mengusahakan supaja masjarakat kita ini mendjadi sehat.
KETUA: Terima kasih saja utjapkan kepada Saudara Takdir. Dan sekarang tibalah lagi gilirannja pada penjanggah resmi untuk mengemukakan pendapatnja. Saja persilakan Saudara Hamka.
HAMKA : Saudara Ketua, sjukur djuga Saudara Takdir tidak menjalah-terimakan perdebatan saja atau dengan kata lain, beliau sefaham dengan saja dalam tudjuan, jaitu bahwa pada achirnja kita akan membuka dan mentjari djalan keluar daripada kesulitan jang ada dimasjarakat kita ini. Kalau disini saja lihat dari sudut filsafat agama, maka disini tjuma tjara memudjanja sadja ada perbedaan. Djuga dalam agama Islam, dimana orang Arab mengatakan ,,Allah", maka orang Islam di Indonesia djuga menjebutnja ,,Allah". Djadi dalam soal agama boleh djadi ada timbul perbedaan, tetapi perbedaan ini bukanlah dalam hati, tetapi terutama timbul dimana ada orang² jang fanatik, tetapi semuanja menudju kearah jang sama djuga.
Dan achirnja, Saudara Ketua, dapat saja ulangi lagi perkataan saja tadi, bahwa masalah jang kita bitjarakan ini, adalah sebenarnja soal jang ketjil, tetapi merupakan salah satu bagian dari satu soal jang besar.
Sekian.
KETUA : Terima kasih saja utjapkan dan sekarang saja persilakan Sdr. Gajus Siagian sebagai penjanggah resmi kedua.
GAJUS SIAGIAN: Sudah tjukup djelas dan oleh karena itu saja tidak perlu lagi berbitjara.
KETUA: Terima kasih.
Saudara², para penjanggah resmi telah menjampaikan pendapatnja dan sekarang saja berikan kesempatan kepada hadirin untuk mengemukakan pendapatnja sebagai debater bebas.
Disini sudah terdaftar 7 nama, tetapi kepada jang lain² masih terbuka kesempatan untuk berbitjara. Terpaksa saja batasi kepada saudara² untuk berbitjara, jaitu hanja 10 menit sadja.
Saja persilakan lebih dahulu sebagai penjanggah bebas jang pertama, Saudara Notosutardjo.
NOTOSUTARDJO: Sdr. Ketua, Saudara Praeadviseur serta debater² resmi, —— ini menurut istilah Sdr. Ketua ——, tadi telah mengemukakan pendapatnja jang tjukup djelas bagi kita dan saja disini hanja menangkap dengan sepintas lalu, sesuai dengan pengalaman, demikian djuga disesuaikan dengan keadaan² jang sebenarnja terdjadi dimasjarakat.
Mengenai tuduhan² soal tjabul pada karangan buku² ataupun penerbitan madjalah, maka menurut tindjauan kami adalah merupakan satu soal jang tidak begitu besar.
Hanja salahnja pemimpin² kita, ialah ada jang mau tjabul dengan nama apapun, ada jang mau tjabul-tjabulan untuk mentjari populeritet, sehingga tidak langsung, sedar atau tidak sedar mendjadi propaganda, seperti jang sekarang dibitjarakan ini. Lakunja buku² dan madjalah² tjabul, antara lain oleh Saudara Hamka diakuinja, hingga pohonnja sampai keakar-akarnja sudah habis dan rumah sudah mendjadi tjondong.
Menurut hemat saja ketjabulan itu terutama bukan datangnja karena buku2, tulisan? dan Jukisan?, tetapi ketjabulan itu me- radjalela semendjak beberapa tahun jang lalu sesudah kita men- tjapai kemerdekaan atau sesudah perang dunia atau sesudah revolusi tahun 1945.
Sebab kalau ketjabulan itu didasarkan karena membatja buku? tjabul, maka saja dapat mengutip salah satu surat kabar jang terbit di Djakarta jang memuat, bahwa ada seorang anak laki² berumur 7 tahun di Senen jang telah melakukan tjabul dengan anak perempuan jang berumur 6 tahun. Ketika saja tanjakan kepada fihak kepolisian, ternjata bahwa anak² itu tidak bisa membatja dan menulis. Djadi apa sebab sampai terdjadi begitu ? Bukan karena membatja buku tjabul, tetapi karena suasana dan milieu jang ada ditempat itu. Maka kalau kita sekarang akan menitik beratkan bahwa buku² dan madjalah² jang ada di Djakarta ini merupakan salah satu pokok atau ranting jang menerbitkan ketjabulan dalam masjarakat, maka hal itu saja bantah dengan sekeras-kerasnja.
Saudara Ketua, kedjadian tjabul dimasjarakat kita ini adalah terutama disebabkan karena keadaan kehidupan sosial. Kita melihat rumah² dengan penghuninja sampai 7 atau 12 keluarga. Sebab Jain ialah kekurangan sekolah dan guru², sehingga kalau kita melihat keluar sebentar — kini djam 9 malam, — kita akan melihat pemuda² kita baru meninggalkan gedung² sekolah. Djadi keadaan² sematjam ini adalah sebab² utama jang harus dipikirkan oleh orang² tua murid dan guru².
Kalau kita perhatikan keadaan didjaman dahulu, kita akan melihat betapa aktifnja pemuda² kita masuk kepanduan, tetapi hal ini sekarang tidak mendjadi perhatian. Djuga karena kekurangan tempat untuk mentjari afwisseling dalam hidupnja, sehingga waktu² terluang dibuang begitu sadja, menimbulkan soal² jang tidak kita senangi itu.
Selain daripada itu, pokok jang utama lagi ialah karena banjaknja rumah² pelatjuran dan keadaan jang menjedihkan jang tidak dapat kita berantas, walaupun kita berteriak seratus kali sekali.
Selain daripada itu, menjinggung soal agama memang tampak gedjala² saja tidak akan mendalami soal ini karena kurangnja diberikan pendidikan agama, antara iain karena banjak diantara guru² agama sekarang telah mentjeburkan dirinja dalam kantor² pemerintahan, hanja karena pengaruh fulus sadja. Den-ean demikian mereka itu sebenarnja membuang-buang waktu, hanja untuk beberapa ratus rupiah sadja. Hal ini dapat dilihat bila kita mengadakan perdjalanan keliling dibeberapa daerah di Indonesia ini. Sekolah² dimana diberikan pendidikan agama sekarang sangat kurang sekali bila dibandingkan dengan dahulu ; dan hal ini dari fihak orang² terkemuka kita kurang sekali rnendapat perhatian. Padahal pendidikan agama itu disekolah-sekolah sangat penting sekali.
Kalau kita membatja surat² kabar, rnaka di Sumatera Timur djustru ketjabulanz itu Ciiakukan oleh guru² agama (ja, dari guru² sekotrah biasa djuga ada jang melakukannja), bahkan oleh hadjiz jang sangat didewa-dewakan dalam masjarakat kita itu.
Lagi pula pendidikan agama jang diberikan itu sangat kurang dan tidak mendalam sekali, tidak ada suatu pegangan atau metodik dalam memberikan peladjaran itu. Umpamanja mengenai Saudara² hadirin, kalau saja kemukakan soal haid ini, suatu soal jang diuraikan kepada murid2 Sekolah Menengah, djadi sudah merupakan suatu mata peladjaran jang tinggi sekarang ini. Dalam pendidikan agama itu diuraikan oleh sipendidik tentang haid ialah bahwa bilamana seorang gadis mendapat haid, ia tidak boleh bersembahjang, tidak boleh ini dan itu. Kemudian datanglah pertanjaan² dari para pemuda dan pemudi itu, mengapa seorang gadis jang mendapat haid tidak boleh bersembahjang, padahal soal haid itu menandakan bahwa si gadis itu telah mendjadi dewasa. Maka disinilah uraian² jang sebenarnja barus diberikan setjara mendalam, malahan tidak diberikannja !
Selandjutnja, Saudara Ketua tentunja mengetahui perkembangan dikalangan penerbitan dan pertjetakan dinegara kita achir² ini atau dalam dua tahun jang terachir ini, maka njata ada gerakan atau usaha untuk mengambil oper pasaran² jang dilakukan oleh golongan asing terlebih dahulu daripada kita. Akan tetapi djustru pada saat² kita hendak mengadakan usaha itu, timbul suatu campagne jang dibesar-besarkan dalam surat² kabar tentang adanja buku² tjabul, madjalah² tjabul. Walaupun diakui ada diantaranja jang tjabul, akan tetapi tidak semua buku² atau madjalah² itu isinja tjabul. Dalam hal ini teringat saja akan suatu kedjadian, ialah Sdr. Dr. H. Ali Akbar, anggota Parlemen kita jang terhormat, walaupun mungkin dengan tidak disadarinja, telah membawa tjontoh² madjalah² jang dikatakannja tjabul, walaupun belum ada ketentuan tentang tjabulnja itu. Demikian dibesar-besarkannja soal itu oleh sementara pers kita, sehingga buku² itu laku sekali, djustru karena adanja campagne itu soal itu mendjadi populer jang sebenarnja tidak perlu dipopulerkan.
Sebenarnja soal ketjabulan itu dapat kita tjegah bilamana antara ketiga badan, jakni penerbitan, pertjetakan dan pengarang ada kerdjasama jang erat. Saja jakin dengan demikian maka soal itu dapat kita batasi sebaik-baiknja. Dalam hal ini baiklah Pemerintah atau alat?nja membeslah dengan serta merta buku² itu: ini akan menimbulkan suatu bibit atau gedjala² jang memberikan kesempatan luas untuk berpropaganda dari fihak penerbit² tertentu itu guna melakukan pendjualan mengenai penerbitan² sebagai hasil jang dibuatnja itu. Memang sukar sekali untuk menentukan batas² tjabul dan tidak tjabui itu. Misalnja, kita dapat melihat pada artja² di Borobudur jang digambarkan orang setengah telandjang dan selain dari ini kita dapat melihat bagaimana tjara orang berpakaian, itu sama sadja. Ada buku2 jang dikatakan tidak tjabul, akan tetapi djika kita membatja isinja ketjabulan melulu; ada lagi suatu madjalah dimana didalamnja terdapat gambar2 jang telandjang bulat, akan tetapi ada kalanja ini tidak dapat dikatakan sebagai tjabul. Saja berpendapat bahwa sebaiknja kita dalam hal ini tjukuplah berpegang kepada hukum pidana.
Tetapi sekarang apa jang dilakukan oleh Pemerintah ? Orang2 dari Pemerintah mengatakan : budget kita kurang hingga kita tidak dapat membeli buku2. Dan disamping ini pemerintah turut serta membasmi batjaan2 tjabul, akan tetapi disamping ini lupa bahwa sampai sekarang masih sadja diimport madjalah2 dari Eropa Barat untuk seharga ½ djuta, jang di Eropanja tidak mempunjai pasaran baik akan tetapi isinja ,,penting" sekali. Dan ini tidak serupa dengan apa jang dilakukan oleh penerbit2 dan orang-orang dinegeri kita ini.
Mengenai hal budget djikalau saudara2 mengikuti laporan Pemerintah, kita dapat menarik kesimpulan bahwa karena kurangnja budget itu maka perpustakaan2 jang ada djadi kekurangan batjaan2, sehingga peladjar2 kita tidak dapat batjaan-batjaan jang berfaedah. Dalam hubungan ini djika kita memang kekurangan budget ada baiknja kita fikirkan pula apa jang telah dikemukakan oleh Saudara Siagian tadi. Jaitu, djika dulu diadakan ,,Maandagcent", apa salahnja djika kita sekarang mengadakan ,,Senin Talen"' Selain daripada itu perlu pula dikemukakan bahwa berhubung adanja pembebasan uang sekolah, maka saja kira orang2 tua murid itu tidak akan berkeberatan djika diadakan ,,Senin Talen" itu, oleh karena ini diperuntukkan guna suatu pekerdjaan jang baik bagi anak2 kita.
Sebagai penutup saja ingin djuga mengemukakan agar diadakan suatu pertemuan segi tiga diantara kita untuk memberikan saran2 jang baik; djadi bukan dengan maksud untuk mempopulerkan masalah jang kita hadapi akan tetapi guna mentjari djalan se-baik2nja guna memetjahkannja. Sekian. KETUA: Terima kasih. Saudara2, Kita telah mendengarkan uraian dari Saudara Ketua Ikatan Penerbit Indonesia.
Sekarang sebagai pendebat bebas saja persilahkan Saudara R. Sudjadi.
SUDJADI: Saja dari Kementerian P.P & K.
Saudara Ketua dan Hadirin jth.
Setelah saja mendengarkan begitu banjak keterangan, usul2 dan sebagainja, maka saja djadi ketjil hati, apakah ada jang hendak saja adjukan sekarang ini untuk menambah pengertian tentang tjabul dan pemberantasannja. Djika kita membuat tjontoh2 sebagai pembitjara jang terachir tadi, maka ini bukanlah menambah kebenaran jang mutlak, melainkan kadang2 ada pengetjualian dan kebenarannja adalah pada filsafahnja. Dalam pada itu kita menghadapi persoalan ini dalam tiga matjam, yaitu filsafah, etika dan agama.
Apa jang dikemukakan oleh pamrajogja, ini kata lain dari prasaran; jogja adalah hal2 jang baik dan pamra adalah orang jang mengadjukan, djadi kata „prasaran” didjadikan zelfstanding naamwoord, djadi pamrajogja mendjadi praeadviseur maka kalau kita pandang dari sudut filsafah tentu sadja jang tidak ada salahnja, karena ini berdasarkan pandangan kebenaran dan alam dalam keseluruhannja. Kalau hal ini dipandang dari sudut etik atau etika, maka djuga disitu masih kurang pandangan kita karena etika tidak lain hanya code2 sadja jang tidak usah disesuaikan dengan kebatinan atau perbuatan kita an sich jang mendahului emosi dari djiwa dan kemurnian jang ada pada kita. Maka disitu banyak jang bisa diterima begitu sadja. Sedangkan, kalau hal ini ditindjau dari sudut agama, maka ini adalah bagi tiap2 manusia menjadi persoalan jang perlu mendjadi pertimbangan dan mendjadi pedoman, oleh sebab jang tidak sesuai dengan kurnia Tuhan, maka ini akan menjebabkan timbulnja penjakit2 pribadi dan sebagainja. Djadi dengan pertimbangan jang lain bentuknja, penjakitnya2 pribadi akan timbul, sedangkan jang pedoman kepada agama atau berpegangan kepada etika, penjakit itu tidak akan timbul. Sebenarnja tjabul itu pekerdjaannja berdasearkan atas nisangga, jaitu instinct. Djadi tjabul adalah berdasarkan instinct atau nisangga. Kalau kita mengakui, bahwa hidup adalah suatu aktivitet jang harus dimulai dan disokong atau didorong oieh nisangga tadi, maha kita mengerti bahwa tuduhan2 mengenai tjabul itu adalah djustru jang paling penting dan paling kuat disebabkan nisangga itu, jaitu jang kemudian beralih kepada soai ketjenderungan pikiran kita kepada soal wanita.
„The lust to satisfy want".”
Want itu sama dengan wanita. Disini kalau dilandjutkan adalah benar, bahwa wanita atau „want” itu merupakan suatu unsur instinct jang paling kuat. Djadi kalau dikatakan, ini soal ketjil, saja tidak sefaham. Ini adalah soal besar. Saja rasa Agama Islam menginsjafi akan hal ini, karena mengerti benar, bahwa soal ini adalah soal besar. Djika anak2 sudah sampai pada tingkatan sexuele rijpheid, sudah masak kesjahwatannja, maka tidak ada barang apapun jang dapat menahan-nahan hal itu. Ini mulai pada umur 15 dan dapat ditahan sampai umur 25, tetapi sesudah itu harus ada. kemungkinan untuk berumah tangga. Tetapi pada. umumnja umur 15 sampai 25 tahun itu adalah waktu jang sangat berbahaja.
KETUA: Saudara Sudjadi, waktunja sudah hampir habis.
SUDJADI : Kalau begitu, saja akan mulai dengan kesimpulan sadja.
Pamrajogia tadi mengatakan, bahwa kita sudah gagal, bahwa kita sudah membikin batjaan jang tjukup menarik, tetapi boleh dikatakan para pengarang batjaan tjabul ini mentjapai kemenangan dan berhasil menarik dan mendjiwai pemuda2 kita.
Kalau itu dianggap kemenangan dan kemenangan itu tidak dikehendaki oleh kita,— saja rasa kita disinipun tidak ada jang menghendaki kemenangan itu —, maka obatnja ialah berantaslah ketjabulan itu ! Tidak usah ditanjakan apakah ketjabulan itu, didefinisi bagmana, tetapi pada dasarnja kita harus memberantas ketjabulan iiu. Tidak usah dipersoalkan mengenai rumahan jang kurang dan sebagainja itu tidak perlu. Pokoknja. ialah kita berantas ketjabulan dan untuk itu kita mengadakan usaha. Usaha sudah banjak diadakan, tetapi soal ketjabulan ini harus diberantas dengan djalan apapun djuga. Kalau undang2 mengenai itu belum berdjalan, kita usahakan supaja itu berdjalan. Dan kalau itu oleh panitia jang berkepentingan misalnja dianggap perlu untuk ditambah, tambahlah.
Sekian, Saudara Ketua.
KETUA : Terima kasih Saudara Sudjadi. Inilah suara dari kalangan pendidik.
Sekarang sebagai pembitjara nomor tiga saja minta tampil kedepan Saudara Taharuddin Hamzah.
Sebelumnja, perlu saja kemukakan, jaitu mengenai waktu untuk berbitjara bukannja 10 menit, melainkan 5 menit.
TAHARUDDIN HAMZAH : Saudara Ketua, setelah mendengar segala uraian dari Saudara Takdir tadi saja hanja dapat menangkap seolah-olah kita mempersoalkan hendak memasuki sebuah rumah : dilihatnja berbagai tjara untuk memasuki rumah itu, dari depan, dari sini dari sana, dari belakang; dapat djuga dari atas, nenurut kebutuhan atau kehendak seseorang jang hendak masuk itu. Dengan demikian kita sebenarnja belum mendapatkan suatu way out, walaupun ada andjuran tadi dari pembitjara bahwa kita harus mengatasi soal ini.
Sebagaimana kita ketahui, untuk memperbaiki sesuatu itu harus kita ketahui lebih dahulu apakah kesalahan kita, apakah jang harus diperbaiki itu. Dari pembitjara jang lebih dahulu tadi belum nampak apakah jang dinamakan tjabul itu. Kalau saja membatja surat undangan untuk pertemuan ini, maka kita mendapat harapan, terutama dari Saudara Takdir, akan mendapatkan suatu rumusan, suatu penilaian tentang sesuatu batjaan atau madjalah jang tjabul; sesuai dengan djaman kita sekarang ini dan djuga sesuai dengan perkembangan peri kemanusiaan di Indonesia sekarang ini. Hal jang sedemikian itu dapat saja harapkan dari Saudara Takdir, pertama oleh karena beliau semendjak usia mudanja mentjurahkan pekerdjaannja kepada soal karang-mengarang, dengan sendirinja ia akan dapat membeda-bedakan apa jang tjabul dan jang tidak tjabul, seni dan bukan seni. Kedua, selaku pendidik Saudara Takdir dapat membedakan mana jang sesuai dan mana jang tidak sesuai bagi kita sekarang; dan ketiga selaku manusia Indonesia jang telah mengalami 4 djaman, djaman pendjadjahan Belanda, pendjadjahan Djepang, djaman repolusi dan pembangunan.
Djadi jang kami harapkan dari Saudara Takdir itu untuk mengemukakan suatu analisa — sekalipun kurang tepat atau hanja menurut perkira-kiraan beliau sendiri — untuk menentukan batas2 mana jang tjabul dan mana jang tidak tjabul, sekalipun kita sekalian sependapat bahwa soal itu amatlah sulit. Sekian, Saudara Pimpinan dan terima kasih.
KETUA : Terima kasih, sekarang saja persilakan Saudara Pater Krekelberg.
PATER KREKELBERG : Saudara Ketua, hadirin jang terhormat, soal jang hendak saja kemukakan, pertama sebagaimana telah diuraikan oleh pembitjara jang terlebih dahulu dari saja, ialah bahwa sajapun merasa agak heran karena oleh pembitjara tidak diterangkan dengan djelas apakah jang dinamakan tjabul dan jang tidak tjabul.
Tentang soal ini hendak saja mengemukakan sekedar pendapat saja, jaitu bahwa jang tjabul itu sebenarnja segala sesuatu jang menentang kehidupan perkelaminan jang menurut kodrat. Kita sekalian menurut fikiran saja sudah menjetudjui, bahwa ada beberapa hal jang dengan pasti dapat disebut tjabul, misalnja : berdjina, homo sexueel, atau persetubuhan diluar perkawinan. Saja sebut beberapa hal sadja; dan kalau kita berbitjara tentang buku tjabul dan sebagainja, itu sudah merupakan suatu hal jang lain. Sebenarnja buku atau film itu tidaklah tjabul tetapi ini dapat menjebabkan seseorang untuk berbuat tjabul. Djadi buku, film dan sebagainja itu dapat merupakan bahaja. Bahaja itu mungkin besar, tetapi mungkin djuga ketjil. Djikalau sesuatu hasil seni adalah memang baik, biarpun disitu diperlihatkan seorang jang telandjang bulat sama sekali, dalam hal jang umum untuk masjarakat umum ini sama sekaii tidak membahajakan. Mungkin dalam salah satu hal ini bisa membahajakan bagi seseorang jang sudah tidak mempunjai keseimbangan djiwa atau tidak harmonis lagi tentang susunan tabiatnja atau iktikatnja.
Untuk menentukan mana jang lebih membahajakan: buku2, madjalah2 atau film2, menurut pengalaman saja sebagai pendidik, dalam keadaan masjarakat sekarang maka filmlah jang lebih membahajakan susila anak2 kita daripada kebanjakan madjalah2.
Lihat sadja bagaimana reaksi sebahagian penonton djikalau ada terdjadi sesuatu jang tidak boleh disebut tjabul, tetapi ini toch membahajakan susila atau mengeruhkan fikiran pemuda dan pemudi kita. Dalam hal ini hendaknja diambil tindakan dan bagaimana tjaranja.
Sekarang saja akan melandjutkan pada pokok kedua.
Mengenai hal tjabul itu menurut pendapat saja adalah merupakan suatu nilai mutlak. Akan tetapi menentukan, apa jang membahajakan itu bukanlah suatu perkara mutlak, akan tetapi ini bergantung daripada apakah membahajakan atau tidak ! Misalnja, pada masa sekarang penjakit malaria itu tidak begitu membahajakan lagi seperti halnja 50 tahun jl. Ini di Norwegia, misalnja, ada kurang membahajakan daripada di Indonesia sini. Djadi dalam pada itu djuga faktor2 iklim, bangsa dan djaman dapat menentukan, apakah sesuatu penjakit membahajakan bagi kesehatan atau tidak ? Djadi disinipun sama halnja dengan bahaja jang timbul dalam lapangan kerochanian. Bagaimana seharusnja ditentukan, apakah suatu buku atau film itu membahajakan, ini sebetulnja tergantung daripada perasaan dan bukan lagi tergantung pada akal belaka, tetapi dari perasaan dan dari rasa kesopanan jang hidup didalam sesuatu bangsa.
Sebagaimana diterangkan oleh Saudara Takdir tadi, jaitu di Djakarta ini banjak kebudajaan jang ber-lipat2 atau bersimpan-siur, sehingga sukar sekali untuk menentukan suatu nilai jang tetap untuk menjatakan: inilah bahaja untuk sekalian pemuda di Djakarta. Oleh karena mungkin apa jang dianggap berbahaja untuk bagian ini itu tidak berbahaja untuk bagian lainnja. Sukar ditentukan, apakah suatu film adalah berbahaja atau tidak. Mungkin untuk seorang anak Eropa sesuatu film kurang berbahaja daripada untuk anak jang baru datang dari sebuah desa di Priangan.
Djadi menentukannja ini, menurut hemat saja, mesti ditudjukan oleh sesuatu komisi jang terdiri atas orang dari pelbagai golongan.
Saudara Ketua, satu soal jang penting djuga hendak saja singgung, ialah berkenaan dengan utjapan Sdr. Takdir dimana oleh beliau dikatakan, bahwa tentang tjabul atau hal nilai moral pada umumnja adalah relatif, maka kalau demikian utjapan itu, saja kira kita tidak perlu berkumpul disini, sebab perkataan „tjabul” ditentukan oleh perasaan setempat, bukan oleh umat manusia, bukan oleh seseorang, tetapi menurut keadaan sesuatu tempat atau sesuatu waktu. Misalnja kalau sekarang dari anak² S.M.A. adalah 3 atau 4% jang pernah bersetubuh dengan pemudi dan mungkin pada waktu ini oleh Sdr. Takdir hal itu masih dianggap tjabul, tetapi barangkali pada waktu 50 tahun jang akan datang sampai 6 atau 8O% jang berbuat demikian, tidak mendjadi tjabul lagi. Tjabul hanja ditentukan oleh nilai jang relatif, sedangkan kita harus madju. Djadi dalam hal ini, kita tidak konsekwen, sebab kita telah madju tetapi nilai moral kita merosot. Kalau kita namakan madju. lalu madju kearah mana ?
Sdr. Ketua, menurut hemat saja, djika ada beberapa pohon atau daun jang laju, karena ada penjakit didalam batang pohon itu, hal ini harus ditjarikan obatnja, tetapi menurut anggapan Sdr. Takdir malahan menebang semua pohon sampai keakar-akarnja.
Sekian sadja. KETUA : Terima kasih saja utjapkan kepada Pater Krekelberg dan sekarang saja persilakan Sdr. Hazil.
Drs. HAZIL: Sdr. Ketua, saja tidak akan pandjang lebar, oleh karena memang sudah banjak pembitjara sebelum saja telah mengadjukan berbagai hal. Jang hendak saja kemukakan hanja satu hal jang menurut hemat saja belum dikemukakan.
Tjabul sebenarnja baru merupakan satu sendi dari persoalan ini. Membatja lektur² tjabul dapat memungkinkan sesuatu jang lebih luas daripada tjabul sadja, misalnja pembunuhan. Saja baru membatja didalam buku keluaran Amerika jang bernama : The Juvenile in Delinquent Society tulisan Milton L. Barron, bahwa dalam tahun 1951 di Amerika Serikat telah terdjadi350.000 pemuda jang dihadapkan kemuka Kinderrechter. Dan diantaranja 350.000 pemuda² tadi banjak jang melakukan hal² jang lebih besar daripada bersetubuh sadja. Hal ini masih mendjadi persoalan di Amerika.
Sdr. Ketua, bagi kita, maka hal ini menurut hemat saja masih sukar untuk ditentukan hingga mana pengaruh dari buku² tjabul terhadap kedjadian² tjabul dan terhadap kedjadian² kedjahatan hingga sampai mengakibatkan pembunuhan djuga.
Buat kita seperti halnja sekarang ini, menurut pendapat saja, sukar untuk menentukan sampai dimana ada pengaruh dari buku² tjabul itu terhadap kedjadian² jang tjabul dan terhadap kedjadian² kedjahatan sehingga membunuh orang dan sebagainja.
Oleh karena itu, pembitjaraan² jang dilakukan tadi itu sebenarnja adalah pembitjaraan jang hanja bersifat sementara dan sangat samar². Bahan2 jang tertentu belum kita punjai. Saudara Takdir tadi waktu mengupas soal buku² tjabul, soal kedjahatan dan sebagainja, djuga masih samar² sekali. Ini tidak mengherankan. Kalau kita membitjarakan soal tjabul, djanganlah kita hanja melihat sebagai sensasi kedjadian² seperti Persetubuhan dan sebagainja itu, oleh karena hal itu sebelum perang pun sudah ada. *)[1] Soal ini bukan soal baru, melainkan soal lama.
Jang perlu bagi kita ialah untuk mengetahui dengan konkrit berapa angka² jang dapat kita utarakan, agar supaja pembitjaraan² jang kita lakukan berdasar atas keterangan² jang exact, sehingga tjara² dan djalan² jang kita pikirkan untuk mengatasi hal ini dapat didasarkan kepada kenjataan² jang terdjadi tadi.
Djadi saja rasa ini sudah djelas, maksud saja ialah, djikalau ada ketjabulan, maka kita perlu memikirkan tindakan apa jang harus kita ambil. Tidak tjukup kalau kita hanja membuat undang² dan menentukan sangsi²-nja dengan hukumannja serta, tetapi kita harus berusaha keberbagai djurusan, misalnja mengadakan kinderrechter dan sebagainja.
Mengenai lain²-nja tidak perlu saja sebut, karena sudah dikemukakan oleh lain² Saudara.
KETUA : Terima kasih Saudara Hazil.
Sekarang saja persilakan Saudara Raihul Amar.
RATHUL AMAR SIRUKAM : Saudara Ketua jang terhormat dan Saudara² hadirin sekalian ; saja tertarik akan pembitjaraan Saudara St. Takdir. Mungkin saja dipengaruhi oleh perasaan, entahlah, mungkin djuga karena saja lahir dialam sekarang ini, dialam modern, dimana dulu dikatakan, orang itu hidup setjara primitif, sedang sekarang orang hidup setjara modern. Saja seorang Islam, tetapi saja lahir dialam jang berbeda dengan alam kelahiran Bapak Hamka, waktu orang pergi kesurau masih berdandan dan kitab Qur'an adalah merupakan sadjian batjaan jang paling enak. Saja lahir didjaman modern, dimana tjara berpikir manusia sudah berobah. Tetapi lama² kaum agama kalah oleh golongan² ilmu pengetahuan, lebih² didunia Eropa. Suatu hal jang tegas dapat dilihat dari sudut psychologis, misalnja kalau dulu seorang Islam menganggap hina kalau ia (wanita) berpakaian dengan tiada berkerudung, akan tetapi sekarang karena terdesak oleh kemadjuan ia menuruti orang Barat dan membiarkan dirinja tanpa kerudung. Kedua, kalau dulu seseorang jang mengadakan perdjinahan dipetjuti, suatu hai jang diterima oleh masjarakat. Islam, tetapi sekarang soal 2 pertjabulan jang demikian itu kurang mendapat perhatian. Makin lama makin terdesak kaum agama oleh kaum ilmu pengetahuan, seolah-olah hanja beberapa gelintir sadja: Hamka, Moh. Natsir dll. jang keras memegang soal2 keagamaan, akan tetapi bagi masjarakat lainnja —— saja sendiri mengaku diri seorang Islam —— hanya dapat meraba-raba atau menanjakan mengenai segala sesuatu tentang ke-Islaman. Kurang sekali diberikan pendidikan keagamaan. Karenanja apakah tidak saatnja sekarang bagi kaum agama untuk mengadakan suatu rethinking untuk kemudian membuat peraturan 2 jang baru jang tegas bagi generasi muda di Indonesia ini. Kaum agama hendaknja mendjadi promotor bagi para susilator.
Disamping itu hendaknja djangan dilupakan pula, bahwa soal 2 ekonomi mempunjai pengaruhnja pula. Kelemahan dalam soal ekonomi dapat menimbulkan berbagai kedjahatan dan pertjabulan.
Ketiga, supaja pula ada usaha2 untuk meninggikan taraf penerbitan; antara lain dengan mengadakan kerdjasama jang baik diantara seniman2, pengarang2 dll. Dan saja serukan kepada Bapak Hamka jang telah banjak mengarang buku untuk mengadakan rethinking Islam selainnja untuk dapat memetjahkan masalah pendidikan dalam Islam. Sekianlah.
KETUA : Terima kasih. Sekarang saja persiiakan Saudara Sjamsudin.
H.S. SJAMSUDIN: Saudara Ketua, saja disini hanja mau menjatakan pengalaman saja sebagai seorang pemuda terhadap masalah tjabul, terutama berhubung tadi telah dikatakan oleh Pak Takdir: Mana telur, mana ajam dalam hal ketjabulan ini. Dalam hal ini saja sependapat dengan Saudara pendebat nomor 1, jaitu jang mengatakan, bahwa madjalah itu belum tentu menimbulkan ketjabulan.
Saudara Ketua, kalau Pak Takdir mengatakan : Mana ajam, mana telur, djika seseorang membatja madjalah tjabul, lantas orang itu mendjadi tjabul atau berbuat tjabul, dalam hubungan ini saja ingin mengutarakan pengaiaman saja dengan suatu madjalah jang dianggap tjabul.
Saudara Ketua, saja pernah berkenalan dengan seorang tjabul jang membuat madjalah 2 tjabul, sehingga dengan demikian saja dengan mudah memperoleh banjak kesempatan untuk membatja madjalah2 tsb.
Pak Takdir tadi mengatakan: itu terserah kepada seseorang, jaitu apakah madjalah itu menimbulkan ketjabulan padanja atau tidak. Daiam hal ini saja berpendapat, bahwa itu bisa mendorong timbulnja ketjabulan. Oleh karena saja sebagai seorang pemuda, entah oleh karena saja memandang soalnja dari satu sudut sadja, jaitu saja memandangnja dari sudut berahi atau karena saja ini besar nafsu berahi, itu saja tidak tahu, tapi njatanja saja ini adalah seorang pemuda jang gampang sekali terpengaruh. Sdr. Ketua, saja dapat kemukakan, bahwa madjalah2 jang tidak mau dikatakan tjabul itu, memang tidak tjabul, hanja dapat menimbulkan ketjabulan atau mau melantjarkan ketjabulan. Dan selain dari itu dapat saja kemukakan, bahwa madjalah 2 itu lebih keras pengaruhnja dari pada film2.
Sekian.
KETUA : Terima kasih atas uraian Sdr. Sjamsuddin. Sekarang saja persilakan Sdr. Hasan Kamal.
HASAN KAMAL: Sdr. Ketua jth. dan Saudara 2 sekalian Saja tidak akan mengulas apa jang telah dikatakan oleh Bapak Takdir, Bapak Hamka atau Bapak Siagian, tetapi saja hanja akan mengatakan sesuatu jang menurut hemat saja belum diusik-usik dalam tjeramah malam ini. Tadi dikatakan oleh beberapa debaters tentang kata, apakah tjabul itu ? Tetapi dalam pada itu tidak pernah dikupas sumbernja. Dengan perkataan atau karangan tjabul seperti jang telah dibuat oleh beberapa pengarang atau wartawan, menurut hemat saja bukanlah itu sumber daripada ketjabulan. Soal tjabul ini terutama harus mendapat perhatian kaum wanita djuga. Dan saja berharap supaja para wanita jang ada disinipun sudi mengemukakan pendapatnja; djanganlah mereka diam sadja.
KETUA: Terima kasih Saudara Hasan. Sekarang saja persilakan Saudara Bahar.
BAHAR: Saudara Ketua dan Saudara 2 hadirin semuanja. Saja sebenarnja tidak bermaksud mendjadi pendebat disini, karena saja tidak melihat adanja pendebat mutlak pada malam ini. Pertentangan antara praeadviseur dan pendebat boleh dikatakan tidak ada. Jang ada hanja persamaan pendapat. Djadi, Saudara Ketua, saja disini sebenarnja sebagai seorang jang langsung dikenakan oleh atjara rapat atau pendebat pada malam ini. Saja adalah salah satu penerbit jang tergolong atau digolongkan apa jang dinamakan penerbit batjaan atau madjalah tjabul.
Sekarang, Saudara Ketua, kalau saja perhatikan apa jang kita dengar tadi, baik dari para pendebat jang merangkap sebagai preadviseur, maupun pendebat 2 bebas jang sebenarnja djuga mendjadi preadviseur, maka masalah ini bagi kita sudah njata dan sudah mendapat satu kesimpulan, jaitu kalau kita membahas lagi apa jang tjabul, bagaimana tjabul itu, maka sebenarnja hal itu sudah ditindjau dari sudut ilmu pengetahuan, ada jang dari sudut Agama dan sebagainja, seperti jang diutarakan oleh Saudara Hamka dan Saudara Sutan Takdir. Kalau soal ketjabulan ini kita tindjau lebih mendalam, setjara ilmu pengetahuan kita kadji, setjara agama kita tindjau, kita hanja akan terbentur kepada suatu lingkungan jang visieus, dan barangkali sampai kiamat kita tidak akan mendapat suatu kesimpulan.
Oleh sebab itu, saja sependapat dan sesuai sekali dengan pendebat Saudara Gajus Siagian, jaitu, marilah kita hadapi segala kenjataan jang ada pada waktu ini, sebab semuanja ini adalah reflex dari masjarakat jang telah tjabul. Jang sebenarnja menghebohkan segala ini adalah para pemimpin, dan jang keluar itu sebenarnja adalah geestelijke kwelling. Disamping itu sebenarnja masjarakat sendiri djangan kita bawa2 seluruhnja, karena apa jang terdjadi pada waktu ini tidak saja namakan suatu taufan dalam segelas air, tetapi suatu zandstorm dalam woestijn.
Sekarang marilah pertemuan pada malam ini kita tudjukan kepada jang baik, sebab kita sama2 menginginkan perbaikan dalam masjarakat.
Saja rasa, bahwa pengarang tjabul itu tidak ada. Jang ada ialah para rapporteurs tjabul. Djadi kalau saja dinamakan seorang pengarang tjabul, saja tidak menerimanja. Biar didaerah Senen terdapat pula pengarang2 jang baik. Seorang pengarang itu dilahirkan karena ada roeping dari djiwanja sendiri. Djadi didalam hal ini kembali saja kemukakan, bahwa saja sebenarnja korban dari heboh ketjabulan itu.
Saja sudah bankroet, sudah hantjur dalam hal ini. Walaupun demikian saja terus mendjalankan usaha saja, menurut bakat dan tudjuan saja untuk memberikan hiburan kepada masjarakat disamping mendidik, karena itu sebaiknja ada usaha2 untuk menjalurkan segala perkembangan itu kearah jang baik.
Akan tetapi apakah jang dilakukan Pemerintah sampai sekarang ini : hanja pengatjauan, segala tindakannja menerbitkan pengatjauan dalam hal ini. Dalam pada itu orang2 atau penerbit2 jang mau memantjing diair keruh, tambah hebat usaha-usahanja. Sedangkan penerbita jang mempunjai maksud baik, karena madjalahnja berpengaruh dalam masjarakat menderita, semua penerbitannja dibeslah, padahal saja mau mempertanggung djawabkan isi dan motif madjalah saja itu.
Berhubung dengan hal2 itu, maka agar malam ini memberi hasil jang baik saja mengharap agar daripada pertemuan ini sesuai dengan andjuran Sdr. Siagian, kita adakan suatu pertemuan jang lebih luas lagi untuk menjalurkan suatu niat baik jang betul2 menudju kearah jang baik. Djangan hendaknja kita mengatakan ini dan itu, akan tetapi betul2 kita mendalami segala sesuatu jang berkenaan dengan soal ini.
Kita hendaknja mengandjurkan pula kepada Pemerintah untuk membentuk suatu badan jang betul dapat memimpin segala sesuatu jang timbul dilapangan penerbitan dinegara kita ini. Djangan hendaknja Kedjaksaan Agung membeslah sesuatu madjalah, sedangkan DPKN tidak, sehingga dirasakan adanja peraturan jang berlainan jang akibatnja tidak lain, melainkan penerbit itu hantjur karenanja. Saja djuga mau hidup, Saudara2.
Untuk membendung karangan2 jang tjabul itu hendaknja ada usaha untuk mengadakan kerdjasama jang baik antara penerbit2 dan seniman2 jang menghendaki perbaikan masjarakat, agar tertjapai segala tudjuan jang baik.
Sekian, Saudara Ketua.
KETUA : Terima kasih saja utjapkan kepada Saudara Bahar, dan sekarang saja persilakan Saudara Ramadhan.
RAMADHAN : Saudara Ketua, saja disini tidak akan membitjarakan batas tentang tjabul dan tidak tjabul. Bagaimana pun pula penindjauan setjara mendalam menurut hemat saja tidak akan dapat dihasilkan dalam pertemuan sebagai malam ini. Sebagai tjontoh saja ambil misalnja mengenai reklame2 film. Dalam lapangan pembuatan reklame film nampaknja tidak diadakan saringan.
Berhubung dengan ini saja ingin mengusulkan pada panitia jang agaknja dapat diterima oleh O.P.I. untuk mendesak pada pemerintah agar bersikap bidjaksana terhadap soal madialah2 terhadap penerbitan2 dan pertjetakan? jang menghasilkan madjalah2 tsb.
Dalam hal ini O.P.I. dapat memberikan bantuannja. Misalnja, O.P.I. dapat mengusulkan pada Pemerintah agar beberapa tokoh dapat duduk dalam panitia itu dan mendesak pula pada Pemerintah agar Pemerintah mengadakan lagi penerbitan setjara massaal berupa buku2 dan madjalah2 jang sehat bagi sekolah2 dan perpustakaan2. Saudara Ketua, saja kebetulan duduk dalam perusahaan penerbitan. Disini saja akan menggambarkan tentang djumlah exemplaar jang diterbitkan oleh madjalah „Kisah", itu misalnja hanja mentjapai djumlah 7.000 exemplaar, sedangkan madjalah lainnja jang belum dapat ditentukan „kotor-tidaknja" itu dapat mentjapai oplaag dari 35 sampai 40.000 exemplaar. Akan tetapi berhubung achir2 ini ada desakan berupa pembreidelan dsb. dari fihak Pemerintah, maka lalu dalam djumlahnja ada kesusutan. Djika kita menmbikin madjalah jang baik sudah tentu pembelinja berkurang.
Djadi berhubung dengan ini saja ingin menjarankan kepada O.P.I., untuk mendesak pada Pemerintah untuk mengadakan penerbitan2 setjara massaal sebagaimana termaksud diatas.
Selain daripada ini O.P.I. dengan bekerdja sama, misalnja dengan Kempen dsb. harus mengadakan sancties supaja tidak menerima dan mengeluarkan orang atau orang2 jang tidak menghiraukan program O.P.I. jang baik dalam hal ini.
Saudara Ketua, demikianlah saran2 dari saja.
KETUA : Sekarang saja persilakan Saudara Takdir untuk memberikan djawabannja.
Mr. St. TAKDIR ALISJAHBANA : Saudara2 sekalian.
Sebenarnja tidak banjak lagi jang akan saja djawab, oleh karena telah banjak sekali jang telah dikemukakan oleh para pembitjara tadi dan saja merasa gembira mendengar segala uraian itu, oleh karena tjotjok dengan pendapat2 itu. Tetapi disini satu hal jang ingin saja djawab, jaitu permintaan dari Sdr. Hamzah tentang apakah definisi karangan tjabul. Kalau kita hendak membuat sesuatu definisi, tentunja definisi itu kita buat dengan latar belakang undang2 jang ada sekarang ini. Sebab kalau tidak demikian, definisi itu tidak akan ada gunanja. Kalau kita lihat latar belakang đạripada undang2 jang ada sekarang ini, maka pada pikiran saja sudah tjukup bagi kita definisi : sesuatu karangan jang didalamnja tidak terkandung satu nilai sedikitpun, dan hanja mendjelmakan keinginan untuk mentjari uang dengan djalan membangkitkan nafsu belaka. Barangkali Saudara dari penerbit hiburan tadi akan merasa puas dengan djawab ini. Tentang pendapat jang dikemukakan oleh Saudara itu bahwa dalam mengarang tentu ada motif baik ditambahkan : Walaupun didalam mengarang itu ada dasar2 motif tetapi kalau menurut perasaan jang membatja ataupun jang mendengarnja tidak terasa motifnja itu, maka karangan itu tentu akan termasuk tjabul. Hanja didalam hal ini masih timbul pertanjaan siapakah jang kompeten untuk menimbang karangan itu tjabul ?
Djadi adalah baik usul Saudara Ramadhan untuk membentuk satu Panitia jang dapat dianggap bertanggung-djawab tentang hal ini dan kiranja tidak akan terlampau tjepat mengambil sesuatu keputusan, sehingga mungkin akan membawa akibat mematikan usaha serta merta. Maka sebelum menentukan sesuatu keputusan itu ada baiknja kalau Panitia itu mengadjak redaktur madjalah itu berbitjara dahulu, memberinja peringatan.
Saudara2, satu hal lagi jang akan saja djawab berhubung dengan apa jang dikemukakan oleh Pater Krekelberg. Mendengar Pater Krekelberg berbitjara, iri hati saja mendengar kepastiannja. Pater tersebut mengatakan, bahwa jang dinamakan tjabul itu mutlak, ialah jang menentang proses menurut kodrat dan apa jang dikatakan menentang proses itu ialah berkelamin jang berlaku diluar perkawinan. Bagi orang2 jang berpegang kepada sesuatu agama dan menganggap peraturan ini sebagai mutlak, kiranja dengan keterangan itu, sudah mendapat ketenangan didalam djiwanja.
Tetapi kenjataan didalam kehidupan masjarakat dan teristimewa apabila kita perhatikan djalan sedjarah sekarang, maka dengan formalisme ini masjarakat belum tertolong. Kalau di Amerika Serikat misalnja, banjak berlaku perhubungan kelamin diluar perkawinan, maka dengan mudah sadja kita mengatakan masjarakat disana tjabul dan bagi Rusia keadaan ini berlaku djuga. Tetapi utjapan2 kita itu tidak akan berarti sedikit djuapun, sedangkan dunia terus berdjalan dan apa jang akan berlaku 2000 tahun kemudian, siapa jang dapat mengatakan pandangan untuk waktu itu ?
Kelihatan kepada kita, bahwa dengan mutlak-mutlakan seperti itu, lepaslah kontak kita dengan manusia dan masjarakat jang ada sekarang ini. Tjobalah, kalau kita dasarkan kepada formalisme begitu sadja, mungkin ada satu daerah atau satu kota, misalnja di Amerika, dimana orang boleh kawin untuk satu malam, maka perbuatannja itu dianggap bukan tjabul. Itu kalau didasarkan kepada formalisme perkawinan belaka. Orang jang mengadakan perhubungan perkawinan dengan tidak melakukan formaliteiten itu — sedangkan mungkin sekali ia orang jang sesungguh-sungguhnja djudjur — menenggang dianggap tjabul. Disini kelihatan kepada kita adanja dua approach, jaitu jang mendasarkannja kepada formalisme dengan memakai formaliteiten sadja sudah dapat menentukan tjabul tidaknja sesuatu, sedangkan jang lain berusaha untuk memahamkan djiwa manusia untuk menjadarkan tragik hidup manusia. Kita terbentur kepada kemungkinan pendjelmaan hidup jang bermatjam-matjam. Sering jang kelihatan dari luar beres, dari dalam tidak atau sebaliknja. Inilah bedanja, orang jang dapat mentjela dan menjalahkan dengan tidak sangsi sedikitpun dengan orang jang sadar terlempar kedunia ini dengan tiada dimintanja dan mentjoba mentjari nilai2 bagi manusia, bagaimana dapat memberi isi bagi hidup manusia jang penuh pertentangan.
Pada pikiran saja, djustru pada waktu sekarang ini kita melihat bahwa Agama Kristen seperti di Eropa, kedudukannja dalam kehidupan bertambah lama bertambah lemah, ada paedahnja untuk berusaha mengerti djiwa manusia. Kalau kaum beragama hendak berusaha demikian, mungkin akan lebih lapang dan mengerti ia menghadapi hidup manusia jang gecompliceerd.
Tadi Saudara Hamka mengatakan, bahwa kalau dalam agama ada perbedaan2 jang bertentangan, tetapi dalam ilmu lebih banjak lagi adanja pertentangan itu. Sesungguhnja ilmu menerima adanja pertentangan itu, karena sesungguhnja dalam kemungkinan perbedaan faham itu terletak tenaganja; disini terdapat kemungkinan untuk madju mentjapai kemungkinan2 untuk dapat mentjiptakan manusia jang lebih sempurna. Dan kalau kita melihat, dengan adanja ilmu antropologi jang baru jang mengumpulkan hasil penjelidikan segala ilmu tentang manusia maka ada kemungkinan2 untuk mentjapai suatu keadaan, jaitu untuk dapat mengetahui bagaimana manusia ini, bagaimana diri kita ini masing2. Barangkali, pada pikiran saja, agama pun akan mendapat keuntungan daripada hasil penjelidikan dan pertimbangan jang objektif ini. Sekian sadja tentang hal ini.
Tentang hal Saudara Samsuddin, saja sangat menghargai akan keterusterangannja mengenai apa jang telah dilakukannja, dan ini sesungguhnja mendjadi tjermin bagi kita.
Saudara Mudigdo berkata kepada saja, bahwa tidak ternjata bahwa banjak membatja buku2 tjabul itu membawa akibat orang2 melakukan perbuatan2 tjabul. Hanja satu hal sadja jang dapat saja kemukakan, ialah apa jang dikemukakan Saudara Samsudin itu mendjadi dorongan pula hendaknja bagi kita untuk mengadakan penjelidikan tentang pemuda2 kita, untuk membuat statistik — dengan tidak uşah menjebutkan nama-namanja —— mengenai akibat2 pembatjaan jang tjabul2 itu. Sekalipun hasilnja tentu tidak akan dapat langsung menolong dalam memetjahkan soal ini, akan tetapi sedikit banjaknja kita mempunjai bahan2 setjara ilmu pengetahuan mengenai soal2 jang kita bitjarakan sekarang ini.
Sekian.
- ↑ *) Dr. C. Hooykaas dalam ,,Koloniale Studien" th. 1938 mengatakan, bahwa banjak diantara peladjar² A.M.S. afd. A. dan B. Iogja telah melakukan persetubuhan.