Lompat ke isi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas


3
BIOGRAFI DAN KARYA CHAIRUL HARUN


Salah seorang tokoh yang menuangkan ide, gagasan, dan jalan pikirannya ke dalam bentuk karya sastra dan patut untuk diungkapkan jati dirinya dalam bentuk penelitian biografis adalah Almarhum Chairul Harun, salah seorang sastrawan yang ada di Sumatra Barat. Namanya dikenal ketika salah satu karyanya, yaitu Warisan mendapat penghargaan sastra dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Meskipun Chairul Harun tidak memiliki umur yang panjang, keberadaan dirinya dan karya Sastra tetap diperhitungkan. Salah satu buktinya, ia tetap dikenang dengan dicantumkan namanya sebagai nama dari rumah baca di daerah Kayu Tanam, Sicincin, Sumatra Barat.


Sebagai sastrawan dari Sumatra Barat, Chairul Harun menggunakan ilmu dan pengetahuannya tentang Minangkabau dan menuangkannya ke dalam bentuk karya sastra. Hal itu tercermin dari karya sastra yang telah lahir dari tangan beliau. Berpijak dari hal tersebut, tulisan ini melihat kiprah Chairul Harun sebagai salah seorang sastrawan di ranah Minangkabau bertujuan menyajikan dan mengungkapkan secara utuh riwayat hidupnya. Sebagai seorang penulis yang produktif, Chairul larun layak memiliki biografi yang lengkap dan terperinci.


Biografi

Penulis novel Warisan ini memiliki nama lengkap Chairul Harun. la lahir di Kayutanam, sebuah daerah yang berada di dekat Gunung Tandikek, Sumatra Barat. Pihak keluarga tidak mengetahui dengan tepat kapan beliau dilahirkan. Namun demikian, pihak keluarga menyakini bahwa Chairul Harun lahir pada bulan Agustus tahun 1940. Dengan demikian, tanggal kelahiran pengarang ini tidak diketahui dengan pasti sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Padang pada tanggal 19 Februari 1998 setelah lama terbaring lemah di rumah sakit Dr. M. Djamil, Padang akibat deraan penyakit yang bersarang di tubuhnya.


Dalam kesehariannya, ia lebih dikenal dengan nama Bung Chairul. Bagi sahabat kental atau teman sejawatnya, Chairul akrab dipanggil dengan nama panggilan Kai (Da Kai). Namun, dalam keluarga Chairul biasa dipanggil dengan nama Manih (dalam bahasa Indonesia; 'rupawan'). Menurut sang ibu, sebutan Manih untuk Chairul dianggap cocok dengan kebiasaan Chairul yang suka berpakaian rancak (bagus) dan bersih. Nama Harun yang berada di belakang namanya merupakan nama ayahnya, Bagindo Harun. Gelar Bagindo menunjukkan kelas kebangsawanan ayahnya sebagai bangsawan kedua (yang berlaku di daerah Pariaman) setelah Sidi. Kelak, kebangsawanan seperti yang dimiliki ayahnya turut mewarnai novel Warisan yang monumental itu. Ayahanda Chairul itu biasa disapa dengan panggilan Abak. Ayahnya berasal dari daerah Kuraitaji, suatu kampung atau nagari yang ada di daerah Kabupaten Padang Pariaman. Ayahnya meninggal dunia paca tahun 1967 di Kota Pekanbaru. Ibunya bernama Rohana. Amak merupakan panggilan dari anak-anaknya yang melekat di dalam diri ibunda Chairul. Amak Rohana berasal dari daerah Kayu Tanam dan bersuku Koto. Pada tahun 1993, ibunda tercinta pun dipanggil yang Kuasa, lima tahun mendahului kepergian Chairul menemui Sang Pencipta.


Chairul merupakan anak ketiga dari sembilan orang bersaudara. Kakak pertama dan keduanya bernama Juhesmy Hosen dan Harmaini Harun. Kakak pertamanya itu merupakan anak dari penikahan pertama ibunya dengan seorang laki-laki bernama Marah Hosen. Marah Hosen berasal dari Lubuk Alung. Sementara itu, keenam adiknya bernama Nurhayati Harun, Syahril Harun, Deslinarti Harun, Syahrial Harun, Suknuwatı Harun, dan Syafrizal Harun.


Masa kanak-kanak dilewati Chairul dengan baik. Berbagai permainan digelutinya, lazimnya anak-anak kampung. Chairul menyukai permainan, seperti gasing, memanjat pohon, menyabit rumput, dan bergelantungan di belakang pedati. Chairul juga menyukai permainan yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran, seperti memancing dan mencari ikan. Dua buah sungai yang ada di Kanagarian Batang Anai dan Batang Kali merupakan tempat favorit bagi Chairul menikmati hobinya tersebut. Pada saat Chairul berusia lima tahun, pusarnya luka dan terinfeksi. Cukup lama Chairul menahan rasa sakit. Di kemudian hari lukanya tersebut sembuh, namun luka itu meninggalkan bekas yang menyebabkan pusarnya bengkak dan menonjol keluar (dalam bahasa Minangkabau disebut tabudua). Satu hal yang menarik ketika Chairul ditanya oleh orang perihal pusarnya yang tabudua tersebut, jawaban Chairul adalah "ditembak Nippon". Entah apa hubungannya antara pusar Chairul dan Nippon.


Rumah masa kecil yang ditempati Chairul bersama orang tuanya berada di dekat rel kereta api yang memanjang di sisi kanan jalan. Saat ini, rel kereta tersebut terabaikan, lepas dari perhatian lembaga perhubungan. Rel bersejarah yang saban pagi diperhatikan Chairul seperti "hilang" terbungkus oleh semak belukar dan rerumputan. Sama persisnya dengan tebaran kerikil dan bentangan kayu besi penahan bentangan rel yang kondisinya pun sudah hampir semuanya terbenam. Stasiun tua Kayutanam terasa lengang, kereta api seperti malas menjeritkan kedatangannya. Hal terjadi karena tidak ada lagi penumpang ataupun sanak famili yang menunggu kedatangan. Saat ini, meskipun kereta api mulai beroperasi lagi sebagai kereta wisata, nuansa seperti yang dirasakan Chairul di masa kecil dulu telah ikut berubah seiring zaman. Dahulunya, di Stasiun Kayutanam kita dapat menjumpai sebuah pasar tradisional. Selain itu, juga dapat dijumpai sebuah pohon beringin yang kokoh berdiri di sana. Apabila malam datang, angin gunung berhembus mengitari daerah ini. Dingin pun datang mencekam. Stasiun Kayutanam turut menjadi latar pada novel Warisan yang ditulis Chairul.


Di usia yang sudah telat menurut ukuran masyarakat Minangkabau ketika itu, yakni di usia yang ketiga puluh, Chairul menikahi seorang gadis dengan nama Rosmani. Chairul dipertemukan dengan Rosmani oleh teman karibnya, Leon Agusta. Setelah "menunggu" waktu yang cukup lama, tujuh tahun, akhirnya pasangan ini memiliki seorang anak laki-laki. Putra mereka diberi nama Gombang Nan Cenka. Gombang lahir pada tahun 1977. Barangkali nama tersebut terinspirasi dari nama tokoh utama bernama Nan Gombang pada Kaba Sutan Pangaduan yang pernah ditulisnya. Pada saat ini, Gombang sebagai wartawan harian Bisnis Indonesia. Chairul dan Rosmani menetap di kompleks Pasir Putih, Tabing, Padang. Di kediamannya dapat dijumpai dua atau tiga lemari panjang berwarna coklat tua yang sarat dengan beratus buku. Selain buku, lemari tersebut juga memuat beratus kliping tulisan yang sangat berharga. Pernikahan Chairul dengan Rosmani hanya berlangsung dua dasawarsa. Pada tahun 1986, Chairul menikahi seorang janda dengan nama Ernilitis. Istri kedua yang dinikahi Chairul itu tinggal dan menetap di Sungayang, Batusangkar. Dari pernikahannya yang kedua ini, Chairul diberkahi oleh Allah Swt seorang putra dengan nama Anggun Nan Cenka. Anggun lahir tahun 1989. Anggun merupakan salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia, jurusan komputer. Cenka adalah nama yang diberikan oleh Chairul untuk anak-anaknya. Nan Cenka dalam bahasa Minang dapat diartikan 'yang tampan' dan dapat pula berarti 'orang yang berperasaan', atau 'tangkas'.


Penampilan Chairul sangat khas. Ia amat sederhana, tetapi selalu kameh (‘rapi'). Ia suka menumpang mobil angkutan kota meskipun tujuan perjalanannya adalah untuk menemui pejabat pemerintah. Hal itu menunjukan bahwa seolah-olah hidup ini bagi Chairul tidak ada yang menyusahkan. Baju kemeja yang menjadi tren Chairul selalu penuh berisi lipatan-lipatan kertas catatan, kacamata, rokok, pena, dan korek api. Ada kalanya dari kantong Chairul terdapat minyak angin yang sewaktu-waktu digunakannya untuk menangkal pilek. Oleh karena itu, kantong kemejanya itu selalu terlihat melimpah. Kantong tersebut juga memuat beberapa lembar uang kertas yang lecek karena acap kali terlipat. Beberapa temannya memberikan julukan kantong kemeja Chairul tersebut sebagai "toko kelontong berjalan".


Chairul adalah sosok lelaki berilmu. Apabila dipandang dari segi usia, ia belum terlalu tua, tetapi matang dalam menulis dan berbicara. Kacamata minus sedikit tebal merupakan ciri khasnya. Chairul adalah seorang perokok aktif. Hal itu telihat dari kebiasaannya yang selalu membiarkan rokok tersebut berada di sudut bibirnya untuk beberapa waktu lamanya, bahkan sampai tembakaunya hampir menyerpih. Sering kalı ketika ia berbicara di depan seseorang atau di depan publik, pembicaraan tersebut berbaur dengan batuk-batuk kecil.


Bukan Chairul Harun namanya kalau berjalan melenggang tanpa ada yang dipegangnya. Ia selalu mengepit buku atau koran, ke mana pun ia pergi. Kapan saja, jika bertemu atau berselisih jalan dengan Chairut, dapat dipastikan ia membawa sesuatu, seperti koran baru, majalah baru, atau buku baru di tangannya. Benda-benda tersebut dimasukkannya ke dalam sebuah map menyerupai tas yang isinya selalu kepenuhan Salah satu penanda Chairul akan menempuh perjalanan jauh yang memerlukan waktu dua-tiga hari adalah tas map tersebut akan berubah ukurannya dan sehelai jaket yang dilipat sekecil mungkin pun akan terpuruk pula di dalamnya.


Bagi kalangan seniman ataupun wartawan, Chairul diberi gelar "kartu jocker" yang tidak pernah mati dan muncul di mana dan kapan saja. Hal itu disebabkan kepiawaiannya mendekati perempuan-perempuan manis. Demikian pula kedekatannya dengan para pejabat di daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, anggota DPRD, bahkan dengan tukang saluang dan pendendang, pemain randai, dan pemain rebab.


Pada tahun 1996, Chairul berkesempatan menunaikan ibadah haji. la memilih Makla di Kota Mekah, Saudi Arabia, untuk menginap. Suatu tempat yang berada tidak begitu jauh dari makam Siti Khadijah. Di hotel tersebut Chairul dirundung kegelisahan. Kegelisahan ditepisnya dengan mencoba lebih khusyuk beribadah di Kabah dan kembali ke hotel ketika muazin mengumandangkan azan salat Zuhur. Chairul kembali ke hotel dengan wajah dan tubuh yang letih. Ia menceritakan perihal rasa letih tersebut kepada teman akrabnya. "Begitu berat saya melepaskan ibu tadi malam. Lidah saya jadi patah karenanya", ungkap Chairul. Ternyata, ketika ia dirundung kegelisahan di Mekah itu, di saat yang sama di Kayu Tanam, ibundanya (Rohana) dipanggil oleh Yang Kuasa.


Kesehatan Chairul menurun sejak ia kembali dari tanah suci. Sebagai perokok aktif, kecanduan merokok tersebut sudah membelenggunya sehingga dirinya harus bergulat untuk menghentikan kebiasaan yang sangat merugikan itu. Tidak mudah memang, namun dia berhasil membebaskan diri dari jajahan racun nikotin yang membahayakan itu. Akan tetapi, konon itu pula yang menyiksa dirinya antara kerinduan, kebiasaan, dan pertahanan, bergulat dalam dirinya yang rapuh. Penyakit yang menderanya membuat badannya kian hari kian menyusut. di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta untuk beberapa hari lamanya.


Akibat mengindap penyakit paru-paru, Chairul pernah dirawat inap Sejak dinyatakan cukup pulih, Chairul memilih menetap di Tanjung Sungayang, Kabupaten Tanah Datar. Meskipun dalam kondisi kesehatan yang belum cukup baik, saban hari Chairul tetap mengunjungi Kota Padang dan kembali ke kediamannya ketika sore menjelang. Ia terus aktif menulis komentar dan menghadiri berbagai forum. Pada akhirnya, Chairul harus mengalah terhadap penyakitnya. Ia terpaksa kembali menginap di rumah sakit. Ia dirawat di RSUP Dr. M Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Djamil, Padang. Di sela-sela sakit yang mengerogotinya, Chairul selalu aktif membaca koran dan majalah. Meskipun tubuhnya sudah ringkih dan rapuh, napasnya telah sesak digerogoti penyakit kanker paru-paru, namun pikirannya tetap jernih.

Beberapa hari menjelang wafat di rumah sakit itu dengan kesehatan semakin menurun, namun ia tetap tidak mempedulikan kondisinya. Ia menyempatkan diri juga bertandang ke Taman Budaya Padang. Sepatahkata diucapkan oleh Chairul pada senja hari itu ketika warna kemerah-merahan yang mengitari langit biru mulai meleleh. Chairul memandang jauh ke barat, ke arah kaki langit yang berwarna merah tembaga. Dengan sedikit enggan dia bangkit dari tempat duduknya. Tingkah lakunya itu menunjukkan keresahan dirinya menunggu kehadiran seseorang yang berjanji akan menjemputnya, “Ambo ka pulang dulu” (“saya mau pulang”), kata-kata yang diucapkannya terdengar sayup-sayup sampai.

Untuk latar belakang pendidikan Chairul Harun, sedikit sekali inforreasi yang diperoleh. Wal tersebut disebabkan ketika wawancara dilarukan dengan pihak keluarga, yaitu dengan adik bungsunya, Bapak Syafrizal Harun. beliau pun tidak mengetahui dengan pasti tahun-tahun Chairul menamatkan pendidikan. Ia juga tidak mengetahui apakah Chairul pemah mendapatkan nilai terbaik dalam menempuh pendidikan. Namun, satu hat yang diakui olet informan, Chairul merupakan scorang yang hobi membaca, dapat dikatakan “pembaca maniak”. Kegemaran membaca tersebut jupa diiringi dengan hobinya membeli berbagai macam buku dengan disiplin ilmu yang berbeda.

Bagi Chairul, membaca merupakan suatu pengamatan, mulai dari yang tersirat sampai dengan lisan atau tulisan. Dari ketiga hal itu, pada umumnya bangsa kata febih menyukai yang lisan, baru kemudian tulisan, lain sedikat berjerih payah melalui bahasa pengamatan. Tidak setiap nyang dapat mencapa tingkatan paling tinggi dalam membaca, apalagi kemithan dapat pala menyimpulkan. Berbeda bainya dengan Chairul, dia mampu memberikan simpulan dari buku yang dibacanya.

Hal tersebut bukan disebabkan perkara cerdas atau tidaknya seseorang tetapi berangkat dari kebiasaan, lalu pengalaman, kemudian membudaya. Peases demikian tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat Di dalamnya terdapat waktu, keinginan, dan kesempatan yang terbentuk dari suatu lingkungan tempat seseorang dibesarkan. Untuk Chairul, tulis baca itu sebenarnya sudah dimulai sejak lama ketika ia masih berusia belia Ketika kita berbicara pendidikan, Chairul pun mengenyamnya dengan baik dan sesuai dengan tingkatan lazimnya orang lain menempuh pendidikan. Pendidikan dasar pertama kali di tempuh oleh Chairul di Sekolah Rakyat, di desa Kuraitaji, Pariaman. Setelah tamat pendidikan dasar, Chairul melanjutkan pendidikan di salah satu sekolah menengah pertama yang ada di Pariaman. Ia menyelesaikan kedua pendidikan tersebut dengan baik. Pada tahun 195 7, Chairul meninggalkan kampung halamannya. Untuk pertama kalinya Chairul pergi merantau. Negeri yang ditujunya adalah Surakarta. Oleh karena itu, Chairul menempuh pendidikan sekolah menengah atas di sana, Jawa Tengah. Ia memilih Sekolah Pekerjaan Sosial Atas (SPSA). Di sekolah itu, salah satu temannya adalah mantan Mentri Penerangan Harmoko. Pada tahun 1960, Nama Chairul tercatat sebagai salah seorang mahasiswa di Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta pada jurusan publisistik. Namun, pendidikan terakhir yang ditempuh Chairul itu tidak dirampungkannya.

Kuatnya keinginan untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang lain menyebabkan Chairul kembali “bersekolah”. Ia memutuskan Mengambil kursus sinematografi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Ursus yang ditempuhnya dalam jangka waktu enam bulan tersebut tidak Nitimberinya gelar. Berbagai macam kemampuan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki Chairul, baik yang ditempuh secara formal maupun didapat Secara Otodidak, membuat dirinya memperoleh kesempatan pergi ke luar Negeri, Salah satunya adalah program IOWA (Internasional af Writing an academy) yang diikutinya selama tiga bulan. Tidak hanya itu, ia pun diundang ke berbagai negara untuk bertukar pikiran tentang knowledge dan Minangkabau culture. Negara yang telah dikunjungi Chairul, antara HAN, Jepang, Malaysia, Amerika Serikat, dan India.

Pada saat masih berstatus sebagai pelajar di Sekolah Pekerjaan Sosial Atas (SPSA) Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Chairul mencoba “kerja sebagai pembantu bagi surat kabar Pedoman Minggu, untuk daerah Surakarta, yang terbit di Jakarta. Namun, karirnya mulai mencuat Pada saat Chairul menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah lanjutan atas pada tahun 1960. Setelah itu karirnya dilanjutkan dengan menjadi Pegawai jawatan transmigrasi di Palu, Sulawesi Tengah dari tahun 1961 sampai dengan tahun 1963. Setelah beberapa saat, Chairul memutuskan menetap di Jakarta. Terakhir, ia berstatus sebagai wartawan di majalah Dewi, Jakarta. Selanjutnya, Chairul memutuskan hengkang dari ibu kota. Ia Melanjutkan karirnya sebagai wartawan harian Aman Makmur di

53

Pekanbaru sejak tahun 1963 sampai dengan tahun 1965.

Pada tahun 1966, situasi politik bangsa sedang kacau, Chairul memutuskan pindah ke Padang. Ketika kembali ke Padang, Chairul menerbitkan sebuah koran bernama Sinar Masa bersama Wan Sjafruddin Idrus. Oleh karena Chairul dianggap sebagai salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan, ia kembali “mengungsi” ke Pekanbaru. Di sana, Chairul berstatus sebagai wartawan dan menduduki jabatan Kepala Perwakilan Harian Aman Makmur Padang. Ketika aksi Angkatan 66 berlangsung, harian Aman Makmur tidak diizinkan lagi terbit. Harian Aman Makmur merupakan koran pertama tempat Chairul menumpahkan ide-idenya.

Setelah koran tersebut tidak lagi terbit, Chairul Harun memutuskan pulang kampung dan memulai karir sebagai wartawan Angkatan Bersenjata di Padang pada tahun 1967. “Letih” menyandang status sebagai wartawan Angkatan Bersenjata, Chairul bergabung menjadi salah seorang kontributor di Mingguan Singgalang. Pada awal Orde Baru, Mingguan Singgalang memiliki daya tarik dalam penggunaan bahasa dan ruang lingkup Minangkabau. Konon, kehadiran Singgalang dirasakan sebagai pembebasan sekaligus penemuan kembali identitas orang Minangkabau yang terpuruk akibat dihajar pengalaman traumatis pasca-PRRI dan Nasakom. Di koran tersebut, Chairul diserahi sebuah rubrik khusus, yartu rubrik “Iduik Baraka Mati Bariman”, Dalam waktu yang cukup lama, Chairul “menggeliatkan” diri dengan harian Singgalang. Kemudian, is memutuskan untuk berhenti di harian tersebut dan mufai berkiprah di koran Jain.

Ia “diundang” untuk bekerja di surat kabar harian Haluan. Sebagai wartawan, ia memiliki reputasi yang hebat. Dalam usia 29 tahun, ia Sudah diangkat dan dipercayai menjadi Pemimpin Redaksi Harian Haluan ketika surat kabar itu diizinkan lagi terbit pada tahun 1969. Harian Haluan pernah dilarang terbit pada tahun 1958 karena dicap sebagai pendukung PRRI oleh Pemerintah Orde Lama, Chairul diserahi tugas itu pada tahun 1969-1970. Akan tetapi, karena suatu konflik internal, Chairul memutuskan berhenti dari media tersebut.

Setelah memutuskan berhenti, Chairul bekerja sebagai koresponden di majalah berita Ekspres dan Tempo yang terbit di Jakarta dari tahun 1975 sampai dengan 1979 untuk daerah Sumatra Barat dan Riau. Oleh karena ambisi yang cukup menggebu-gebu, Chairul memutuskan untuk berhenti pula dari kedua media tersebut dan melanjutkan karirnya di

54 koran yang diterbitkannya sendiri. Dengan bantuan teman-temannya, Charul menerbitkan dua mingguan, yaitu Padang Pos dan Mingguan Gesit. Pada akhirnya, kedua penerbitan koran tersebut terpaksa gulung tikar karena alasan keuangan.

Setelah "merambah" beberapa media, pada tahun 1980, Chairul memutuskan bergabung kembali dengan harian Singgalang dan menduduki jabatan sebagai wakil pemimpin redaksi. Ketika novel Chairul yang berjudul Warisan terpilih sebagai salah satu buku terbaik bacaan remaja versi Yayasan Buku Utama, Chairul juga merayakan ulang tahunnya yang ke-45 di kantornya, harian Singgalang.

Sebagai seorang pribadi yang gelisah dan unik, Chairul dapat bergaul dengan banyak orang dari segala macam lapisan. Pergaulan dengan masyarakat luas tersebut membuat Chairul mampu menghadirkan berbagai macam tulisan, esai, dan hal lainnya tentang masyarakat di sekililingnya. Oleh karena itu, amat wajar apabila tulisan feature dan esai-esai yang dibuatnya memikat dan berisi. Tulisan opininya pun tajam dan kritis. Sebagai seorang wartawan yang handal, Chairul mampu menuliskan dengan baik laporan dari suatu kejadian yang tengah diliputnya.

Chairul adalah seorang yang cerdas. Ia memiliki intuisi yang tajam dan kepribadian yang berani. Ia seorang pejuang, berani berbuat dan berupaya untuk kepentingan orang banyak. Sosok Chairul merupakan sosok kembara budaya dan kembara politik. Ia selalu mendambakan kedekatan dirinya dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan alam yang mengitarinya. Chairul Harun layaknya seorang peneliti di perguruan tinggi, dia melakukan survei lapangan, mengamati, meneliti, mengumpulkan fakta, dan kemudian mengkaji atau menganalisis sesuai dengan dasar-dasar teori yang dimilikinya. Ibarat bertutur tentang sawah, Chairul tidak mau hanya berdiri di pematang saja. Ia secara langsung terjun merasakan bau lumpur dan dinginnya angin pergunungan yang mengairi setiap petak sawah. Dapat dikatakan, Chairul tidak saja tahu dengan teori, ia berkenginan mengetahui kondisi di lapangan.

Dengan adanya bacaan dan pengetahuan yang luas, amat mungkin bagi dirinya untuk duduk di belakang meja dan menuliskan semua hal tentang Sumatra Barat. Chairul Harun adalah seorang yang dikarunia berbagai kelebihan. Sosoknya adalah seniman dan wartawan. Selain menjadi seorang cerpenis, novelis, wartawan, penulis fiksi, dan kolumnis, Chairul pernah menjadi dosen di Jurusan Teater Akademi Seni Karawitan Indonesia, Padangpanjang dan perah pula dosen luar biasa di Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas (1985). Beberapa bidang pun ia kuasai, seperti sastra modern, drama kontemporer, randai, dan seni tradisi Minangkabau lainnya. Beberapa kaba, pantun, dan lirik dendang terpatri di ingatannya.

Karya-Karya Chairul Harun

Menjadi seorang wartawan dan komentator sosial merupakan salah satu kegiatan Chairul Harun. Ia merupakan seorang sastrawan yang handal. Hal tersebut dibuktikan dengan telah diterbitkannya buku hasil karya Chairul berupa novel, cerita pendek, dan puisi. Beberapa puisi yang ditulis oleh Chairul terhimpun dalam kumpulan puisi Monumen Safari bersama penyair Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, dan Zaidin Bakry pada tahun 1966. Selain itu, juga terdapat beberapa novel dan cerita bersambung lainnya, satu di antaranya adalah Ganda Hilang yang dipublikasi pada tahun 1981. Untuk lebih mengetahui tertang proses kreatifnya dalam duria sastra, dapat dibaca sebuah makalah yang berjudui “Sastra sebagai Human Control”. Makalah itu telah dibukukan dengan judul Dua Puluh Sastrawan Bicara pada tahun 1984.

Cerpen yang telah ditulis oleh Chairul adalah “Tanduk Rusa” yang dimuat dalam majalah Gema Islam sekitar tahun 1965. Cerpen tersebut berlatarkan suasana kampung pengarang sendiri. Beberapa cerpen yang dihasilkan oleh Chairul tidak saja dimuat di koran lokal, namun dapat ditemukan pada koran nasional ataupun majalah nasionsl seperti Hortsan.

Antologi cerpen Sang Gubernur merupakan salah satu buku yang memuat cerpen yang merupakan sentilan Chairul tentang kebobrokan yang terjadi di negeri ini, Cerpennya juga dimuat dalam Antologi Cerita Pendek Indonesia yang diterbitkan oleh negara tetangga, Malaysia pada tahun 1982 yang disusun oleh Satyagraha Hoerip dan dapat disimak dalam Antologi Laut Biru Langit Biru yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1977.

Selain cerpen, Chairul menyajikan kreativitas tulisannya dalam bentuk cerita bersambung yang telah dimuat dalam koran lokal yang terbit di Padang, salah satunya adalah “Pincuren Santan”.

Karya sastra yang lahir dari tangan Chairul tidak saja ditujukan keparta penggemar sastra kalangan dewasa, Juga untuk anak-anak. Salah satu buku cerita anak yang telah diterbitkan berjudul Pituah Simalanca.

56

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


Beberapa cerita pendek anak-anak pernah lahir dari tangan Chairul, di antaranya adalah Bantajo, Basoka, dan 60 Jam yang Gawat.


Apabila kita jeli membaca karya sastra yang dikarang oleh Chairul, dengan jelas kita dapat mengetahui bahwa di dalam karya sastra tersebut tergambar dengan baik pandangan dan sikap hidupny. Ia memiliki sikap yang tidak meledak-ledak, namun ia menghentak dengan pelan dan terlihat pula naik pitam (mamburansang) dalam cerpen-cerpennya. Pandangan dan sikap hidupnya tersebut berinteraksi dengan lintas budaya Nusantara dan dunia meskipun sebagian besqr karyanya mengambil latar daerah Sumatra Barat. Karya tersebut merupakan refleksi pemikiran dari perkembangan dan pergolakan yang ada di Minangkabau. Oleh karena itu, sebagian orang menilai bahwa karya sastranya dapat dipandang sebagai dokumentasi sosial dan politik Indonesia.


Ketekunan dan kegemaran membaca merupakan bukti konkret yang selalu dilakukan oleh Chairul. Dengan membaca semua ilmu dapat diketahui. Sebagai seorang yang memiliki banyak pengetahuan dari bacaannya, Chairul dijuluki sebagai kamus berjalan. Chairul adalah ensiklopedi lintasdisplin: dari urusan politik sampai dengan klenik, dari kesusasteraan sampai dengan agama. Baca! Itu kuncinya. Setiap hari bila bertemu dengan Chairul, kita dapat melihat ada saja buku yang ditenteng, sebuah pengakuan jujur dari sahabat karibnya tentang Chairul. Chairul merupakan salah seorang dari sedikit wartawan yang rajin membeli buki, tidak hanya buku sastra, tetapi juga buku yang membahas sosial kemasyarakatan, politik, dan lain-lain.


Selain dikenal sebagai sosok sastrawan yang kreatif, Chairul merupakan seorang pemikir, aktivis, dan organisator kesenian. sebagai salah seorang aktivis kesenian, Chairul mampu bekerja sama dengan semua pihak. Ia diibaratkan sebagai pengayom berbagai grup/kelompok kesenian. Satu hal yang mengesankan dari dirinya adalah upaya dan usahanya yang tanpa henti untuk mengayomi dan menhakrabi kesenian Minangkabau tradisional. Chairul mengunjungi kampung-kampung yang ada di perdalaman Sumatra Barat hanya untuk mrnikmati randai, kendang saluang, dan rabab sehingga ia mengenal dengan baik peta kesenian yradisional Minangkabau yang ada di lapangan.


Salah satu bukti keseriusan Chairul dalam mengurusi randai ini adalah mencoba menyrlesaikan kebijakan pemerintah dengan hal-hal yang benar-benar tepat dan bermanfaat untuk masyarakat. Chairul menggunakan randai, teater tradisional Minangkabau, sebagai media untuk mendukung program pemerintah. Chairul mempersiapkan secara khusus sebuah cerita yang berjudul Baringin Gadang di Tangah Koto. Cerita ini merupakan cerita wajib yang dimainkan oleh tiga puluh kelompok randai dalam Festival Randai Pekan Budaya. Pada akhirnya program ini membuahkan hasil dengan adanya penghargaan Parasamya Purna Karya Nugraha dan Prajodjana dari Pemerintah Pusat selama tiga tahun berturut-turut untuk Pemerintah Daerah Sumatra Barat.

Berkesenian adalah dunia yang paling disukai Chairul. Ia pernah terlibat dalam pementasan drama Orang Kasar karya Anton Chekov. Sebuah legenda Minangkabau karya A. Chaniago yang berjudul Anggun Nan Tongga diperankan dengan baik oleh Chairul dan menurut pengamat kesenian, peran tersebut sangat fenomenal. Pada tahun 1969, Chairul juga pernah memerankan tokoh pendeta dalam Hanya Satu Kali karya John Galsworthy dan Robert Midlemeans.

Ide untuk menyelenggarakan pertemuan komunitas seniman pertama kali “disiarkan” oleh Chairul, Ide tersebut disambut hangat oleh para pegiat sastra. Pada akhirnya, perkemahan seniman pertama kali diselenggarakan di desa negeri asal Chairil Anwar, Taeh Baruah, Kabupaten 50 Kota. Setelah sukses pesta itu dilanjutkan lagi dengan nama Perkemahan Sastra di Desa Pariangan, sebuah negeri tertua di Minangkabau, selanjutnya Bonjol dan Talawi (tempat kelahiran Muhammad Yamin), serta Maninjau (negeri kelahiran Hamka). Namun demikian, menulis dan tetap menulis adalah semboyan hidup Chairul yang selatu menjadi panutan di sepanjang perjalanannya di dunia. Sampai akhrr hayatnya, Chairul Harun tetap menulis.

Novel Warisan merupakan karya monumental dari Chairul Harun. Novel itu mengisahkan kehidupan di hari tua dua orang bersaudara yang dilahirkan scbagai kaum bangsawan di Pariaman. Mereka adalah Bagindo Tahar dan Siti Bainar yang mempusakai gelar bangsawan dan harta pusaka dari leluhurnya. Mereka tinggal sekamar bertiga dengan putra Siti Bamar yang bernama Sidi Badaruddin dalam keadaan sama-sama Sakit.

Selarna sni, Bagindo Tahar diurus oleh istri mudanya yang bermama Murni, Siri Bainar diurus oleh suaminya yang bernama Tan Rudin (ayah tiri Sidi Badaruddin), dan Sidi Badaruddin diurus oleh istrinya yang bcinama Asah. Kecuali Muri, kedua orang itu hanya berpura-pura

58 Mengurusi kaum bangsawan itu karena sesungguhnya mereka semata-mata hanya menguras sisa harta kaum bangsawan itu. Sampai akhirnya kediaman kaum bangsawan itu didatangi putra sulung Bagindo Tahar yang bernama Rafilus.

Drs. Rafilus berniat membawa ayahnya untuk berobat dan pindah ke Jakarta, tetapi Bagindo Tahar malah meminta anaknya itu untuk mengurusi harta pusaka keluarganya. Rafilus menghadapi berbagai Persoalan yang memperlihatkan wataknya sebagai laki-laki yang cerdas, Sekaligus gaya hidupnya sebagai penganut pergaulan bebas. Ia menggauli Upik Denok, selingkuhan suami bibinya. Ia menggauli Farida, seorang Janda yang merupakan kemenakan orang suruhan ayahnya. Ia menggauli Maimunah, kemenakan ayahnya yang kemudian dinikahinya setelah Mengandung anak mereka. Ja mencumbui Arneti, gadis binal teman ecilnya dulu, lalu menikahi gadis yang sudah tidak perawan itu untuk Menutupi status Arneti yang “gadis bukan perawan”.

Setelah ayahnya wafat, Rafilus memanggil anggota kerabat ayahnya Untuk mengatur pembagian harta pusaka. Ternyata, harta pusaka yang Selama ini mereka tunggu-tunggu semuanya dalam status tergadai dengan nilai Yang sangat besar. Rafilus menilahkan semua orang yang merasa berhak agar mendapatkan harta itu, tentu saja dengan menebusnya. Tidak sorang pun yang berkehendak atas harta itu dengan syarat harus menebus itu, Akhirnya, semuanya pulang dengan tangan hampa. Warisan yang mereka incar-incar selama ini ternyata sudah tergadai semua.

Status kebangsawanan di kalangan masyarakat di daerah pesisir Minangkabau, khususnya di daerah Padang Pariaman, bukanlah hal yang Asing bagi Chairul Harun. Ayahnya adalah seorang Bagindo (Harun), sama halnya dengan tokoh rekaannya dalam Warisan, yakni Bagindo Tahar, Ta pasti tahu persis bagaimana istimewanya posisi Bagindo dan Sitti di tengah masyarakat, meskipun mereka hanya bangsawan yang Menuruti strata kebangsawan nomor dua setelah Sidi dan Puri. Bagaimana dengan posisi istimewa yang ditempati oleh para bangsawan nomor satu tersebut? Tentulah dapat dibayangkan betapa enaknya Menjadi bangsawan yang berdiri di atas orang-orang kebanyakan. telalui novel Warisan, Chairul Harun seperti mencibir terhadap praktik-Praktik kebangsawan yang masih dianut di zaman yang sudah jauh dari kolonialisme ini. Ia menciptakan kenelangsaan yang dialami oleh ketiga tokoh bangsawan tersebut, berikut sisa-sisa kesombongan yang masih tetap mereka pelihara dan kebanggaan kosong yang tidak lagi didukung oleh kenyataan.

59

Melalui novel ini, Chairul Harun pun seakan mencemooh masyarakatnya sendiri, masyarakat Minangkabau, yang selalu meretorikakan bahwa mereka tunduk dan patuh kepada adat yang berlandaskan kepada hukum Islam “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Padahal, mereka sering kali hidup di luar aturan adat dan hukum Islam. Seorang laki-laki berstatus bujangan, seperti tokoh Rafilus telah melakukan berkali-kali hubungan terlarang dengan

berbagai perempuan. Seorang perempuan berstatus gadis seperti tokoh Amtti telah pula berbuat zina dengan teman sesama kuliahnya di kota. Seorang mamak, seperti Angku Pekok merasa bangga atas status jarda berkali-kali yang dialami kemenakannya dan maklum pula atas perilaku cabul yang diperbuatnya. Tokoh bijak, seperti Bagindo Tahar pun tidak luput dari kritik, ia mengenyampingkan anak-anak kandungnya. Baginya, kepentingan menjaga kebesaran nama kebangsawanan adalah hal yang penting. Ia memilih tetap tinggal bersama dua kerabat terdekatnya, yakni adik perempuan dan kemenakannya yang sudah terganggu ingatan mereka akibat penyakit kulit yang tidak tersembuhkan.

Simpulan

Chairul Harun tidak hendak “menapik air di dulang yang akan memerciki mukanya sendiri” dalam memandang adat yang berlaku di tengah masyarakatnya, tetapi ia menyindir praktik-praktik sumbang yang dibakukan oleh segelintir orang atas nama adat. Hal itu dimaksudkan Chairul agar masyarakat berusaha meluruskannya kembali.

Demikianlah, Chairul Harun. Ja memandang masyarakat dan kebudayaannya dengan caranya sendiri. Ia menyindir dan mencemooh sebagai sikap kritis terhadap Jingkungan yang dicintainya. Ia mencintai Yengan upaya memperbaiki dan senantiasa menjaga nilai-nilai luhur yang terdapat dalam adat-istiadat Minangkabau, negeri yang telah melahirkan, membesarkan, dan menerimanya sebagai tempat kembali kepada Sang Pencipta.

60