Amerta: Berkala Arkeologi 2/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Amerta: Berkala Arkeologi 2  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Sedikit Tentang Golongan-Golongan di Masyarakat Jawa Kuno


  1. SEDIKIT TENTANG GOLONGAN-GOLONGAN
  1. DI DALAM MASYARAKAT JAWA KUNO


  1. J.G. de Casparis


Penyelidikan atas prasasti-prasasti Indonesia sangat penting karena banyak sebab. Pertama ia merupakan salah satu sumber sejarah yang terpenting. Memang kalau tidak ada prasasti-prasasti itu, maka boleh dikatakan tidak mengetahui sedikit pun tentang sejarah tanah air kita sebelum abad ke-13. Lagipula prasasti-prasasti itu paling sedikit menambah (sebagian menetapkan, sebagian menepatkan, dan sebagian membetulkan) pengetahuan kita tentang sejarah antara abad ke-13 dan abad ke-15 yang kita kenal dari kitab-kitab sejarah (terutama Pararaton dan Nagarakertagama). Barulah untuk pengetahuan sejarah sejak abad ke-16 arti prasasti-prasasti itu agak terdesak ke belakang, meskipun ia masih belum dapat di abaikan sama sekali. Ingat saja akan pertulisan-pertulisan pada batu-batu nisan di Aceh yang belum diselidiki dengan seksama dan akan piagam raja-raja Mataram, Banten dan Palembang. Karena adanya prasasti-prasasti yang diberi angka tahun dengan seksama maka dapatlah kita memberikan "tulang punggung" kronologinya kepada sejarah tanah air kita.

Tatapi janganlah dikira bahwa dengan itu habislah prasasti-prasasti itu. Apa yang tersebut di atas itu merupakan segi-segi yang mungkin teramat menarik perhatian, tetapi bukanlah yang terpenting. Menurut pendapat kami, yang lebih penting lagi ialah, bahwa hanya prasasti-prasasti itulah yang dapat memberikan gambaran tentang jalan berlakunya masyarakat Indonesia (Jawa Tengah dan Jawa Timur pada khususnya) pada zaman dahulu dan sebagian juga tentang jalan perkembangannya. Kejadian-kejadian sejarah yang tersebut di dalamnya seringkali hanya sedikit memberi keterangan kepada kita; biasanya ia baru berarti apabila kita dapat meninjau kejadian-kejadian itu di atas dasar keadaan masyarakat pada waktu itu. Seperti akan kami uraikan di bawah ini, maka prasasti-prasastilah yang merupakan sumber yang terpenting untuk penyelidikan itu.

Di Indonesia minat untuk mempelajari ilmu-ilmu kemasyarakatan semakin bertambah. Hal ini memang sudah selayaknya. Sebab makin banyak pengetahuan kita tentang jalan berlakunya kehidupan masyarakat di Indonesia ini makin banyaklah kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan tindakan yang tepat.

Akan mengadakan industri-industri baru, cara-cara pertanian baru, bentuk-bentuk baru dalam organisasi perusahaan, kita tidak dapat mengambil begitu saja apa yang lazim di luar negeri. Orang harus menyesuaikan lebih dahulu dengan bentuk-bentuk lama yang telah berurat berakar di dalam masyarakat karena perkembangan sejarah, apabila orang tidak menghendaki bahwa tindakan-tindakan pembaharuan itu akan tidak berhasil atau ditentang oleh penduduk, sehingga tindakan-tindakan itu bahkan memberi hasil yang sebaliknya daripada yang diharapkan. Hal itu bukanlah sekali-kali berarti bahwa orang harus berpegang teguh kepada bentuk-bentuk yang lama; tidak, sebab berpegang teguh kepada masa yang lampau akan berarti kemunduran apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang tidak terhenti dalam perkembangannya. Tetapi mencoba-coba pembaharuan begitu saja pun sangat berbahaya. Yang baru harus didasarkan kepada hal-hal dari masa lampau yang dapat diharapkan mempunyai masa depan yang baik. Seorang ahli politik pada mmasa ini memang harus senantiasa mengingat kenyataan-kenyataan yang dihadapinya sekarang, tetapi ia pun harus sekali-kali melihat ke arah masa yang silam. Pada waktu ini hal itu tidak mudah baginya, ia harus minta bantuan ahli-ahli sejarah yang juga mempunyai pengtahuan di lapangan ekonomi-sosial, yang dapat memberikan bahan-bahan tentang bentuk-bentuk organisasi apa saja yang pernah ada di masa yang lampau dan bagaimana perkembangannya.

Tidak perlulah rasanya kami menerangkan bahwa di dalam uraian di bawah ini kami hanya dapat meninjau satu segi saja dari masalah-masalah perkembangan masyarakat Indonesia pada zaman dahulu. Kami hanya akan membatasi diri pada satu soal saja sekedar akan menunjukkan apa yang antara lain dapat kami pelajari dari prasasti-prasasti tentang keadaan masyarakat pada waktu itu. Ini memang salah satu dari pertanyaan-pertanyaan yang teramat menarik perhatian, ialah tentang golongan-golongan di dalam kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebelum ada pengaruh Barat sama sekali. Bagi mereka yang sama sekali mempelajari buku-buku dan karangan-karangan tentang sejarah kuno Indonesia teranglah bahwa karangan-karangan yang ada itu tidak ada memberikan uraian-uraian tentang soal tersebut. Hal itu memang karena pengetahuan kita tentang masyarakat Jawa Kuno masih sangat sedikit.

Dan itu disebabkan tidak saja karena penyelidikan tentang sejarah tanah air kita masih sangat kurang sempurna jumlah ahli-ahli yang bekerja di lapangan itu selalu hanya sedikit sekali jika dibandingkan dengan luasnya lapangan penyelidikan tetapi barangkali lebih-lebih lagi karena sumber-sumber yang terpenting untuk itu, ialah prasasti-prasasti Jawa Kuno, sukar dicapai. Hingga kini penyelidikan terutama berpusat kepada apa yang kami sebut diatas "rangka kronologi”-nya. Tentang masyarakat Jawa Kuno masih saja terdapat salah pengertian.

Orang akan sering menjumpai keterangan di dalam buku-buku bahwa masyarakat Jawa Kuno bersifat feodal, bahwa ia dibagi dalam 4 kasta, bahwa sang prabu-prabu minta dipuja-puja sebagai dewa, bahwa kerajaan-kerajaan pada zaman dahulu hanya kecil saja, tetapi sang prabu-prabunya selalu memeras rakyat dengan bermacam-macam jalan untuk dapat mendirikan candi-candi yang sebesar-besarnya. Itulah keterangan-keterangan yang biasa kita jumpai dengan beberapa variasi di dalam kitab-kitab yang bersifat populer maupun bersifat ilmu pengetahuan. Adakah hal itu ditetapkan oleh penyelidikan prasasti-prasasti? Ambillah sebagai contoh keterangan bahwa masyarakat Jawa Hindu bersifat feodal. Suatu istilah seperti feodal belum lagi diingat bahwa sesungguhnya tiap orang memberikan arti yang berlain-lainan sangatlah menyesatkan. Kalau orang mendengar kata feodal, maka pertama-tama orang akan teringat akan keadaan-keadaan di dalam abad pertengahan di Eropa dengan golongan bangsawan dan golongan agama yang mempunyai tanah-tanah yang luas, yang dapat mempergunakan tenaga penduduk yang tinggal di daerahnya dengan sesuka hati, dan yang sedikit banyak memeras petani-petani yang hidupnya tergantung dari mereka itu (hal itu tergantung kepada keadaan-keadaan setempat dan terutama kepada anggapan-anggapan perseorangan dari wakil-wakil kepada golongan tersebut). Hubungan yang demikian itu ada juga dahulu di Jawa (dengan seribu satu macam perbedaan-perbedaan kecil), misalnya di kerajaan-kerajaan Banten, Cirebon, dan Mataram dalam abad ke-18. Orang-orang yang berpikiran liberal dalam pertengahan kedua abad ke-19 dan pertengahan pertama abad ke-20 sering-sering mengemukakan keadaan-keadaan itu dengan dilebih-lebihkan. Dalam hal itu orang biasanya lupa bahwa hubungan-hubungan dalam abad ke-18 yang dikenal lebih baik itu tidak dapat dijadikan ukuran, karena justru pada waktu itu keadaan-keadaan di Jawa sangat bertambah buruk karena sebab-sebab dari luar.

Di antara sebab-sebab dari luar yang kami maksudkan itu yang terpenting ialah tekanan yang berat dari fihak V.O.C. atas kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan-kerajaan di Jawa telah menjadi miskin karena hampir seluruh pesisir jatuh ke tangan V.O.C. dan perdagangan dan pelayarannya mendapat saingan yang hebat dari kompeni dengan monopolinya. Meskipun kian sang prabu-sang prabu dari kerajaan-kerajaan itu masih juga harus melakukan penyetoran-penyetoran yang berat sekali kepada kompeni berdasarkan perjanjian-perjanjian yang sering bersifat menghina bagi sang prabu-sang prabu tersebut. Jadi di satu fihak kemungkinan sangat terbatas jika dibandingkan dengan dahulu, di lain fihak kewajibannya sangat bertambah berat. Meskipun demikian sang prabu-sang prabu dan para bupati itu terpaksa untuk mengumpulkan beras dan hasil-hasil bumi yang lain dalam jumlah yang telah ditentukan, dan dengan sendirinya semua itu hanya dapat diperolehnya dari petani-petani. Akibatnya ialah pemerasan atas petani-petani itu, karena itu maka memang timbul keadaan-keadaan yang tepat sekali kalau disebut dengan istilah feodal. Tetapi dengan sendirinya orang tidak boleh begitu saja membayangkan keadaan pada zaman dahulu, pada waktu masyarakat belum memperlihatkan hal-hal yang luar biasa akibat anasir-anasir dari luar, seperti keadaan dalam abad ke-18 itu. Karena itu kata-kata seperti kelaliman dan tindakan sewenang-wenang dari sang prabu dapat disingkirkan dalam menggambarkan keadaan masyarakat pada zaman dahulu. Untuk sementara kita tidak mempunyai bukti-bukti sedikit pun bahwa memang demikian keadaannya. Dengan istilah seperti feodal itu orang memberi cap dengan semena-mena kepada keadaan-keadaan yang gambarannya tidak lengkap dan tentu sangat kabur.

Baiklah kita tinjau sebuah lagi dari apa yang telah menjadi pendapat umum itu. Bahwa pembangunan candi-candi di Jawa Tengah memerlukan kurban tenaga yang besar sekali sudahlah terang; tetapi sungguh tidak beralasan kalau kita mengatakan bahwa untuk pembangunan candi-candi itu penduduk diperas: lebih goyah lagi dasar kita apabila kita menganggap hal itu sebagai sebab yang terpenting dari perpindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dalam abad ke-10, seperti anggapan orang belum lama berseling ini. Orang lalu memperbandingkannya dengan kemelaratan ekonomi di Eropa dalam Abad Pertengahan akibat pembangunan katedral-katedral yang besar.

Memang orang lalu mendapat gambaran yang menarik hati dan hidup tentang perubahan-perubahan keadaan di Jawa dalam abad ke-10 itu, tetapi siapakah yang menjamin bahwa hal itu benar? Sebenarnya gambaran yang bagus itu berasal dari beberapa anggapan yang ditetapkan secara a priori. Untuk mendapatkan dasar yang lebih kuat untuk gambaran itu orang harus berusaha lebih dulu memperoleh gambaran tentang padatnya penduduk, waktu yang diperlukan untuk mendirikan candi-candi, pembagian pekerjaannya, dan alat-alat teknik yang ada pada waktu itu. Beberapa hal lagi yang masih meragukan ialah mengenai pertanyaan adakah pada waktu itu, kalau pun tekanan terhadap penduduk sangatlah beratnya, penduduk itu lalu beramai-ramai meninggalkan kerajaan, atau untuk mengubah pertanyaan itu tidakkah penduduk lebih mementingkan pembangunan candi-candi daripada pekerjaan ekonominya? Pertanyaan lagi ialah adakah pada waktu itu terjadi perpindahan penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur? Satu-satunya hal yang kita ketahui dengan pasti ialah perpindahan keraton. Hendaklah kita menjaga jangan sampai terjerumus kedalam anakronisme (hal-hal yang tidak sesuai dengan sejarah).

Prasasti-prasasti memberikan gambaran yang agak seksama tentang masyarakat Jawa Kuno, tetapi masih sukar memahaminya karena banyak istilah-istilah yang artinya sering belum pasti atau bahkan tidak diketahui sama sekali. Meski pun demikian ada juga satu dua hal yang dapat kita ketahui daripadanya tentang masyarakat Jawa Hindu. Suatu segi yang barangkali teramat karakteristik bagi masyarakat itu ialah bahwa ia terbagi dalam golongan-golongan yang dibatasi dengan nyata. Di dalam kesuassateraan dan prasasti-prasasti itu ada banyak sekali disinggung tentang adanya pembagian dalam kasta-kasta (caturvarna). Sukarlah untuk membayangkan sekalipun hal itu sering juga dilakukan bahwa anggapan tentang adanya kasta-kasta di Jawa itu hanyalah isapan jempol belaka, meskipun dalam penyelidikan sepintas lalu saja ternyata bahwa pembagian kasta-kasta seperti yang ada di India tidak terdapat di Jawa ini. Kalau orang hendak mempersesuaikan keterangan-keterangan yang bertentangan itu, orang harus berpangkal kepada anggapan bahwa kebenarannya mungkin terletak di tengah-tengah, sehingga keterangan-keterangan yang kelihatannya saling bertentangan itu semuanya mengenai keadaan yang sebenarnya sama. Orang memang dapat membayangkan keadaan di Jawa zaman dahulu bahwa betul ada golongan-golongan masyarakat yang satu dengan yang lain terpisah dengan keras, yang oleh para pujangga dipandang sebagai suatu bentuk pembagian dalam kasta-kasta. Dalam hal itu orang tidak boleh lupa bahwa menurut ajaran orang Hindu seperti yang tertera antara lain di dalam kitab-kitab Purana dan Dharmaçastra, meskipun kita tahu bahwa sistem dari “varna” dan “jati” yang sangat muskil itu hanya sedikit saja sesuai dengan kenyataan, pembagian dalam kasta-kasta itu merupakan suatu keharusan dan berhubungan dengan seluruh sistem alam semesta. Bagi mereka yang telah mahir dalam tradisi Hindu,itu adalah suatu prinsip bahwa pembagian dalam kasta-kasta harus ada di Jawa, meskipun tidak dapat dengan segera kita kenal sebagai kasta. Kalau kita mengingat itu semuanya, jelaslah bahwa soalnya bukan lagi mengenai pertanyaan apakah di Jawa ada suatu pembagian dalam kasta-kasta seperti yang tertera dalam kitab-kitab Dharmaçastra dari India (kita tahu bahwa itu tidak ada), tetapi apakah ada golongan-golongan di dalam masyarakat di Jawa dan, apabila ada, mana yang dapat dipandang (tentu saja dengan sedikit fantasi) sebagai pembagian dalam kasta-kasta. Pertanyaan yang terakhir itu rupa-rupanya dapat kita jawab begitu saja "ada”, dengan demikian maka pertentangan antara teori dan praktek di Jawa ini dapat dihapuskan.

Penyelidikan atas prasasti-prasasti memungkinkan kita memperoleh pengetahuan yang lebih tepat, meskipun hanya untuk sebagian saja, tentang satu dua hal. Hampir semua prasasti-prasasti Jawa Kuno membicarakan dengan macam ragam yang banyak sekali, tentang penetapan daerah-daerah perdikan, ialah tanah-tanah (kebanyakan ialah sawah, tetapi tidak selalu) yang dibebaskan dari semua pajak karena anugrah dari raja. Hak-hak atas pajak dan gugur gunung yang terletak pada tanah-tanah itu diserahkan kepada pembesar-pembesar keagamaan yang mempergunakan penghasilan dari hak-hak itu untuk pemeliharaan suatu candi. Hal itu dikerjakan oleh raja untuk menjaga kelangsungan berdirinya candi tersebut. Tanah-tanah yang disediakan untuk dijadikan milik candi itu dibatasi dan diresmikan dengan upacara dengan disaksikan oleh saksi-saksi yang banyak. Pada upacara peresmian itu diucapkan suatu kutukan terhadap siapa saja (terutama sang prabu-sang prabu yang memerintah kemudian) yang berani mengubah ketentuan yang telah ditetapkan itu. Mereka itu diancam dengan hukuman-hukuman yang sangat mengerikan di hari kemudian. Dengan pengukuhan yang demikian itu orang menjaga jangan sampai ada seorang sang prabu yang memerintah kemudian, yang mungkin karena perbedaan agama, menghapuskan lagi hak-hak istimewa yang telah diberikan kepada candi-candi dan wakaf-wakaf yang lain.

Mengenai pajak dan gugur gunung itu masih perlu diterangkan di sini bahwa penduduk desa di daerah tersebut, yang pada hakekatnya harus menyerahkan pajak-pajak dan tenaganya, sebenarnya hanya secara pasif saja tersangkut dalam wakaf itu. Bagi penduduk hal itu berarti bahwa pajak-pajak dan gugur gunung-gunung tidak lagi dituntut oleh sang prabu (atau mereka yang telah diserahi hak itu, entah sebagai "tanah lungguh” entah dengan membayar suatu jumlah yang tertentu kepada sang prabu), tetapi oleh candi yang bersangkutan atas nama dewa yang dipuja di situ (bhatara: pada hakekatnya kebanyakan seorang sang prabu dari zaman dahulu yang telah didewakan). Dalam prakteknya pajak dan gugur gunung yang diminta oleh wakaf itu lebih ringan daripada yang diminta oleh sang prabu atau para ”patuh” (dewa). Dalam hal itu harus diingat bahwa pajak dahulu itu tidak dipungut dengan surat-surat penetapan pajak dan lain-lain, seperti sekarang (cara yang sesungguhnya sejujur-jujurnya), tetapi disewakan kepada bermacam-macam orang, biasanya orang asing. Sang prabu dan ”patuh” menerima dari tukang-tukang sewa sejumlah uang yang telah ditetapkan pada waktu-waktu yang tertentu, tetapi sebaliknya mereka harus menyerahkan hak-hak untuk memungut beberapa macam pajak kepada para tukang sewa. Tukang-tukang sewa pajak itu sudah barang tentu akan berusaha supaya pendapatannya lebih banyak daripada jumlah yang harus disetorkannya, dan karena itu tentulah penduduk harus membayar lebih dari semestinya. Kalau sebuah desa kemudian termasuk sebuah perdikan, maka ia tidak akan lagi diganggu oleh orang-orang yang menyusahkan itu. Di dalam prasasti-prasasti terdapat daftar yang panjang dari bermacam-macam pemungut pajak, yang kemudian dilarang sama sekali untuk masuk ke daerah perdikan tersebut. Pembesar-pembesar candi itu, yang kemudian dapat menuntut pajak dan gugur gunung dari rakyat, mungkin juga bukan orang-orang yang mudah dilayani, tetapi sepanjang pengetahuan kita mereka itu tidak pernah sampai kan hak-haknya. Jadi, meskipun dalam teori kewajiban-kewajiban yang ditentukan untuk penduduk itu tetap sama pada penetapan suatu perdikan, perubahan kedudukan itu merupakan keuntungan bagi petani-petani. Tetapi hal yang terakhir itu ialah soal yang kedua.

Dari uraian di atas itu dapatlah kita menunjukkan adanya 3 golongan yang terpisah-pisah dalam masyarakat Jawa Kuno. Golongan yang pertama, yang terbesar jumlahnya, ialah penduduk desa seluruhnya, anasir yang pasif di dalam perubahan-perubahan tersebut.

Golongan yang kedua ialah sang prabu dengan segenap kaum keluarganya dan mereka yang langsung tergantung kepada sang prabu, dengan secara mudah dapat kita sebut golongan keraton. Golongan yang ketiga ialah golongan agama, ialah pedanda-pedanda di candi-candi, orang yang tinggal di wihara dan pegawai-pegawai rendahnya. Jadi dalam prinsipnya penetapan daerah perdikan itu berarti bahwa hubungan keraton-rakyat diubah menjadi hubungan keraton-agama-rakyat.

Dari prasasti-prasati itu kita mendapat kesan yang jelas bahwa ketiga golongan yang tersebut di atas itu satu dengan yang lain terpisah dengan keras, meskipun pertentangan itu tidak usah selalu tidak dapat dilintasi.

Yang menjadi soal sekarang ialah, dapatkah kita menambahkan satu golongan lagi kepada tiga golongan yang tersebut di atas yang agak mudah dibatasi itu. Kalau sekiranya itu memang dapat, maka jelaslah bahwa di dalam masyarakat Jawa-Kuno ada suatu susunan yang sepintas lalu dapat dipersamakan dengan pembagian kasta-kasta di India. Dan memang demikianlah halnya. Di samping ketiga golongan yang terpisah dengan jelas itu masih ada banyak golongan lagi, yang tidak merupakan kesatuan, tetapi dapat dipersatukan dalam satu istilah umum: golongan pedagang dan pengusaha. Yang kita maksudkan dengan itu ialah segala macam perusahaan yang sering disebutkan dalam daftar yang panjang lebar didalam prasasti-prasasti. Pandai emas, pandai perak, pandai perunggu, pandai besi, tukang kayu, tukang anyam, tukang kulit, tukang celup, dan sebagainya, mereka yang mengangkut barang-barang dagangannya, penyanyi, pengidung dan lain-lain. Juga pedagang-pedagang yang sebenarnya, yang membeli hasil-hasil dari desa untuk kemudian menjualnya di tempat lain, sering juga disebut di dalam prasasti-prasasti. Perusahaan-perusahaan itu ada di luar kesibukan desa yang biasa, dan tidak juga termasuk kedua golongan yang lain. Kebetulan kita mengetahui dengan tidak boleh menarik kesimpulan bahwa hal itu berlaku untuk semua perusahaan. Di daerah Klaten terdapat suatu desa khusus untuk pandai tembaga dengan organisasi sendiri, dan di desa itu seluruhnya kemudian dijadikan desa perdikan oleh sang prabu karena jasa-jasanya yang istimewa (abad ke-9). Dalam hal yang biasa semua perusahaan itu diwajibkan membayar pajak kepada sang prabu. Tentang mereka yang menyewa pajak-pajak telah kita bicarakan sedikit di atas. Sang prabu menyerahkan hak-haknya kepada pihak ketiga; dengan demikian maka beberapa orang tertentu mendapat hak untuk memungut pajak dari pandai-pandai tembaga dan sebagainya.

Seluruh golongan pedagang dan pengusaha itulah tentu saja hanya pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha yang tiada takluk yang dimaksudkan dengan golongan (kasta) ketiga, kasta Vaicya kalau di India, di dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno. Tentu saja persamaan itu hanya dalam garis-garis besarnya saja; tidak ada satu keterangan pun yang menunjukkan bahwa mereka itu merupakan satu kesatuan yang bersifat endogam (satu segi yang amat karakteristik bagi kasta-kasta di India); tetapi soalnya bagi kita bukanlah untuk mencoba membuktikan bahwa di Jawa dulu ada pembagian kasta-kasta yang sebenarnya, melainkan menunjukkan apakah yang di dalam masyarakat sesungguhnya seperti yang dapat kita ketahui dari prasasti-prasasti dapat dipersamakan dengan sistem kasta-kasta dari pada teoritisi.

Meskipun dari prasasti-prasasti kita hanya dapat menarik kesimpulan bahwa pembagian dalam kasta-kasta yang sebenarnya tidak ada, namun prasasti-prasasti itu memberikan bahan-bahan yang sangat luas tetapi sukar dipahami tentang hubungan antara bermacam-macam golongan masyarakat itu. Bahan-bahan itu baru sebagian kecil saja diolah; di sini masih terbuka suatu lapangan penyelidikan yang luas dan menarik hati. Dinas Purbakala tidak hanya bertujuan untuk menjaga jangan sampai monumen-monumen yang besar makin bertambah rusak dan apabila mungkin, meskipun hanya untuk sebagian, membangunnya kembali dalam bentuk semula; sebagian dari pekerjaannya ialah mengumpulkan dan mengerjakan bahan-bahan yang memungkinkan kita untuk memperoleh kesan tentang dasar sosial historis dari monumen-monumen tersebut.

Kali ini kita hanya membatasi diri dalam satu segi yang muskil antara golongan-golongan yang besar dalam masyarakat Jawa-Kuno berhubungan dengan apa yang dapat kita pelajari dari para teoretisi tentang adanya pembagian dalam kasta-kasta. Lain kali kita berharap akan dapat kembali lagi kepada salah satu hal yang di atas dengan lebih mendalam.