Amerta: Berkala Arkeologi 2/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Amerta: Berkala Arkeologi 2  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Sekitar Malang



  1. PENINGGALAN-PENINGGALAN PURBAKALA DI SEKITAR MALANG
  2. J.Oey Blom



Candi Badut

Dalam zaman Indonesia-Hindu lembah Sungai Brantas merupakan suatu daerah yang sangat ramai. Bekas-bekasnya masih terdapat di mana-mana, Kebanykan ialah sisa-sisa bangunan-bangunan yang bersifat Buda maupun Siwa, yang didirikan di bawah pengaruh agama yang dianut pada waktu itu. Agama itu ialah campuran anasir-anasir Buda dan Siwa, lagipula bercorak magis dan terjalin dengan pengertian-pengertian dan gambaran-gambaran Indonesia asli, di antaranya yang mengambil tempat yang sangat penting ialah pemujaan leluhur raja. Karena itu maka tidaklah aneh bahwa bangunan-bangunan itu mempunyai bentuk yang tidak terdapat di tempat tempat yang lain. Pada umumnya bangunan-bangunan itu disebut candi, yang berarti bangunan suci penjenazahan, ialah tempat-tempat di mana sebagian kecil dari abu raja yang meninggal dan dibakar menurut kebiasaan Hindu, dikuburkan di dalam sebuah perigi yang sengaja dibuat untuk keperluan tersebut di bawah bangunan itu. Abu itu terlebih dahulu dimasukkan ke dalam sebuah peti batu. Biasanya pada abu itu ditambahkan benda-benda yang mengandung kekuatan magis, misalnya lempengan emas dan perak yang ditulisi dengan kata-kata yang magis, permata, dan manik-manik. Cara penguburan itu paling tepat dapat dipersamakan dengan cara yang masih berlaku sekarang di Bali. Di atas abu raja itu didirikan sebuah bangunan batu. Tentu saja mendirikan bangunan tersebut makan waktu yang lama, karena itu bukanlah suatu hal yang tidak mungkin apabila orang sudah mulai dengan pendirian bangunan itu pada waktu raja masih hidup, kemudian setelah ia meninggal diselesaikan oleh penggantinya.

 Dari bangunan-bangunan suci di daerah Jawa Timur itu kita pilih sekelompok yang terletak di daerah Malang, dan lagi hanya kita batasi kepada bangunan-bangunan di sekitar kota Malang yang dengan mudah dapat kita capai dari sana. Sebagian ialah candi-candi yang bersifat Buda seperti Jago dan Sumberawan, sebagian lagi bangunan-bangunan suci yang bersifat Siwa: Badut, Songgoriti, Kidal, dan Singosari. Watu Gede kita masukkan juga di sini karena merupakan tempat pemandian — hanya satu-satunya di sekitar daerah itu — dan juga sebagai contoh dari sebuah bangunan yang tidak suci.

 Menurut umurnya, maka candi-candi Badut

Candi Jago
dan Songgoriti terang termasuk bangunan-bangunan yang tertua di Jawa Timur, kedua-duanya jelas menunjukkan bentuk Jawa Tengah. Candi Badut ada dihubungkan dengan piagam yang terkenal yang terdapat di Dinoyo (di sebelah timurlaut Badut) dari tahun 760 M, dan meskipun belum pasti benar apakah memang candi itu yang tersebut di dalam piagam itu, candi itu tentu berasal dari zaman itu juga, kalau pun tidak lebih tua. Songgoriti dapat kita tempatkan dalam waktu antara abad ke-7 dan ke-8. Candi Kidal, sebuah contoh yang klasik dari bangunan yang bercorak Jawa Timur, berasal dari zaman permulaan Kerajaan Singosari dan didirikan di sekitar tahun 1260 M. Candi Singosari di sekitar tahun 1300 M, dan candi Jago, yang sudah jelas menunjukkan keistimewaan-keistimewaan Indonesia, kira-kira tahun 1350 M. Sumberawan dan Watu Gede mewakili bentuk bangunan yang lebih muda dan kira-kira berasal dari abad ke 14.

Kunjungan kepada peninggalan-peninggalan itu baiklah, jika ada waktunya, dilakukan dalam beberapa tamasya. Candi-candi Jago dan Kida yang agak berdekatan letaknya, dapat dikunjungi berturut-turut. Dari jalan besar dari Malang ke utara orang membelok ke kanan di dekat Blimbing, dan dengan melalui tempat pemandian Wendit (dahulu tempat pemandian kuno, dan di situ masih ada beberapa buah patung) sampailah orang di Desa Tumpang, tempat Candi Jago terletak. Dari sana hanya tinggal beberapa kilometer saja ke selatan akan terlihat Candi Kidal. Kemudian orang akan dapat sampai ke jalan besar lagi dengan melalui jalan tadi kembali, atau memutar sedikit dari Candi Kidal melalui Tajinan.

Untuk mengunjungi Candi Singosari orang melalui jalan besar dari Malang terus ke utara. Setiba di Singosari, lewat sedikit dari pasar, orang membelok ke kiri ke barat. Tidak lama kemudian tampak candi itu di sebelah kanan, dan beberapa ratus meter dari situ, di alun-alun, terdapat dua buah arca penjaga yang besar sekali. Jika hendak terus ke Sumberawan maka tidak jauh di sebelah barat candi itu ada jalanan yang hanya sebagian dapat dijalani dengan mobil. Kemudian dengan berjalan kaki orang akan sampai ke candinya. Pada waktu pulang orang dapat mengunjungi Watu Gede, ialah sesampainya di Singosari segera membelok ke sebelah timur setelah memotong jalan kereta api. Tempat pemandian itu terletak kira-kira di belakang stasiun Singosari.

Candi Songgoriti dan Badut dapat juga diambil bersama-sama. Songgoriti terletak tidak jauh setelah melewati Batu. Untuk sampai ke candi itu orang mengambil jalan besar dari Malang ke barat-laut. Akan mengunjungi Badut, di dekat Dinoyo orang membelok dari jalan tersebut ke selatan hingga Karangasem, kemudian dengan berjalan kaki ke sebelah barat orang melewati Kali Metro dan tidak jauh dari situ terletak Desa Badut. Candinya terletak tidak jauh dari Situ.

CANDI JAGO

Candi Jago terletak di Desa Jago di dekat Tumpang. Candi ini dahulu bernama Jayaghu dan terkenal sebagai tempat terletak bangunan suci corak Buda makam Wisnuwardhana, raja yang keempat dari wangsa Singhasari, yang meninggal pada tahun 1268 M. Jadi candi itu tentulah didirikan di sekitar tahun tersebut. Tetapi apa yang kita lihat sekarang bukanlah bangunan yang asli, melainkan sebuah pembaharuan atau hasil perombakan secara besar-besaran yang dikirakan terjadi di sekitar tahun 1350 M. Hal itu tampak pada susunan bangunan tersebut. Bangunan itu ialah bangunan berundak-undak seperti yang lebih biasa kita dapatkan di zaman Jawa Timur akhir, dalam arti bahwa punden yang sebenarnya tidak terletak di tengah-tengah benar, tetapi bergeser ke belakang. Juga ukiran-ukiran yang berbentuk wayang menunjukkan pembangunan dari zaman kemudian.

Dari luar ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Candi Jago itu bersifat Buda. Hanya salah satu dari relief-relief yang terukir di situ menggambarkan sebuah ceritera Buda. Jelaslah dengan itu bahwa tidak ada lagi perbedaan yang nyata antara kedua agama negara, agama Siwa dan agama Buda, meskipun secara resmi keduanya dianut berdampingan. Kedua agama itu haruslah telah bercampur erat, sehingga lama kelamaan merupakan satu kesatuan. Dan kesatuan itulah yang memungkinkan seorang raja menjadi penganut Buda, bahkan dapat menjadi seorang Caiwa-Budha, dan dapat dijenazahkan dan dipuja-puja dalam bentuk ini.

Tetapi baiklah kita kembali kepada candi

Jago. Sebenarnya arca-arcanyalah, yang ada di
Arca Bhrkuti dan Candi Jago

dalam dan di luar candi itu, yang memberikan sifat kebudayaan kepada candi tersebut. Kebanyakan di antara arca-arca itu sekarang ada di museum di Jakarta, sedangkan arca induknya masih ada di sana.

 Di atas lapangan percandian itu dahulu terdapat bangunan-bangunan yang lain, di antaranya ada yang bersifat agama Siwa sebagaimana ternyata dari arca-arca dan bagian-bagian candi yang tergali di sekitarnya. Terdapat juga landasan-landasan bangunan dari batu alam dan batu bata, ialah di depan, di samping kanan-kiri, dan di sebelah tenggara candi itu. Tetapi apa gunanya, masih belum jelas. Yang ada di depannya mungkin sama saja dengan misalnya yang ada pada Candi Kidal dan pada beberapa candi lain, ialah sebuah batur dengan tiga buah bangunan kecil di atasnya.

 Tentang Candi Jago telah kita katakan di muka bahwa punden yang sebenarnya didirikan di atas batur berundak-undak tiga yang makin ke atas makin kecil dan makin ke belakang. Dengan demikian maka di atas tiap-tiap batur ada tempat yang luang, karena penampil yang berundak-undak itu masih lagi diperkuat dengan ditambahkannya selasar-selasar dengan tangga di kanan kirinya. Letak punden sebenarnya yang di belakang sekali itu mengingatkan kita kepada bangunan-bangunan di lereng-lereng gunung yang didirikan berundak-undak sebagaimana kita kenal dari akhir zaman Hindu. Pikiran yang serupa itu masih hidup langsung dalam susunan makam raja-raja dalam zaman Islam dan juga dalam susunan pura-pura di Bali. Pada Candi Jago ketiga undak-undak itu bersama-sama merupakan gunung, dengan kediaman para dewa di atas puncaknya (candi yang sebenarnya).

 Dari candi itu sendiri tidak banyak yang tinggal, hanya kakinya, kambi pintu, dan sebagian kecil dari tubuhnya. Pada tubuh candi itu dahulu terdapat relung-relung pada ketiga dinding luar dan di kanan kiri pintu masuk. Bilik candi dapat ditutup dengan sebuah pintu, sebagaimana ternyata dari lubang-lubang di samping jenang-jenang pintu. Di dalam lantai bilik candi sekarang terdapat lubang gangsiran yang besar dan dalam, tetapi perigi tidak terdapat di dalamnya, karena itu tidak ditemukan juga sebuah peripih. Hal itu agak mengherankan, karena di dalam kesusasteraan kuno Candi Jago disebutkan di antara candi-candi penjenazahan. Tentulah orang mengharapkan akan menjumpai sebuah perigi candi dan peripih di dalamnya.

 Di sisi luar candi itu pada lima tempat terdapat lajur-lajur mendatar yang berukirkan relief. Akan mengikuti relief-relief itu orang harus berjalan mengelilingi candi dengan mengirikan candi itu.

Undak-Undak Pertama

a. Pada sudut barat-laut (lihat denah) mulailah rangkaian relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera binatang semacam yang kita dapati dalam kumpulan ceritera Tantri di Indonesia. Rangkaian relief itu berjalan terus sampai sudut timurlaut. Ceritera-ceritera itu belum semuanya kita kenal, tetapi ada juga di antaranya yang sudah kita kenal dari candi-candi yang lain. Misal nya saja pada bagian muka dari serambi (di sebelah kanan orang yang melihatnya) ada sebuah ceritera kura-kura yang suka ngobrol. Ceritera lain
Candi Kidul
dari pada yang kita kenal di Jawa Tengah. Di sini terlukis dua ekor kura-kura yang dibawa terbang oleh seekor angsa dengan menggantungkan mulutnya pada bilah kayu. DI tengah jalan mereka di kata-katai oleh sekawanan anjing atau serigala; mereka itu tidak tahan dihina demikian. Sebagai akibatnya maka mereka itu terjatuh dari kayu itu dan dimakan oleh anjing-anjing atau serigala-serigala tadi.

b. Disudut timurlaut mulailah rangkaian relief yang menggambarkan sebuah ceritera yang berturut-turut. Ceritera itu bersifat Buda dan menggambarkan riwayat yaksa Kunjarakama. Ia datang pada dewa tertinggi Sang Wairocana untuk mempelajari agama Buda. Atas nasehatnya ia pergi ke neraka dahulu. Setela tiba disana ia melihat siksaan-siksaan yang harus diderita oleh roh-roh makhluk yang berdosa di dunia. Alangka terkejutnya ketika melihat bahwa kancah penyiksaan yang berbentuk lembu itu disiapkan untuk temannya Purnawijaya. Dengan bergegas-gegas ia kembali pulang untuk memberitahukan hal itu kepada temannya. Ia menasehatikan kepadanya supaya mengikutinya menghadap Wairocana agar sedapat-dapatnya memperoleh ampun atas kesesatan-kesesatanya dahulu. Setelah Purnawijaya menunjukkan bahwa ia betul-betul bertaubat, maka diberilah ia keringanan hukumannya oleh Wairocana. Dan betullah setelah ia turun ke neraka untuk menjalani hukumannya, dan setelah ia menderita seksaan-siksaan selama sepuluh hari dalam ketel penyiksaan, pecahlah ketel itu dan berubah menjadi telaga yang indah dengan batang pohon dewata di tengahnya. Setelah ia pulang, maka tinggi bersama-sama istrinya pergi ke dalam kesunyian hutan untuk menjadi pertapa.
 Ceritera ini tidak selesai pada undak-undak pertama, maka dilanjutkan pada lapok undak-undak kedua. Di sini mulainya dari seudut baratlaut dan mungkin berjalan terus sampai sudut tenggara. Tetapi sayang, di situ sekarang hulang.

Undak-undak Kedua
a. Kecuali lanjutan ceritera Kunjarakama, masih ada ceritera lain yang belum kita kenal; yang dilukiskan pada lapik batur itu mulai dari sudut tenggara dan meliputi sisi timur dan utara.
b. Pada lajur undak-undak itu sendiri terlukis relief-relief yang menggambarkan ceritera Parthayajnya, yang mengambil lahannya dari Maahabharata. Ceritera itu mulai pada sudut baratdaya dengan permainan judi antara Pandawa dan Kaurawa. Krena permainan yang curang dari para Kaurawa maka Yusidtira kehilangan semua harta miliknya dan kerajaannya, dan Draupadi pun (istri kelima orang saudara) termasuk kehilangan itu. Oleh pihak lawan ia dihina dengan sangat, kainnya direnggutkan hingga lepas, rambutnya diragut hingga terurai. Maka bersumpahlah ia tidak akan merasa terbalas sebelum ia mencuci rambutnya dengan darah Duryodhana. Setelah kejadian yang menghina itu, maka dimufakati bahwa Pandawa dibuang selama 15 tahun. Bersama-sama dengan ibu dan istri mereka masuk ke dalam hutan. Atas nasehat sahabat mereka, Widura, Arjuna memisahkan diri dari keluarganya untuk bertapa di Gunung Indrakila, supaya mendapat senjata-senjata sakti untuk memerangi pada Kaurawa kelak. Dalam perjalanan ke Gunung Indrakila ia mengalami berbagai

Arca Hayagriwa dari Candi Jago
Candi Singhasari

kejadian: ia sampai ke sebuah pertapaan dan menginsyafkan seorang gadis yang jatuh cinta kepadanya, keesokan harinya ia ditimpa oleh hujan lebat disertai guruh yang dahsyat di dalam hutan: bertemu dengan Dewa Cri yang menambah semangatnya, bertemu dengan Dewa Cinta, Kama, dan permaisurinya Rati dekat sebuah danau, dan ditolong oleh mereka: berperang dengan raksasa Nalamala yang keluar dari danau itu, dan mengalahkannya, setelah ia berubah menjadi Mahadewa (dengan lengkung Kalamerga di atas kepala) sebagai akibat pemujaannya, bertemu dengan pertapa Dwaipayana yang memberi pelajaran kepadanya. Kemudian ia mendaki Gunung Indrakila.

Undak-Undak Ketiga

 Ceritera Arjuna itu dilanjutkan pada lajur undak-undak ketiga ini. Lukisan-lukisan itu mengikuti ceritera Arjunawiwaha, dan mulai pada sudut baratlaut undak-undak itu melalui penampil. Ceritera itu dimulai dengan persiapan para bidadari yang akan menggoda Arjuna yang sedang bertapa, Setelah mencoba berkali-kali tetapi tidak juga berhasil, mereka itu kembali ke kayangan Dewa Indra. Di sana sedang terjadi kegemparan, karena raja raksasa Niwatakawaca telah mengancam akan menyerang dan menghancurkan kayangan itu apabila Dewi Supraba, kepala para bidadari, tidak diberikan kepadanya sebagai istri. Hanya Arjunalah yang akan menolong dewa-dewa asal saja ia disadarkan dari tapanya. Sementara itu Niwatakawaca sendiri menyerang Arjuna dengan jalan menyuruh patihnya pergi ke Indrakila. Patih itu berubah menjadi seekor babi hutan dan menggempur gunung itu. Karena terganggu maka Arjuna melepaskan panah ke arah binatang itu, tetapi pada waktu itu juga Ciwa yang telah menyamar sebagai pemburu dan datang ke sana untuk mencoba Arjuna, memanah binatang tersebut. Timbullah pertengkaran siapa yang membunuh babi hutan itu, sebab kedua panah itu telah lebur menjadi satu. Akhirnya Arjuna memegang kaki Ciwa untuk membantingnya, tetapi pada saat itu juga Ciwa memperlihatkan ujudnya yang sebenarnya. Kemudia ia memberikan panah kedewaan kepada Arjuna yang akan menolong para Pandawa mengalahkan musuh-musuhnya kelak. Maka pergilah Arjuna, yang telah terganggu tapanya itu, ke Kayangan Indra. Di sana ia mendapat perintah untuk pergi ke istana Niwatakawaca bersama-sama Suprabha akan mengetahui rahasia kekebalannya. Dengan tipu muslihat berhasilla ia, kemudia raja raksasa itu bersama-sama pengikut-pengikutnya mati dalam pertempuran yang hebat melawan dewa-dewa. Penutupnya menggambarkan Arjuna di puji-puji oleh para dewa.

Tubuh candi: Dari tubuh candi hanya sebagian kecil saja dari reliefnya yang tinggal, dengan lukisan adegan-adegan dari cerita Kresna, ialah peperangan antara Kresna dan raja raksasa Kalayawana. Kresna melarikan diri ke dalam sebuah gua. Di dalam gua itu tidurlah Raja Mucukunda melepaskan lelahnya dari peperangan bersama dewa-dewa melawan raksasa. Sebagai hadiah atas bantuannya itu ia mendapat kemurahan bahwa ia akan dapat membakar siapa saja yang ganggu tidurnya. Kresna yang dikejar-kejar oleh Kalayawana yang tidak berhati-hati itu menendang Mucukunda, karena disangkanya Kresna. Maka bersama tentaranya ia terbakar oleh api yang keluar dari pandangan mata Mucukunda.

Arca-arca: Arca-arca yang merupakan bagian dari Candi Jago sekarang tidak ada lagi di sana, kecuali beberapa buah, di antaranya arca induknya. Dari arca-arca itu ada beberapa kelompok yang besar dan berdiri, dan sekelompok yang lebih kecil dan duduk. Semuanya bersifat Buda dan nama-namanya tertera dalam huruf Nagari pada sandarannya. Kelompok arca yang berdiri terdiri atas lima buah yang mula-mula merupakan arca-arca perwujudan yang asli, dan berdiri dalam bilik candi. Kelima arca itu merupakan arca induk, Amoghapaca yang bertangan delapan, dengan empat orang pengikut. Arca induk itu mungkin sekali juga merupakan arca perwujudan Wisnuwardhana; kepalanya yang telah lama hilang memuat lukisan Amitabha di dalam mahkotanya, sebagaimana tertera dalam lukisan yang ada pada sandarannya.

Arca-arca pengikutnya kini ada di Museum Jakarta, ialah Sudhakanakumara dengan sebuah kitab di bawah lengan kirinya, Cyamatara dengan kedua tangannya di muka dada, Bhrkuti bertangan empat dan memegang sebuah kendi, tricula, dan aksamala, dan yang terakhir ialah Hayagriwa yang berupa raksasa dengan perhiasan kepala yang terikat tinggi, perhiasan-perhiasan ular, sebuah gada, dan tangan kanannya terangkat. Semua arca itu, juga arca induknya, diapit oleh seroja yang keluar dari "Bonggol", sebagaimana biasa kita dapati dalam seni Singhasari.

Kelompok arca yang lebih kecil terdiri atas Budha-Budha dengan Tara-Taranya. Ada empat buah di Museum Jakarta, sedangkan yang kelima ada di British Museum di London. Mungkin dulu ada 8 buah arca, yang ditempatkan di atap candi, masing-masing menghadap ke jurusan mata angin yang dikuasainya.

Kelompok Amoghapaca dengan pengikut-pengikutnya seperti di atas yang dijadikan satu pada sandaran bersama, terdapat dalam beberapa arca perunggu kecil (kira-kira tingginya 22 cm) yang menggambarkan Boddhisattva tersebut dengan pengikut-pengikutnya dan Tara-Taranya. Menurut tulisan-tulisan yang terdapat pada sisi belakangnya, arca-arca perunggu itu dibuat atas perintah Kartanegara.

Di atas lapangan percandian Candi Jago terdapat juga arca Bhairawa yang kecil; rupa-rupanya arca itu dahulu kala ada di dalam relung belakang candi itu, dan mungkin sebagai pelindung bangunan tersebut. Arca itu ada dianggap melukiskan Adityawarman, raja di Sumatra, yang pada waktu mudanya mendapat didikan di istana Mojopahit dan mungkin sekali berdarah Jawa juga. Tidak mustahil bahwa dialah yang menyuruh memperbaharui Candi Jago itu pada kira-kira tahun 1350, setelah ia berdiri sendiri sebagai raja, dan ingin menunjukkan hubungan kekeluargaannya. Dan pada waktu itu ia menambahkan arca yang menggambarkan dirinya sebagai pelindung pada candi itu, yang tentu saja dahulu tidak merupakan bagian darinya.

CANDI KIDAL

Candi ini terletak di Desa Rejokidal tidak jauh di sebelah timur jalan kecil antara Tumpang dan Tajinan. Nagarakartagama dan Pararaton mengatakan bahwa di Kidal-lah Anusapati, raja Singhasari yang ke dua yang meninggal pada tahun 1248, dimakamkan. Karena di situ tidak didapatkan candi-candi yang lain, kecuali beberapa landasan-landasan batu bata, maka mungkin Candi Kidal itulah candi penjenazahan raja tersebut.

Candi Kidal adalah salah satu dari candi-candi di Jawa Timur yang masih tinggal dalam keadaan yang terbaik. Bangunan itu tidak berdiri di pusat lapangan percandian yang sekarang dikelilingi oleh tembok rendah, tetapi sedikit terdorong ke utara. Hal ini terdapat juga di beberapa tempat lain, tetapi bagaimana keterangannya masih belum kita dapatkan. Di depan candi itu di sebelah barat masih terdapat sebuah batur dari batu alam yang persegi panjang. Di atasnya dahulu ada 3 bangunan yang lebih kecil, dibuat dari batu bata atau bahan yang ringan.

Candi itu berdiri di atas batur yang rendah dan mempunyai kaki yang tinggi dengan sebuah penampil pada pintu masuk. Pada penampil itu ada tangga masuk. Kaki candi dihias dengan turus-turus yang berukiran gambar jambangan dan dengan lingkaran yang diisi gambar-gambar binatang dan tumbuh-tumbuhan yang sudah diubah bentuknya. Pada tiap-tiap sudut terdapat arca Singa. Bagian tengah dari tiap-tiap sisi kecuali bagian depan dihias dengan lukisan-lukisan dari ceritera Garuda. Ibunya, Winata, diperbudak oleh ular-ular dan Garuda hanya dapat membebaskannya dengan membawa amrta untuk ular-ular itu. Betullah hal itu dapat dilaksanakannya, tetapi kemudian dengan tipu muslihat para dewa amrta itu dicuri kembali dari para ular. Urut-urutan maupun susunan lukisan-lukisan itu terang bagi kita. Kalau kita berjalan mengelilingi bangunan itu menurut pradaksina akan kita lihat berturut-turut: Garuda dengan ibunya, Garuda dengan guci amrta, Garuda dengan ular-ular. Relief-relief pada pigura-pigura tidak melukiskan suatu ceritera yang berturut-turut, melainkan bagian-bagian dari ceritera tentang kelepasan jiwa. Ini penting untuk kelepasan jiwa dan oleh karenanya sesuai dengan sifat candi itu sebagai bangunan penjenazahan.

Pintu masuk ke bilik candi diukiri dengan perhiasan daun-daunan dan pada ambang atasnya terdapat banaspati yang besar. Di kanan kiri pintu masuk dan di tengah-tengah muka-candi yang lain terdapat relung-relung, juga dengan hiasan-hiasan kala. Tubuh candinya mempunyai pelipit bawah, pelipit tengah dan pelipit atas, selanjutnya dihiasi dengan lingkaran-lingkaran yang hampir serupa dengan yang ada pada kaki candi. Atapnya masih tinggal sebagian dan barangkali puncaknya serupa dengan yang terlihat pada relung-relung.

Bilik candinya kosong, dahulu memuat sebuah arca Ciwa yang sekarang tidak ada lagi di sana. Juga relung-relung di luar kosong, hanya yang di kanan kiri pintu masuk memuat arca Mahakala yang rusak (sebelah utara) dan arca Wisnu yang rusak dan tidak berkepala. Arca Wisnu itu tentu dahulu tidak disitu tempatnya.

CANDI SINGOSARI

Kalau kita di Singosari setelah melewati pasar membelok ke kiri ke barat, maka kira-kira 300 m kemudian di sebelah kanan kita akan mendapatkan candi Singosari, dan tidak jauh dari sana, di alun-alun, dua buah arca penjaga besar-besar. Pun banyak lagi arca-arca serta bagian-bagian candi yang ditempatkan di pinggir lapangan percandian yang berpagar. Semuanya itu merupakan sisa-sisa dari kelompok bangunan-bangunan suci yang dulu pernah meliputi suatu daerah yang luas sekali di sebelah baratdaya candi yang sekarang masih ada. Candi Singosari itu dihubungkan dengan Krtanagara, raja terakhir dari kerajaan Singosari, yang meninggal pada tahun 1292 M dan dimakamkan di Singosari.

Sejak didapatkannya kembali pada permulaan abad yang lalu candi itu banyak dikunjungi orang, dan ia termasuk bangunan-bangunan di Jawa Timur yang terbanyak dikarangkan. Uraian yang paling terkenal ialah monografi Brandes yang terbit pada tahun 1909. Pada tahun 1934 keadaan

Candi Singhasari, Gambar Perencanaan Kembali

Pemandian Watugede

candi itu sangat rusak, dan perlulah diambil tindakan-tindakan untuk menyelamatkannya. Untuk keperluan itu ia dibongkar sampai kepada baturnya, kemudian dibangun kembali selapis demi selapis. Pembangunan kembali seluruhnya tidak mungkin, karena terlalu banyak bahan-bahan yang asli yang hilang, terutama dari puncak-puncak bilik-bilik samping. Dengan demikian maka terlalu banyak petunjuk-petunjuk yang hilang. Candi itu dibangun kembali sampai kepada atap tingkat dua, itu pun tidak lengkap. Pekerjaan pembangunan kembali itu selesai pada tahun 1936.
 Baiklah sekarang kita periksa candi itu. Ia terdiri atas sebuah tingkat bawah atau batur, kaki yang tinggi, tubuh yang langsing, dan atap yang berbentuk limas. Batur itu dapat dinaiki dari sebelah barat melalui sebuah tangga tiruan yang menjadi pengganti selasar dengan dua buah tangga. Pada kaki candi yang sebenarnya - dan inilah keistimewaan dandi itu - terdapat bilik-biliknya beserta penampil, yang biasanya terdapat di dalam tubuh candi. Pada sisi tangga terdapat bilik tengahnya, yang dahulu memuat lambang dewa yang tertinggi. Ciwa dengan lambang istrinya (lingga-yoni). Disamping jalan masuk terdapat relung-relung kecil yang diperuntukan kedua penjaga canti: Mahakala dan Nandicwara. Bilik-bilik yang lain dapat kita masuki melalui selasar keliling pada batur, dan dahulu berisi arca-arca: Durga (Utara), Ganeca (timur) dan Ciwa-Guru (selatan). Kecuali arca Guru, arca-arca yang lainnya sudah tidak ada lagi di tempatnya. Dari bilik tengahnya masih perlu dikatakan di sini - dan ini juga suatu keanehan lagi seperti pada Candi Jago- bahwa ia tidak mempunyai sumuran dan dengan demikian juga tidak mempunyai peripih. Yang ada ialah suatu susunan saluran-saluran di bawah lantai bilik itu. Rupa-rupanya dahulu dipergunakan untuk mengalirkan air pembasuh linga-yoni itu ke sebuah pancuran (sekarang sudah tidak ada tetapi bekasnya masih kelihatan dengan jelas) di bagian utara batur.
 Susunan kaku candi sebagaimana diuraikan mengakibatkan bahwa tubuh candi kehilangan fungsinya yang semula, dan karena itu kita tidak dapat memasukinya. Rongga di dalamnya itu mungkin untuk meringankan tekanan pada tingkat bawahnya saja. Di bagian luar terdapat relung-relung yang tidak dalam, yang semuanya kosong. Dahulu relung-relung itu tidak kelihatan karena tertutup oleh puncak-puncak keempat penampilannya. Apakah relung-relung itu dahulunya berisi arca, tidak kita ketahui. Ada juga orang menduga bahwa Candi Singosari itu mempunyai dua tujuan, ialah bahwa kaki-candi dengan bilik-biliknya diperuntukkan kepada agama Siwa, sedangkan tubuh-candi kepada agama Budha. Anggapan itu tidak akan bertentangan dengan pandangan keagamaan pada waktu itu yang bersifat campuran dan bercorak Tantra. Tetapi tidak ada arca-arca Buddha didapatkan di lapangan percandian itu.

Atap-candi itu hanya sebagian saja yang tinggal. Berlawanan dengan bagian-bagian yang lain, maka pada atap itu sudah dikerjakan hiasan-hiasan yang halus. Hal itu jelas menunjukkan bahwa penyelesaian candi itu dikerjakan dari puncak ke bawah. Kenyataan semacam itu sering kita lihat juga pada candi-candi yang lain, misalnya Candi Sawentar di dekat Blitar. Dengan sendirinya maka karena tidak selesainya hiasan-hiasan itu diperoleh kesan yang lain tentang candi itu daripada yang dimaksudkan semula.

Seperti telah dikatakan di atas, Candi Singosari itu dahulu tidak berdiri sendiri. Di sebelah selatannya tepat, masih dalam lingkungan lapangan percandian itu juga, terdapat sebuah batur. Mungkin di atas batur itu dahulu terdapat bangunan-bangunan kecil dari bahan yang lekas rusak, seperti pada Candi Kidal. Selanjutnya dahulu terdapat lagi sekelompok bangunan-bangunan beberapa ratus meter di sebelah baratdaya candi itu. Pada permulaan abad yang lalu sebagian sisa-sisa mereka itu masih kelihatan. Tetapi bagaimana bentuknya dan apa gunanya tidak jelas. Ditinjau dari jumlah dan sifat arca-arca yang terdapat di situ, dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa dahulu di sana terdapat sekurang-kurangnya lima buah bangunan suci, mungkin lebih. Sebagian bersifat Siwa dan sebagian bersifat Buddha. Sebuah prasasti yang berasal dari lapangan percandian itu dan berangka tahun 1351 M., menyebutkan pendirian sebuah bangunan suci untuk para pendeta Siwa dan Buddha yang meninggal bersama-sama Kartanegara. Dari keterangan iu mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa bangunan itu bersifat campuran, yang tidak akan mengherankan mengingat agama pada waktu itu, yang merupakan campuran antara agama Siwa dan Buddha dengan nyata sekali bercorak Tantra. Barangkali bangunan itu dahulu antara lain memuat arca Brahma dan beberapa arca resi yang terdapat pada lapangan percandian itu. Arca-arca itu sekarang ada di tempat lain, dan salah satu dari arca-arca itu kini ada di Malang. Sebuah candi

Stupa Sumberawan
Songgoriti

lain mungkin memuat arca Prajnyaparamita, dewi pengetahuan-tertinggi dalam agama Buddha. Arca ini dianggap perwujudan Ken Dedes, permaisuri Ken Arok yang menurunkan keluarga raja-raja Singhasari.

Demikianlah masih banyak lagi arca-arca lepas yang menarik perhatian yang terdapat di lapangan percandian itu, yang dahulu tentu berasal dari candi-candi di Singosari yang sekarang sudah hilang itu. tetapi akan terlalu panjanglah apabila itu kita bicarakan satu demi satu.

Tidak jauh ke sebelah barat, di alun-alun, masih terdapat lagi dua buah arca penjaga yang sangat besar. Arca-arca raksasa itu tidak dapat dipindahkan karena beratnya, tentunya di situ masih berdiri pada tempatnya yang asli, dan dahulu menjaga jalan masuk ke percandian yang sangat luas yang terletak di belakangnya. Tingginya dari ubun-ubun sampai telapak kaki ialah 3.70 m. Sebuah di antaranya terpendam sampai ke pusatnya. Tetapi hal itu tidak mengurangkan kesan yang mengagumkan pada orang yang melihatnya. Arca-arca ini mempunyai tali ular melilit pada badannya, dan kepalanya dihiasi dengan jamang ular dengan tengkorak-tengkorak.

Dari apa yang tersebut di atas nyatalah bahwa Singosari memegang peranan yang penting di masa yang silam. Lama sesudah Kerajaan Singhasari jatuh, lapangan itu masih juga dipergunakan, dan mungkin masih saja ditambahkan candi-candi dan arca-arca yang baru pada yang telah ada. Maka sangatlah sayang bahwa sedikit sekali dari hasil seni itu yang tinggal jika dibandingkan dengan apa yang mungkin terdapat di situ.

PEMANDIAN WATUGEDE

Pemandian Watugede terletak di Desa Watugede di sebelah utara Setasiun Singosari. Ia berasal dai abad-abad yang terakhir dari zaman Jawa-Hindu, mungkin abad ke-14.

Pemandian itu terletak dalam sebuah lembah yang sempit, dan airnya berasal dari sebuah mata air yang timbul dari bawah sebatang pohon di tebing timur. Air sumber itu mengalir ke dalam sebuah telaga yang tenang, dan dari sana dialirkan melalui saluran-saluran dan pancuran ke dalam dua buah kolam yang terletak berdampingan terpisah oleh sebuah dinding.

Kolam yang di sebelah utara, kolam untuk laki-laki, agak lebih tinggi letaknya, dan dapat dimasuki melalui sebuah tangga dari batu alam. Pada dinding batu bata yang sederhana itu terdapat sembilan buah pancuran yang dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kebanyakan merupakan lukisan orang laki-laki atau pun perempuan yang duduk di atas lubang pengaliran. Semuanya dikerjakan dengan kasar. Tidak mustahil bahwa semuanya itu melukiskan sebuah cerita Jawa-Kuno.

Pancuran-pancuran dari kolam untuk orang perempuan yang terletak lebih rendah, tidak dihiasi. Dari sini kemudian air mengalir melewati dinding di sebelah selatan yang sudah rusak. Setelah diperbaiki tempat pemandian itu di pergunakan lagi oleh penduduk.

STUPA SUMBERAWAN

Dapat kita capai jika kita sedikit di sebelah barat candi Singosari membelok ke utara dan mengikuti jalan yang menuju Sumberawan dengan melalui desa Tejosari, Karangwaru dan Ngujung. Dari sini orang berjalan kaki terus sepanjang saluran air yang sebagian dipahatkan pada batu padas sehingga orang tiba di hutan kira-kira 200 m kemudian, di mana terletak stupa itu. Bangunan itu letaknya sangat permai di dalam sebuah lembah dari tanah pegunungan yang terjadi dari kaki salah satu jorokan Gunung Arjuno. Pada tiga sisi stupa itu dibatasi oleh sebuah telaga yang mendapat airnya dari beberapa sumber. Hal itulah yang mungkin memberikan namanya yang sekarang kepada bangunan tersebut. Dikirakan nama itu berasal dari kata "Sumber", dan rawan (telaga). Penduduk menyebutnya juga Candi Rawan.

Ada dugaan bahwa tempat itu dahulu bernama Kasurangganan, sebuah nama yang kita kenal dari Nagarakertagama untuk sebuah tempat yang dipilih oleh Hayam Wuruk untuk tempat beristirahat dalam perjalanannya berkeliling di Jawa Timur. Dalam bagian itu dari kitab tersebut tidak ada disebutkan tentang sebuah bangunan suci. Dari kenyataan itu dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa bangunan itu baru didirikan sesudah tahun 1359, itu pun kalau pengenalan kembali nama-nama itu dapat dipertahankan. Angka-angka yang tertulis pada batu-batu batur dan batu-batu dagob dapat membantu kita dalam menentukan umur bangunan tersebut. Angka-angka itu berasal dari masa antara abad ke-11 dan ke-15. Tetapi ditinjau dari sudut teknik bangunan dan langgamnya, bentuk stupa yang sederhana itu dan tidak adanya perincian dan perhiasan-perhiasan menimbulkan dugaan bahwa bangunan itu didirikan kira-kira pada abad ke-14 — 15.

Dalam kitab-kitab lama orang akan sia-sia mencari pemberitaan tentang stupa itu. Hal ini tidaklah mengherankan, karena tempat itu pada waktu itu adalah hutan lebat, dan bangunan itu tersembunyi sama sekali di dalamnya. Baru pada tahun 1904 bangunan itu disebut-sebut untuk pertama kalinya, kemudian pada tahun 1928. Setelah dikunjungi pada tahun 1935 maka akhirnya diadakan penggalian-penggalian dan kemudian dilakukan perencanaan dan pembangunan kembali pada tahun 1937.

Bangunan itu dapat kita uraikan dengan singkat saja, karena ia termasuk golongan bangunan-bangunan yang bentuknya sederhana dan dengan demikian mudah dibuat ikhtisarnya. Di atas tingkat bawah (batur) yang empat persegi terdapat kaki yang empat persegi juga dengan penampil pada tiap-tiap sisi. Di atas itu berdirilah stupa yang sebenarnya, yang terdiri atas sebuah lapik bujur sangkar, kaki segi delapan dengan bantalan seroja, dan tubuh yang berbentuk genta.

Karena ada beberapa kesukaran dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh itu maka terpaksalah bagian itu tidak dipasang kembali, dan ditempatkan pada lapangan percandian sebagai pemasangan sementara. Diduga bahwa puncak dagob itu ialah sebuah ”pucuk”. Karena tidak terdapat sisa-sisa sebuah payung, maka kemungkinan bahwa puncak stupa dihiasi dengan benda tersebut sudah pasti tidak ada.

Bangunan suci itu tidak mempunyai hiasan-hiasan atau ukir-ukiran. Tidak ada tangga naik atau barang sesuatu yang lain yang menunjukkan bahwa bangunan itu dapat dinaiki. Selanjutnya penyelidikan memberi kepastian bahwa genta itu tidak mempunyai ruangan di dalamnya untuk memuat garira (benda suci) macam apa pun juga. Jadi kecuali bentuk luarnya maka bangunan itu justru kehilangan sifatnya sebagai stupa yang harus menentukan tujuannya. Apakah gerangan maksud stupa yang berdiri sendiri dan berbentuk genta itu, yang bukan untuk memuat carira, bukan pula tempat penjenazahan, dan yang jika kita pandang tersendiri merupakan suatu keistimewaan itu? Dalam mengajukan pertanyaan ini hendaknya orang ingat, bahwa sesudah Buddha meninggal, ajarannya mengalami berbagai perubahan. Demikianlah maka sifat stupa itu sejak zaman dahulu mengalami perubahan-perubahan juga, dan bangunan itu sendiri kemudian menjadi tujuan pemujaan. Dan mungkin demikian pulalah halnya dengan stupa di Sumberawan itu. Tempat yang tenang dengan telaganya itu mungkin sejak lama sebelum bangunan itu didirikan telah mempunyai kekeramatan yang menyebabkan dipandang sebagai sebuah punden. Dan untuk menetapkan dan untuk memperkuat pikiran itu maka didirikanlah stupa tersebut, yang mungkin dahulu menjadi tujuan pemujaan dan penyembahan.

CANDI SONGGORITI
Candi Songgoriti terletak di Desa Songgoriti, sebuah tempat di pegunungan pada kaki antara Gunung Kawi dan Gunung Anjasmoro. Dapat kita capai dari Batu (kira-kira 18 km dari Malang) melalui simpang jalan ke barat.

Candi itu didirikan di atas sebuah sumber yang dahulu mengeluarkan air yang mujarab. Tempat yang mungkin sejak dahulu terkenal sebagai punden semacam itulah yang sebaik-baiknya untuk mendirikan sebuah bangunan suci, suatu peristiwa yang dapat kita pandang sebagai penguatan anggapan yang tersembunyi di belakangnya. Sebagaimana telah kita lihat di atas, pertimbangan semacam itulah yang menjadi dasar pendirian stupa di Sumberawan. Sumber itu sendiri sudah sejak lama tidak mengalir lagi; mungkin itulah salah satu dari sebab-sebab mengapa orang dengan tidak merasa keberatan mempergunakan batu-batu yang terjatuh dari candi itu dan batu-batu yang lepas untuk membendung sumber-sumber yang lain yang timbul di dekatnya. Sebagai akibatnya yang sangat menyedihkan ialah bahwa dari bangunan itu tidak banyak yang tinggal kecuali sebagian dari baturnya yang persegi panjang, diatas mana berdiri candinya. Dari candi itu sendiri hanyalah tinggal sebagian dari tubuhnya.

Dalam banyak hal, di antaranya denah bujur-sangkar dengan penampil-penampilnya dan juga cara mengerjakan perhiasan-perhiasan, Candi Songgoriti itu dapat dikatakan bercorak Jawa Tengah, dan ada cukup alasan untuk memasukkannya dalam golongan candi-candi yang tertua di Jawa-Timur. Beberapa buah arca yang terdapat di dekatnya dan yang sebagian masih terdapat dalam relung-relung bangunan itu (Durga di sebelah utara) menunjukkan bahwa bangunan itu bersifat Siwa. Bidang-bidang dinding candi di samping relung-relung dihiasi dengan pigura-pigura berukiran gambar orang berdiri. Alas-alas batur di sebelah selatan dan barat telah hilang, sehingga bagian bangunan itu dapat kita lihat sebaik-baiknya dari sebelah utara. Dahulu di situ terdapat sebuah tangga, meskipun tidak asli. Pada kaki candi masih kelihatan lubang-lubang tempat sumber air, yang sekarang merembes-rembes, dialirkan dari ruang candi melalui saluran-saluran di dalam batur ke pancuran-pancuran. Di tengah-tengah lantai bilik-candi yang dapat kita masuki dari sebelah selatan terdapat sebuah perigi tempat air tersembul dengan perlahan-lahan. Apakah itu juga dipergunakan sebagai perigi-candi tidak terang. Tidak ada didapatkan sebuah peripih. Yang ada didapatkan di dalam tanah di dekat alas candi pada waktu pekerjaan pemugaran pada tahun 1938 ialah empat buah peti batu. Di antaranya ada yang berisi yoni-yoni dari perunggu dan lingga-lingga dari emas, mata uang-mata uang, dan kepingan-kepingan emas yang ditulisi nama-nama dewa.

CANDI BADUT
Candi Badut terletak kira-kira 10 km dari Malan.g Orang dapat mencapainya dengan mengikuti jalan ke Batu sampai di Dinoyo, kemudian membelok ke selatan sampai Karangasem. Dari sini orang terus berjalan ke barat, dan setelah melewati Kali Metro sampailah orang di Desa Badut. Di sebelah baratdaya desa itulah terletak candinya di atas sebuah dataran tinggi. Dari lapangan percandian orang mempunyai pemandangan yang indah atas daerah pegunungan di sekitarnya yang terjadi dari Gunung Kawi, Candi Badut terletak di atas kaki gunung itu, Gunung Arjuno di sebelah barat, Pegunungan Tengger di sebelah utara, dan Gunung Semeru di sebelah timur. Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi.

Candi Badut didapatkan pada tahun 1923 secara kebetulan. Pada waktu itu tidak banyak yang kelihatan kecuali sebuah bukit batu-batu runtuhan dan tanah. Di atas dan di sekitarnya tumbuhlah beberapa pohon. Dari sisa-sisa yang kelihatan itu dapatlah sudah ditentukan bahwa orang berhadapan dengan sebuah candi yang banyak mempunyai sifat-sifat Jawa-Tengah Kuno dan dengan demikian tentulah sebuah candi yang sangat tua. Candi itu telah dibangun kembali dalam bentuknya yang semula, kecuali atapnya karena masih terdapat keragu-raguan dalam beberapa hal. Orang yang mengunjungi candi itu tentu akan merasa tercengang melihat sebuah candi yang banyak sekali mengandung sifat-sifat Jawa-Tengah di tengah-tengah daerah Jawa Timur. Tetapi candi demikian itu bukanlah satu satunya di sekitar daerah itu. Peninggalan yang berasal dari sekitar masa yang setua itu juga terdapat antaranya di Dinoyo, yaitu prasasti yang sudah kita sebutkan di muka, dan di dekat desa-desa Merjosari, Besuki dan Ketawanggede (semuanya terletak di sebelah timurlaut Badut). Sampai sekarang daerah itu masih belum diselidiki dengan teratur dan mungkin sekali masih lebih banyak lagi yang terpendam didalam tanah dari pada yang kita duga sekarang. Bagaimanapun juga adanya bangunan-bangunan kuno yang tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam abad ke-8 terdapat sebuah kerajaan kecil di sebelah baratlaut Malang, yang mungkin sekali ada hubungannya dengan atau merupakan lanjutan dari Kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah yang lebih tua. Candi yang dimaksudkan dalam piagam Dinoyo tersebut di atas belum pasti benar. Tidak mustahil bahwa yang dimaksudkan itu ialah Candi Badut, sebab kecuali disebutkan tentang pendirian sebuah bangunan suci untuk Agastya, juga disebutkan tentang sebuah lingga yang keramat. Dan Candi Badut ialah sebuah punden yang memuat lingga, seperti akan kita lihat di belakang. Yang pasti ialah bahwa bangunan tersebut berasal dari masa yang sama atau sedikit tua dari piagam Dinoyo.

Candi Badut dikelilingi oleh sebuah tembok yang sekarang sudah hilang, dan letaknya juga tidak di pusat lapangan percandian. Yang menarik perhatian dan sesuai dengan umurnya yang tua itu ialah kakinya yang sama sekali rata dan tidak diberi bingkai-bingkai, sebagaimana juga terdapat pada candi-candi yang lain yang seumur dengan itu. Yang menunjukkan sifat Jawa Tengah lagi ialah bilik pintunya yang menjadi penampil muka pada sisi masuk di sebelah barat. Sebuah tangga yang diapit oleh pipi tangga yang banyak perhiasannya (pada pipi tangga yang sebelah selatan masih terlihat sebuah kinnara dan sebagian dari kinnara lain) membawa kita ke pradaksinapatha (selasar keliling) pada kaki candi. Tubuh candinya buntak, lebih lebar daripada tinggi. Pada ketiga sisinya terdapat relung-relung, dan di dalamnya dapat dipasang kembali Durga (sebelah utara) dan Guru atau Agastya (sebelah selatan). Relung yang sebelah timur tentunya dahulu berisikan Ganeca tetapi arca itu telah hilang. Relung- relung itu berkambikan pelengkung kalamakara yang biasa kita dapatkan di Jawa Tengah. Bidang-bidang dinding di samping relung-relung itu diisi dengan hiasan ”pola bunga”. Relung-relung yang lebih kecil di kanan kiri penampil kosong; mungkin dahulu berisi arca-arca penjaga pintu masuk, ialah Mahakala dan Nandicwara. Atapnya runtuh sama sekali, tetapi masih dapat kita rencanakan kembali di atas kertas. Tentulah dahulu terdiri atas dua bagian yang serupa dengan tubuh-candi tetapi makin ke atas makin kecil yang akhirnya ditutup dengan puncak yang berbentuk ratna.

Bilik-candi yang luas itu berisi lingga-yoni yang ditempatkan di atas perigi yang besar dan dalam. Dalam perigi itulah mungkin dahulu letak peripih yang didapatkan kembali diantara runtuhan-runtuhan dinding luar bilik-candi itu dan yang sekarang terletak di antara batu-batu di belakang candi.

Di hadapan sisi masuk candi itu terdapatlah alas tiga buah candi perwara yang lebih kecil. Diduga bentuknya sama dengan candi pusat. Obyek pemujaan dari dua buah diantaranya kita ketahui. Di dalam candi perwara yang tengah terdapat Nandi, dan di dalam candi yang sebelah selatan lingga-yoni. Apa yang terdapat dalam candi yang sebelah utara tidak kita ketahui. Susunan yang terdiri atas 3 buah candi yang lebih kecil berhadapan dengan candi induk yang semacam itu ialah suatu keadaan yang banyak kita dapatkan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur seperti dapat kita lihat dari uraian-uraian di atas. Adapun guna dan artinya masih kita duga-duga.

Suatu keanehan lagi ialah adanya dua buah batu yang berbentuk kubus dengan sebuah lubang segi empat yang dalam, yang terdapat di lapangan percandian di sebelah utara dan selatan candi induk pada jarak yang sama. Sekarang kedua buah batu itu terletak di kanan kiri lapangan percandian di antara runtuhan-runtuhan bagian-bagian candi.